Kepalanya terasa berat, seakan ada palu godam yang terus-menerus menghantam pelipisnya. Arina mengerjapkan mata, menyadari dirinya terbangun di sofa. Cahaya matahari yang menembus tirai membuat matanya semakin berdenyut nyeri.
Begitu kesadarannya setengah terkumpul, mual yang mendesak perutnya tak bisa lagi ditahan. Ia buru-buru bangkit, hampir tersandung meja di depannya, lalu setengah berlari ke kamar mandi. Suara air yang bergemuruh dari keran hampir tidak mampu menutupi suara muntahannya.
“Astaga Arin! Berapa banyak yang kamu minum semalam?”
Suara cempreng itu membuat Arina sedikit tenang. Dia tak perlu menoleh untuk memastikan bahwa itu adalah suara Silvia, sahabat karibnya. Setidaknya dia tidak bangun di ranjang laki-laki asing atau semacamnya. Semalam cukup gila, tapi Arina tidak cukup gila untuk bahkan menyerahkan tubuhnya pada lelaki manapun.
Silvia yang sedari tadi terjaga langsung menyusul, berdiri di ambang pintu kamar mandi. Dengan wajah khawatir, ia menepuk punggung Arina pelan, membantu sahabatnya yang masih terbatuk pelan di atas wastafel.
Arina hanya menggeleng lemah sambil meraih tisu, menyeka sudut bibirnya. Kepalanya masih berdenyut, ingatannya tentang semalam kabur seperti bayangan di tengah kabut.
"Aku enggak tahu," jawabnya lirih, suaranya serak.
Silvia menghela napas. "Kamu enggak pernah suka alkohol. Kenapa tiba-tiba minum sebanyak itu?"
Arina diam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Atau mungkin, ia tahu alasannya—hanya saja, ia belum siap mengatakannya. Apalagi mengingat perangai Silvia yang mungkin saja akan langsung menghantam Jefano setelah ini.
Silvia membantu Arina untuk kembali duduk di sofa setelah berhasil memuntahkan seluruh isi perutnya itu. Tidak bisa tidak heran saat menemukan Arina Nadia yang dikenal sangat anti dengan dunia malam dan semacamnya, bahkan alkohol, sekarang justru mabuk berat. Semalam mereka hanya mengadakan pesta privat untuk sekalian bridal shower salah satu teman mereka, siapa sangka Arina justru kalap minum dan membuat dirinya sendiri jadi mabuk parah?
“Syukur hanya bridal shower di hotel! Bayangkan kalau semalam kita clubbing? Sudah dibungkus duluan tuh kamu sama om-om hidung belang yang berkeliaran,” tambah Silvia. Bibirnya terus mendumal kesal tapi tangannya masih membantu memijit punggung Arina agar lebih rileks.
Bagaimana Silvia tidak syok? Seingatnya Arina hanya diam duduk di bangku, tapi saat dia tinggal untuk menyapa beberapa teman lainnya, Arina sudah hilang entah kemana. Untung saja pada akhirnya dia berhasil menemukan Arina yang ternyata sudah mengigau di kamar mandi wanita.
Arina tak kunjung buka suara, tapi sebagai sahabat yang cukup tahu banyak tentang Arina, Silvia lantas memberi sebuah tebakan maut yang dia yakini sebagai penyebab utama kekacauan Arina itu.
“Jefan?” Tebak Silvia dengan nada jutek.
Melihat ekspresi Arina langsung membuat Silvia menghela nafas kasar. Sudah jelas terkaannya itu benar. Hal apa lagi yang bisa membuat seorang Arina Nadia menjadi sekacau ini? Arina itu memang wanita yang pintar dan bahkan punya karier bagus, tapi kelemahannya hanya satu. Istilahnya sekarang katanya bulol alias bucin tolol.
"Kenapa lagi bocah mami satu itu? Masih gak mau angkat telpon dan ngambek gak jelas?" Lagi-lagi Silvia menerka. Tidak jauh-jauh dari permasalahan klise yang sudah lama mendarah daging di hubungan toxic kawannya itu.
Arina belum terpikir untuk menceritakan keseluruhan cerita pada Silvia. Apalagi mengingat temperamen Silvia yang cukup parah. Bisa-bisa dia menghajar Jefan pagi-pagi buta.
Bicara tentang pagi-pagi buta, Arina rasa ini sudah cukup terang. Ia menengok penunjuk waktu yang terpaku di dinding. Matanya membulat, “Ya ampun, Silvi! Kok kamu nggak bilang ini sudah jam 8.30?”
Sakit hati sih masih tersisa, tapi life must go on. Arina juga tidak mau menyianyiakan hidupnya hanya karena putus cinta dan lupa bahwa ada pekerjaan yang lebih penting sekarang harus segera dia hadiri.
Dia bergegas bangkit dari ranjang Silvia dan kembali masuk ke kamar mandi hanya untuk menyiram dirinya dengan air dan sabun seadanya. Tak sampai lima menit sudah keluar lagi berbalut handuk dan langsung menodong Silvia.
“Aku pinjam baju! Hari ini ada seminar di fakultasku. Semua dosen wajib hadir sebelum pukul sembilan,” ujarnya panik.
Silvia kembali berdecak sebal dan langsung membongkar lemari. “Tsk! Mau berapa lama lagi kamu menyusahkanku begini?!”
Silvia mengeluarkan blouse, blazer dan bahkan celana kain yang dia yakini akan muat di tubuh sahabatnya. Sementara Arina hanya bisa nyengir tanpa dosa lantas kembali ke kamar mandi untuk segera mengenakan pakaian dan memoles wajah seadanya.
“Udah, kan? Aku antar! Mobil kamu masih tertinggal di hotel kemarin,” ujar Silvia yang sudah siap dengan hoodie santainya. Arina tersenyum lebar, syukur sekali dia punya sahabat pengertian macam Silvia ini. Keduanya lantas turun dari unit dan dengan kecepatan super berangkat menuju kampus tempat dimana Arina mengajar.
Tak banyak basa-basi dan syukur kemampuan menyetir Silvia memang diatas rata-rata. Mereka sampai pukul Sembilan kurang lima menit. Jelas bukan waktunya bagi Arina berjalan pelan dan membuang-buang waktu sehingga begitu sampai pun dia langsung keluar mobil tanpa mengucap sepatah pun terima kasih pada penyelamatnya hari ini.
“Nggak usah minta jemput! Pulang sendiri!” Teriak Silvia melihat sahabatnya itu sudah lebih dulu lari terbirit-birit. Dia masih kesal tapi juga malu karena berteriak hingga jadi perhatian di depan kampus orang.
Sementara itu, Silvia yang tengah berusaha mengejar keterlambatannya harus berjalan cukup cepat untuk bisa sampai di lantai tiga, tempat auditorium berada.
Saking buru-burunya, Arina bahkan sampai tanpa sengaja menabrak seseorang.
“Astaga, maaf pak saya tidak sengaja,” ujarnya tanpa melihat wajah lelaki yang ditabraknya. Arina hendak berlalu namun suara berat itu berhasil menahannya dalam sebuah kebekuan.
“Anda memang hobi menabrak, ya?”
Jemari besar Askara menari di wajah Arina, membelainya lembut saat sekaligus membawanya bergerak lebih dekat guna menyatukan ranum keduanya. Bibir mereka bersentuhan lembut. Cukup lembut untuk mengirimkan sengatan-sengatan listrik pada sekujur tubuh keduanya. Dimulai dengan kecupan tipis, perlahan meningkat menjadi sedikit lebih menuntut dan panas. Jarak yang terus terpangkas dan tubuh keduanya yang kini merapat saling mendamba kehangatan. Suara decapan ikut memenuhi heningnya malam. Sepasang insan yang kini berusaha saling mendominasi. Intensitas pergerakan yang awalnya lembut dan bergerak menjadi semakin liar. Askara dengan mudah mengangkat tubuh Arina dalam gendongannya untuk dia boyong kembali masuk ke dalam rumah. Menggeser pintu kaca di balkon dengan sebelah kakinya dan langsung mendudukkan kembali wanitanya itu diatas tubuhnya yang terduduk di sofa.Arina diatasnya, mengalungkan lengannya di leher Askara. Meraup oksigen sebanyak yang dia bisa dalam waktu singkat hanya karena
Arina membalikkan badan untuk entah ke berapa kalinya malam itu. Tubuhnya terbaring di atas kasur king dengan lapisan pillow top super tebal yang terkenal bisa menopang tubuh sempurna dan memanjakan tulang punggung. Bahkan jika orang lain yang berbaring di sana, mungkin sudah terlelap dalam hitungan menit, tenggelam dalam empuknya busa premium yang berlapis lateks alami. Namun tidak dengan Arina.Bukannya merasa nyaman, ia justru gelisah. Bau sprei baru dan aroma ruangan yang masih asing menusuk hidungnya, membuatnya sadar bahwa ini bukan kamarnya sendiri. Rumah Askara terlalu besar, terlalu sunyi, terlalu mewah—semua terasa tidak akrab.Namun mungkin ini semua bukan hanya soal tempat. Ada yang mengganjal di dadanya, pikiran yang terus berputar hingga membuat jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia tidak mau mengakuinya, tapi kehadiran Askara—dan semua kemungkinan yang mungkin terjadi di antara mereka—membuat hatinya kacau.Rasanya seperti ada yang kurang.Hingga akhirnya, A
Menginjakkan kaki lagi di rumah yang kemarin baru saja dia jajaki. Arina terdiam sebelum memasuki pintu rumah. Kenapa dia hanya diam saja saat Askara memboyongnya kesini dengan alasan yang tidak sepenuhnya jelas?Pria itu sedang membuka kunci rumah saat Arina pada akhirnya tersadar dari lamunannya. Menatap punggung lelaki yang berdalih ingin menjaganya tapi justru menciptakan ruang bagi mereka untuk kikuk lagi. Berdiri disini, sama dengan pertanyaan kepalanya kemarin, mengapa dia menurut dengan begitu mudahnya. “Ayo masuk.”Askara memberi komando. Pria itu menoleh kearah Arina sebentar guna memastikan wanita itu benar-benar mengikuti arahannya. Anehnya, memang benar Arina menurut. Seperti dicucuk hidung dan kepalanya. Entah apa yang sebelumnya telah Askara perbuat padanya. Aroma ini lagi. Semakin terasa familar makin harinya. Sekarang Arina sudah tahu ini wangi siapa, Askara tentu saja. Pria itu meletakkan tas Arina yang dia tadi bantu bawa di meja ruang tamu. “Duduk sebentar! Ak
Suara derap kaki Jefan terdengar tergesa memasuki kamar, disusul dengan genggaman kuat pada lengan Nindy yang membuat perempuan itu terpaksa mengikutinya. Tanpa sepatah kata, Jefan menyeret istrinya melewati lorong rumah hingga tiba di kamar mereka. Pintu ditutup keras hingga menimbulkan suara dentuman."Apa kamu gila, Nindy?" desis Jefan dengan rahang mengeras, menatap Nindy penuh amarah. "Melabrak Arina di kampusnya? Kamu tahu berapa banyak orang yang melihat? Apa kamu sengaja mau mempermalukan aku di depan semua orang?"Nindy menepis tangannya, menatap Jefan dengan mata memerah. "Aku melakukan itu karena aku sakit hati! Kamu pikir aku bodoh? Aku tahu kamu masih menemui dia, masih memikirkan dia! Kamu suamiku, Jefan, bukan laki-laki Arina!"Wanita itu memegang perutnya, "Kamu bahkan nggak peduli lagi pada anak kita?"Jefan menyisir rambutnya dengan cepat dan kasar."Tutup mulutmu!" bentak Jefan, menunjuk wajah istrinya. "Kamu memalukan! Kamu kira dengan bertindak sembrono seperti it
Geram masih memenuhi jiwanya. Nindy mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. Selain karena upayanya untuk menghancurkan reputasi Arina dihalang-halangi, dia juga salah fokus dengan lelaki yang mengaku sebagai tunangan Arina. Siapa pria yang dengan gamblang membela Arina di depan umum seperti tadi? Di tengah kericuhan, Nindy masih sempat melirik kemeja slim fit dari Tom Ford dan Patek Philippe Nautilus berbalut rose gold yang melingkar di tangannya. Tak ketinggalan sepatu kulit oxford hitam dari John Lobb yang mengilap. Pria itu jelas bukan dari kalangan biasa. Seolah mencerminkan gaya seorang pria kaya yang tak perlu banyak bicara untuk menunjukkan posisinya.Apa sekarang? Setelah menikahi kekasih Arina yang dia pikir sudah paling kaya raya dan tampan itu, sekarang justru wanita itu dekat lagi dengan pria kaya lainnya? Bukankah hidup Arina benar-benar sangat beruntung?Apa yang dimiliki seorang Arina sampai hidupnya selalu dikelilingi pria-pria kaya yang memujanya seperti itu? Apa sp
Askara meraih tangan Arina dengan gerakan tegas, menuntunnya masuk ke dalam mobilnya tanpa banyak kata. Tidak peduli dengan bagaimana keramaian kampus menatap dan berbisik kearah mereka. Tangannya sedikit gemetar menahan emosi yang memuncak usai melihat Nindy melabrak Arina-nya di depan umum, menumpahkan hinaan yang bahkan tak layak diulang.Begitu pintu mobil tertutup, suasana hening hanya terisi desah napas keduanya yang masih berkejaran. Askara menatap Arina dengan sorot protektif yang sulit diterjemahkan. Sementara Arina, masih terkejut dan malu dengan insiden barusan, mencoba menarik tangannya yang masih digenggam erat.Hening tak bertahan lama. Arina kembali menatap Askara dan menyuarakan keheranannya."Apa maksudmu tadi, bilang aku ini tunanganmu?" tanya Arina dengan nada tertahan, campuran bingung dan tersinggung. Matanya menatap tajam, menuntut jawaban.Askara menunduk sejenak, meremas jari Arina. "Supaya dia berhenti merendahkanmu. Supaya semua orang tahu kamu bukan siapa-si