Share

2. Hobi Nabrak

Author: Estaruby
last update Last Updated: 2025-04-01 17:11:12

Kepalanya terasa berat, seakan ada palu godam yang terus-menerus menghantam pelipisnya. Arina mengerjapkan mata, menyadari dirinya terbangun di sofa. Cahaya matahari yang menembus tirai membuat matanya semakin berdenyut nyeri.

Begitu kesadarannya setengah terkumpul, mual yang mendesak perutnya tak bisa lagi ditahan. Ia buru-buru bangkit, hampir tersandung meja di depannya, lalu setengah berlari ke kamar mandi. Suara air yang bergemuruh dari keran hampir tidak mampu menutupi suara muntahannya.

“Astaga Arin! Berapa banyak yang kamu minum semalam?”

Suara cempreng itu membuat Arina sedikit tenang. Dia tak perlu menoleh untuk memastikan bahwa itu adalah suara Silvia, sahabat karibnya. Setidaknya dia tidak bangun di ranjang laki-laki asing atau semacamnya. Semalam cukup gila, tapi Arina tidak cukup gila untuk bahkan menyerahkan tubuhnya pada lelaki manapun.

Silvia yang sedari tadi terjaga langsung menyusul, berdiri di ambang pintu kamar mandi. Dengan wajah khawatir, ia menepuk punggung Arina pelan, membantu sahabatnya yang masih terbatuk pelan di atas wastafel.

Arina hanya menggeleng lemah sambil meraih tisu, menyeka sudut bibirnya. Kepalanya masih berdenyut, ingatannya tentang semalam kabur seperti bayangan di tengah kabut.

"Aku enggak tahu," jawabnya lirih, suaranya serak.

Silvia menghela napas. "Kamu enggak pernah suka alkohol. Kenapa tiba-tiba minum sebanyak itu?"

Arina diam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Atau mungkin, ia tahu alasannya—hanya saja, ia belum siap mengatakannya. Apalagi mengingat perangai Silvia yang mungkin saja akan langsung menghantam Jefano setelah ini.

Silvia membantu Arina untuk kembali duduk di sofa setelah berhasil memuntahkan seluruh isi perutnya itu. Tidak bisa tidak heran saat menemukan Arina Nadia yang dikenal sangat anti dengan dunia malam dan semacamnya, bahkan alkohol, sekarang justru mabuk berat. Semalam mereka hanya mengadakan pesta privat untuk sekalian bridal shower salah satu teman mereka, siapa sangka Arina justru kalap minum dan membuat dirinya sendiri jadi mabuk parah?

“Syukur hanya bridal shower di hotel! Bayangkan kalau semalam kita clubbing? Sudah dibungkus duluan tuh kamu sama om-om hidung belang yang berkeliaran,” tambah Silvia. Bibirnya terus mendumal kesal tapi tangannya masih membantu memijit punggung Arina agar lebih rileks.

Bagaimana Silvia tidak syok? Seingatnya Arina hanya diam duduk di bangku, tapi saat dia tinggal untuk menyapa beberapa teman lainnya, Arina sudah hilang entah kemana. Untung saja pada akhirnya dia berhasil menemukan Arina yang ternyata sudah mengigau di kamar mandi wanita.

Arina tak kunjung buka suara, tapi sebagai sahabat yang cukup tahu banyak tentang Arina, Silvia lantas memberi sebuah tebakan maut yang dia yakini sebagai penyebab utama kekacauan Arina itu.

“Jefan?” Tebak Silvia dengan nada jutek.

Melihat ekspresi Arina langsung membuat Silvia menghela nafas kasar. Sudah jelas terkaannya itu benar. Hal apa lagi yang bisa membuat seorang Arina Nadia menjadi sekacau ini? Arina itu memang wanita yang pintar dan bahkan punya karier bagus, tapi kelemahannya hanya satu. Istilahnya sekarang katanya bulol alias bucin tolol.

"Kenapa lagi bocah mami satu itu? Masih gak mau angkat telpon dan ngambek gak jelas?" Lagi-lagi Silvia menerka. Tidak jauh-jauh dari permasalahan klise yang sudah lama mendarah daging di hubungan toxic kawannya itu.

Arina belum terpikir untuk menceritakan keseluruhan cerita pada Silvia. Apalagi mengingat temperamen Silvia yang cukup parah. Bisa-bisa dia menghajar Jefan pagi-pagi buta. 

Bicara tentang pagi-pagi buta, Arina rasa ini sudah cukup terang. Ia menengok penunjuk waktu yang terpaku di dinding. Matanya membulat, “Ya ampun, Silvi! Kok kamu nggak bilang ini sudah jam 8.30?”

Sakit hati sih masih tersisa, tapi life must go on. Arina juga tidak mau menyianyiakan hidupnya hanya karena putus cinta dan lupa bahwa ada pekerjaan yang lebih penting sekarang harus segera dia hadiri.

Dia bergegas bangkit dari ranjang Silvia dan kembali masuk ke kamar mandi hanya untuk menyiram dirinya dengan air dan sabun seadanya. Tak sampai lima menit sudah keluar lagi berbalut handuk dan langsung menodong Silvia.

“Aku pinjam baju! Hari ini ada seminar di fakultasku. Semua dosen wajib hadir sebelum pukul sembilan,” ujarnya panik.

Silvia kembali berdecak sebal dan langsung membongkar lemari. “Tsk! Mau berapa lama lagi kamu menyusahkanku begini?!”

Silvia mengeluarkan blouse, blazer dan bahkan celana kain yang dia yakini akan muat di tubuh sahabatnya. Sementara Arina hanya bisa nyengir tanpa dosa lantas kembali ke kamar mandi untuk segera mengenakan pakaian dan memoles wajah seadanya.

“Udah, kan? Aku antar! Mobil kamu masih tertinggal di hotel kemarin,” ujar Silvia yang sudah siap dengan hoodie santainya. Arina tersenyum lebar, syukur sekali dia punya sahabat pengertian macam Silvia ini. Keduanya lantas turun dari unit dan dengan kecepatan super berangkat menuju kampus tempat dimana Arina mengajar.

Tak banyak basa-basi dan syukur kemampuan menyetir Silvia memang diatas rata-rata. Mereka sampai pukul Sembilan kurang lima menit. Jelas bukan waktunya bagi Arina berjalan pelan dan membuang-buang waktu sehingga begitu sampai pun dia langsung keluar mobil tanpa mengucap sepatah pun terima kasih pada penyelamatnya hari ini.

“Nggak usah minta jemput! Pulang sendiri!” Teriak Silvia melihat sahabatnya itu sudah lebih dulu lari terbirit-birit. Dia masih kesal tapi juga malu karena berteriak hingga jadi perhatian di depan kampus orang.

Sementara itu, Silvia yang tengah berusaha mengejar keterlambatannya harus berjalan cukup cepat untuk bisa sampai di lantai tiga, tempat auditorium berada.

Saking buru-burunya, Arina bahkan sampai tanpa sengaja menabrak seseorang.

“Astaga, maaf pak saya tidak sengaja,” ujarnya tanpa melihat wajah lelaki yang ditabraknya. Arina hendak berlalu namun suara berat itu berhasil menahannya dalam sebuah kebekuan.

“Anda memang hobi menabrak, ya?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   24. Arina dan Keluarganya

    Akhir pekan minggu ini Arina akhirnya benar-benar menginjakkan kaki ke rumah orang tuanya setelah menyetir selama kurang lebih dua jam. Dua hari lalu via telepon, Arina sudah berjanji untuk berkunjung, terlebih dia mungkin sudah tidak pulang ke kampung halamannya ini selama kurang lebih dua bulan. Memilih untuk menempuh pendidikan dan bekerja di kota yang lebih besar, Arina tinggal di sebuah rumah sederhana yang dia bersama orang tuanya beli lima tahun yang lalu. Papa Arina berpikir akan lebih baik untuk membeli sebuah rumah dengan harga masuk akal di daerah tersebut sebab Arina kuliah dan bekerja disana. Selain itu, adik- adik sepupunya juga bisa tinggal disana nantinya kelak mereka kuliah atau bekerja. Biaya sewa indekos atau apartemen bagi keturunan mereka setidaknya tidak akan jadi masalah kedepannya. Begitu harapannya.Yah, lima tahun keluar dari rumah orang tuanya, Arina justru perlahan berubah jadi orang tua. Sebagai sulung di generasi cucu keluarga besarnya, Arina menjadi ibu

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   23. Salting Tipis

    "Jangan pernah melarang saya untuk mendekati kamu. Sederhana, bukan?"Arina meneguk kasar ludahnya sendiri kala mendengar permintaan Askara yang tak terdengar masuk akal baginya. Apapun alasan yang Askara sebutkan tadi, sama sekali tak mengubah persepsinya bahwa lelaki dihadapannya mungkin hanya tengah berusaha bermain-main dengannya. Apalagi seolah dengan memanfaatkan kejadian malam itu yang jelas berada diluar kendali dan kesadaran Arina. Arina mendengus, nafasnya jadi tak beraturan sebab mulai tersulut emosi. Bukankah ini berarti Askara berusaha untuk memanfaatkan dirinya sekarang? Arina merasa seolah-olah dia diperas dengan diperlakukan seperti ini. "T-tunggu dulu! Saya bukan wanita seperti yang Anda pikirkan," jawabnya impulsif.Satu alis Askara tergerak naik, "Menurutmu apa yang saya pikirkan tentang kamu memangnya?" Tanya Askara balik.Lidah Arina kelu, seolah keberaniannya tadi menciut dan bahkan memudar dengan mudahnya. Sekarang dia sama sekali tak punya jawaban yang dia ra

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   22. Sebuah Kesalahan?

    Askara menahan senyumnya melihat gestur perempuan yang entah sudah berapa kali singgah dalam mimpi-mimpi indahnya beberapa malam belakangan ini. Netra indah itu membulat dengan sempurna, pun bibir mungilnya yang menganga kala mendengar ucapan Askara yang harus dia akui cukup berbahaya itu. Sejujurnya, jangan tanya apakah Askara bahkan berani melakukan reka ulangnya itu. "Pak Askara!" Arina mundur selangkah dengan dua tangan mengapung di udara. Entah apa yang tengah gadis itu lakukan. Tapi di mata Askara, Arina hanya nampak menggemaskan.Mereka berdua kemudian terdiam sesaat, sebelum akhirnya Askara kembali membuka suara. "Jadi, apa pilihan kamu?"Arina menelan ludahnya sendiri dengan gugup. Wanita itu mulai mendapatkan kembali potongan bayangan yang justru kini membuatnya kikuk sendiri. Sejujurnya, dia bahkan belum bisa mempercayai Askara seratus persen. Jelas sekali terlihat dari gesture tubuhnya. Wanita itu bahkan ragu semua potongan itu adalah nyata.Tapi akhirnya, wanita dengan

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   21. Meminta Pertanggungjawaban

    Sebuah desiran halus menjalari tubuhnya. Terutama sebab netra yang saling tenggelam seolah menjajah kedalaman hati masing-masing berpadu dengan genggaman yang terasa menyengat. Suara dalam Askara yang melantunkan sebuah kalimat tanya memperparah kinerja otak Arina yang serasa melambat. Apa maksudnya?Seingatnya, ini adalah kali kedua Askara menyebutkan kalimat ini. Pertama saat mereka bertemu di kampus. Namun saat itu Arina tidak ambil pusing. Terlebih Askara seperti tidak juga memperpanjangnya. Tapi pria itu kali ini menyebutkannya lagi dan kali ini dari tatapannya seolah meminta sebuah jawaban. Senyumnya tipis, seperti menyimpan rahasia kecil yang baru akan ia buka. “Kamu pernah kesini karena tempat ini adalah tempat pertama kali kita bertemu.”Alisnya terangkat, Arina menatap Askara dengan ragu, tapi juga tak bisa mengabaikan detak jantungnya yang tiba-tiba berdentum lebih keras. Lorong itu memang familiar—tapi bukan hanya karena ruangannya, melainkan karena getaran yang kini kemba

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   20. Dejavu

    Askara dan Arina baru saja melangkah masuk ke dalam restoran Ciel Bleu, yang berada di lantai atas sebuah hotel bintang lima di pusat kota. Cahaya temaram dari lampu gantung kristal menyatu sempurna dengan panorama malam kota yang terlihat jelas dari jendela kaca besar di sisi restoran. Aroma sedap dari dapur terbuka langsung menyambut mereka begitu tiba di area meja yang telah dipesan sebelumnya.Arina menoleh sejenak, matanya menyapu sekeliling ruangan yang tampak familiar. Ini bukan pertama kalinya dia datang ke sini. Beberapa kesempatan lalu, ia sempat menghadiri acara bridal shower sahabatnya, di dekat tempat ini. Private room di lantai atas yang disulap seperti sebuah Pub untuk pesta lajang terakhir bagi kawannya yang segera dipinang. Tempat dan waktu dimana dia saat itu merasa frustasi akan masalah hubungannya yang kandas. Kala itu, suasana penuh gelak tawa dan kilatan kamera. Berbeda dengan malam ini, yang justru terasa lebih sunyi meski penuh orang.“Kenapa pilih restoran in

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   19. Dijemput

    Arina sempat membatu. Dalam hati merutuki setiap kalimat yang meluncur dengan ringan dari mulut Askara. Bisa-bisanya laki-laki itu mengucapkan kalimat seperti itu dengan nada super santai seolah tanpa beban sama sekali.Bagaimana bisa Arina menganggapnya serius? Ekspresi Askara hampir selalu datar, dan dia juga justru terkesan seperti seseorang yang terbiasa bermain kata-kata. Sulit membedakan mana yang tulus mana yang bukan. Wajar bukan kalau Arina trust issue dan merasa ini hanya bagian dari permainan biasa oleh seorang Askara Danendra? Sempat terpikir di benaknya, mungkin bukan Askara yang terkesan terlalu dalam tanda kutip friendly, tapi bisa saja dirinya sendiri yang terlalu perasa. Dia juga mungkin tipikal kaku dan tidak begitu luwes menanggapi candaan sosial semacam ini. Sebuah kesenjangan pemikiran, huh?!Tak mau berlarut-larut, Arina akhirnya mengembalikan fokusnya, "Jadi, apa yang perlu kita bahas, Pak Askara?" Tanyanya to the point.Askara masih meninggalkan dua tangannya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status