Share

4. Rencana Kerja Sama

Penulis: Estaruby
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-01 22:29:25

Setelah acara talkshow berakhir, para narasumber diarahkan menuju ruang makan eksklusif di dalam gedung rektorat. Rektor sendiri yang mengundang mereka untuk makan siang bersama sebagai bentuk apresiasi atas waktu dan wawasan yang telah dibagikan kepada para mahasiswa. Syukurnya, orang-orang sibuk tersebut masih menyanggupi dan mungkin tidak tengah terburu-buru untuk menghadiri kegiatan mereka yang lain.

Arina bersama dengan beberapa rekan dosen lainnya turut mengiringi. Menjamu para undangan dengan baik sekaligus mendengarkan arahan selanjutnya dari rektor mengenai kelanjutan atau hasil yang diharapkan dari talkshow kali ini.

Kegiatan bertajuk “Navigating the Future: Strategi Manajemen dan Konsultasi Bisnis di Era Digital" kali itu adalah sebuah talkshow nasional yang menjadi program dari fakultas manajemen. Menghadirkan narasumber ternama dari berbagai bidang terkait dan relevan sehingga bisa memberikan perspektif mereka dari berbagai sudut pandang.

Di antara para narasumber, ada Askara Danendra, seorang praktisi dengan pengalaman kerja yang luas di industri. Sepanjang acara, ia berhasil menyedot perhatian banyak peserta dengan pemaparan yang lugas dan berbobot, mencerminkan pengalamannya yang telah bertahun-tahun berkecimpung di dunia profesional. Tak luput, visualnya yang harus diakui memukau. Bahkan dalam sesi tanya jawab tadi, tak tanggung-tanggung ada mahasiswa yang menyelipkan pertanyaan tentang username media sosial pria tersebut.

Arina belum punya kesempatan untuk minta maaf lebih lanjut. Jujur, dia merasa sangat risih karena Askara sesekali masih terus menatapnya dengan jenis tatapan yang sulit diartikan. Terserah apakah orang akan menganggapnya terlalu percaya diri atau apa.

Saat hidangan mulai disajikan, suasana makan siang berlangsung hangat. Beberapa narasumber berdiskusi santai, membahas topik yang sempat mereka bahas di talkshow tadi. Rektor sesekali melontarkan pertanyaan, meminta pendapat mereka tentang bagaimana dunia akademik dapat lebih bersinergi dengan industri.

Askara, dengan sikapnya yang tenang namun penuh keyakinan, menyampaikan pemikirannya. “Kolaborasi antara kampus dan industri itu penting. Mahasiswa perlu lebih banyak mendapat exposure terhadap dunia kerja yang sebenarnya,” ujarnya.

Rektor mengangguk setuju. “Kami ingin mengembangkan program magang dan riset bersama dengan berbagai sektor industri. Mungkin Pak Askara bisa membantu membuka beberapa peluang kerja sama?”

Askara tersenyum tipis. Dia yang kini tengah fokus dengan perusahaan konsultasinya sendiri tentu menyambut baik rencana tersebut. “Tentu, Pak. Selalu ada ruang bagi talenta-talenta muda yang siap berkembang.”

Percakapan berlanjut, menciptakan peluang baru yang tak hanya menguntungkan mahasiswa, tetapi juga membuka kemungkinan kerja sama antara akademisi dan para profesional di industri.

“Bu Arina, selanjutnya saya minta tolong untuk follow up Pak Askara mengenai kelanjutan program kerja sama kita itu, ya. Terkait proposal dan lain sebagainya kan sudah kampus siapkan, tinggal menyesuaikan saja,” Rektor bahkan secara khusus menunjuk Arina untuk melakukan follow up pada Askara. Sesuatu yang sedikit tidaknya membuat Arina menjadi setengah kaget. Tapi mana bisa dia menolak?

“Baik, Pak,” Arina menerima pada akhirnya.

Wanita itu ingat dengan misinya. Maka setelah makan siang berakhir, buru-buru Arina mengejar targetnya.

“Permisi Pak Askara,” panggilnya. Askara yang bertubuh tinggi dan berjalan di depannya kini menoleh dan membalik badan saat mendapati presensi Arina menatap kearahnya.

“Pak Askara, boleh saya minta waktu sebentar?” suara Arina terdengar tegas namun tetap sopan.

 “Tentu, Bu Arina. Ada yang bisa saya bantu?”

Arina mengangguk, lalu melanjutkan, “Sesuai dengan perbincangan di ruangan tadi, kami di fakultas sedang merancang program magang bagi mahasiswa, dan saya ditugaskan untuk berkoordinasi dengan perusahaan Anda. Saya ingin mendiskusikan beberapa detail teknis, jika bapak berkenan.”

Lelaki itu memeriksa penanda waktu yang melingkar di pergelangan tangannya. Askara menatap Arina sesaat sebelum menjawab, nada suaranya tetap profesional, namun ada ketertarikan terselubung di sana. “Tentu saja. Saya sangat mendukung program ini.  Selain hari ini, kapan Anda punya waktu untuk pertemuan lebih lanjut?”

Arina sedikit terkejut dengan respons yang begitu cepat dan terbuka, tapi ia segera menyesuaikan diri. “Saya fleksibel, Pak. Mungkin bisa melalui email dulu untuk membahas agenda pertemuan?”

Bukannya langsung menyetujui, Askara malah mengeluarkan ponselnya dan menawarkannya kepada Arina. “Mungkin lebih praktis jika saya langsung menyimpan nomor Anda. Supaya komunikasi kita lebih lancar.”

Sejujurnya, Arina bisa saja langsung datang ke kantor Askara, bukan? Sebuah kehormatan baginya untuk bisa berkoordinasi langsung dengan tokoh seperti Askara. Arina sempat ragu sejenak, namun akhirnya mengetikkan nomornya. “Baik, Pak Askara.”

Pria itu menyimpan kontaknya, lalu menatap Arina dengan ekspresi sekilas yang sulit ditebak. “Terima kasih, Bu Arina. Nanti saya hubungi untuk atur jadwal, ya.”

Arina mengangguk sopan. Sementara itu Askara tersenyum tipis lagi, “Kalau begitu saya pamit, bu. Kebetulan ada klien yang harus saya temui,” ujar Askara

Lagi dan lagi Arina hanya dapat mengangguk bak tersihir. Namun beberapa detik kemudian, Arina kembali mengingat hal lain yang mengganggunya sejak tadi. Melihat Askara sudah hendak berjalan, Arina dengan cepat menyusul namun ternyata justru berakhir menabrak punggung laki-laki itu, lagi.

Arina menggosok hidungnya yang sakit, sementara Askara kembali berbalik dan mengernyit sebelah alis saat melihat Arina,

“Maaf Pak Aska, untuk yang tadi pagi, saya bahkan belum meminta maaf secara proper kepada Anda. Saya juga minta maaf karena kurang berhati-hati, lagi,” akunya tak enak hati.

“Bu Arina yakin tidak perlu periksa ke dokter? Saya curiga ibu ada glaukoma yakni tingginya tekanan pada bola mata yang menyebabkan rusaknya saraf optik secara perlahan dan menyebabkan seseorang sering tidak dapat melihat benda di sekitarnya karena penglihatannya menyempit hingga menyerupai melihat terowongan.”

Seingatnya, Askara ini Konsultan Bisnis, bukan tenaga kesehatan.

Arina mengernyit, sementara Askara melanjutkan, “Tapi mungkin masalah psikologis juga?”

Wanita itu berdehem canggung. Sejujurnya sedikit terusik karena kalimat Askara tersebut.

“Sekali lagi saya minta maaf, pak,” dia hanya menyerah akhirnya.

Mendengar kalimat tersebut, Askara hanya menyampaikan senyum kecil lanjutan, “Itu saja? Anda yakin tidak melakukan kesalahan lain selain itu?”

Pertanyaan dari Askara terang saja membuat Arina semakin berpikir keras. Dia tidak bisa menyembunyikan raut bingungnya. Memang kapan mereka bertemu? Atau mungkinkah selama talkshow tadi Arina melakukan kesalahan lainnya?

Melihat ekspresi Arina, Askara lagi dan lagi tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Pria itu melangkah selangkah lebih dekat. Mendekatkan tubuh mereka dalam jarak yang masih cukup aman namun juga berhasil menggelitik hidung Arina untuk menghirup lebih dekat aroma woody yang menguar dari Askara.

“Kamu benar-benar tidak ingat rupanya.”

Askara tersenyum tipis, "Baiklah, tidak apa-apa. Lagipula, itu bukan seratus persen kesalahan," sambungnya setengah berbisik lantas berjalan meninggalkan Arina yang semakin bingung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   26. Curhatan di Mobil

    Mobil melaju pelan di bawah cahaya matahari yang masih lumayan terik. Di dalam kabin, suasana hening untuk beberapa menit. Arina menggenggam setir dengan kedua tangan, pandangannya lurus ke depan, namun pikirannya masih tertinggal di lorong susu tempat mamanya Nindy berdiri dengan senyum tajam yang membekas. Syukurnya, dia masih cukup fokus untuk membaca rambu-rambu jalan dan traffic light yang menyala merah, perlahan berhenti.Di sampingnya, Dinara membuka ponsel. Ia ragu-ragu sejenak sebelum menoleh ke arah Arina. “Mbak… boleh aku tunjukin sesuatu nggak?” tanyanya pelan, hati-hati.Arina melirik singkat, lalu mengangguk. “Apa, Nar?”Dinara memutar layar ponselnya menghadap Arina. Terlihat akun Instagram Nindy, yang baru saja mengunggah foto prewedding-nya bersama Jefano. Mereka berpose di tepi danau, dengan gaun putih dan setelan jas krem yang sempurna. Namun bukan itu yang menarik perhatian—melainkan kolom komentarnya.Komentar demi komentar memenuhi layar. Bukan pujian. Tapi huja

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   25. Keluar Kandang Singa, Masuk Kandang Macan

    Semasih di kota asalnya, Arina seharian ini akan menghabiskan lebih banyak waktu bersama dengan keluarganya. Usai makan siang dengan percakapan menyebalkan yang mana dia jadi topik utamanya, Arina memilih untuk pergi menjemput salah satu adik sepupunya di tempat bimbingan belajar. Tidak jauh, mungkin sekitar lima belas menit berkendara kesana. Yah, hitung-hitung mencari udara segar sebelum kembali ditimpuk oleh celotehan menyebalkan dari tante-tantenya itu.Arina baru saja keluar dari kompleks rumahnya, menyalakan penunjuk arah supaya tidak salah jalan. Dia baru bisa bernafas sedikit lebih lega seiringan dengan suara keramaian di rumahnya yang semakin memudar karena dirinya telah bergerak jauh. "Nar, Mbak Arin yang bakal jemput. Kamu sudah selesai bimbelnya?" Arina bersuara saat berhasil menghubungi adik sepupunya disana."Lho, Mbak Arin lagi di rumah ya? Ini aku udah kelar sih kelasnya, paling mau ketemu tutor sebentar sebelum pulang," ujar Dinara diseberang panggilan.Arina mengang

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   24. Arina dan Keluarganya

    Akhir pekan minggu ini Arina akhirnya benar-benar menginjakkan kaki ke rumah orang tuanya setelah menyetir selama kurang lebih dua jam. Dua hari lalu via telepon, Arina sudah berjanji untuk berkunjung, terlebih dia mungkin sudah tidak pulang ke kampung halamannya ini selama kurang lebih dua bulan. Memilih untuk menempuh pendidikan dan bekerja di kota yang lebih besar, Arina tinggal di sebuah rumah sederhana yang dia bersama orang tuanya beli lima tahun yang lalu. Papa Arina berpikir akan lebih baik untuk membeli sebuah rumah dengan harga masuk akal di daerah tersebut sebab Arina kuliah dan bekerja disana. Selain itu, adik- adik sepupunya juga bisa tinggal disana nantinya kelak mereka kuliah atau bekerja. Biaya sewa indekos atau apartemen bagi keturunan mereka setidaknya tidak akan jadi masalah kedepannya. Begitu harapannya.Yah, lima tahun keluar dari rumah orang tuanya, Arina justru perlahan berubah jadi orang tua. Sebagai sulung di generasi cucu keluarga besarnya, Arina menjadi ibu

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   23. Salting Tipis

    "Jangan pernah melarang saya untuk mendekati kamu. Sederhana, bukan?"Arina meneguk kasar ludahnya sendiri kala mendengar permintaan Askara yang tak terdengar masuk akal baginya. Apapun alasan yang Askara sebutkan tadi, sama sekali tak mengubah persepsinya bahwa lelaki dihadapannya mungkin hanya tengah berusaha bermain-main dengannya. Apalagi seolah dengan memanfaatkan kejadian malam itu yang jelas berada diluar kendali dan kesadaran Arina. Arina mendengus, nafasnya jadi tak beraturan sebab mulai tersulut emosi. Bukankah ini berarti Askara berusaha untuk memanfaatkan dirinya sekarang? Arina merasa seolah-olah dia diperas dengan diperlakukan seperti ini. "T-tunggu dulu! Saya bukan wanita seperti yang Anda pikirkan," jawabnya impulsif.Satu alis Askara tergerak naik, "Menurutmu apa yang saya pikirkan tentang kamu memangnya?" Tanya Askara balik.Lidah Arina kelu, seolah keberaniannya tadi menciut dan bahkan memudar dengan mudahnya. Sekarang dia sama sekali tak punya jawaban yang dia ra

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   22. Sebuah Kesalahan?

    Askara menahan senyumnya melihat gestur perempuan yang entah sudah berapa kali singgah dalam mimpi-mimpi indahnya beberapa malam belakangan ini. Netra indah itu membulat dengan sempurna, pun bibir mungilnya yang menganga kala mendengar ucapan Askara yang harus dia akui cukup berbahaya itu. Sejujurnya, jangan tanya apakah Askara bahkan berani melakukan reka ulangnya itu. "Pak Askara!" Arina mundur selangkah dengan dua tangan mengapung di udara. Entah apa yang tengah gadis itu lakukan. Tapi di mata Askara, Arina hanya nampak menggemaskan.Mereka berdua kemudian terdiam sesaat, sebelum akhirnya Askara kembali membuka suara. "Jadi, apa pilihan kamu?"Arina menelan ludahnya sendiri dengan gugup. Wanita itu mulai mendapatkan kembali potongan bayangan yang justru kini membuatnya kikuk sendiri. Sejujurnya, dia bahkan belum bisa mempercayai Askara seratus persen. Jelas sekali terlihat dari gesture tubuhnya. Wanita itu bahkan ragu semua potongan itu adalah nyata.Tapi akhirnya, wanita dengan

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   21. Meminta Pertanggungjawaban

    Sebuah desiran halus menjalari tubuhnya. Terutama sebab netra yang saling tenggelam seolah menjajah kedalaman hati masing-masing berpadu dengan genggaman yang terasa menyengat. Suara dalam Askara yang melantunkan sebuah kalimat tanya memperparah kinerja otak Arina yang serasa melambat. Apa maksudnya?Seingatnya, ini adalah kali kedua Askara menyebutkan kalimat ini. Pertama saat mereka bertemu di kampus. Namun saat itu Arina tidak ambil pusing. Terlebih Askara seperti tidak juga memperpanjangnya. Tapi pria itu kali ini menyebutkannya lagi dan kali ini dari tatapannya seolah meminta sebuah jawaban. Senyumnya tipis, seperti menyimpan rahasia kecil yang baru akan ia buka. “Kamu pernah kesini karena tempat ini adalah tempat pertama kali kita bertemu.”Alisnya terangkat, Arina menatap Askara dengan ragu, tapi juga tak bisa mengabaikan detak jantungnya yang tiba-tiba berdentum lebih keras. Lorong itu memang familiar—tapi bukan hanya karena ruangannya, melainkan karena getaran yang kini kemba

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status