Setelah acara talkshow berakhir, para narasumber diarahkan menuju ruang makan eksklusif di dalam gedung rektorat. Rektor sendiri yang mengundang mereka untuk makan siang bersama sebagai bentuk apresiasi atas waktu dan wawasan yang telah dibagikan kepada para mahasiswa. Syukurnya, orang-orang sibuk tersebut masih menyanggupi dan mungkin tidak tengah terburu-buru untuk menghadiri kegiatan mereka yang lain.
Arina bersama dengan beberapa rekan dosen lainnya turut mengiringi. Menjamu para undangan dengan baik sekaligus mendengarkan arahan selanjutnya dari rektor mengenai kelanjutan atau hasil yang diharapkan dari talkshow kali ini.
Kegiatan bertajuk “Navigating the Future: Strategi Manajemen dan Konsultasi Bisnis di Era Digital" kali itu adalah sebuah talkshow nasional yang menjadi program dari fakultas manajemen. Menghadirkan narasumber ternama dari berbagai bidang terkait dan relevan sehingga bisa memberikan perspektif mereka dari berbagai sudut pandang.
Di antara para narasumber, ada Askara Danendra, seorang praktisi dengan pengalaman kerja yang luas di industri. Sepanjang acara, ia berhasil menyedot perhatian banyak peserta dengan pemaparan yang lugas dan berbobot, mencerminkan pengalamannya yang telah bertahun-tahun berkecimpung di dunia profesional. Tak luput, visualnya yang harus diakui memukau. Bahkan dalam sesi tanya jawab tadi, tak tanggung-tanggung ada mahasiswa yang menyelipkan pertanyaan tentang username media sosial pria tersebut.
Arina belum punya kesempatan untuk minta maaf lebih lanjut. Jujur, dia merasa sangat risih karena Askara sesekali masih terus menatapnya dengan jenis tatapan yang sulit diartikan. Terserah apakah orang akan menganggapnya terlalu percaya diri atau apa.
Saat hidangan mulai disajikan, suasana makan siang berlangsung hangat. Beberapa narasumber berdiskusi santai, membahas topik yang sempat mereka bahas di talkshow tadi. Rektor sesekali melontarkan pertanyaan, meminta pendapat mereka tentang bagaimana dunia akademik dapat lebih bersinergi dengan industri.
Askara, dengan sikapnya yang tenang namun penuh keyakinan, menyampaikan pemikirannya. “Kolaborasi antara kampus dan industri itu penting. Mahasiswa perlu lebih banyak mendapat exposure terhadap dunia kerja yang sebenarnya,” ujarnya.
Rektor mengangguk setuju. “Kami ingin mengembangkan program magang dan riset bersama dengan berbagai sektor industri. Mungkin Pak Askara bisa membantu membuka beberapa peluang kerja sama?”
Askara tersenyum tipis. Dia yang kini tengah fokus dengan perusahaan konsultasinya sendiri tentu menyambut baik rencana tersebut. “Tentu, Pak. Selalu ada ruang bagi talenta-talenta muda yang siap berkembang.”
Percakapan berlanjut, menciptakan peluang baru yang tak hanya menguntungkan mahasiswa, tetapi juga membuka kemungkinan kerja sama antara akademisi dan para profesional di industri.
“Bu Arina, selanjutnya saya minta tolong untuk follow up Pak Askara mengenai kelanjutan program kerja sama kita itu, ya. Terkait proposal dan lain sebagainya kan sudah kampus siapkan, tinggal menyesuaikan saja,” Rektor bahkan secara khusus menunjuk Arina untuk melakukan follow up pada Askara. Sesuatu yang sedikit tidaknya membuat Arina menjadi setengah kaget. Tapi mana bisa dia menolak?
“Baik, Pak,” Arina menerima pada akhirnya.
Wanita itu ingat dengan misinya. Maka setelah makan siang berakhir, buru-buru Arina mengejar targetnya.
“Permisi Pak Askara,” panggilnya. Askara yang bertubuh tinggi dan berjalan di depannya kini menoleh dan membalik badan saat mendapati presensi Arina menatap kearahnya.
“Pak Askara, boleh saya minta waktu sebentar?” suara Arina terdengar tegas namun tetap sopan.
“Tentu, Bu Arina. Ada yang bisa saya bantu?”
Arina mengangguk, lalu melanjutkan, “Sesuai dengan perbincangan di ruangan tadi, kami di fakultas sedang merancang program magang bagi mahasiswa, dan saya ditugaskan untuk berkoordinasi dengan perusahaan Anda. Saya ingin mendiskusikan beberapa detail teknis, jika bapak berkenan.”
Lelaki itu memeriksa penanda waktu yang melingkar di pergelangan tangannya. Askara menatap Arina sesaat sebelum menjawab, nada suaranya tetap profesional, namun ada ketertarikan terselubung di sana. “Tentu saja. Saya sangat mendukung program ini. Selain hari ini, kapan Anda punya waktu untuk pertemuan lebih lanjut?”
Arina sedikit terkejut dengan respons yang begitu cepat dan terbuka, tapi ia segera menyesuaikan diri. “Saya fleksibel, Pak. Mungkin bisa melalui email dulu untuk membahas agenda pertemuan?”
Bukannya langsung menyetujui, Askara malah mengeluarkan ponselnya dan menawarkannya kepada Arina. “Mungkin lebih praktis jika saya langsung menyimpan nomor Anda. Supaya komunikasi kita lebih lancar.”
Sejujurnya, Arina bisa saja langsung datang ke kantor Askara, bukan? Sebuah kehormatan baginya untuk bisa berkoordinasi langsung dengan tokoh seperti Askara. Arina sempat ragu sejenak, namun akhirnya mengetikkan nomornya. “Baik, Pak Askara.”
Pria itu menyimpan kontaknya, lalu menatap Arina dengan ekspresi sekilas yang sulit ditebak. “Terima kasih, Bu Arina. Nanti saya hubungi untuk atur jadwal, ya.”
Arina mengangguk sopan. Sementara itu Askara tersenyum tipis lagi, “Kalau begitu saya pamit, bu. Kebetulan ada klien yang harus saya temui,” ujar Askara
Lagi dan lagi Arina hanya dapat mengangguk bak tersihir. Namun beberapa detik kemudian, Arina kembali mengingat hal lain yang mengganggunya sejak tadi. Melihat Askara sudah hendak berjalan, Arina dengan cepat menyusul namun ternyata justru berakhir menabrak punggung laki-laki itu, lagi.
Arina menggosok hidungnya yang sakit, sementara Askara kembali berbalik dan mengernyit sebelah alis saat melihat Arina,
“Maaf Pak Aska, untuk yang tadi pagi, saya bahkan belum meminta maaf secara proper kepada Anda. Saya juga minta maaf karena kurang berhati-hati, lagi,” akunya tak enak hati.
“Bu Arina yakin tidak perlu periksa ke dokter? Saya curiga ibu ada glaukoma yakni tingginya tekanan pada bola mata yang menyebabkan rusaknya saraf optik secara perlahan dan menyebabkan seseorang sering tidak dapat melihat benda di sekitarnya karena penglihatannya menyempit hingga menyerupai melihat terowongan.”
Seingatnya, Askara ini Konsultan Bisnis, bukan tenaga kesehatan.
Arina mengernyit, sementara Askara melanjutkan, “Tapi mungkin masalah psikologis juga?”
Wanita itu berdehem canggung. Sejujurnya sedikit terusik karena kalimat Askara tersebut.
“Sekali lagi saya minta maaf, pak,” dia hanya menyerah akhirnya.
Mendengar kalimat tersebut, Askara hanya menyampaikan senyum kecil lanjutan, “Itu saja? Anda yakin tidak melakukan kesalahan lain selain itu?”Pertanyaan dari Askara terang saja membuat Arina semakin berpikir keras. Dia tidak bisa menyembunyikan raut bingungnya. Memang kapan mereka bertemu? Atau mungkinkah selama talkshow tadi Arina melakukan kesalahan lainnya?
Melihat ekspresi Arina, Askara lagi dan lagi tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Pria itu melangkah selangkah lebih dekat. Mendekatkan tubuh mereka dalam jarak yang masih cukup aman namun juga berhasil menggelitik hidung Arina untuk menghirup lebih dekat aroma woody yang menguar dari Askara.
“Kamu benar-benar tidak ingat rupanya.”
Askara tersenyum tipis, "Baiklah, tidak apa-apa. Lagipula, itu bukan seratus persen kesalahan," sambungnya setengah berbisik lantas berjalan meninggalkan Arina yang semakin bingung.
Jemari besar Askara menari di wajah Arina, membelainya lembut saat sekaligus membawanya bergerak lebih dekat guna menyatukan ranum keduanya. Bibir mereka bersentuhan lembut. Cukup lembut untuk mengirimkan sengatan-sengatan listrik pada sekujur tubuh keduanya. Dimulai dengan kecupan tipis, perlahan meningkat menjadi sedikit lebih menuntut dan panas. Jarak yang terus terpangkas dan tubuh keduanya yang kini merapat saling mendamba kehangatan. Suara decapan ikut memenuhi heningnya malam. Sepasang insan yang kini berusaha saling mendominasi. Intensitas pergerakan yang awalnya lembut dan bergerak menjadi semakin liar. Askara dengan mudah mengangkat tubuh Arina dalam gendongannya untuk dia boyong kembali masuk ke dalam rumah. Menggeser pintu kaca di balkon dengan sebelah kakinya dan langsung mendudukkan kembali wanitanya itu diatas tubuhnya yang terduduk di sofa.Arina diatasnya, mengalungkan lengannya di leher Askara. Meraup oksigen sebanyak yang dia bisa dalam waktu singkat hanya karena
Arina membalikkan badan untuk entah ke berapa kalinya malam itu. Tubuhnya terbaring di atas kasur king dengan lapisan pillow top super tebal yang terkenal bisa menopang tubuh sempurna dan memanjakan tulang punggung. Bahkan jika orang lain yang berbaring di sana, mungkin sudah terlelap dalam hitungan menit, tenggelam dalam empuknya busa premium yang berlapis lateks alami. Namun tidak dengan Arina.Bukannya merasa nyaman, ia justru gelisah. Bau sprei baru dan aroma ruangan yang masih asing menusuk hidungnya, membuatnya sadar bahwa ini bukan kamarnya sendiri. Rumah Askara terlalu besar, terlalu sunyi, terlalu mewah—semua terasa tidak akrab.Namun mungkin ini semua bukan hanya soal tempat. Ada yang mengganjal di dadanya, pikiran yang terus berputar hingga membuat jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia tidak mau mengakuinya, tapi kehadiran Askara—dan semua kemungkinan yang mungkin terjadi di antara mereka—membuat hatinya kacau.Rasanya seperti ada yang kurang.Hingga akhirnya, A
Menginjakkan kaki lagi di rumah yang kemarin baru saja dia jajaki. Arina terdiam sebelum memasuki pintu rumah. Kenapa dia hanya diam saja saat Askara memboyongnya kesini dengan alasan yang tidak sepenuhnya jelas?Pria itu sedang membuka kunci rumah saat Arina pada akhirnya tersadar dari lamunannya. Menatap punggung lelaki yang berdalih ingin menjaganya tapi justru menciptakan ruang bagi mereka untuk kikuk lagi. Berdiri disini, sama dengan pertanyaan kepalanya kemarin, mengapa dia menurut dengan begitu mudahnya. “Ayo masuk.”Askara memberi komando. Pria itu menoleh kearah Arina sebentar guna memastikan wanita itu benar-benar mengikuti arahannya. Anehnya, memang benar Arina menurut. Seperti dicucuk hidung dan kepalanya. Entah apa yang sebelumnya telah Askara perbuat padanya. Aroma ini lagi. Semakin terasa familar makin harinya. Sekarang Arina sudah tahu ini wangi siapa, Askara tentu saja. Pria itu meletakkan tas Arina yang dia tadi bantu bawa di meja ruang tamu. “Duduk sebentar! Ak
Suara derap kaki Jefan terdengar tergesa memasuki kamar, disusul dengan genggaman kuat pada lengan Nindy yang membuat perempuan itu terpaksa mengikutinya. Tanpa sepatah kata, Jefan menyeret istrinya melewati lorong rumah hingga tiba di kamar mereka. Pintu ditutup keras hingga menimbulkan suara dentuman."Apa kamu gila, Nindy?" desis Jefan dengan rahang mengeras, menatap Nindy penuh amarah. "Melabrak Arina di kampusnya? Kamu tahu berapa banyak orang yang melihat? Apa kamu sengaja mau mempermalukan aku di depan semua orang?"Nindy menepis tangannya, menatap Jefan dengan mata memerah. "Aku melakukan itu karena aku sakit hati! Kamu pikir aku bodoh? Aku tahu kamu masih menemui dia, masih memikirkan dia! Kamu suamiku, Jefan, bukan laki-laki Arina!"Wanita itu memegang perutnya, "Kamu bahkan nggak peduli lagi pada anak kita?"Jefan menyisir rambutnya dengan cepat dan kasar."Tutup mulutmu!" bentak Jefan, menunjuk wajah istrinya. "Kamu memalukan! Kamu kira dengan bertindak sembrono seperti it
Geram masih memenuhi jiwanya. Nindy mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. Selain karena upayanya untuk menghancurkan reputasi Arina dihalang-halangi, dia juga salah fokus dengan lelaki yang mengaku sebagai tunangan Arina. Siapa pria yang dengan gamblang membela Arina di depan umum seperti tadi? Di tengah kericuhan, Nindy masih sempat melirik kemeja slim fit dari Tom Ford dan Patek Philippe Nautilus berbalut rose gold yang melingkar di tangannya. Tak ketinggalan sepatu kulit oxford hitam dari John Lobb yang mengilap. Pria itu jelas bukan dari kalangan biasa. Seolah mencerminkan gaya seorang pria kaya yang tak perlu banyak bicara untuk menunjukkan posisinya.Apa sekarang? Setelah menikahi kekasih Arina yang dia pikir sudah paling kaya raya dan tampan itu, sekarang justru wanita itu dekat lagi dengan pria kaya lainnya? Bukankah hidup Arina benar-benar sangat beruntung?Apa yang dimiliki seorang Arina sampai hidupnya selalu dikelilingi pria-pria kaya yang memujanya seperti itu? Apa sp
Askara meraih tangan Arina dengan gerakan tegas, menuntunnya masuk ke dalam mobilnya tanpa banyak kata. Tidak peduli dengan bagaimana keramaian kampus menatap dan berbisik kearah mereka. Tangannya sedikit gemetar menahan emosi yang memuncak usai melihat Nindy melabrak Arina-nya di depan umum, menumpahkan hinaan yang bahkan tak layak diulang.Begitu pintu mobil tertutup, suasana hening hanya terisi desah napas keduanya yang masih berkejaran. Askara menatap Arina dengan sorot protektif yang sulit diterjemahkan. Sementara Arina, masih terkejut dan malu dengan insiden barusan, mencoba menarik tangannya yang masih digenggam erat.Hening tak bertahan lama. Arina kembali menatap Askara dan menyuarakan keheranannya."Apa maksudmu tadi, bilang aku ini tunanganmu?" tanya Arina dengan nada tertahan, campuran bingung dan tersinggung. Matanya menatap tajam, menuntut jawaban.Askara menunduk sejenak, meremas jari Arina. "Supaya dia berhenti merendahkanmu. Supaya semua orang tahu kamu bukan siapa-si