Beranda / Romansa / Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda / 36. Saya, Aku, dan Wedang Ronde

Share

36. Saya, Aku, dan Wedang Ronde

Penulis: Estaruby
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-19 10:39:13

Langit malam menggelap sempurna saat Arina dan Askara melangkah pelan dari angkringan sederhana menuju gerobak wedang ronde di seberang jalan. Meski masih mengenakan gaun dan kemeja sisa dari kondangan tadi, keduanya tampak tak peduli jadi tontonan. Justru ada semacam kebebasan yang menenangkan ketika berjalan di trotoar, menyatu dengan keramaian warga yang duduk-duduk menikmati makanan larut malam mereka.

"Wedang rondenya dua, Mas. Yang satu gak usah pake jahe terlalu pedas, ya," ujar Arina sambil tersenyum pada penjual.

Tak butuh waktu lama untuk pesanan itu tersaji ke meja. Askara mengeluarkan tangannya dari saku celana. "Dingin-dingin gini enaknya memang yang hangat-hangat," gumamnya sambil melirik Arina. "Termasuk obrolan yang hangat."

Arina tertawa pelan. Mereka duduk di bangku plastik kecil dekat gerobak, menyesap ronde perlahan. Uap hangat dari mangkuk menari di udara.

"Entah sudah berapa lama aku tidak menyantap wedang ronde," sambung Askara.

Arina tahu, namun sesuatu menggel
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ferinda Yanti
hahaha,,keluar dah kartu asnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   106. Menyerah

    Arina membuka pintu kamar perlahan, membiarkan cahaya pagi yang lembut menerobos masuk. Di dalam, Askara duduk di tepi ranjang—punggungnya membungkuk sedikit, siku bertumpu pada lutut, sementara jemarinya saling mengait dengan gelisah. Tatapannya kosong menembus lantai, namun di balik diamnya, masih ada sisa amarah yang belum reda.Arina menatapnya beberapa saat tanpa berkata apa-apa. Ia bisa merasakan betapa tegang udara di ruangan itu, seolah setiap tarikan napas Askara masih menahan bara dari pertemuan dengan Clarissa barusan.Pelan, ia melangkah mendekat. “Aku buatkan teh hangat, ya?” tanyanya lembut, sekadar memberi alasan untuk berbicara.Askara tak menjawab, hanya mengangguk kecil tanpa menatapnya. Arina tahu, ini bukan saatnya memaksa. Ia tahu Askara bukan tipe yang mudah menenangkan diri, apalagi setelah diseret kembali pada masa lalu yang penuh luka.Arina duduk di sisi ranjang, menjaga jarak cukup untuk memberi ruang, tapi cukup dekat agar kehadirannya terasa. “Kamu nggak p

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   105. Permohonan Bersyarat

    Askara terdiam cukup lama setelah Clarissa mengucapkan kalimat itu—tentang ibunya yang telah tiada tiga bulan lalu. Suara di ruang tamu seketika lenyap, hanya tersisa dengung samar dari jam dinding dan napas berat yang berusaha ia kendalikan.“Apa yang kamu bilang barusan?” tanyanya datar, tapi ada gemetar halus di ujung suaranya.Clarissa menunduk, jari-jarinya menggenggam erat ujung tas. “Mama… Mama sudah meninggal, Kar. Tiga bulan lalu. Sebelum pergi, beliau minta aku datang ke sini. Katanya, aku harus minta maaf padamu. Dia bilang... dia nggak ingin aku meninggal nanti dengan dosa karena membiarkan kesalahpahaman ini tetap ada.”Askara tertawa kecil—tawa getir yang terdengar seperti perih yang dipaksa keluar. Ia menatap Clarissa dengan sorot mata yang campur aduk antara marah, kecewa, dan lelah.“Jadi sekarang kamu datang ke sini karena wasiat?” suaranya meninggi sedikit. “Karena permintaan terakhir ibumu? Bukan karena kamu benar-benar menyesal?”Clarissa menatapnya, berusaha mena

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   104. Kita Butuh Bicara

    "Siapa yang berkunjung pagi-pagi?" Askara sedikit menggeram saat aktivitasnya terganggu. Sementara Arina sudah turun dari pangkuannya dan sedikit merapikan pakaian dan rambutnya yang diacak Askara.Apa mungkin keluarga Arina datang berkunjung pagi-pagi begini?Memikirkan bahwa mereka mungkin saja datang dan Arina tidak siap kalau mereka melihat Askara disini, Arina meminta Askara untuk bersembunyi di kamar mandi. Memaksanya meskipun Askara bilang dia akan muncul secara jantan dan menyambut keluarga Arina atau siapapun itu. Tapi tentu Arina punya pemahaman yang jauh berbeda. Setelah memastikan Askara masuk ke dalam kamar mandi, Arina bergegas keluar. Jantungnya berdegup kencang menyiapkan diri agar dirinya tidak nampak gugup di depan siapapun nanti.Pintu rumah itu terbuka perlahan, memperlihatkan Arina dengan rambut yang masih berantakan dan piyama yang belum sempat diganti. Udara pagi yang sejuk seketika terasa kaku begitu matanya menangkap sosok perempuan bergaun rapi di depan pint

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   103. Sarapan Sesungguhnya (+)

    Askara terbangun dengan kepala berat dan pandangan yang masih buram. Cahaya matahari menembus celah tirai kamar, menyentuh wajahnya yang tampak letih setelah semalaman masih memikirkan tentang pertengkarannya dengan sang ayah terus berputar di kepala.Ia mengusap wajahnya pelan, berusaha menenangkan diri. Saat memeriksa sisi ranjang, tempat di mana semalam Arina berbaring di sebelahnya, yang ia temukan hanyalah bantal yang sudah dingin. Kosong.Askara tahu benar rasanya kehilangan. Sedetik dia jadi agak panik merasakan kehampaan itu. Namun beberapa detik kemudian, aroma sedap menyapa penciumannya—perpaduan wangi roti panggang, telur, dan sedikit aroma kopi. Ada kehangatan yang menenangkan di udara, cukup untuk menarik Askara keluar dari lingkaran pikiran gelapnya.Ia bangkit dari tempat tidur, melangkah keluar kamar dengan langkah pelan. Suara spatula beradu dengan wajan terdengar dari arah dapur kecil. Di sana, Arina berdiri dengan rambut diikat seadanya, mengenakan oversized shirt

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   102. Giliran Arina

    Mobil meluncur tenang menembus jalanan malam kota yang mulai sepi. Lampu jalan bergantian menyorot wajah Askara dan Arina. Meskipun sudah sedikit lebih tenang, Arina dapat merasakan bahwa suasana di dalam mobil masih terasa berat. Askara menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras—sisa amarahnya terhadap sang ayah masih terasa jelas.Arina duduk di kursi penumpang, sesekali melirik ke arah Askara. Ia tahu betul kalau pria itu sedang berusaha menahan banyak hal di dalam dirinya.“Askara,” panggil Arina pelan setelah perjalanan sudah hampir setengah jalan.“Hmm?” sahut Askara tanpa menoleh.“Berhenti sebentar, ya. Di minimarket itu.”Askara melirik ke arah kanan, melihat minimarket 24 jam yang terang benderang di tengah sunyinya malam. Ia tak banyak bertanya, hanya membelokkan mobil ke parkiran dan mematikan mesin.“Aku ke dalam sebentar,” ucap Arina sambil melepas sabuk pengaman.Tak sampai lima menit, Arina kembali dengan dua botol minuman dingin—kopi kaleng kesukaan Askara dan susu st

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   101. Penenang

    Udara malam menyambut mereka dengan dingin yang menusuk, kontras dengan atmosfer ruang makan yang sebelumnya sesak dan tegang. Askara melangkah cepat melewati taman depan rumah tanpa menoleh ke belakang. Genggamannya pada tangan Arina kuat, nyaris seperti pegangan seseorang yang berusaha menahan ambruk.“Askara… pelan dulu,” suara Arina pelan, nyaris seperti bisikan.Askara akhirnya berhenti di dekat mobilnya, menarik napas dalam-dalam seolah mencoba meredam bara yang menggelegak di dalam dada. Ia memejamkan mata sejenak, kepalan tangannya bergetar.“Dia benar-benar… tidak pernah berubah,” gumamnya dengan suara berat. “Selalu saja… menganggap semua itu tidak penting. Seolah masa kecilku bukan apa-apa.”Arina berdiri di hadapannya, tak mencoba menyela. Ia tahu saat ini bukan waktu untuk banyak bicara.Askara mendongak, matanya berkaca-kaca namun sorotnya keras. “Kamu tahu… setiap kali melihat Clarissa, yang kuingat bukan masa bermain atau kenangan manis. Yang kuingat cuma suara pintu d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status