“Jefan selingkuh sama Nindy, kan?”
Arina hampir melotot saat tiba-tiba Silvia menelpon dan langsung menyambarnya dengan kalimat pembuka yang cukup pedas. Bukannya kaget tentang fakta tersebut, Arina jelas lebih kaget sebab Silvia mengetahui hal ini.
"Hah?!" Arina bingung membalas apa dan hanya bisa mengeluarkan sepatah kata dengan ragu.
Terdengar helaan nafas di seberang panggilan, "Nggak usah ditutup-tutupin segala! Lonte satu itu sudah spill semuanya di i*******m! Dia dengan bangga go public! Memposting carrousel menjijikkan tentang hubungannya dengan Jefan!" Terang Silvia.
Arina yang juga sambil membuka w******p web di laptop lantas membuka link yang Silvia kirimkan. Menunjukkan foto di akun I*******m dengan username nindyasalsa_ yang menampakkan foto mesra antara dirinya dengan Jefano. Dilengkapi dengan caption menjijikkan seolah mendeklarasikan hubungan resmi dengan Jefan sekarang.
"Pantas saja kemarin mabuk sampai separah itu! Kenapa nggak ngomong kemarin, sih?!" Kesal Silvia lagi.
Arina sembunyikan aib mantan kekasih dan sahabatnya, tapi justru mereka yang bongkar sendiri. Ya sudah, mau bagaimana lagi?
"Ya sudahlah, nggak penting juga," balas Arina lemah. Kontra dengan kalimatnya yang seolah tak peduli.
Silvia kembali menghela nafas, “Sekarang semua juga tahu kalau Jefan sudah bersama Nindy. Mungkin teman-teman kita juga akan langsung sadar bahwa jelas Nindy adalah orang ketiga dalam hubunganmu. Tapi, nggak sedikit juga yang berpikir bahwa kamu dan Jefan sudah lama berpisah. Yah, yang tahu-tahu saja,” ujar Silvia lagi.
Arina merenung. Memang dia dan Jefan bukan tipikal yang suka mengumbar hubungan mereka di media sosial. Bahkan sejak mereka kuliah dulu pun, hanya orang-orang di sekitar lingkungan pertemanan mereka saja yang tahu pasal kedekatan keduanya.
Tapi dengan Nindya? Jefan tidak tanggung-tanggung mau debut di akun media sosial wanita tersebut rupanya. Bahkan setelah memutuskannya secara sepihak semalam.
“Apa aku bilang? Nindy itu selalu berusaha menarik perhatian Jefan setiap mereka ketemu. Aku dan teman-teman yang lain bahkan sejujurnya nggak terlalu kaget saat melihat si selebgram wannabe ini posting foto dengan Jefan seperti sekarang ini,” tutur Silvia.
Arina mendengarkan dengan baik. Tapi wanita itu juga tidak bisa membalas apapun sebab masih kecewa dikhianati seperti ini.
“Berarti kalian sudah putus, kan? Lebih baik begitu! Apa sih poin menariknya si Jefan-Jefan itu selain kaya karena harta orang tua? Bahkan bisnisnya sekarang juga campur tangan ayahnya, kan? Dia nggak pernah kelihatan genuine selama menjalin hubungan sama kamu, dia juga sangat arogan seolah dirinya adalah yang paling tinggi. Kamu nggak bisa lagi tutup kuping saat aku dan yang lain menasehati kamu kalau pacarmu itu orang kaya norak yang bahkan nggak bisa diandalkan sama sekali!” Silvia sampai berbuih bicara cepat dengan penuh emosi. Memang sejak dahulu Silvia adalah orang yang paling menentang hubungan antara Arina dan Jefan. Katanya sayang sekali kalau Arina harus menikah dengan lelaki anak mama semacam itu.
Arina tersenyum sedikit, dia bahkan belum menceritakan semua yang dia dengar semalam pada Silvia. Akan separah apa kata-kata yang keluar dari mulut Silvia kalau sampai dia tahu detail percakapan dua manusia itu kemarin?
Tidak munafik, Arina masih merasakan sakit yang luar biasa. Maksudnya, jalinan hubungan bertahun-tahun kandas begitu saja dan Jefan bahkan langsung punya penggantinya. Atau mungkin tidak tepat disebut pengganti, melainkan hanya sekadar wanita baru.
Setelah hampir tiga hari tanpa saling berkabar, kekasihnya secara tiba-tiba memutuskan hubungan secara sepihak. Hanya melalui sebuah pesan w******p pula. Mereka sudah sama-sama ada di usia matang, hubungan yang dijalin sejak di bangku kuliah itu juga sudah ada pada tahap saling mengenalkan keluarga dan beberapa perbincangan menjurus pernikahan. Tentu seharusnya tidak semudah itu ‘selesai’, bukan?
“Kamu baru pulang bekerja, kan? Sudahlah kita nggak usah bahas ini lagi, ya!”
Kalimat tersebut Arina ucapkan setiap kali kekasihnya mulai mengungkit-ungkit kesalahannya di masa lalu. Arina tahu, mungkin memang benar dia sendiri yang menciptakan jarak diantara mereka hingga Jefano—kekasihnya jadi sedingin ini.“Kamu terlalu sibuk! Nggak ada waktu buat aku sama sekali!”
“Buat apa sih S2 keluar negeri? Emang harus banget kuliah diluar? Atau, emang harus banget kamu lanjut kuliah lagi? Harta keluargaku masih cukup untuk kita bahkan tujuh keturunan!”
“Aku bukannya nggak mendukung cita-cita kamu, tapi serius kamu yakin mau LDR?”
“Mamaku bilang, kamu nggak perlu bekerja setelah kita menikah! Kamu hanya perlu berada di rumah! Jadi apa yang sedang kamu perjuangkan ini?”
“Lihat? Setelah jadi dosen pun gaji kamu itu nggak sebanding dengan upaya kamu selama ini!”
“Nggak ada laki-laki manapun selain aku yang tahan akan sikap kamu yang begini!”
Arina mengusap air mata yang tiba-tiba saja meluncur deras di pipinya. Sejujurnya, rentetan perdebatan mereka itu sudah menjadi beban pikirannya beberapa bulan belakangan ini. Terutama saat Jefano benar-benar dengan tidak ragu lagi menunjukkan bahwa dia benar-benar muak dengannya. Makan malam mereka tiga hari yang lalu bukan sebuah pengecualian. Setelah sekian lama tak bertemu, keduanya justru berada di situasi yang tak menyenangkan. Apalagi kalau bukan sebab masih mendebatkan masalah yang sama?
Dia harus mengakui, dia merasa cukup bersalah saat menolak lamaran Jefan tiga tahun yang lalu. Hari itu, Arina telah melunturkan senyuman di bibir Jefan yang sangat antusias menyiapkan kejutan lamaran. Namun Arina menolaknya sebab dia ingin melanjutkan studinya di luar negeri terlebih dahulu. Apalagi, di usia 24 itu, Arina belum merasa siap untuk menikah.
Mungkin sejak itu juga, hubungan mereka jadi lebih dingin daripada sebelumnya. Puncaknya tentu sebulan belakangan dimana Jefan jadi semakin sulit dihubungi dan ditemui. Bahkan setiap Arina mencarinya ke kediamannya, pria itu tidak berada disana. Setiap mereka bicara, ujung-ujungnya pasti akan kembali membahas ketidaksiapan Arina untuk menikah itu. Hingga gong-nya mungkin adalah semalam. Pesan putus lewat w******p.
Tapi, Arina mungkin tidak sepenuhnya bersalah. Percakapan Jefan dengan Nindy kemarin—tepat di atas ranjang yang berdecit, menandakan bahwa mungkin saja Nindy sudah berhasil mengisi posisinya di sela kerenggangan hubungan mereka. Bukan satu atau dua hari, bisa saja sudah sejak bertahun-tahun lalu tapi Arina baru menyadarinya.
Ah, betapa bodohnya dia?
Askara terdiam cukup lama setelah Clarissa mengucapkan kalimat itu—tentang ibunya yang telah tiada tiga bulan lalu. Suara di ruang tamu seketika lenyap, hanya tersisa dengung samar dari jam dinding dan napas berat yang berusaha ia kendalikan.“Apa yang kamu bilang barusan?” tanyanya datar, tapi ada gemetar halus di ujung suaranya.Clarissa menunduk, jari-jarinya menggenggam erat ujung tas. “Mama… Mama sudah meninggal, Kar. Tiga bulan lalu. Sebelum pergi, beliau minta aku datang ke sini. Katanya, aku harus minta maaf padamu. Dia bilang... dia nggak ingin aku meninggal nanti dengan dosa karena membiarkan kesalahpahaman ini tetap ada.”Askara tertawa kecil—tawa getir yang terdengar seperti perih yang dipaksa keluar. Ia menatap Clarissa dengan sorot mata yang campur aduk antara marah, kecewa, dan lelah.“Jadi sekarang kamu datang ke sini karena wasiat?” suaranya meninggi sedikit. “Karena permintaan terakhir ibumu? Bukan karena kamu benar-benar menyesal?”Clarissa menatapnya, berusaha mena
"Siapa yang berkunjung pagi-pagi?" Askara sedikit menggeram saat aktivitasnya terganggu. Sementara Arina sudah turun dari pangkuannya dan sedikit merapikan pakaian dan rambutnya yang diacak Askara.Apa mungkin keluarga Arina datang berkunjung pagi-pagi begini?Memikirkan bahwa mereka mungkin saja datang dan Arina tidak siap kalau mereka melihat Askara disini, Arina meminta Askara untuk bersembunyi di kamar mandi. Memaksanya meskipun Askara bilang dia akan muncul secara jantan dan menyambut keluarga Arina atau siapapun itu. Tapi tentu Arina punya pemahaman yang jauh berbeda. Setelah memastikan Askara masuk ke dalam kamar mandi, Arina bergegas keluar. Jantungnya berdegup kencang menyiapkan diri agar dirinya tidak nampak gugup di depan siapapun nanti.Pintu rumah itu terbuka perlahan, memperlihatkan Arina dengan rambut yang masih berantakan dan piyama yang belum sempat diganti. Udara pagi yang sejuk seketika terasa kaku begitu matanya menangkap sosok perempuan bergaun rapi di depan pint
Askara terbangun dengan kepala berat dan pandangan yang masih buram. Cahaya matahari menembus celah tirai kamar, menyentuh wajahnya yang tampak letih setelah semalaman masih memikirkan tentang pertengkarannya dengan sang ayah terus berputar di kepala.Ia mengusap wajahnya pelan, berusaha menenangkan diri. Saat memeriksa sisi ranjang, tempat di mana semalam Arina berbaring di sebelahnya, yang ia temukan hanyalah bantal yang sudah dingin. Kosong.Askara tahu benar rasanya kehilangan. Sedetik dia jadi agak panik merasakan kehampaan itu. Namun beberapa detik kemudian, aroma sedap menyapa penciumannya—perpaduan wangi roti panggang, telur, dan sedikit aroma kopi. Ada kehangatan yang menenangkan di udara, cukup untuk menarik Askara keluar dari lingkaran pikiran gelapnya.Ia bangkit dari tempat tidur, melangkah keluar kamar dengan langkah pelan. Suara spatula beradu dengan wajan terdengar dari arah dapur kecil. Di sana, Arina berdiri dengan rambut diikat seadanya, mengenakan oversized shirt
Mobil meluncur tenang menembus jalanan malam kota yang mulai sepi. Lampu jalan bergantian menyorot wajah Askara dan Arina. Meskipun sudah sedikit lebih tenang, Arina dapat merasakan bahwa suasana di dalam mobil masih terasa berat. Askara menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras—sisa amarahnya terhadap sang ayah masih terasa jelas.Arina duduk di kursi penumpang, sesekali melirik ke arah Askara. Ia tahu betul kalau pria itu sedang berusaha menahan banyak hal di dalam dirinya.“Askara,” panggil Arina pelan setelah perjalanan sudah hampir setengah jalan.“Hmm?” sahut Askara tanpa menoleh.“Berhenti sebentar, ya. Di minimarket itu.”Askara melirik ke arah kanan, melihat minimarket 24 jam yang terang benderang di tengah sunyinya malam. Ia tak banyak bertanya, hanya membelokkan mobil ke parkiran dan mematikan mesin.“Aku ke dalam sebentar,” ucap Arina sambil melepas sabuk pengaman.Tak sampai lima menit, Arina kembali dengan dua botol minuman dingin—kopi kaleng kesukaan Askara dan susu st
Udara malam menyambut mereka dengan dingin yang menusuk, kontras dengan atmosfer ruang makan yang sebelumnya sesak dan tegang. Askara melangkah cepat melewati taman depan rumah tanpa menoleh ke belakang. Genggamannya pada tangan Arina kuat, nyaris seperti pegangan seseorang yang berusaha menahan ambruk.“Askara… pelan dulu,” suara Arina pelan, nyaris seperti bisikan.Askara akhirnya berhenti di dekat mobilnya, menarik napas dalam-dalam seolah mencoba meredam bara yang menggelegak di dalam dada. Ia memejamkan mata sejenak, kepalan tangannya bergetar.“Dia benar-benar… tidak pernah berubah,” gumamnya dengan suara berat. “Selalu saja… menganggap semua itu tidak penting. Seolah masa kecilku bukan apa-apa.”Arina berdiri di hadapannya, tak mencoba menyela. Ia tahu saat ini bukan waktu untuk banyak bicara.Askara mendongak, matanya berkaca-kaca namun sorotnya keras. “Kamu tahu… setiap kali melihat Clarissa, yang kuingat bukan masa bermain atau kenangan manis. Yang kuingat cuma suara pintu d
Suasana yang baru saja cair mendadak berubah kaku, tegang, dan dingin kembali, seolah kehadiran wanita itu menyapu habis kehangatan yang sempat tumbuh di meja makan itu.Kehadiran Clarissa di ambang pintu ruang makan sontak membuat keheningan menegang. Gaun elegan yang ia kenakan berayun ringan saat ia melangkah masuk, seolah kehadirannya memang sudah direncanakan. Senyum kecil terukir di bibirnya—senyum yang sulit dibaca apakah ramah, menantang, atau sekadar basa-basi.Askara seketika menegang. Tangannya yang menggenggam garpu berhenti di udara. Sorot matanya mengeras begitu melihat sosok yang sejak lama berusaha ia hindari. Dalam batinnya, ia mendesis pelan. Ayah benar-benar tidak berubah… selalu saja begini. Pria itu memang tidak pernah benar-benar mau memahami dirinya, bukan?Clarissa adalah anak dari wanita yang dulu menghancurkan keluarganya. Setiap kali menatap wajahnya, Askara seperti diseret kembali ke masa kecil—malam-malam penuh pertengkaran orang tuanya, suara pintu dibant