Langkah Arina terhenti begitu saja. Baru saja ia menekan tombol pada remote mobilnya, dan lampu hazard si putih miliknya itu berkedip menyala, dua sosok yang tak asing—dan sebenarnya paling ia hindari sekaligus sempat ia cari—muncul tepat di hadapannya.
Jefan dan Nindy.
Dua manusia yang dulu sempat menjadi bagian dari hidupnya. Satu sebagai cinta yang ia perjuangkan bertahun-tahun. Satu lagi sebagai teman yang dulu ia anggap saudara.
Dan kini? Mereka berdiri bergandengan tangan, dengan senyum menyebalkan yang menempel di wajah mereka seperti topeng murahan.
“Arina,” sapa Nindy dengan nada dibuat-buat ramah.
“Nggak nyangka kita ketemu di sini." Senyumnya dibuat terlalu lebar untuk terlihat tulus.
Arina hanya melirik Nindy dengan raut yang sudah pasti muak. Ia melirik sebelahnya, lelaki yang tujuh tahun belakangan mengisi hatinya. Kini justru membuang muka sembari memasukkan tangan ke dalam kantong. Seolah dia benar-benar sudah tak ingin lagi bertemu atau bahkan menjelaskan apapun pada Arina. Pengecut yang memutuskannya sepihak tanpa penjelasan dan bahkan memblokirnya.
Kalau saja hari itu Arina tidak mendengar semuanya, mungkin dia akan menangis darah mengemis penjelasan pada Jefan disini.
Tapi, Arina bukan wanita tanpa harga diri. Jefan mau bermain pura-pura tidak kenal begitu? Baik! Akan Arina ladeni dengan sebaik mungkin.
“Ya, dunia memang sempit ya,” jawab Arina dengan suara yang terdengar tanpa emosi. Berhasil membuat Jefan meliriknya sekilas. Mungkin berpikir bahwa Arina tidak memenuhi ekspektasinya itu.
Nindy melirik Arina dan Jefan secara bergantian, tidak lupa membubuhkan senyuman misterius yang menyebalkan di wajahnya.
"Senang bertemu dengan kamu disini. Tapi.. kamu sedang apa disini? Blind date?" Terkaan Nindy jelas dia tujukan untuk mengusik atau sekaligus meledek Arina. Namun sayang seribu sayang, Arina tidak akan memakan umpannya sama sekali.
Arina memiringkan kepala sedikit, menatap mereka seperti menatap dua karakter drama kelas rendah yang terlalu percaya diri memainkan peran.
Nindy tertawa pelan sembari menepuk manja lengan Jefan yang ia gelendoti, "Katanya coba-coba kencan buta adalah cara tercepat untuk move on. Tapi aku bercanda ya, Rin! Aku yakin kamu tidak akan ikut cara-cara seperti itu, lah! Kencan buta terlihat seperti bukan Arina sekali," Nindy sepertinya benar-benar hidup dalam imajinasinya sendiri. Tak cukup peka kah untuk melihat bahwa Arina bahkan sama sekali tidak peduli?
“Arina, aku harap apapun yang terjadi diantara kita tidak akan merenggangkan hubungan kita, ya. Kamu dan Jefan sudah lama berakhir. Apapun yang terjadi di masa lalu, biarlah berada disana," tambah Nindy yang sok bijak tapi jelas terdengar sangat menyebalkan.
Oh, ayolah! Siapa yang mau dia bohongi disini?!
Arina hanya mengangguk. Wanita itu bersiap untuk masuk ke dalam mobil, namun suara Nindy yang ditinggikan nampaknya berusaha mencegahnya pergi terlalu dini.
"Oh iya, Rin, kami disini sedang ada janji dengan vendor venue pernikahan." Nindy melirik Jefan yang sejak tadi hanya diam, "—apa ya namanya, sayang?" Tanyanya seolah setengah berpikir.
Jefan menggenggam tangan Nindy di lengannya, "Everlace Venue," jawabnya singkat.
Nindy mengangguk, "Nah iya, itu! Mereka punya ballroom baru yang dreamy banget buat lamaran—full glass wall, view citylight. Aku sama Jefan langsung jatuh cinta sama tempatnya.”
Nama yang tidak terdengar asing. Arina hanya mengembangkan senyuman miring teramat sangat tipis saat mendengarnya. Jelas, Everlace adalah venue yang selalu disebut-sebut oleh Jefan setiap kali mereka bicara soal pernikahan. Rupanya dia masih ingin melakukannya disana, huh?!
“Next week kami ketemu tim Vivencellaa Wedding Organizer, mereka katanya spesialisin konsep intimate luxury. Pokoknya kita pengen konsep elegan tapi tetap warm, bukan yang terlalu pasaran gitu.”
Nindy benar-benar berusaha mengomporinya dengan beragam too much information yang terdengar sangat memuakkan. Arina hanya bisa memasang senyuman tipis dan secara perlahan membuka pintu mobilnya tanpa menjawab sepatah kata pun. Dia tidak punya energi untuk meladeni dua manusia itu. Hanya tatapan datar dan senyum tipis seolah mengatakan, “That’s cute. You think I care.”
“Kalau venue-nya cocok, kami mau pakai Auroria Garden, yang di pinggiran kota itu lho. Outdoor, banyak lampu gantung. Duh, kebayang nggak sih jalan di altar pas matahari terbenam?”
Arina hanya tersenyum tipis, menyesuaikan tali tas di bahunya. Namun sejujurnya, ada sedikit cubitan di hatinya. Seluruh konsep itu terdengar sangat familiar. Rupanya Jefan memang tidak terlalu kreatif. Atau justru selama ini konsep yang dia agung-agungkan itu memang ide dari Nindy sebelumnya?
“Kebayang, tapi nggak penting," jawab Arina pada akhirnya. Jawaban tersebut membuat Jefan yang tadinya belagak cuek kini menatap Arina sinis secara terang-terangan.
"Eh?!" Nindy memasang wajah memelasnya pada Jefan.
"Rin, aku tahu kamu mungkin masih kesal atau bahkan iri pada perencanaan pesta pernikahan kami. Tapi aku sungguh gak mau hubungan kita jadi buruk. Aku harap, kamu bisa memberikan doa terbaik untuk perjalanan kami," ujarnya semakin tidak tahu malu.
Mendengarnya, Arina justru tertawa pelan. Dia menutup mulutnya dengan sebelah tangan sebelum kembali tersenyum. "Jangan berpikir terlalu berat, Nindy! Santai saja! Aku turut bahagia dengan persiapan pernikahan kalian. Aku senang sekali lihat kamu semangat begini," balasnya.
Dia melirik Jefan sebentar lalu langsung membuang muka acuh, "Semoga Jefan nggak berubah pikiran lagi di tengah jalan.”
Nindy terdiam sejenak, senyum lebarnya menegang tipis.
"Sudah, kan? Kalau kalian memang berniat mengundangku dan pernikahannya jadi, kirim saja undangannya! Rancang sebaik mungkin agar bisa jadi pesta yang mewah dan berkesan. Jangan lupa ada ego, mata-mata netizen untuk konten, dan harga diri keluarga kaya yang akan kalian bawa disana," ujarnya dengan sedikit penekanan di beberapa kata akhir.
Ia lalu masuk ke dalam mobil, menutup pintu dengan lembut—nyaris tanpa suara, namun lebih nyaring dari teriakan.
Dari balik kemudi, ia menatap ke depan. Jefan dan Nindy masih berdiri di sana, mencoba mempertahankan wajah bahagia yang mulai retak. Tapi Arina? Ia hanya menyalakan mesin, menarik napas sejenak, dan melajukan mobilnya—melewati mereka seperti melewati dua bayangan masa lalu yang tak lagi punya kuasa atasnya.
Sementara itu, pria tinggi bersandar dekat parkiran menyaksikan dan mendengar semuanya. Bibirnya tertarik untuk mengulas senyuman miring.
Askara terdiam cukup lama setelah Clarissa mengucapkan kalimat itu—tentang ibunya yang telah tiada tiga bulan lalu. Suara di ruang tamu seketika lenyap, hanya tersisa dengung samar dari jam dinding dan napas berat yang berusaha ia kendalikan.“Apa yang kamu bilang barusan?” tanyanya datar, tapi ada gemetar halus di ujung suaranya.Clarissa menunduk, jari-jarinya menggenggam erat ujung tas. “Mama… Mama sudah meninggal, Kar. Tiga bulan lalu. Sebelum pergi, beliau minta aku datang ke sini. Katanya, aku harus minta maaf padamu. Dia bilang... dia nggak ingin aku meninggal nanti dengan dosa karena membiarkan kesalahpahaman ini tetap ada.”Askara tertawa kecil—tawa getir yang terdengar seperti perih yang dipaksa keluar. Ia menatap Clarissa dengan sorot mata yang campur aduk antara marah, kecewa, dan lelah.“Jadi sekarang kamu datang ke sini karena wasiat?” suaranya meninggi sedikit. “Karena permintaan terakhir ibumu? Bukan karena kamu benar-benar menyesal?”Clarissa menatapnya, berusaha mena
"Siapa yang berkunjung pagi-pagi?" Askara sedikit menggeram saat aktivitasnya terganggu. Sementara Arina sudah turun dari pangkuannya dan sedikit merapikan pakaian dan rambutnya yang diacak Askara.Apa mungkin keluarga Arina datang berkunjung pagi-pagi begini?Memikirkan bahwa mereka mungkin saja datang dan Arina tidak siap kalau mereka melihat Askara disini, Arina meminta Askara untuk bersembunyi di kamar mandi. Memaksanya meskipun Askara bilang dia akan muncul secara jantan dan menyambut keluarga Arina atau siapapun itu. Tapi tentu Arina punya pemahaman yang jauh berbeda. Setelah memastikan Askara masuk ke dalam kamar mandi, Arina bergegas keluar. Jantungnya berdegup kencang menyiapkan diri agar dirinya tidak nampak gugup di depan siapapun nanti.Pintu rumah itu terbuka perlahan, memperlihatkan Arina dengan rambut yang masih berantakan dan piyama yang belum sempat diganti. Udara pagi yang sejuk seketika terasa kaku begitu matanya menangkap sosok perempuan bergaun rapi di depan pint
Askara terbangun dengan kepala berat dan pandangan yang masih buram. Cahaya matahari menembus celah tirai kamar, menyentuh wajahnya yang tampak letih setelah semalaman masih memikirkan tentang pertengkarannya dengan sang ayah terus berputar di kepala.Ia mengusap wajahnya pelan, berusaha menenangkan diri. Saat memeriksa sisi ranjang, tempat di mana semalam Arina berbaring di sebelahnya, yang ia temukan hanyalah bantal yang sudah dingin. Kosong.Askara tahu benar rasanya kehilangan. Sedetik dia jadi agak panik merasakan kehampaan itu. Namun beberapa detik kemudian, aroma sedap menyapa penciumannya—perpaduan wangi roti panggang, telur, dan sedikit aroma kopi. Ada kehangatan yang menenangkan di udara, cukup untuk menarik Askara keluar dari lingkaran pikiran gelapnya.Ia bangkit dari tempat tidur, melangkah keluar kamar dengan langkah pelan. Suara spatula beradu dengan wajan terdengar dari arah dapur kecil. Di sana, Arina berdiri dengan rambut diikat seadanya, mengenakan oversized shirt
Mobil meluncur tenang menembus jalanan malam kota yang mulai sepi. Lampu jalan bergantian menyorot wajah Askara dan Arina. Meskipun sudah sedikit lebih tenang, Arina dapat merasakan bahwa suasana di dalam mobil masih terasa berat. Askara menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras—sisa amarahnya terhadap sang ayah masih terasa jelas.Arina duduk di kursi penumpang, sesekali melirik ke arah Askara. Ia tahu betul kalau pria itu sedang berusaha menahan banyak hal di dalam dirinya.“Askara,” panggil Arina pelan setelah perjalanan sudah hampir setengah jalan.“Hmm?” sahut Askara tanpa menoleh.“Berhenti sebentar, ya. Di minimarket itu.”Askara melirik ke arah kanan, melihat minimarket 24 jam yang terang benderang di tengah sunyinya malam. Ia tak banyak bertanya, hanya membelokkan mobil ke parkiran dan mematikan mesin.“Aku ke dalam sebentar,” ucap Arina sambil melepas sabuk pengaman.Tak sampai lima menit, Arina kembali dengan dua botol minuman dingin—kopi kaleng kesukaan Askara dan susu st
Udara malam menyambut mereka dengan dingin yang menusuk, kontras dengan atmosfer ruang makan yang sebelumnya sesak dan tegang. Askara melangkah cepat melewati taman depan rumah tanpa menoleh ke belakang. Genggamannya pada tangan Arina kuat, nyaris seperti pegangan seseorang yang berusaha menahan ambruk.“Askara… pelan dulu,” suara Arina pelan, nyaris seperti bisikan.Askara akhirnya berhenti di dekat mobilnya, menarik napas dalam-dalam seolah mencoba meredam bara yang menggelegak di dalam dada. Ia memejamkan mata sejenak, kepalan tangannya bergetar.“Dia benar-benar… tidak pernah berubah,” gumamnya dengan suara berat. “Selalu saja… menganggap semua itu tidak penting. Seolah masa kecilku bukan apa-apa.”Arina berdiri di hadapannya, tak mencoba menyela. Ia tahu saat ini bukan waktu untuk banyak bicara.Askara mendongak, matanya berkaca-kaca namun sorotnya keras. “Kamu tahu… setiap kali melihat Clarissa, yang kuingat bukan masa bermain atau kenangan manis. Yang kuingat cuma suara pintu d
Suasana yang baru saja cair mendadak berubah kaku, tegang, dan dingin kembali, seolah kehadiran wanita itu menyapu habis kehangatan yang sempat tumbuh di meja makan itu.Kehadiran Clarissa di ambang pintu ruang makan sontak membuat keheningan menegang. Gaun elegan yang ia kenakan berayun ringan saat ia melangkah masuk, seolah kehadirannya memang sudah direncanakan. Senyum kecil terukir di bibirnya—senyum yang sulit dibaca apakah ramah, menantang, atau sekadar basa-basi.Askara seketika menegang. Tangannya yang menggenggam garpu berhenti di udara. Sorot matanya mengeras begitu melihat sosok yang sejak lama berusaha ia hindari. Dalam batinnya, ia mendesis pelan. Ayah benar-benar tidak berubah… selalu saja begini. Pria itu memang tidak pernah benar-benar mau memahami dirinya, bukan?Clarissa adalah anak dari wanita yang dulu menghancurkan keluarganya. Setiap kali menatap wajahnya, Askara seperti diseret kembali ke masa kecil—malam-malam penuh pertengkaran orang tuanya, suara pintu dibant