Restoran itu belum terlalu ramai saat Arina datang, tepat pukul delapan malam. Ia mengenakan blazer abu lembut dan celana panjang hitam, tampak rapi dan profesional meski sempat tergesa dari kampus. Sejenak ia melirik arlojinya, lalu matanya menangkap sosok pria yang duduk di meja pojok dekat jendela—Askara.
Restoran itu temaram dan tenang, lampu gantung berpendar lembut di atas meja-meja kayu elegan yang tertata rapi. Askara sudah duduk sambil membuka proposal kerjasama dari Universitas. Saat melihat Arina mendekat, ia segera berdiri dan menyambutnya dengan senyum ramah.
Sebenarnya, janji temu pada awalnya dijadwalkan pukul lima sore. Tapi Askara mendadak memindahkan waktunya sebab dia ada pertemuan penting yang mendadak dan tidak bisa ditinggalkan. Sembari menunggu waktu dan konfirmasi lokasi, Arina melanjutkan pekerjaannya di kampus.
Pemilik perusahaan konsultan bisnis itu berdiri dan menyambutnya dengan sopan. Arina membalas dengan senyum ramah sebelum keduanya duduk. Di hadapan mereka ada proposal kerjasama dari universitas, sebuah upaya untuk menjalin kemitraan agar mahasiswa bisa magang dan belajar langsung dari dunia profesional.
“Selamat malam, Bu Arina. Silakan duduk.”
“Selamat malam, Pak Askara. Maaf jika sedikit terlambat,” ujar Arina, meletakkan tas di pangkuannya sambil tersenyum sopan.
Askara menggeleng, “Saya yang minta maaf Bu Arina. Terpaksa memundurkan jadwal sebab pertemuan tadi tidak bisa saya abaikan juga," ujarnya.
Arina tersenyum tipis. Dia tidak menyalahkan Askara atas situasi tadi. Wajar saja jika Askara punya banyak kesibukan. Sudah sangat bersyukur lelaki tersebut masih mempertimbangkan serius rencana kerja sama antara perusahaannya dengan universitas. Apalagi, atur ulang jadwal tadi tidak sepenuhnya mendadak. Setidaknya Askara telah mengatakannya dua jam sebelumnya sehingga syukur Arina belum jalan ke lokasi yang awalnya ditentukan.
"Tidak masalah kalau kita berdiskusi sambil makan malam, bukan?" Tanya Askara yang diangguki lembut oleh Arina.
Askara memberikan senyuman tipis. Dia melirik ke arah pelayan yang sedang lewat dan memberi isyarat. Pelayan muda itu segera menghampiri.
“Silakan pesan dulu. Bu Arina mau makan apa malam ini?” tanya Askara sambil menyerahkan buku menu.
Arina membaca sebentar lalu menoleh. “Saya pesan Grilled Salmon with Lemon Butter Sauce.”
“Pilihan yang bagus,” kata Askara, lalu memalingkan wajah ke pelayan. “Satu Grilled Salmon untuk Ibu ini, dan saya pesan Wagyu Striploin Medium Rare dengan mashed potato dan mushroom sauce. Untuk minum, saya teh hangat saja. Bu Arina?”
“Saya lemon infused water saja," jawab Arina.
Setelah pesanan dicatat dan pelayan pergi, keduanya duduk lebih santai.
“Terima kasih sudah bersedia bertemu malam-malam begini dan meluangkan waktu di sela kesibukan Bapak. Anda harus berangkat besok pagi, tapi masih meluangkan waktu untuk proyek ini,” ujar Arina memulai.
“Justru saya yang berterima kasih. Proposal dari universitas cukup menarik. Saya lihat program magangnya cukup terstruktur. Mahasiswa sekarang sudah bisa ditempa di lapangan sejak dini, ya?”
Arina mengangguk. “Iya, kami memang dorong mahasiswa untuk langsung bersentuhan dengan dunia kerja. Tapi tentu, kami tetap selektif soal tempat magangnya. Perusahaan Bapak termasuk salah satu yang kami nilai punya kapabilitas dan lingkungan belajar yang tepat.”
Askara tersenyum tipis. “Kami juga butuh talenta muda. Banyak hal yang bisa dibagi—dan dipelajari juga dari generasi baru.”
Tanpa sadar Arina tersenyum, itu membuat Askara yang memang sejak awal tidak melepaskan pandangan darinya jadi sangat tertarik.
Menyadarinya, Arina dengan cepat mengklarifikasi, "Maaf, anda membuatnya terdengar seperti ada perbedaan generasi yang cukup jauh. Saya rasa, Pak Askara bahkan tidak perlu terlalu khawatir soal itu karena Anda sendiri bahkan terlihat dan tergolong masih sangat muda," ujarnya. Takut responnya tadi menjadi boomerang dan malah disalah artikan oleh Askara.
Mendengar hal tersebut, Askara jadi makin menarik sudut bibirnya, "Sejujurnya, beberapa teman saya mengatakan bahwa pikiran saya jauh lebih tua dari usia saya sebenarnya. Jadi, saya cukup terbiasa dianggap tua," tuturnya yang malah membuat Arina tertawa kecil.
Pemandangan tersebut tidak lepas dari penglihatan Askara Danendra. Mata elang itu merekam dengan jelas setiap ekspresi yang Arina munculkan. Arina sampai beberapa kali membuang muka canggung.
Tak lama, makanan datang dan aroma hangat salmon panggang serta daging wagyu memenuhi udara. Mereka mulai menyantap dengan tenang, tapi percakapan tetap berlanjut.
“Kalau boleh tahu,” tanya Askara di sela menyendok mashed potato, “berapa lama biasanya mahasiswa magang di tempat magang lainnya?”
“Empat bulan. Tapi bisa diperpanjang jika perusahaan merasa cocok dan mahasiswa mampu mengikuti ritmenya.”
Askara mengangguk, “Baik. Kami bisa siapkan mentor untuk dua atau tiga mahasiswa. Saya sendiri juga tertarik turun langsung kalau ada waktu.”
“Wah, itu akan jadi pengalaman luar biasa untuk mereka,” ujar Arina sambil tersenyum, lalu memotong sedikit salmonnya. Bibirnya mengguratkan senyum puas. Sejujurnya, Arina tidak pilih-pilih soal makanan. Tapi tentu dia akan makin bahagia saat dapat merasakan makanan yang jelas lezat.
Askara menyadarinya, "Bagaimana? Apakah makanan disini memenuhi selera Anda?"
Tanpa perlu lama berpikir, Arina mengangguk, Tentu. Terutama lemon sauce-nya yang segar sekali,” ujarnya.
Askara mengangguk sambil meneguk tehnya. “Syukurlah jika Anda menyukainya. Masakan di sini memang selalu konsisten. Itu sebabnya saya pilih tempat ini.”
Malam itu, mereka membicarakan banyak hal—mulai dari teknis pelaksanaan magang, pembagian mentor, durasi, hingga standar evaluasi yang akan digunakan. Askara menjelaskan dengan tenang namun detail. Arina mencatat sambil sesekali bertanya, menunjukkan ketertarikannya terhadap kesiapan perusahaan dalam membimbing mahasiswa.
Percakapan mereka berlangsung cair, kadang diselingi tawa kecil saat keduanya saling melempar komentar ringan. Meski awalnya terasa formal, suasana perlahan mencair. Arina tak menyangka, pembicaraan yang awalnya sekadar urusan kampus bisa membuatnya begitu larut dalam diskusi. Askara, meski berwibawa dan tegas, ternyata sangat terbuka dan punya cara berpikir yang visioner.
Malam terus bergulir, dan suasana makan malam itu perlahan berubah dari urusan administrasi menjadi obrolan penuh insight dan saling menghargai. Di balik proposal dan dokumen, tampak ada kesamaan cara pandang antara Askara dan Arina—bahwa membentuk generasi baru bukan sekadar soal transfer ilmu, tapi tentang menciptakan ruang untuk tumbuh bersama.
Saat akhirnya mereka menutup pembicaraan, jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Proposal kerjasama sudah berada di tangan Askara, siap untuk ditinjau bersama timnya. Sementara Arina, malam itu pulang bukan hanya dengan kepastian kerjasama yang positif, tetapi juga dengan kesan baru terhadap sosok Askara—seorang profesional yang tahu betul bagaimana membangun masa depan lewat kemitraan.
Arina masih tersenyum sampai akhirnya perlahan ekspresi wajahnya kembali datar. Tepat di depan mobilnya, dua pasang mata menatapnya dengan remeh.
Askara terdiam cukup lama setelah Clarissa mengucapkan kalimat itu—tentang ibunya yang telah tiada tiga bulan lalu. Suara di ruang tamu seketika lenyap, hanya tersisa dengung samar dari jam dinding dan napas berat yang berusaha ia kendalikan.“Apa yang kamu bilang barusan?” tanyanya datar, tapi ada gemetar halus di ujung suaranya.Clarissa menunduk, jari-jarinya menggenggam erat ujung tas. “Mama… Mama sudah meninggal, Kar. Tiga bulan lalu. Sebelum pergi, beliau minta aku datang ke sini. Katanya, aku harus minta maaf padamu. Dia bilang... dia nggak ingin aku meninggal nanti dengan dosa karena membiarkan kesalahpahaman ini tetap ada.”Askara tertawa kecil—tawa getir yang terdengar seperti perih yang dipaksa keluar. Ia menatap Clarissa dengan sorot mata yang campur aduk antara marah, kecewa, dan lelah.“Jadi sekarang kamu datang ke sini karena wasiat?” suaranya meninggi sedikit. “Karena permintaan terakhir ibumu? Bukan karena kamu benar-benar menyesal?”Clarissa menatapnya, berusaha mena
"Siapa yang berkunjung pagi-pagi?" Askara sedikit menggeram saat aktivitasnya terganggu. Sementara Arina sudah turun dari pangkuannya dan sedikit merapikan pakaian dan rambutnya yang diacak Askara.Apa mungkin keluarga Arina datang berkunjung pagi-pagi begini?Memikirkan bahwa mereka mungkin saja datang dan Arina tidak siap kalau mereka melihat Askara disini, Arina meminta Askara untuk bersembunyi di kamar mandi. Memaksanya meskipun Askara bilang dia akan muncul secara jantan dan menyambut keluarga Arina atau siapapun itu. Tapi tentu Arina punya pemahaman yang jauh berbeda. Setelah memastikan Askara masuk ke dalam kamar mandi, Arina bergegas keluar. Jantungnya berdegup kencang menyiapkan diri agar dirinya tidak nampak gugup di depan siapapun nanti.Pintu rumah itu terbuka perlahan, memperlihatkan Arina dengan rambut yang masih berantakan dan piyama yang belum sempat diganti. Udara pagi yang sejuk seketika terasa kaku begitu matanya menangkap sosok perempuan bergaun rapi di depan pint
Askara terbangun dengan kepala berat dan pandangan yang masih buram. Cahaya matahari menembus celah tirai kamar, menyentuh wajahnya yang tampak letih setelah semalaman masih memikirkan tentang pertengkarannya dengan sang ayah terus berputar di kepala.Ia mengusap wajahnya pelan, berusaha menenangkan diri. Saat memeriksa sisi ranjang, tempat di mana semalam Arina berbaring di sebelahnya, yang ia temukan hanyalah bantal yang sudah dingin. Kosong.Askara tahu benar rasanya kehilangan. Sedetik dia jadi agak panik merasakan kehampaan itu. Namun beberapa detik kemudian, aroma sedap menyapa penciumannya—perpaduan wangi roti panggang, telur, dan sedikit aroma kopi. Ada kehangatan yang menenangkan di udara, cukup untuk menarik Askara keluar dari lingkaran pikiran gelapnya.Ia bangkit dari tempat tidur, melangkah keluar kamar dengan langkah pelan. Suara spatula beradu dengan wajan terdengar dari arah dapur kecil. Di sana, Arina berdiri dengan rambut diikat seadanya, mengenakan oversized shirt
Mobil meluncur tenang menembus jalanan malam kota yang mulai sepi. Lampu jalan bergantian menyorot wajah Askara dan Arina. Meskipun sudah sedikit lebih tenang, Arina dapat merasakan bahwa suasana di dalam mobil masih terasa berat. Askara menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras—sisa amarahnya terhadap sang ayah masih terasa jelas.Arina duduk di kursi penumpang, sesekali melirik ke arah Askara. Ia tahu betul kalau pria itu sedang berusaha menahan banyak hal di dalam dirinya.“Askara,” panggil Arina pelan setelah perjalanan sudah hampir setengah jalan.“Hmm?” sahut Askara tanpa menoleh.“Berhenti sebentar, ya. Di minimarket itu.”Askara melirik ke arah kanan, melihat minimarket 24 jam yang terang benderang di tengah sunyinya malam. Ia tak banyak bertanya, hanya membelokkan mobil ke parkiran dan mematikan mesin.“Aku ke dalam sebentar,” ucap Arina sambil melepas sabuk pengaman.Tak sampai lima menit, Arina kembali dengan dua botol minuman dingin—kopi kaleng kesukaan Askara dan susu st
Udara malam menyambut mereka dengan dingin yang menusuk, kontras dengan atmosfer ruang makan yang sebelumnya sesak dan tegang. Askara melangkah cepat melewati taman depan rumah tanpa menoleh ke belakang. Genggamannya pada tangan Arina kuat, nyaris seperti pegangan seseorang yang berusaha menahan ambruk.“Askara… pelan dulu,” suara Arina pelan, nyaris seperti bisikan.Askara akhirnya berhenti di dekat mobilnya, menarik napas dalam-dalam seolah mencoba meredam bara yang menggelegak di dalam dada. Ia memejamkan mata sejenak, kepalan tangannya bergetar.“Dia benar-benar… tidak pernah berubah,” gumamnya dengan suara berat. “Selalu saja… menganggap semua itu tidak penting. Seolah masa kecilku bukan apa-apa.”Arina berdiri di hadapannya, tak mencoba menyela. Ia tahu saat ini bukan waktu untuk banyak bicara.Askara mendongak, matanya berkaca-kaca namun sorotnya keras. “Kamu tahu… setiap kali melihat Clarissa, yang kuingat bukan masa bermain atau kenangan manis. Yang kuingat cuma suara pintu d
Suasana yang baru saja cair mendadak berubah kaku, tegang, dan dingin kembali, seolah kehadiran wanita itu menyapu habis kehangatan yang sempat tumbuh di meja makan itu.Kehadiran Clarissa di ambang pintu ruang makan sontak membuat keheningan menegang. Gaun elegan yang ia kenakan berayun ringan saat ia melangkah masuk, seolah kehadirannya memang sudah direncanakan. Senyum kecil terukir di bibirnya—senyum yang sulit dibaca apakah ramah, menantang, atau sekadar basa-basi.Askara seketika menegang. Tangannya yang menggenggam garpu berhenti di udara. Sorot matanya mengeras begitu melihat sosok yang sejak lama berusaha ia hindari. Dalam batinnya, ia mendesis pelan. Ayah benar-benar tidak berubah… selalu saja begini. Pria itu memang tidak pernah benar-benar mau memahami dirinya, bukan?Clarissa adalah anak dari wanita yang dulu menghancurkan keluarganya. Setiap kali menatap wajahnya, Askara seperti diseret kembali ke masa kecil—malam-malam penuh pertengkaran orang tuanya, suara pintu dibant