MasukPintu tersembunyi di balik lukisan di sudut ruangan terbuka perlahan. Bukan ancaman bersenjata.Seorang pria paruh baya, rapi dan berwajah lelah, berjalan keluar. Dia adalah kepala keamanan Giovano, Tuan Aris."Tuan Dirgantara, Nyonya Dirgantara." Aris menyapa, nadanya mendesak. "Kami berhasil melacak pengirim pesan Ratih. Itu bukan dari luar. Itu dari... dalam kota ini."Giovano dan Zara berdiri serentak."Siapa?" tuntut Giovano.Aris menggeleng. "Kami tidak tahu identitasnya. Tapi kami menemukan di mana bibi Nyonya Zara ditahan. Itu bukan fasilitas perawatan, Tuan. Itu adalah tempat penahanan tersembunyi yang dibiayai oleh sebuah yayasan amal palsu."Aris menunjuk ke layar hologram. Sebuah peta muncul, menampilkan lokasi yang dikelilingi oleh bangunan-bangunan mewah."Yayasan itu bernama 'Bina Sejahtera Abadi'. Pengurusnya adalah seorang wanita bernama Sinta."Zara tersentak. Ia tahu nama itu. Sinta adalah wanita yang mengurus pemindahan dan semua administrasi bibinya, mengklaim dir
Giovano mendekat, mencengkeram bahu Zara dengan desakan yang bukan lagi bersifat mesra, melainkan menuntut jawaban."Istriku, jawab aku," desak Giovano, matanya tajam. "Siapa 'bibimu'? Dan apa urusannya dengan rumah sakit?"Zara menarik napas dalam, membebaskan bahunya dari cengkeraman Giovano. Rasa terkejut bercampur marah karena Ratih telah menyeret masa lalunya yang paling pribadi."Bukan urusanmu," balas Zara dingin. "Kontrak kita fokus pada hak paten, bukan pada riwayat kesehatan keluargaku. Ratih hanya mengarang.""Mengarang?" Giovano menunjuk layar. "Ratih bukan sekadar pelayan yang cemburu. Dia adalah intelijen yang ditanam. Kalau dia tahu tentang bibimu, artinya itu adalah titik lemah yang akan dieksploitasi." Giovano menurunkan suaranya, memaksanya terdengar meyakinkan. "Aku suamimu. Aku akan melindungimu. Tapi untuk itu, aku butuh informasi. Siapa bibimu?"Zara menatap mata Giovano, menyadari bahwa ia tidak bisa lagi menyembunyikan masa lalunya jika ingin bertahan."Bibiku,
"Itu adalah cara untuk menyimpan dana tanpa dianggap sebagai 'kas' yang bisa disita," potong Zara cepat. Matanya menunjuk langsung pada angka tertentu di layar. "Dan laporan paten yang diajukan di sini, meski belum disetujui, sudah mencatat pengeluaran. Artinya,?nilai nyata perusahaan lebih tinggi dari yang tercantum di pasar!"Giovano bersandar, senyumnya menyebar. "Tepat sekali. Selamat, Nyonya Dirgantara. Kamu tidak hanya membaca, kamu berpikir seperti CEO."Pengakuan itu terasa lebih manis daripada ciuman yang mendebarkan di terowongan. Zara merasakan dorongan baru, bukan hanya untuk bertahan hidup, tetapi untuk membuktikan diri."Sekarang, aku ingin kamu melihat Laporan Keuangan PT. Kencana Alam," kata Giovano, menampilkan data perusahaan rival utama mereka—milik Heru."Kenapa kita lihat punya dia?" tanya Zara, alisnya berkerut."Karena kalau kamu tahu cara memalsukan data agar terlihat buruk, kamu juga tahu cara memalsukan data agar terlihat sempurna," jawab Giovano, senyumnya d
Giovano menembak, tetapi tembakan itu meleset tipis, menggores dinding batu di samping kepala pria bertopeng itu. Pria itu, yang bergerak cepat, berbalik, mengokang dan mengarahkan senapan serbu ke arahnya.Zara, tanpa berpikir, bertindak murni atas dorongan adrenalin dan kemarahan. Ia meremas barang yang paling dekat di tangannya—buku nikah—dan melemparkannya seperti frisbee resmi ke wajah pria bertopeng itu.Benda suci dan legal itu mendarat tepat di antara kedua matanya dengan bunyi ‘pak!’ yang sumbang.Pria itu tersentak kaget. Bukan rasa sakit, tetapi kejutan, karena dilempari oleh sebuah dokumen hukum yang terikat pita. Itu memberi Giovano celah sepersekian detik yang ia butuhkan.DUAR!Giovano melepaskan tembakan kedua. Peluru itu menghantam bahu pria bertopeng itu. Pria itu menjerit pendek, menjatuhkan senapannya ke lantai kayu, dan mundur dengan kikuk, meluncur kembali ke luar jendela.Zara berlari kembali ke Giovano, terengah-engah, dengan tangan gemetar meraih buku nikah ya
Giovano menggeser punggungnya dari sandaran sofa, kedua bahu tegap, matanya menatap Zara lurus-lurus. "Mulai belajar kelas intensif."Zara mengembuskan napas panjang, bahunya merosot ke bawah. "Besok saja. Hari ini aku lelah."Senyum tipis terukir di sudut bibir Giovano, matanya berkilauan nakal melihat reaksi Zara. "Istirahatlah, Nyonya Dirgantara."Pagi berikutnya, rutinitas baru dimulai. Bukan rutinitas suami-istri. Tapi rutinitas mentor-murid.Pukul 06.00: Latihan fisik. Bukan hanya lari, tapi latihan pertahanan diri dasar yang brutal.Pukul 08.00: Sarapan, ditemani laporan keuangan raksasa.Pukul 09.00 - 18.00: Kelas.Giovano tidak mengajar, dia menguji. Dia membombardir Zara dengan skenario bisnis, analisis pasar, dan strategi hukum yang rumit."Kenapa kita tidak langsung menjual saham yang terkait dengan hak paten itu?" tanya Zara, setelah membaca laporan setebal dua puluh halaman tentang ancaman hostile takeover."Jual?" Giovano mengangkat alisnya, seolah Zara baru saja mengus
Dia mengetuk eardevice-nya. "Target 1 dan 2 telah bergerak. Pemanasan sudah selesai.""Penerima pesan" di ujung sana hanya menjawab dengan satu kalimat dingin, tanpa emosi: "Mulai Rencana C. Liontinnya segera diamankan. Jangan buat kesalahan kedua."Ratih mematikan tablet. Matanya menatap ke luar jendela, memandang cakrawala kota. Ia bukan lagi pelayan setia, tapi pion yang baru bergerak di papan catur yang besar. Dan pion itu baru saja memanggil Ratu.Giovano menutup konferensi pers dengan tatapan mata yang jelas dan ancaman yang tersirat kepada setiap pesaingnya."Sekarang, saya harap semuanya jelas," ujarnya, memegang erat tangan Zara. "Saya dan istri saya akan mengurus perusahaan bersama. Dan kami tidak akan mentolerir gangguan apa pun."Mereka berdua berjalan menuju lift pribadi. Saat pintu lift tertutup, hanya menyisakan mereka berdua, ketegangan yang tersembunyi selama konferensi pers kembali memenuhi udara."Apa ciuman itu yang harus aku khawatirkan?" bisik Giovano, mengunci m







