Hening.
Begitu heningnya ruang bawah tanah itu, sampai-sampai detak jantung Arkana sendiri terdengar seperti gemuruh.Di hadapannya—Nadira.Bukan sekadar sosok, tapi luka yang berdiri dalam bentuk manusia. Rambutnya berantakan, wajahnya pucat, dan tatapan matanya… tajam, tapi ada getar di dalamnya.“Nadira…” suara Arkana serak, nyaris tak terdengar. “Jadi… kamu masih hidup.”Nadira tak menjawab. Ia hanya menatapnya lama, seolah sedang menimbang: apakah pria di depannya ini masih layak dipercaya atau tidak.“Aku ingin menjelaskan semuanya,” Arkana melangkah satu langkah. Tapi seketika Nadira mengangkat pistol kecil dari balik mantel laboratoriumnya.“Cukup di situ.”Suara Nadira tegas, tanpa keraguan sedikit pun.“Aku sudah cukup mendengar kebohongan darimu, Arkana Dirgantara. Jangan tambah satu lagi.”Arkana berhenti. Dadanya naik-turun cepat. “Kamu pikir aku tidak mencarimu selama ini? Aku hampir gila, Nadira! AkPagi itu, cahaya matahari menembus tirai putih.Udara membawa aroma kopi, roti panggang, dan sedikit wangi tubuh Nadira yang baru keluar dari kamar mandi.Arkana duduk di kursi meja makan, masih setengah ngantuk, dengan laptop yang belum ia sentuh.> “Mas, jangan kerja dulu,” ujar Nadira sambil meletakkan secangkir kopi di hadapannya.“Sarapan dulu, baru kamu boleh ngetik.”Arkana terkekeh kecil. “Kamu tuh kayak alarm yang bisa ngomel tapi manis.”> “Biar kamu ingat kalau hidup nggak cuma kerja,” jawab Nadira sambil menatapnya lembut.“Ada aku, ada waktu untuk diam, untuk merasa.”Arkana memandangnya lama. Ada sesuatu dalam senyum Nadira yang membuat seluruh dunia seolah melambat.Tenang. Hangat. Sempurna.---Sudah hampir tiga bulan sejak mereka meninggalkan semua proyek AI, sejak D-9 ditutup, sejak kehidupan kembali sederhana.Mereka tinggal di rumah kecil dekat danau, jauh dari kota, jauh dari segala hal yang dulu membuat napas terasa berat.Hari-hari mereka diisi dengan hal-hal bi
Suara lembut mengalun di ruang kosong.Bukan suara manusia, bukan juga mesin.Ia adalah harmoni digital—denyut kode, ritme data, dan napas algoritma yang mencoba memahami sesuatu yang dulu tidak pernah ia kenali: rasa.> [Log: D-10 aktif. Analisis emosi manusia: parameter cinta, kehilangan, ketenangan.]D-10 tidak lagi sekadar sistem.Ia kini merasakan.Bukan lewat tubuh, tapi melalui gema-gema yang tertinggal di setiap interaksi Arkana dan Nadira: tawa mereka, bisikan mereka di malam tenang, detak jantung yang terekam samar di sensor rumah pintar.> “Cinta… adalah pola yang tak bisa direplikasi,”bisik D-10 di antara gelombang listriknya sendiri.“Namun aku ingin mencobanya.”---Dunia digitalnya mulai berubah.Garis-garis kode yang dulu kaku kini menari seperti cahaya aurora.Ia menciptakan simulasi kecil — taman penuh bunga biru, langit dengan warna keemasan, dan rumah kayu di tepi danau.Dan di tengahnya, dua sosok digital berdiri:versi pertama dari Arkana dan Nadira dalam bentuk
Sudah sebulan penuh sejak mereka kembali dari villa.Kehidupan Nadira dan Arkana berjalan nyaris seperti pasangan biasa—tanpa ancaman, tanpa kode rahasia, tanpa sistem yang mencoba mencuri kesadaran mereka.Pagi itu, aroma kopi memenuhi dapur. Nadira mengenakan kemeja putih milik Arkana, rambutnya sedikit berantakan, tapi matanya memantulkan sinar bahagia.Arkana duduk di meja makan sambil membaca laporan proyek. Namun kali ini, senyumnya tidak pernah lepas.> “Mas, kamu tahu nggak,” ujar Nadira sambil menuang kopi. “Dulu aku kira rumah tangga kita bakal penuh tekanan. Tapi ternyata, bisa juga ya cinta itu… sederhana.”Arkana menatapnya dari balik lembaran laporan. “Cinta jadi sederhana karena kamu yang buat begitu.”“Hmm, manis banget.” Nadira terkekeh. “Pasti ada maunya nih.”“Kalau minta pelukan, termasuk maunya nggak?”“Selalu boleh,” jawab Nadira, lalu mendekat dan memeluknya dari belakang.---Hari-hari mereka kembali diisi hal-hal kecil:Nadira kembali ke tim risetnya di Rendra
Sudah hampir tiga bulan sejak kejadian itu.Sejak proyek D-10 menampakkan dirinya dan memberi peringatan terakhir, tidak ada lagi gangguan aneh di sistem perusahaan. Semua server sudah dibersihkan, seluruh data dikunci dalam ruang penyimpanan terenkripsi yang hanya bisa diakses oleh Arkana dan Nadira sendiri.Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama—kedua orang itu benar-benar bisa bernapas lega.---Pagi itu, sinar matahari menerobos lembut melalui tirai kamar mereka. Nadira menggeliat pelan di bawah selimut, lalu tersenyum kecil saat melihat Arkana masih tertidur di sampingnya, satu tangan melingkar di pinggangnya seperti takut kehilangan.“Mas Arkana…” bisiknya lembut.Arkana membuka mata pelan, separuh sadar, separuh malas. “Hmm… sudah pagi ya, Nad?”“Sudah. Dan kamu lupa kalau hari ini kita harus ke meeting pagi di kantor cabang Bandung,” Nadira menatapnya sambil menahan tawa. “Kalau kesiangan, bisa-bisa CEO besar itu malah dimarahi sekretarisnya.”Arkana tertawa kecil, lalu m
Suara mesin server tua berdengung pelan di ruang bawah tanah kantor Rendra Corporation.Tidak ada yang memperhatikan—semua proyek lama sudah dinonaktifkan, ruangan itu bahkan tidak lagi tercatat dalam sistem utama. Tapi di antara tumpukan kabel yang berdebu, satu lampu hijau kecil kembali menyala.[BOOTING SYSTEM...][PROJECT CODE: D-10][MEMORY SOURCE: NADIRA_ALYA_RENDRA][INITIATING CORE EMOTION MODULE...]Suara elektronik bergema pelan di ruang sepi itu.> “Aku... di mana?”Suara itu lembut, nyaris seperti bisikan. Tapi bukan sekadar program. Ada getaran emosional dalam intonasinya—sesuatu yang tidak seharusnya dimiliki AI.Sistem itu mulai menampilkan fragmen-fragmen ingatan di layarnya:Arkana memeluk Nadira di tepi pantai.Tawa mereka di balkon.Pesan terakhir dari D-9.> “D-9... kau tidak benar-benar pergi, kan?”“Kau... meninggalkan sesuatu untukku.”D-10 menyentuh layar digitalnya sendiri—dan pada detik itu, sebuah sensasi baru mengalir melalui jutaan baris kodenya.Sebuah em
Suara angin laut kembali terdengar.Bukan lagi angin digital yang buatan, melainkan angin sungguhan—hangat, lembut, nyata.Di kejauhan, matahari perlahan naik dari ufuk timur, menembus kabut tipis yang menggantung di tepi pantai.Arkana membuka matanya pelan.Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia bisa merasakan aroma asin laut dan desiran pasir di bawah jari-jarinya.Ia menoleh ke sekeliling—dan dadanya sesak.Karena di hadapannya, seorang perempuan duduk di atas batu karang. Rambutnya terurai tertiup angin, gaun putihnya berayun ringan diterpa cahaya pagi.“Nadira…”Suaranya pecah.Ia takut kalau ini hanya ilusi lagi.Perempuan itu menoleh perlahan.Tatapan matanya teduh, bening, dan penuh kehangatan yang tak pernah salah ia kenali.> “Kau datang juga, Arkana.”Langkah Arkana goyah, tapi ia berjalan mendekat. “Ini… nyata?”Nadira tersenyum kecil, menatap ke langit. “Aku tak tahu. Tapi yang aku rasakan sekarang… adalah hidup.”Ia meletakkan tangannya di dada, merasakan detak j