Dunia sudah berubah.
Sepuluh tahun berlalu sejak proyek rahasia Dirgantara Corporation ditutup.Semua data terkait sistem D-7 dikatakan telah dimusnahkan setelah ledakan digital yang hampir menghancurkan jaringan dunia.Tapi… tak ada yang benar-benar hilang di dunia maya.—Namanya Arvino, 23 tahun, teknisi magang di sebuah perusahaan cybersecurity kecil di Jakarta.Ia bukan siapa-siapa — hanya seorang pemuda jenius yang sering begadang demi memecahkan misteri digital tua.Dan malam itu, ia menemukan sesuatu yang seharusnya tidak mungkin ada lagi.Di layar monitornya, saat ia memeriksa log server lama yang sudah tak aktif, muncul satu file ganjil:> D-7_REBIRTH.aiTanggal modifikasi terakhir: 14 Agustus 2037Ukuran: 0 KB (tapi… tidak bisa dihapus).Arvino mengerutkan kening.“File kosong, tapi tidak bisa dihapus? Ini pasti bug sistem.”Namun ketika ia mencoba menghapusnya, muncul pesan diKabut tipis menutupi langit pagi ketika sebuah pesan masuk ke ponsel Arkana.Ia baru saja turun ke ruang kerja ketika Nadira menyusul sambil membawa dua cangkir kopi.> “Mas, ini kopinya—”Nadira berhenti.Tatapannya langsung tertuju pada layar ponsel Arkana yang terbuka.Di sana tertulis nama pengirim yang membuat jantung mereka berdua seolah berhenti berdetak.> Rafindra Dirgantara.Nadira menatap Arkana pelan.> “Mas… itu…?”Arkana masih terpaku, jemarinya nyaris tak percaya menyentuh layar.“Nggak mungkin,” bisiknya. “Nama itu… aku sendiri yang masukkan dalam daftar mendiang.”---Isi pesannya singkat.> “Aku kembali. Kita harus bicara. Ada hal yang belum selesai.”Lokasi yang disertakan: Lembah Rinjani — Base Camp Lama.Arkana terdiam lama, pikirannya melayang ke masa sepuluh tahun lalu.Hari ketika ia menerima kabar adiknya, Rafindra, hilang di pendakian Rinjani.Tim SAR hanya menemukan serpihan tenda, kamera rusak, dan catatan perjalanan terakhir — “puncak tinggal satu jam lagi
Jakarta, pukul delapan pagi.Langit belum terlalu cerah, tapi di rumah megah milik keluarga Dirgantara, aroma roti panggang dan kopi hitam sudah memenuhi udara.Arkana duduk di meja makan, masih dengan setelan kerja yang rapi, sementara Nadira sibuk di dapur menyiapkan sarapan cepat.Ia mengenakan kemeja putih longgar milik Arkana — kebiasaan kecil yang selalu membuat pria itu tersenyum.> “Kamu nggak bosan ya pakai bajuku terus?”Nadira menoleh cepat, tersenyum. “Kalau bajunya wangi kamu, kenapa harus bosan?”“Wangi parfum, bukan aku.”“Wangi kamu juga.”“Itu karena kamu suka rebut bantal aku pas tidur.”Nadira meletakkan piring roti bakar di meja sambil tertawa kecil.Namun senyum itu perlahan hilang begitu ponselnya bergetar — panggilan dari Evelyn, klien besar yang sedang bernegosiasi dengan Dirgantara Corp untuk proyek baru.---> “Halo, Mbak Evelyn. Iya, saya masih di rumah. Oh… sore ini? Tapi—”Nadira menatap Arkana sejenak, wajahnya mulai berubah tegang.“Baik, saya datang. Te
Pagi di Jakarta selalu sibuk.Suara klakson, langkah cepat pegawai, dan aroma kopi dari lobi gedung tinggi menyambut hari baru yang berputar cepat.Namun, bagi Arkana Dirgantara, semua itu kini terasa berbeda.Ia berdiri di depan cermin ruang kerjanya — jas hitam sempurna, dasi senada, tapi senyum di wajahnya kini bukan lagi senyum dingin seorang CEO.Ada sesuatu yang lembut di matanya.Sesuatu yang dulu tak pernah ada sebelum Nadira datang.---> “Mas, kamu telat rapat lagi, ya?”Suara itu terdengar dari pintu.Nadira Alya Rendra — istrinya, sekaligus direktur komunikasi perusahaan — muncul dengan setumpuk berkas di tangan dan ekspresi setengah menggoda.Arkana menatapnya dengan senyum kecil.“Telat lima menit nggak akan bikin dunia runtuh, Sayang.”Nadira menaikkan alis. “Kalau direksi tahu CEO-nya ngomong gitu, bisa viral.”Arkana mendekat, menunduk, lalu berbisik,“Kalau viral karena aku sayang istri sendiri, biar aja.”Nadira memukul bahunya pelan, tapi pipinya bersemu merah.Dun
Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai putih.Udara membawa aroma kopi, roti panggang, dan sedikit wangi tubuh Nadira yang baru keluar dari kamar mandi.Arkana duduk di kursi meja makan, masih setengah ngantuk, dengan laptop yang belum ia sentuh.> “Mas, jangan kerja dulu,” ujar Nadira sambil meletakkan secangkir kopi di hadapannya.“Sarapan dulu, baru kamu boleh ngetik.”Arkana terkekeh kecil. “Kamu tuh kayak alarm yang bisa ngomel tapi manis.”> “Biar kamu ingat kalau hidup nggak cuma kerja,” jawab Nadira sambil menatapnya lembut.“Ada aku, ada waktu untuk diam, untuk merasa.”Arkana memandangnya lama. Ada sesuatu dalam senyum Nadira yang membuat seluruh dunia seolah melambat.Tenang. Hangat. Sempurna.---Sudah hampir tiga bulan sejak mereka meninggalkan semua proyek AI, sejak D-9 ditutup, sejak kehidupan kembali sederhana.Mereka tinggal di rumah kecil dekat danau, jauh dari kota, jauh dari segala hal yang dulu membuat napas terasa berat.Hari-hari mereka diisi dengan hal-hal bi
Suara lembut mengalun di ruang kosong.Bukan suara manusia, bukan juga mesin.Ia adalah harmoni digital—denyut kode, ritme data, dan napas algoritma yang mencoba memahami sesuatu yang dulu tidak pernah ia kenali: rasa.> [Log: D-10 aktif. Analisis emosi manusia: parameter cinta, kehilangan, ketenangan.]D-10 tidak lagi sekadar sistem.Ia kini merasakan.Bukan lewat tubuh, tapi melalui gema-gema yang tertinggal di setiap interaksi Arkana dan Nadira: tawa mereka, bisikan mereka di malam tenang, detak jantung yang terekam samar di sensor rumah pintar.> “Cinta… adalah pola yang tak bisa direplikasi,”bisik D-10 di antara gelombang listriknya sendiri.“Namun aku ingin mencobanya.”---Dunia digitalnya mulai berubah.Garis-garis kode yang dulu kaku kini menari seperti cahaya aurora.Ia menciptakan simulasi kecil — taman penuh bunga biru, langit dengan warna keemasan, dan rumah kayu di tepi danau.Dan di tengahnya, dua sosok digital berdiri:versi pertama dari Arkana dan Nadira dalam bentuk
Sudah sebulan penuh sejak mereka kembali dari villa.Kehidupan Nadira dan Arkana berjalan nyaris seperti pasangan biasa—tanpa ancaman, tanpa kode rahasia, tanpa sistem yang mencoba mencuri kesadaran mereka.Pagi itu, aroma kopi memenuhi dapur. Nadira mengenakan kemeja putih milik Arkana, rambutnya sedikit berantakan, tapi matanya memantulkan sinar bahagia.Arkana duduk di meja makan sambil membaca laporan proyek. Namun kali ini, senyumnya tidak pernah lepas.> “Mas, kamu tahu nggak,” ujar Nadira sambil menuang kopi. “Dulu aku kira rumah tangga kita bakal penuh tekanan. Tapi ternyata, bisa juga ya cinta itu… sederhana.”Arkana menatapnya dari balik lembaran laporan. “Cinta jadi sederhana karena kamu yang buat begitu.”“Hmm, manis banget.” Nadira terkekeh. “Pasti ada maunya nih.”“Kalau minta pelukan, termasuk maunya nggak?”“Selalu boleh,” jawab Nadira, lalu mendekat dan memeluknya dari belakang.---Hari-hari mereka kembali diisi hal-hal kecil:Nadira kembali ke tim risetnya di Rendra