Pintu ruang perawatan tiba-tiba terbuka dengan keras, membuatku sedikit terlonjak kaget.“MAMAAAAA!” Rey berteriak lantang dengan wajah berseri-seri, kedua tangannya terangkat tinggi seolah hendak meraihku dari jauh. Bocah itu berlari kecil, kakinya nyaris tersandung karena terburu-buru, tapi senyumnya sama sekali tak luntur.Di belakangnya, Bunda Zura dan Bapak muncul dengan wajah pasrah. Mereka hanya bisa menggelengkan kepala, jelas tidak sanggup menahan antusiasme cucu kesayangannya. Aku tersenyum lebar sambil merentangkan kedua tangan. “Sini, Nak,” panggilku.“Mamaaa! Rey seneng banget! Kata Nenek, Rey bakal punya adik bayi! Bener kan, Ma? Bener kan???” tanyanya sambil melompat-lompat di sebelah ranjang. Kedu mata Rey berbinar, pipinya memerah, dan senyumnya nyaris tak bisa hilang.Aku terkekeh pelan, mengusap lembut kepalanya. “Iya, Sayang. Sebentar lagi Rey bakal jadi Kakak.”“YEEEESSS!” Rey langsung mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Akhirnya adik bayi Rey berhasil di buat!
Jumlah pasien dari luar kota yang singgah di Griya Aksara membludak setelah bangunan selesai direnovasi oleh Alvaro. Dengan kamar yang kini bertambah banyak, aku datang untuk membantu Pak Harun dan Bu Nani mengurus berbagai kebutuhan para penghuni baru yang berdatangan. “Mbak Nay, kamu duduk dulu deh. Dari tadi muter terus,” suara Nalen terdengar khawatir. Dia meletakkan nampan di meja, menatapku dengan alis mengernyit. “Aku nggak apa-apa, Dek. Cuma sedikit pegal. Lagi pula, lihat mereka senyum aja rasanya capekku hilang,” jawabku. Namun baru saja aku melangkah lagi, pandangan tiba-tiba berkunang. Tubuhku terasa ringan seolah melayang. “Mbak Nayla!” teriakan Nalen menggema. Aku masih setengah sadar dan mendengar dentuman piring jatuh, lalu tubuhku ditopang seseorang. “Nay, kamu kenapa?” suara Kak Brian terdengar cemas. Tanpa ragu, dia segera mengangkat tubuhku ke dalam pelukannya. “Kita harus ke rumah sakit sekarang.” “Mas, hati-hati! Aku ikut!” Nalen panik mengikuti langka
Penerbangan dari Osaka ke Jakarta terasa panjang, tapi aku dan Alvaro lebih banyak menghabiskan waktu dengan tidur. Begitu pesawat mendarat di Soekarno-Hatta, rasa lelah bercampur rindu langsung menyeruak.“Sayang, kita langsung ke rumah Opa ya. Bunda barusan kirim pesan katanya Rey nungguin kita sampai gak mau tidur,” ucap Alvaro sambil meraih koper dari bagasi kabin.Aku mengangguk. “Iya, aku juga kangen banget sama si ganteng.”Setelah melewati imigrasi dan mengambil bagasi, kami naik mobil yang menjemput. Perjalanan menuju rumah Opa Barra terasa lebih singkat, mungkin karena aku sudah tak sabar bertemu anakku.Sesampainya di kediaman Opa Barra, suasana langsung terasa hangat. Beberapa asisten rumah tangga menyambut di depan pintu. Dari ruang tengah, suara teriakan terdengar.Rey langsung berlari ke arahku dengan tangan kecilnya terulur. “Mamaaa!” teriaknya riang.Aku berjongkok, lalu meraih tubuh mungilnya dan menggendongnya erat. “Sayangnya Mamaaa— aduh, kangen banget sama kamu,”
Alvaro meraih wajahku dengan kedua tangannya, menatapku dalam seolah ingin menghafal setiap garis di wajahku. “Sayang,” suaranya rendah, parau, tapi penuh kelembutan.Aku hanya mampu tersenyum tipis, jantungku berdebar kencang. “Hmm?” jawabku.Tanpa banyak kata, bibirnya menyentuh bibirku, lembut namun menuntut. Hangatnya segera menjalar ke seluruh tubuh, membuatku tak bisa berpaling. Tangannya mengusap rambutku, lalu turun ke punggung, menarikku semakin rapat ke dadanya.Aku balas memeluknya erat, merasakan degup jantungnya berpacu sama cepatnya dengan milikku. Saat jemarinya menyusuri lenganku, seolah ada percikan aneh yang membuatku menggigil, tapi bukan karena dingin.Alvaro menunduk, mengecup leherku dengan penuh sayang. “Kita kerjakan proyek pembuatan dedek bayi ya,” gumamnya di sela nafas hangat.Aku memejam, meresapi setiap sentuhan yang begitu hati-hati tapi juga membuat darahku berdesir. “Lakukan, Mas, lakukanlah,” jawabku lirih, hampir tak terdengar.Kain yang memisahkan ka
“Aduh, Mas. Rasanya aku nggak bisa jalan. Kenyangnya level dewa,” ujarku sambil menepuk perut yang kini terasa penuh.Alvaro terkekeh, meraih tanganku agar segera berdiri. “Ayo, jangan malas. Katanya mau ke Tokyo Tower? Kalau nungguin kamu mager, bisa-bisa Tower-nya keburu padam lampunya.”Aku meringis kecil, lalu bangkit sambil mengusap perut. “Oke, demi Tokyo Tower, aku rela menghempaskan mager.”Beberapa menit kemudian kami sudah berada di dalam taksi menuju Tokyo Tower. Jalanan Shibuya malam itu cukup ramai, tapi tetap tertib. Lampu neon dari papan iklan besar terlihat jelas dari balik kaca jendela. Aku menempelkan wajah ke kaca, rasanya persis seperti anak kecil yang lagi study tour pertama kali.“Mas, lihat deh! Lampunya kayak nggak ada habisnya. Kayak dunia mimpi,” seruku takjub.Alvaro hanya melirik sambil tersenyum hangat. “Aku lebih suka melihat matamu yang berbinar terang. Jauh lebih indah daripada lampu kota.”Aku menoleh cepat, pipiku memanas. “Mas, jangan mulai deh. Aku
Begitu tiba di Jepang, rasa lelah perjalanan langsung sirna saat kakiku menapak lobby hotel mewah di kawasan Shibuya. Mataku mengedar ke sekeliling, takjub memperhatikan setiap sudut ruangan, sementara Alvaro hanya tersenyum geli melihat tingkahku yang mirip turis lugu.“Mas, kita beneran nginep di sini?” tanyaku dengan mata berbinar.“Iya, Sayang. Masa bulan madu kita di kos-kosan?” jawabnya.Aku mencubit lengannya pelan. “Ih, ngomongnya suka bikin gemes.”Dia terkekeh, lalu meraih tanganku. “Sabar, sebentar lagi ada kejutan buat kamu.”Aku menatapnya curiga. Kejutan apa lagi? Rasanya perutku sudah keroncongan, yang ada aku ingin kejutan berupa ramen panas.Begitu pintu kamar terbuka, langkahku langsung terhenti. Kamar yang akan kami tempati sudah ditata begitu indah. Kelopak bunga sakura tersebar di lantai dan ranjang, membentuk pola hati. Di meja dekat jendela, ada dua gelas wine non-alkohol berkilau diterangi cahaya lilin. Dan di balkon—oh Tuhan—pemandangan malam Tokyo dengan men