Share

2. Tindakan Bodoh

Delicia menenggak minumannya lagi ketika di sampingnya ada temannya yang duduk menemani dengan tenang.

“Oh—kamu sudah datang rupanya,” kata Delicia.

“Aku sudah datang satu jam yang lalu."

"Kamu tiba-tiba minum seperti ini pasti ada hal yang menggangumu kan?” tanya Andres.

Delicia mengangguk pasrah. “Aku—aku akan diusir dari apartemenku, kalau sampai minggu depan tidak membayar uang sewa. Aku harus bagaimana?” tanya Delicia dengan frustrasi.

Sejak dia mengatakan pada Andres melalui telepon jika dia ada di bar Paradise, lelaki itu langsung datang ke sana.

Mengingat kebiasaan buruk Delicia yang suka sekali pulang ke rumah mantannya ketika mabuk, membuat Andres tidak bisa membiarkan sahabatnya itu mabuk sendirian.

Mereka berdua berteman sejak kelas 3 SD. Jadi mustahil jika keduanya memiliki kebiasaan buruk yang tidak mereka ketahui.

“Berapa? Berapa sewanya? Kenapa kamu tidak bilang padaku?”

“Enam puluh lima juta.”

“Mau tinggal di apartemenku dulu?”

Sontak Delicia menatap wajah Andres dengan ngeri. “Maksudmu aku dan kamu tinggal dalam satu rumah? Tidak, Andres. Aku tidak bisa membayangkannya.”

Andres tersenyum kecil. “Memangnya apa yang kamu bayangkan, hah?” Andres menyelipkan anak rambut Delicia ke belakang telinganya. Dan memandang wajah wanita itu dari samping.

Wajah wanita itu memerah. Bukan karena sikap Andres barusan melainkan karena dia mabuk. Sebab bagi Delicia, Andres hanyalah teman biasa.

“Di sana masih ada adikku," ucap Andres dengan tenang.

Delicia terdiam.

“Mungkin seharusnya aku pulang saja ke kampung halamanku. Dan meneruskan pekerjaan ayahku menjadi nelayan yang cantik.” Lama-lama ucapan Delicia seperti ngelindur. Namun Andres dapat memahaminya.

“Kalau begitu aku akan meminjamkanmu uang, bagaimana?”

Delicia menggeleng pelan. “Kamu pikir aku lupa? Adikmu masuk kuliah tahun ini, dan kamu pernah cerita kalau biayanya tidak murah. Mana mungkin aku tega merebut uang itu.”

“Kan kamu akan mengembalikannya? Tidak mengambilnya cuma-cuma.”

Delicia tetap menggeleng.

“Sepertinya aku akan menggunakan cara lain,” ucapnya pelan. Andres dapat mendengarnya samar samar.

“Melakukan apa? Jangan membuatku khawatir, dong?!”

“Tidak, ini hal yang tidak akan membuatmu khawatir.”

Mata Andres menatap wajah Delicia tak percaya. Seperti yang sudah sudah, wanita itu selalu melakukan hal di luar ekspetasinya.

“Kamu mau melakukan apa? Setidaknya bilang dulu padaku, kamu akan melakukan apa. Agar aku bisa mengantisipasinya.”

Delicia tersenyum penuh percaya diri.

“Kamu tahu kan, kalau aku masih sehat.”

Andres mengangguk.

“Aku juga sering jogging.”

“Kalau ingat.” Andres meralat.

“Ah sudah lupakan, yang jelas aku masih muda dan sehat. Jadi aku akan melakukannya.”

Kalimat Delicia semakin membuat Andres khawatir. Lelaki itu cemas jika sahabatnya tersebut akan melakukan hal yang sudah ada di benaknya saat ini.

“Tolong berikan aku alamat rumah sakit yang sedang membutuhkan organ ginjal,” ucap Delicia seakan hal itu bukanlah masalah. Seakan lebih baik kehilangan ginjalnya daripada dia kehilangan apartemen itu.

“Jangan ngawur.” Andres yang ikut frustrasi menenggak wine-nya yang sejak tadi dia abaikan. “Setelah kamu mendapatkan apartemen, beberapa bulan kemudian aku akan mendapatkan kabar kematianmu, begitu?”

Delicia menatap kosong di depannya. Dia tidak menanggapi ucapan Andres. Bukan karena dia sakit hati Andres mengatakan hal itu padanya, bukan.

Melainkan ia ingat dengan kejadian beberapa tahun yang lalu yang terjadi di rumah susun yang baru ia sewa beberapa bulan.

“Aku tidak bisa kembali ke rumah susun. Aku—”

“Aku tahu,” sambar Andres. Dia yang menjadi saksi sekaligus yang menolong Delicia pun masih trauma jika mengingatnya. Apalagi dengan Delicia sendiri yang sudah mengalaminya.

“Maka dari itu, pinjam uangku atau tinggal di apartemenku sampai kamu mendapatkan pekerjaan.”

“Aku tak mau merepotkanmu lagi. Aku sudah terlalu sering merepotkanmu, Andres.”

Andres tersenyum. Selama ini dia sudah terbiasa dengan Delicia, bahkan sifat absurd-nya yang selalu membuatnya pusing tujuh keliling.

Delicia yang ia kenal sejak kecil, pernah hampir mati kedinginan di depan rumah mantan kekasihnya gara-gara dia tak ingin putus. Padahal dia sudah diberitahu oleh mantannya jika akan melanjutkan pendidikan di luar negeri.

Namun sepertinya Delicia lupa, hingga dia menunggu lelaki itu di depan rumah sampai kehujanan. Ia menggigil hingga demam beberapa hari.

Ketika dia sudah sehat dengan enteng dia mengatakan pada Andres, jika apa yang dilakukannya adalah mirip dalam drama yang baru dia tonton dengan hasil keduanya balikan.

Andres yang mendengarnya tak dapat berkata-kata. Antara polos atau memang bodoh, Delicia memang seperti itu.

“Ayo, aku antar pulang,” ajak Andres.

“Tidak, aku bisa pulang sendirian.”

“Aku tak mau kalau harus menjemputmu di kantormu yang lama lagi, Delicia. Kamu selalu ke sana dan memanjat pagar dan berteriak seperti orang gila tiap kali kamu mabuk.”

“Kali ini tidak akan. Pesankan saja aku taksi.”

Meski Delicia berkata begitu, Andres tak langsung percaya. Sebab, selama Delicia mabuk. Wanita itu selalu mendatangi kantornya dan melakukan orasi di sana.

Tak hanya itu, bahkan sekuriti yang ada di sana sampai hafal dengan Andres yang selalu datang menjemputnya.

“Baiklah, aku akan memesankan taksi untukmu.” Andres mengalah, ia tahu perdebatan itu tak akan ada ujungnya.

“Nah begitu dong, anak baik.” Delicia mengusap rambut Andres dengan lembut, seperti seorang ibu yang mengusap kepala anak lelakinya.

“Ya, aku memang sangat baik. Kamu memanggilku hanya untuk membayarkan birmu kan?” sindir Andres.

Delicia mengangguk, kendati demikian Andres tidak pernah merasa keberatan. Dia malah lebih keberatan jika Delicia diam saja dan tidak mengatakan masalahnya padanya.

Begitu Delicia masuk ke taksi. Andres mengatakan pada supir untuk pergi ke alamat apartemen Delicia.

Setelah memastikannya, Andres berlari masuk ke dalam mobilnya dan mengikuti mobil taksi yang dinaiki oleh Delicia.

Namun ketika taksi itu berada di persimpangan. Jalur yang seharusnya tetap lurus, tapi taksi itu malah berbelok ke kanan membuat Andres kebingungan.

“Dia mau ke mana?” Andres dengan sigap langsung membanting stir sebelum kehilangan Delicia.

Tak lama kemudian, Delicia dan taksi yang dinaikinya sudah tiba di sebuah gedung perusahaan pencakar langit.

Andres tahu perusahaan itu, Perusahan Cortez. Perusahaan property terbesar di negara ini.

“Dia mau ke sana? Ada urusan apa Delicia pada perusahaan itu.” Ketika Andres sibuk menggumam. Beberapa detik kemudian dia baru sadar jika apartemen yang ditempati oleh Delicia adalah perusahaan milik Cortez. Ya, itu.

“Jangan-jangan—” Dengan panik Andres turun dari mobilnya sebelum Delicia mengacau di sana.

Entah apa yang akan dilakukan wanita itu, tapi yang jelas Delicia pasti akan membuat keributan.

Andres bergerak cepat—tapi langkahnya terhenti ketika Delicia baru saja tanpa sengaja menabrak seorang lelaki tegap di depannya.

“Delicia, tolong jangan lakukan hal bodoh,” gumam Andres lebih seperti permohonan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status