Share

4. Kesepakatan yang Rumit

Lucio membuka matanya lamat lamat. Ia melihat bayangan Khaleed sedang berbicara dengan seorang dokter yang mengenakan jubah putih. Khaleed sedang tertawa—hal itu membuatnya kesal.

Padahal dirinya saat ini tengah masuk ke rumah sakit.

Oh, ya. Jadi dia masuk ke rumah sakit karena apa? Tiba tiba Lucio teringat dengan kejadian menjijikkan yang baru saja terjadi.

Lucio terduduk—ia terkesiap kemudian membuka selimutnya dengan buru-buru.

Kemudian dia menghela napasnya dengan lega saat melihat bajunya sudah berganti dengan pakaian pasien.

Khaleed yang tak sengaja melihat Lucio sudah bangun kemudian menghampirinya.

“Pakaianku di mana?” tanya Lucio.

“Sudah saya buang,” jawab Khaleed.

“Tidak. Ambil pakaian dan sepatuku tadi.”

Kening Khaleed mengerut heran. Lelaki yang banyak uang itu untuk apa menginginkan barang menjijikan itu tadi?

“…Ya?”

“Ambil barang itu cepat!” suruh Lucio.

Khaleed yang sudah hafal bagaimana watak Khaleed pun akhirnya menuruti perintah aneh dari Lucio. Dia memutar tubuhnya. Namun jari Lucio menjepit lengan jasnya.

“Ada apa lagi?” tanya Khaleed yang seakan sudah lelah dengan sikap Lucio yang terkadang seperti anak kecil.

“Bawa dan jangan bersihkan. Pokoknya—masukan saja ke dalam plastik. Jangan tunjukkan padaku pakaian dan sepatu tadi.”

“Lho—lalu untuk apa? Saya pikir Anda meminta saya untuk mengambilnya karena ingin mencucinya?”

Lucio mendelik. “Memangnya aku tidak mampu membeli lagi? Wanita tadi—” geram Lucio. “Aku akan menyuruhnya untuk mencuci pakaian itu untukku.”

Khaleed hanya memandang Lucio dengan penuh pengertian. Kira-kira sudah berapa kali ya Lucio seperti ini? Mungkin Khaleed membutuhkan jari beberapa orang lagi untuk menghitungnya.

“Baik.” Agar tidak banyak berdebat dengan Lucio akhirnya Khaleed mengiyakannya. “Ada lagi?”

“Cari wanita tadi. Katanya dia menganggur, kan?” tanya Lucio.

“Saya tidak tahu. Mungkin iya.”

“Panggil saja ke perusahaan. Tapi katakan kalau dia diundang untuk melakukan wawancara.”

Khaleed menelengkan kepalanya seperti anak anjing yang polos. “Anda ingin mengerjainya? Bukankah itu sangat keterlaluan? Mungkin dia sedang frustrasi.”

“Kamu pikir aku juga tidak sedang frustrasi? Nenekku mengancamku dan terakhir dia menyuruhku menemui ibu ibu untuk dijadikan istri. Kamu pikir lebih frustrasi siapa?”

Khaleed menaikkan kedua bahunya. Ia lalu keluar dari ruangan Lucio untuk melakukan perintahnya.

Lucio memandang langit malam melalui jendela kaca di ruangannya. Ia menyenderkan tubuhnya dan menghela napasnya dalam dalam.

Namun tanpa sadar dia mencium bau tidak sedap dari bagian dadanya. Matanya membeliak—ketika ingat bau apa itu.

“KHALEED!” teriak Lucio yang seakan jijik dengan bau muntahan yang masih menempel di tubuhnya.

**

Jam satu malam.

Delicia sudah cukup sadar ketika membuka matanya. Dia sedang berada di kamarnya dan tidur dengan pakaian yang—bau muntahan.

“Bau busuk apa ini?” Hidungnya berjengit, tapi dia tidak begitu peduli. Ia membuka pintu kemudian terkejut mendapati Andres ada di sofa.

“Andres,” panggil Delicia pelan. Ia mendekati lelaki itu kemudian menatapnya dari atas. “Kamu sedang—” ingatannya tiba tiba terlempar jauh saat dirinya berada di bar malam tadi.

Ia kemudian ingat waktu memaksa supir taksi untuk membawanya ke perusahaan Cortez.

Dan …

Ia juga ingat ketika berorasi seperti orang gila di depan Lucio dan bahkan muntah di pakaian mahal lelaki itu.

“Aku yakin masalah apartemen tidak akan ada apa apanya dibandingkan ini.” Delicia memegangi kepalanya yang seakan mau copot dari tempatnya.

“Bagaimana ini? Kenapa aku bisa ke sana?”

Di saat Delicia bergumam panik. Andres pun terbangun dan terkejut mendapati Delicia sedang bersimpuh di depannya.

“Apa yang sedang kamu lakukan?!” tanya Andres terkejut. Dia memang sudah terbiasa dengan sifat aneh Delcia. Tapi dia masih saja kaget jika melihat tingkah aneh temannya itu.

“Andres, apa yang harus aku lakukan?” tanya Delicia dengan penuh rasa bersalah.

“Apanya?”

“Aku—aku sudah melakukan hal gila pada—itu.”

Andres mendengus kemudian tertawa. “Sudahlah, lagi pula itu hal memalukan untuknya. Sepertinya dia tidak mungkin membuat semua orang tahu mengenai masalah itu.”

“Benarkah?”

Andres mengangguk. Setidaknya dia tak mau membuat Delicia panik apalagi cemas.

“Lalu bagaimana ya, dengan uang sewa ini?”

“Sudah lah, aku akan meminjamimu uang. Masalah adikku—mungkin aku akan mengambil pinjaman di Bank.”

“Jangan!” sambar Delicia. “Kamu hanya membuatku semakin merasa tak enak.”

“Lalu mau bagaimana lagi?”

Delicia menggeleng.

“Aku akan pulang besok sebelum diusir.”

Senyum tipis Andres memudar kemudian sirna. Ia tak suka mendengar Delicia pulang. Karena itu artinya dia tak akan bisa menemuinya lagi sesering ini.

“Kamu serius?”

Delicia mengangguk. “Aku ingat bagaimana laki-laki tadi mengatakan padaku, seharusnya aku tahu diri dan tidak memaksakan diri. Tadi aku memang tidak terlalu memikirkannya. Tapi sekarang, kupikir apa yang dia katakan itu benar.”

Melihat Delicia yang menunduk seperti itu membuat Andres sedih. Ia ingin membelai kepala Delicia tapi ia urungkan. Tangannya yang mengapung di udara ia tarik kembali.

“Baiklah kalau begitu, setidaknya pulang akhir pekan. Agar aku bisa mengantarkanmu dan melakukan pesta perpisahan.”

“Akhir pekan?”

Andres mengangguk. “Memangnya kamu mau pergi tanpa pamit padaku dulu?” Lelaki itu berdiri. “Kalau begitu aku akan pulang, besok aku harus masuk kerja.”

Delicia mengangguk.

“Kamu tak mau makan dulu?”

“Kulkasmu hanya berisi air mineral,” sahut Andres sambil menahan senyumnya.

“Terima kasih untuk malam ini.”

**

Dua hari pun berlalu. Delicia yang dipenuhi rasa was was bisa bernapas lega karena lelaki yang sudah dia berikan “hadiah” beberapa hari yang lalu tidak menghubunginya untuk menyuruhnya bertanggungjawab.

Hanya saja, hal itu tak lantas membuatnya tenang. Karena dia pikir itu adalah hal yang aneh.

Ketika dia disibukkan dengan pikirannya yang kalut. Ponselnya pun berbunyi dan membuatnya terkejut.

Nomor asing masuk. Ia pikir itu adalah Lucio.

Namun Delicia pikir ia tak bisa lepas dari tanggungjawab. Jadi dia memutuskan untuk mengangkat telepon itu.

“Halo?” sapa Delicia dengan gugup.

“Selamat pagi saya dari perusahaan Cortez—” Suara lembut dan sopan itu bukan milik Lucio. Batin Delicia yang kemudian tak mendengar apa yang dikatakan staff wanita tersebut.

“Apakah Anda bisa?”

“,,,Ya?” tanya Delicia canggung.

“PT Cortez mengundang Anda untuk interview pada hari ini jam satu siang. Silakan datang kami menunggu kedatangan Anda hari ini.”

“Oh—baiklah.”

Usai menutup telepon, Delicia mengingat-ingat apakah dia dulu pernah mengirim lamaran ke sana?

Namun karena dia sudah mengirim ratusan lamaran ke berbagai perusahaan. Ia pikir pasti sudah memasukkan ke sana sampai lupa karena lamanya panggilan interview itu tiba.

“Ya, pasti begitu. Sebaiknya aku ke sana, toh ini panggilan interview bukan panggilan untuk ganti rugi.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status