Home / Romansa / Kontrak Cinta Si Tuan Dingin / Bab 16: Bayangan dari Masa Lalu

Share

Bab 16: Bayangan dari Masa Lalu

Author: Gema senja
last update Last Updated: 2025-06-30 22:21:29

Pagi itu, suasana kantor tampak berbeda. Aira baru saja menyusun dokumen laporan proyek ketika suara hak tinggi menggema di koridor. Langkah yang percaya diri. Lantang. Semua staf wanita melirik. Para pria bersikap kikuk.

Aira menoleh. Seorang wanita tinggi semampai, rambut cokelat keemasan tergerai rapi, memasuki ruangan utama. Tubuhnya dibalut blazer merah marun yang elegan, dan di tangannya—tergenggam buket bunga mawar putih.

"Selamat pagi. Aku mencari Alvano."

Suara wanita itu tenang namun penuh otoritas. Tatapannya menyapu ruangan sebelum akhirnya jatuh pada Aira.

"Dia di ruangannya," jawab Aira sopan, berdiri refleks. “Ada perlu apa, ya?”

Wanita itu tersenyum kecil. “Kamu sekretaris barunya?”

“Saya istrinya,” jawab Aira, tanpa sadar.

Hening. Seketika.

Senyum wanita itu menghilang sepersekian detik, lalu muncul lagi, kali ini lebih datar.

“Oh... menarik.”

Tanpa berkata lagi, ia berjalan menuju ruang Alvano, meninggalkan Aira dengan raut bingung dan—entah kenap
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 47: Diterpa Angin Skandal

    "Apa ini maksudmu, Van?" Suara Aira nyaris bergetar ketika layar laptop memperlihatkan berita utama pagi itu: 'Skandal Gelap PT. Zafano: Dana CSR Fiktif dan Laporan Keuangan Ganda?' Alvano menatap lurus ke layar, rahangnya mengeras. "Mereka mengorek laporan tahun 2018. Itu proyek lama, yang bahkan aku sendiri nggak ikut tanda tangan." "Tapi namamu ada di situ," bisik Aira. "Dan sekarang semua media nasional ngebahas ini. Investor pasti—" "Sudah banyak yang tarik dana," potong Alvano, pelan tapi tegas. "Kemarin malam tiga mitra utama cabut. Saham anjlok delapan persen." Aira mengatupkan bibirnya, perutnya terasa dingin. Belum sebulan mereka menikah kembali, dan kini dunia seperti membalas kebahagiaan itu dengan badai. "Aku bisa bantu," ujarnya cepat. "Kita bisa klarifikasi di media, kumpulin bukti, temuin pihak-pihak terkait—" "Bukan 'kita', Aira." Alvano berdiri dari kursinya. "Ini urusanku." Aira terpaku. Seketika, rasa yang dulu muncul saat Alvano bersikap dingin kemba

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 46: Pernikahan yang Sesungguhnya

    “Kamu yakin mau tetap lanjut sama dia, Aira?” suara Rani terdengar khawatir dari seberang meja kafe. Aira mengaduk minumannya pelan. Hari itu, ia mengenakan blouse putih sederhana dan celana panjang hitam, tapi wajahnya tampak bersinar. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya—keyakinan. “Aku nggak pernah seyakin ini, Ran,” jawab Aira pelan. Rani mendesah. “Padahal dulu kamu bilang dia itu dingin, nyebelin, bahkan nggak punya hati.” Aira tertawa pelan. “Iya, dan dia memang masih begitu kadang. Tapi sekarang... dia juga berani berubah. Dia nggak janji-janji manis, tapi bukti-buktinya nyata.” Rani terdiam, lalu tersenyum. “Ya udah. Kalau kamu bahagia, aku dukung.” Aira menggenggam tangan sahabatnya itu. “Thanks, Ran.” --- Hari itu akhirnya datang. Tanpa gaun megah atau pesta besar-besaran. Hanya sebuah upacara sakral di taman belakang rumah, dengan beberapa saksi dari keluarga inti dan teman dekat. Mama Alvano duduk di barisan depan, memegang buket bunga kecil dan senyum

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 45: Bukti Nyata, Bukan Janji Manis

    “Aku udah bilang, aku nggak butuh janji,” gumam Aira sambil merapikan map dokumen di tangannya. Ia baru saja selesai rapat di lantai tiga kantor pusat Alvano Group. Pikirannya masih kacau, hatinya belum sepenuhnya yakin pada sikap Alvano. Tapi yang terjadi beberapa hari terakhir... semuanya membuat dia bingung. Mulai dari kejutan kecil seperti disiapkan makan siang di ruangannya — padahal biasanya Alvano bahkan tak peduli apakah dia makan atau tidak. Sampai satu hal yang paling mengejutkan: ia ditarik keluar dari proyek untuk dipindahkan ke posisi yang jauh lebih strategis, sebagai asisten pribadi CEO. “Kenapa aku?” tanyanya ketika dipanggil ke ruangan Alvano. “Karena kamu satu-satunya orang yang aku percaya sekarang,” jawab pria itu singkat. Tak ada senyum. Tak ada tatapan lembut. Tapi Aira tahu, itu bukan sekadar alasan kosong. Namun puncaknya terjadi pagi tadi. Aira sedang berjalan menuju lobi ketika melihat segerombolan wartawan menunggu di depan kantor. Mata mereka

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 44: Bukan Janji, Tapi Bukti

    “Kalau kamu mau cari pelarian, bukan ke aku, Alvano,” suara Aira terdengar tegas. Tatapannya dingin, nyaris tak menyisakan sedikit pun ruang untuk harapan. Alvano berdiri terpaku di ambang pintu apartemen Aira. Sudah dua hari sejak pernyataannya di depan media. Dua hari sejak ia menolak menyentuh kata “maaf” dan menggantinya dengan satu kalimat yang mengubah segalanya. Aku mencintainya. Dia istriku. Tapi sekarang, perempuan yang ia cintai bahkan tak sudi membiarkannya masuk. “Aku nggak datang untuk minta maaf,” ucap Alvano akhirnya. “Aku datang buat nunjukkin... kalau aku benar-benar serius sama kamu.” Aira terdiam. Jantungnya berdebar. Tapi wajahnya tetap keras. “Serius? Dengan datang tengah malam, tanpa kabar, tanpa kepastian?” “Aku sudah kasih klarifikasi ke publik. Semua orang tahu kamu istriku. Aku nggak mau kamu terus dihina kayak kemarin.” “Itu bukan bukti cinta, Alvano. Itu... tanggung jawab. Karena kamu yang nyeret aku ke hidup ini.” Alvano menghela napas. I

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 43: Luka yang Belum Pulih

    “Aku mencintaimu, Aira.” Kalimat itu menggantung di udara, berat dan menggetarkan. Tapi Aira hanya diam. Pandangannya tidak bergeser dari wajah Alvano, namun tatapannya dingin—berbeda dari biasanya. “Baru sadar sekarang?” suara Aira lirih, tapi tajam seperti pisau. “Setelah semua kekacauan terjadi, setelah aku dipermalukan di depan media, baru sekarang kamu bilang mencintai?” Alvano tampak gelisah. Ia melangkah mendekat, tapi Aira mundur selangkah, menjaga jarak. “Aku tahu aku terlambat,” ucapnya pelan. “Tapi perasaanku nyata, Aira. Aku nggak bisa lagi pura-pura.” Aira menggeleng pelan. “Kamu pikir aku butuh pengakuan sekarang? Setelah kamu dorong aku menjauh? Setelah kamu bilang sendiri kalau ini semua hanya kontrak, dan cinta nggak boleh masuk ke dalamnya?” “Aku salah.” “Benar. Kamu memang salah.” Aira menarik napas panjang, berusaha menahan luapan emosinya. “Dan kamu pikir satu kalimat pengakuan bisa menyelesaikan semuanya?” Alvano terdiam. Untuk pertama kalinya, pr

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 42: Tempat Itu, dan Jawaban di Antara Hening

    “Aku gila,” gumam Aira sambil memandangi pantulan dirinya di kaca etalase minimarket. Ia berdiri di seberang bangunan tua yang kini sudah berubah jadi galeri pameran resmi milik perusahaan Alvano. Tempat pertama kali mereka bertemu. Tempat ia dulu datang hanya untuk wawancara, tanpa tahu bahwa hidupnya akan jungkir balik sejak hari itu. Aira mengecek jam tangannya. Tujuh lewat lima menit. “Kalau dia serius, dia akan menunggu,” bisiknya. Dengan napas yang terasa berat, Aira menyeberang. Setiap langkahnya seperti mengoyak sisa-sisa harga diri yang tersisa. Tapi bukan karena ia menyerah—melainkan karena ia mulai berani jujur pada dirinya sendiri. Ia membuka pintu kaca galeri perlahan. Ruangan itu sepi, hanya diterangi lampu-lampu gantung yang lembut. Dan di tengahnya—berdiri seorang pria dengan jas hitam elegan, memunggunginya. “Alvano.” Pria itu berbalik. Matanya—mata yang biasanya dingin dan tak terbaca—kali ini tampak penuh emosi yang disembunyikan terlalu lama. “K

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status