Share

3. Sebagai Hidangan Utama

Tara mendengkus mengejek. “Pilihan lo nggak akan pernah gue lakukan.”

“Nggak ada satupun orang yang bisa memaksa ataupun menyuruh gue melakukan tarian. Gue melakukannya karena suka, bukan sebuah paksaan,” desis Tara.

Semua pria sama saja, tidak bisa melihat dan membiarkan para perempuan bebas mengekspresikan diri. Termasuk saat Kivanc baru beberapa menit lalu mencampahkan Tara dengan kalimat menyakitkan.

Sekarang, pria itu seolah ingin menarik kembali ucapan yang sudah dibuang tanpa perasaan. “Gue yakin lo pria yang memegang ucapannya sendiri. Apalagi lo udah melihat gue sebagai bukan kriteria lo,” tambah Tara.

Kivanc tersenyum tipis saat Tara berlalu memasuki salah satu kamar. Rencananya berhasil membuat Tara mengalah dan memutuskan pembicaraan mereka; mengalah.

Perempuan bertubuh semampai itu mematung di depan kamar. Ia baru saja memasuki pintu lain, lalu melihat interior dengan kamar yang sudah terisi. Di atas meja rias itu sudah terisi beberapa perlengkapan make up.

“Pakaian ganti kamu ada di lemari. Aku harap ukurannya pas.”

Tara berbalik dan menatap tajam pria yang sudah berdiri tenang di belakangnya. “Kamu suka pakai piama panjang atau gaun satin?”

“Apa lo salah satu keluarga dari orang yang sudah gue hancurkan?”

Sebelah alis Kivanc terangkat. Manik hijaunya menyiratkan pertanyaan balik. Tidak mengerti apa yang dibicarakan Tara.

Dengkusan kecil Tara terdengar menyebalkan di telinga perempuan itu sendiri. “Orang bodoh pun akan bertanya alasan di balik semua ini udah dipersiapkan. Lo menggali informasi mengenai gue, tapi lo juga sudah mempersiapkan semua ini.”

Kedua sudut bibir Kivanc terangkat. “Aku mempersiapkan sebaik mungkin kenyamanan tamu baru di apartemen ini. Dan aku sudah katakan, kalau aku belum memiliki satu teman pun di Jakarta,” jelas pria itu mengedipkan sebelah mata.

“Mengenai statusku di antara orang yang sudah kamu sakiti. Itu semua nggak benar. Aku hanya pria asing yang terpesona dengan kecerdasan kamu memanfaatkan tubuh.”

Secuil rasa nyeri terasa di dalam hati Tara. Ia sudah lama tidak merasakan sakit ketika diejek sedemikian rupa. Kedua tangan perempuan itu terkepal, lalu berbalik menuju lemari.

Keheningan membuatnya semakin yakin jika Kivanc masih berada di ambang pintu. Tara menarik seringai kecil. Ia sedikit menunduk dan menarik ujung gaun yang dikenakan.

Perlahan helaian yang melekat di tubuh sempurnanya tertarik, memperlihatkan tungkai atas mulus, lalu underware putih itu menjadi pandangan pertama yang menarik atensi Kivanc. “Bagian belakang sangat padat. Kamu membentuknya dengan sangat ideal.” seringai Kivanc terulas di paras blasteran.

Perempuan itu tersenyum puas dalam hati bisa memantik gairah Kivanc. Ia melanjutkan hingga kait bra senada terlihat di manik hijau Kivanc. Pria itu melihat jika Tara dengan sangat mudah menanggalkan gaun.

“Bisa lo tinggalkan gue sendirian di kamar?” wajahnya sedikit menoleh ke samping.

Ia dengan sengaja menyugar rambut terurai, membawa ke sisi samping bahu kiri dan memperlihatkan punggung mulus Tara.

“Berapa jumlah yang harus kubayar untuk memupuskan dendam yang kamu miliki, Tara?”

Satu panggilan khas itu membuat tubuh Tara membeku. Seringai nakal dan keinginan merayu Kivanc sebagai balasan, sedikit goyah oleh pertanyaan lembut tersebut.

Bahkan, Kivanc tidak berbalik untuk meninggalkan Tara. Ia berjalan masuk dengan tenang, menatap lurus punggung Tara yang sedikit menyisakan tato di area tengkuk, masih tertutupi rambut yang menjuntai pendek.

“Mau mendengarkan satu informasi penting?”

Namun, tubuh Tara sudah membeku dan napas perempuan itu tercekat dengan remasan Kivanc di salah satu dadanya. Tubuh Tara bergetar, bersama gairah yang terpantik saat telapak tangan itu lebih dari cukup menangkup bagian kanan miliknya. “Be-reng-sek,” cicit Tara ketika ia tidak diberikan pergerakan oleh sikap nakal Kivanc.

“Aku hanya ingin ganti memijat sebentar.”

“Bukannya lelaki tua itu sempat melakukannya di bagian ini? Kamu harus melupakan sentuhan menjijikkan itu dengan sentuhanku yang lebih menggairahkan.”

Sial!

Tara berhasil meloloskan desahannya.

Ia mendongak, merasa kedua tungkai melemah hanya dengan permainan Kivanc di sana.

“Berjanjilah padaku untuk menghentikan semua hal bodoh yang kamu lakukan, Nona Gistara.”

“Aku memberi kamu waktu selama dua puluh empat jam penuh, sebelum beberapa orang suruhan lelaki tua itu mencari keberadaanmu.”

“Adik kesayangan kamu bukan korban tabrak lari biasa. Dia bernasib malang karena kesalahan fatal yang sudah kamu perbuat.” Tara merasakan gemuruh dalam dadanya.

“Sekarang kamu layaknya buronan yang sedang dalam pencarian mereka. Kamu nggak bisa dengan mudah melawan sendirian, sedangkan mereka memiliki pengaruh besar di kota ini.”

Kivanc meremas satu bagian lagi dan merasa puas saat desahan Tara terdengar. Ia tahu perempuan itu sedang ketakutan sekaligus merasa menjijikan dengan dirinya sendiri karena berhasil terangsang sentuhan pria di belakangnya.

“Aku menyayangkan jika perempuan seksi seperti kamu bisa dinikmati oleh segerombolan pria berengsek lainnya. Mereka siap menikmati hidangan utama dengan pesta yang akan membuat kamu berkali-kali puas,” desisnya tersenyum miring saat mendapati wajah pucat Tara di cermin rias samping mereka.

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status