Tara mendengkus mengejek. “Pilihan lo nggak akan pernah gue lakukan.”
“Nggak ada satupun orang yang bisa memaksa ataupun menyuruh gue melakukan tarian. Gue melakukannya karena suka, bukan sebuah paksaan,” desis Tara.
Semua pria sama saja, tidak bisa melihat dan membiarkan para perempuan bebas mengekspresikan diri. Termasuk saat Kivanc baru beberapa menit lalu mencampahkan Tara dengan kalimat menyakitkan.
Sekarang, pria itu seolah ingin menarik kembali ucapan yang sudah dibuang tanpa perasaan. “Gue yakin lo pria yang memegang ucapannya sendiri. Apalagi lo udah melihat gue sebagai bukan kriteria lo,” tambah Tara.
Kivanc tersenyum tipis saat Tara berlalu memasuki salah satu kamar. Rencananya berhasil membuat Tara mengalah dan memutuskan pembicaraan mereka; mengalah.
Perempuan bertubuh semampai itu mematung di depan kamar. Ia baru saja memasuki pintu lain, lalu melihat interior dengan kamar yang sudah terisi. Di atas meja rias itu sudah terisi beberapa perlengkapan make up.
“Pakaian ganti kamu ada di lemari. Aku harap ukurannya pas.”
Tara berbalik dan menatap tajam pria yang sudah berdiri tenang di belakangnya. “Kamu suka pakai piama panjang atau gaun satin?”
“Apa lo salah satu keluarga dari orang yang sudah gue hancurkan?”
Sebelah alis Kivanc terangkat. Manik hijaunya menyiratkan pertanyaan balik. Tidak mengerti apa yang dibicarakan Tara.
Dengkusan kecil Tara terdengar menyebalkan di telinga perempuan itu sendiri. “Orang bodoh pun akan bertanya alasan di balik semua ini udah dipersiapkan. Lo menggali informasi mengenai gue, tapi lo juga sudah mempersiapkan semua ini.”
Kedua sudut bibir Kivanc terangkat. “Aku mempersiapkan sebaik mungkin kenyamanan tamu baru di apartemen ini. Dan aku sudah katakan, kalau aku belum memiliki satu teman pun di Jakarta,” jelas pria itu mengedipkan sebelah mata.
“Mengenai statusku di antara orang yang sudah kamu sakiti. Itu semua nggak benar. Aku hanya pria asing yang terpesona dengan kecerdasan kamu memanfaatkan tubuh.”
Secuil rasa nyeri terasa di dalam hati Tara. Ia sudah lama tidak merasakan sakit ketika diejek sedemikian rupa. Kedua tangan perempuan itu terkepal, lalu berbalik menuju lemari.
Keheningan membuatnya semakin yakin jika Kivanc masih berada di ambang pintu. Tara menarik seringai kecil. Ia sedikit menunduk dan menarik ujung gaun yang dikenakan.
Perlahan helaian yang melekat di tubuh sempurnanya tertarik, memperlihatkan tungkai atas mulus, lalu underware putih itu menjadi pandangan pertama yang menarik atensi Kivanc. “Bagian belakang sangat padat. Kamu membentuknya dengan sangat ideal.” seringai Kivanc terulas di paras blasteran.
Perempuan itu tersenyum puas dalam hati bisa memantik gairah Kivanc. Ia melanjutkan hingga kait bra senada terlihat di manik hijau Kivanc. Pria itu melihat jika Tara dengan sangat mudah menanggalkan gaun.
“Bisa lo tinggalkan gue sendirian di kamar?” wajahnya sedikit menoleh ke samping.
Ia dengan sengaja menyugar rambut terurai, membawa ke sisi samping bahu kiri dan memperlihatkan punggung mulus Tara.
“Berapa jumlah yang harus kubayar untuk memupuskan dendam yang kamu miliki, Tara?”
Satu panggilan khas itu membuat tubuh Tara membeku. Seringai nakal dan keinginan merayu Kivanc sebagai balasan, sedikit goyah oleh pertanyaan lembut tersebut.
Bahkan, Kivanc tidak berbalik untuk meninggalkan Tara. Ia berjalan masuk dengan tenang, menatap lurus punggung Tara yang sedikit menyisakan tato di area tengkuk, masih tertutupi rambut yang menjuntai pendek.
“Mau mendengarkan satu informasi penting?”
Namun, tubuh Tara sudah membeku dan napas perempuan itu tercekat dengan remasan Kivanc di salah satu dadanya. Tubuh Tara bergetar, bersama gairah yang terpantik saat telapak tangan itu lebih dari cukup menangkup bagian kanan miliknya. “Be-reng-sek,” cicit Tara ketika ia tidak diberikan pergerakan oleh sikap nakal Kivanc.
“Aku hanya ingin ganti memijat sebentar.”
“Bukannya lelaki tua itu sempat melakukannya di bagian ini? Kamu harus melupakan sentuhan menjijikkan itu dengan sentuhanku yang lebih menggairahkan.”
Sial!
Tara berhasil meloloskan desahannya.
Ia mendongak, merasa kedua tungkai melemah hanya dengan permainan Kivanc di sana.
“Berjanjilah padaku untuk menghentikan semua hal bodoh yang kamu lakukan, Nona Gistara.”
“Aku memberi kamu waktu selama dua puluh empat jam penuh, sebelum beberapa orang suruhan lelaki tua itu mencari keberadaanmu.”
“Adik kesayangan kamu bukan korban tabrak lari biasa. Dia bernasib malang karena kesalahan fatal yang sudah kamu perbuat.” Tara merasakan gemuruh dalam dadanya.
“Sekarang kamu layaknya buronan yang sedang dalam pencarian mereka. Kamu nggak bisa dengan mudah melawan sendirian, sedangkan mereka memiliki pengaruh besar di kota ini.”
Kivanc meremas satu bagian lagi dan merasa puas saat desahan Tara terdengar. Ia tahu perempuan itu sedang ketakutan sekaligus merasa menjijikan dengan dirinya sendiri karena berhasil terangsang sentuhan pria di belakangnya.
“Aku menyayangkan jika perempuan seksi seperti kamu bisa dinikmati oleh segerombolan pria berengsek lainnya. Mereka siap menikmati hidangan utama dengan pesta yang akan membuat kamu berkali-kali puas,” desisnya tersenyum miring saat mendapati wajah pucat Tara di cermin rias samping mereka.
**
“Maaf, Tuan. Nona Gistara berhasil kabur dengan mengelabui kami berdua.” deru napas tersengal terdengar jelas di telinga Kivanc. Pria itu melirik sekilas dari samping, jika dua anak buahnya datang menemui Kivanc di salah satu ruang kerja yang ada di unit apartemen baru miliknya. Mereka memperlihatkan raut menyesal dan sangat takut telah gagal memantau Tara di ruang gym. “Benar, Tuan. Nona Gistara sudah pergi dari ruang gym yang hanya menyisakan beberapa orang saja,” timpal satu pria lagi. Mereka juga ditugaskan untuk ganti memakai pakaian olahraga. Tapi mereka tidak pernah berpikir, jika Tara akan mengabaikan ancaman Kivanc tadi pagi. Karena perempuan itu meminta izin secara memaksa untuk menikmati fasilitas di area gedung apartemen. Kivanc tersenyum samar. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaan yang tertunda. Cuaca di Jakarta dan pemandangannya sudah lama tidak ia temui. “Kalian sudah melakukan hal yang tepat,” balas pria itu berdiri, lalu memandang mereka yang memperlihatkan raut
“Kamu? Aku pikir siapa yang bertamu sore hari dengan membunyikan bel terus menerus.” Kivanc menyambut tamu kehormatannya di depan pintu unit. Paras dingin itu tetap saja memperlihatkan raut pucat yang kentara. “Apalagi nggak ada sopan satun dalam menekan bel.” Kivanc tersenyum samar. Ia sudah cukup puas, meskipun hanya melihat raut pucat Tara yang menipis. Pria itu akui, jika Tara memang memiliki ego yang tinggi dan selalu berusaha keras menutupi kelemahannya. Sorot manik hitam itu memandang lurus Kivanc. “Mereka datang sesuai apa yang lo prediksi.” Kening pria keturunan Jerman – Turki itu mengernyit. Ia masih nyaman berdiri di ambang pintu, membiarkan Tara tidak ia persilakan masuk dengan cepat. “Siapa yang kamu maksud dengan kata mereka?” Tara menatap datar Kivanc celingukan di balik tubuhnya, menelisik keadaan sekitar lantai koridor. Tidak banyak orang lewat di area koridor, kecuali beberapa petugas kebersihan. “Gue memang cukup kaget karena ini kali pertama rencana gue gagal
Tara menatap dingin kekacauan kamar yang ia ciptakan. Seluruh barang berserakan dan lampu tidur itu sudah rusak. Benda tersebut beberapa waktu lalu dilempar ke arah Kivanc dan mengenai perut pria keturunan Jerman – Turki. “Dia berbohong,” desis Tara, mengingat erangan Kivanc tidak sesuai apa yang terjadi selanjutnya. Pria itu justru menenangkan Tara yang tertangkap menitikan air mata, mencoba meraih bahu dan berucap jika Kivanc baik-baik saja. Sepertinya ia terlalu berlebihan untuk menyesal telah melakukan hal kejam pada pemilik unit. Ia juga tidak bisa mengendalikan diri saat potongan ingatan itu silih berganti hampir sama, mengulang Tara dalam masa lalu kelam. Kedua tangan Tara terkepal kuat. Sorot tajam perempuan yang masih berbalut handuk menatap dirinya sendiri dari pantulan cermin rias. Ada retak kecil di titik fokus akibat lemparan Tara yang sangat brutal dan tidak terkendali. “Pria asing itu hampir tau kelemahan gue,” ucap perempuan itu. Rahang Tara mengetat dengan embusa
Sirene ambulans menarik atensi nyaris seluruh penghuni kompleks perumahan dengan type satu tingkat itu. Mereka keluar, melihat ambulans berhenti di salah satu rumah dan dengan cepat membawa satu lelaki mendapatkan perawatan intensif. Lelaki itu tergolek lemah di atas brankar, mengandalkan hidup dari masker oksigen. Napasnya nyaris terputus dan suara histeris sang istri tidak terelakkan. Banyak dari mereka bersimpati, mendekat lalu memberikan kata penenang. Kenapa dia nggak langsung mati? Manik hitam Tara terus saja menyorot sang istri lelaki tersebut yang meraung penuh tangis. Ia melihat sang istri yang mulai ikut naik ke dalam ambulans, disusul petugas medis lainnya yang sigap. “Suami Bu Diandra terkena serangan jantung.” “Untung ambulansnya cepat datang,” timpal salah satu ibu-ibu dari mereka yang berkumpul. Tara hanya melirik malas. Ia pikir, tetangga yang rumahnya hanya disekat oleh dua rumah lain, bisa membawa kabar yang membahagiakan untuk dirinya. Tapi di saat jam sudah m
Tara membuka pintu rumah dan mendapati perempuan cantik itu sudah terlihat lelah. “Sorry, Ra! Gue abis ngerayain ulang tahun teman gue dan baru di antar jam segini,” ucapnya tersengal. Karena portal kompleks sudah ditutup dan jika mengambil arah lain, maka akan jauh memutar. Ia lebih baik mengambil rute cepat dan memang harus sedikit berlari karena keadaan malam yang sudah sepi. Tara melirik jam di dinding ruang tamu. “Nggak apa-apa jam setengah satu lo datang. Kebetulan Flo tidur lebih larut karena masih ketakutan,” cetus Tara membuka pintu untuk Karina—teman semasa kuliah Tara—berbeda jurusan. Keduanya dipertemukan karena sebagai mahasiswi baru dan saling mengurus segala administrasi bersama. “Jadi beneran, si tua bangka itu kena serangan jantung?” Karina duduk nyaman seraya mengumpulkan oksigen lebih banyak. Karena lari malam tanpa pemanasan memang sangat menyebalkan. Ia melihat Tara duduk tenang di hadapannya dan mengangguk santai. “Tadinya gue udah berharap dia mati lebih c
Karina mengerjap tidak menyangka sambil memertahankan tangan yang menyibak gorden. Manik hitam perempuan itu menelisik lebih lekat kegiatan apa saja yang ada di rumah seberang Tara. Lampu teras menyala dan bagian kamar pun sama. Tidak terlihat mencurigakan sama sekali. Gorden itu ditutup cepat. “Gue tertinggal banyak berita dari lo karena sibuk kerja,” cetus perempuan memperlihatkan raut kaget yang belum bisa pudar. “Sampai pada akhirnya, gue diberitahu sama lo tentang pria asing itu tinggal berseberangan. Gue rasa dia beneran bukan orang kayak kita atau seseorang yang menghabiskan liburan di negara ini.” Karina memberikan penjelasan sambil mengambil duduk di depan Tara. Ia biarkan Tara menikmati nikotin yang terjepit cantik di jemari lentiknya. Keadaan di sekitar mereka sudah sangat tepat membiarkan Tara merokok karena Flora yang sudah terlelap di kamar. “Gue dijanjikan lebih dari 1M sama dia.” “Satu em—“ “—ber.” Bibir Karina terkatup rapat antara ingin terbahak atau melanjutk
Pagi ini Tara berbagi tugas dengan Karina. Perempuan itu membawa Flora ikut bekerja di salah satu perusahaan ternama, membiarkan anak perempuan manis itu duduk dan menunggu Karina menyelesaikan pekerjaannya.Setidaknya, Karina mendapatkan akses lebih bisa membawa orang lain, melalui jalur orang dalam. Karena anak dari pemilik perusahaan itu adalah kekasih Karina.Jadi, Tara akan aman menitipkan Flora pada Karina dan ia bersiap membereskan rumah, lalu pergi bekerja di showroom. Ini kali terakhir ia bekerja setengah hari, lalu mengajukan pengunduran diri dan berangkat sore hari.Ia adalah satu-satunya orang yang berani meminta pekerjaan, tapi disesuaikan dengan kebutuhan Tara.Perempuan itu hanya tidak ingin meninggalkan Flora terlalu lama dan membuat anak perempuan itu kesepian.Dunia terlalu kejam dan terkadang lingkup sekitar sangat rentan membawa perkara. Karena ia tidak memercayai orang lain lagi apalagi membiarkan Flora sendirian di rumah, ditinggal saat Tara bekerja.“Lantainya t
“Wow! Ambil cuti istirahat atau mau liburan? Mudah banget ya, izin satu bulan penuh dan sangat mudah lo dapatkan. Asik banget, sih.”Tara mengabaikan sindiran keras Adisty yang mendatanginya ke area loker karyawan.“Padahal, nggak ada tanggal merah ataupun libur besar lainnya,” sambung Adisty menyandarkan punggung di samping loker Tara.Senyum sinis dan tatapan merendahkan diterima Tara saat perempuan itu menutup, lalu mengunci loker miliknya.Ia sedang membereskan beberapa barang yang akan dibawa pulang. Tara bukan tunduk pada ancaman atau raut puas Kivanc pagi tadi. Ia hanya memikirkan untuk menyepi sementara waktu dari kejaran sang politikus yang sewaktu-waktu akan balik mencari celah, lalu menculik atau bisa berakhir membunuh Tara.Ucapan Adisty adalah sindiran keras karena pemilik tempat perempuan itu bernaung sangat mudah memberikan kelonggaran bagi pegawai spesial. Oh, iya, ralat. Lebih tepatnya sangat spesial.Adisty melipat kedua tangan di dada. “Lo hargai berapa tubuh lo sam