Share

2. Lawan Seimbang

“Di mana adik gue? Kenapa lo bawa gue ke sini?”

Tara mengikuti langkah pria asing itu yang terus berjalan menjauhi Tara. Kivanc hanya ingin duduk di kursi minibar, menuang wine dan menikmati ketenangannya ditemani kehadiran Tara di sisinya. “Ini kali pertama gue berurusan dengan pria aneh kayak lo.”

Wajah Kivanc memandang Tara dengan tatapan mengejek. “Dan kali pertama aku bertemu kamu. Seorang perempuan yang minim senyum, ekspresi manis dan menggairahkan. Kamu terlalu dipandang misterius oleh pria di dalam klub. Tapi mampu memikat mereka untuk masuk dalam perangkap kamu,” jelas Kivanc.

Pria itu memosisikan duduk menghadap Tara. Dipandanginya paras cantik yang kini menunjukkan lagi tatapan dingin. “Aku akan memberitahu di mana adik kamu berada, kalau perjanjian di antara kita sudah disepakati.”

Tara menarik sudut bibir. “Lo berpikir, gue akan mengikuti permintaan yang lo buat sepihak? Keuntungan akan tetap berjalan di pihak lo. Mungkin, gue akan menjadi budak seks—“

“—Kamu bukan tipe perempuan yang aku suka. Bahkan, membawa kamu ke ranjang untuk menghangatkan milikku ... nggak pernah terpikirkan sama sekali.”

Bibir ranum itu terkatup rapat. Sedikit nyeri melintas saat kali pertama ada pria lain yang berhasil mencampakannya lewat ucapan santai. Harga dirinya jauh lebih dipertaruhkan saat kalimat itu menghunus tepat di dalam hati Tara.

Tara menahan gejolak berlebih. Ia sedikit mendongakkan wajah saat pria tinggi bertubuh atletis itu berdiri di hadapannya. Sebuah sentuhan di dagu ditepis kasar.

Kivanc terkekeh pelan dengan penolakan Tara. “Apa aku nggak bisa mencicipi bibir ranum kamu sedikit aja, Nona?” tanya Kivanc.

“Lo munafik,” desis Tara mengingat ucapan Kivanc belum terhitung lima menit.

Pria itu mendengkus geli dengan anggukan pelan. “Ah, iya. Aku lupa mengingat penjelasanku tadi,” balas pria itu membawa telapak tangan menangkup pipi Tara.

Telapak tangan itu menyentuh permukaan kulit pipi Tara begitu lembut. Gelenyar dalam tubuh Tara tidak bisa ditolak. Ia tertegun. Terkunci sesaat memandang lekat manik hijau tersebut. “Kivanc.”

Ia menyeringai tipis saat manik hitam Tara mengerjap. “Kita belum berkenalan sama sekali, meskipun aku sudah mengetahui nama kamu dan sedikit identitas yang kamu miliki. Jadi, ingat baik-baik namaku, Nona,” jelas Kivanc.

Tara menghempaskan kasar tangan Kivanc. Tatapannya berubah tajam, memberikan penolakan kuat untuk terikat lebih jauh dengan Kivanc. “Beritahu gue di mana Flora dan urusan kita bisa selesai.”

“Sebelum kamu menandatangani surat perjanjian di antara kita. Aku nggak akan mempertemukan kamu bersama adik kesayangan kamu,” balas pria itu.

“Lo ingin bermain-main dengan gue?” tanya Tara dingin. Ia sudah lelah dan tidak terbiasa berada lebih lama dengan seorang pria dalam satu ruangan.

Bukan. Ini hanya percakapan intim yang membuang waktu dibandingkan saat Tara harus bermanja menjebak seseorang.

“Kalau lo menginginkan gue nggak mengusik keharmonisan pasangan lain. Itu akan gue lakukan mulai detik ini. Sekarang beritahu gue di mana Flora, lalu urusan kita selesai sampai di sini.”

“Ternyata kamu sangat keras kepala,” balas Kivanc mendengkus geli.

Ia melemparkan tatapan menyelidik di balik senyum manis yang ia berikan. Dengan satu jentikan jari, seorang pria mengetuk pintu yang menghubungkan pantri. Pria itu datang dari arah ruang tengah.

Seorang pria berkelapa pelontos dengan kaus ketat berwarna hitam mendekati Kivanc, lalu menyerahkan satu map berisi lembaran kertas. Pulpen itu terselip di dalam lembaran yang diperlihatkan Kivanc di atas minibar.

Jemari Kivanc terketuk di atas surat. “Silakan baca dan tandatangani kalau kamu ingin aman dengan adikmu,” ucap Kivanc.

Kening Tara mengkerut. Ia mendekat, lalu menelisik isi dari perjanjian dan dibalas dengkusan mengejek. “Lo nggak berusaha mencari kesempatan?”

“Buat apa? Aku udah bilang nggak tertarik sama tubuh kamu.”

Embusan napas santai berbanding terbalik dengan rahang Tara yang mengetat. Ia tidak mengerti alasan di balik keinginan kuat Kivanc mengurung Tara dalam perangkap lewat sebuah perjanjian kontrak.

Di dalam tertera jelas, jika Kivanc hanya meminta Tara tidak melanggar kesepakatan mengenai Tara sebagai perusak hubungan orang. Ia jelas mendeskripsikan posisi Tara sebagai perempuan simpanan atau selingkuhan.

“Dan lo begitu peduli sama gue?”

“Kamu perempuan baik. Aku percaya itu.”

Tubuh Tara membeku. Kalimat lembut itu meluncur, memecahkan ketegangan dan rasa kesal Tara terhadap Kivanc. Pria itu memberikan tatapan teduh, lalu menarik kedua sudut bibir. “Aku nggak tau sepenuhnya tentang apa yang kamu lalui hingga detik ini. Tapi melihat kamu hidup dalam dendam, kamu hanya akan merusak diri kamu sendiri.”

“Satu atau dua kali, kamu bisa bebas dari kejaran mereka. Sayangnya, kamu lupa berhadapan dengan siapa. Target yang sudah berada dalam jebakan kamu. Mereka semua memiliki pengaruh besar di kota ini. Kamu salah jika sudah merasa aman dan menang,” jelas Kivanc, membuat wajah Tara merah padam.

Ia menggeleng tegas. Merasa sudah terlalu jauh Kivanc menerka jalan hidupnya. Perempuan itu segera mengambil alih map berisi perjanjian. “Lo menginginkan gue tunduk di hadapan lo, kan?” map itu diperlihatkan tepat di depan Kivanc.

Tara menaikkan sebelah alis, lalu memberikan tatapan dingin bersama lembaran yang dirobek. “Gue nggak peduli dengan apa pun, termasuk saat lo mengancam gue lewat adik yang entah di mana keberadaannya.”

“Setelah ini gue akan laporkan lo atas kasus penculikan terhadap anak kecil,” desis Tara berbalik meninggalkan Kivanc yang tidak menahan kepergian Tara.

Pria itu justru mendengkus geli. Ia kembali duduk dan menikmati minuman di saat sebenarnya perempuan itu dalam pengintaian orang jahat. “Mari kita lihat, apa yang terjadi setelah ini,” gumam Kivanc.

“Berengsek,” desis Tara berulang kali membuka kenop pintu, tapi tetap saja celah untuknya keluar sangat sulit.

Suara dari belakang membuat Tara berbalik dan menatap nyalang Kivanc. “Lo takut sampai harus mengurung gue di sini?”

“Takut untuk apa?” tanya balik Kivanc menantang dengan seringai tipis.

Kedua tangan pria itu dimasukkan dalam saku celana, berjalan mendekati Tara dengan tatapan lembut. “Silakan kamu pergi dari sini, Nona.”

“Dasar pria gila!”

“Apa gue bisa keluar dari sini dengan kunci yang lo simpan?”

Bahkan, ada alternatif lain untuk membuka pintu unit ini dengan sebuah password. Namun, Tara juga tidak tahu mengenai kode tersebut. “Kamu masih memiliki cara lain untuk keluar dari sini.”

Tara merasakan embusan napas memburu dan kedua tangan yang terasa ringan untuk memberikan pukulan bertubi. Pria itu sedang mempermainkan Tara, menguji kesabaran yang sejak beberapa tahun lalu ditutupi oleh sikap datar.

Dirinya tidak pernah tersulut emosi sejauh ini. “Apa yang bisa gue lakukan biar keluar dari neraka ini?”

Kivanc tertawa mendengar pertanyaan sekaligus menjadi sindiran sarkas. “Kamu terlalu berlebihan memikirkan penculikan adik angkat, lalu mendapati diri kamu berada di sini. Aku hanya ingin mengundang tamu baru. Karena kamu orang pertama berstatus asing yang menjejaki apartemen ini.”

“Aku belum mengenal siapa pun di kota ini,” tambah pria itu memberikan tatapan sedih.

Tara membuang pandangan. Ia tidak peduli ada cerita terselip tentang siapa dan bagaimana pria itu menghabiskan hari di Jakarta.

“Hanya ada satu cara jika kamu ingin pergi dari sini.”

Kivanc menemukan manik hitam itu menyorot tajam. Pria itu kembali menilik tubuh sempurna Tara, lalu berucap nyaris terkesan sensual, “Menarilah untukku malam ini.”

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status