“Di mana adik gue? Kenapa lo bawa gue ke sini?”
Tara mengikuti langkah pria asing itu yang terus berjalan menjauhi Tara. Kivanc hanya ingin duduk di kursi minibar, menuang wine dan menikmati ketenangannya ditemani kehadiran Tara di sisinya. “Ini kali pertama gue berurusan dengan pria aneh kayak lo.”
Wajah Kivanc memandang Tara dengan tatapan mengejek. “Dan kali pertama aku bertemu kamu. Seorang perempuan yang minim senyum, ekspresi manis dan menggairahkan. Kamu terlalu dipandang misterius oleh pria di dalam klub. Tapi mampu memikat mereka untuk masuk dalam perangkap kamu,” jelas Kivanc.
Pria itu memosisikan duduk menghadap Tara. Dipandanginya paras cantik yang kini menunjukkan lagi tatapan dingin. “Aku akan memberitahu di mana adik kamu berada, kalau perjanjian di antara kita sudah disepakati.”
Tara menarik sudut bibir. “Lo berpikir, gue akan mengikuti permintaan yang lo buat sepihak? Keuntungan akan tetap berjalan di pihak lo. Mungkin, gue akan menjadi budak seks—“
“—Kamu bukan tipe perempuan yang aku suka. Bahkan, membawa kamu ke ranjang untuk menghangatkan milikku ... nggak pernah terpikirkan sama sekali.”
Bibir ranum itu terkatup rapat. Sedikit nyeri melintas saat kali pertama ada pria lain yang berhasil mencampakannya lewat ucapan santai. Harga dirinya jauh lebih dipertaruhkan saat kalimat itu menghunus tepat di dalam hati Tara.
Tara menahan gejolak berlebih. Ia sedikit mendongakkan wajah saat pria tinggi bertubuh atletis itu berdiri di hadapannya. Sebuah sentuhan di dagu ditepis kasar.
Kivanc terkekeh pelan dengan penolakan Tara. “Apa aku nggak bisa mencicipi bibir ranum kamu sedikit aja, Nona?” tanya Kivanc.
“Lo munafik,” desis Tara mengingat ucapan Kivanc belum terhitung lima menit.
Pria itu mendengkus geli dengan anggukan pelan. “Ah, iya. Aku lupa mengingat penjelasanku tadi,” balas pria itu membawa telapak tangan menangkup pipi Tara.
Telapak tangan itu menyentuh permukaan kulit pipi Tara begitu lembut. Gelenyar dalam tubuh Tara tidak bisa ditolak. Ia tertegun. Terkunci sesaat memandang lekat manik hijau tersebut. “Kivanc.”
Ia menyeringai tipis saat manik hitam Tara mengerjap. “Kita belum berkenalan sama sekali, meskipun aku sudah mengetahui nama kamu dan sedikit identitas yang kamu miliki. Jadi, ingat baik-baik namaku, Nona,” jelas Kivanc.
Tara menghempaskan kasar tangan Kivanc. Tatapannya berubah tajam, memberikan penolakan kuat untuk terikat lebih jauh dengan Kivanc. “Beritahu gue di mana Flora dan urusan kita bisa selesai.”
“Sebelum kamu menandatangani surat perjanjian di antara kita. Aku nggak akan mempertemukan kamu bersama adik kesayangan kamu,” balas pria itu.
“Lo ingin bermain-main dengan gue?” tanya Tara dingin. Ia sudah lelah dan tidak terbiasa berada lebih lama dengan seorang pria dalam satu ruangan.
Bukan. Ini hanya percakapan intim yang membuang waktu dibandingkan saat Tara harus bermanja menjebak seseorang.
“Kalau lo menginginkan gue nggak mengusik keharmonisan pasangan lain. Itu akan gue lakukan mulai detik ini. Sekarang beritahu gue di mana Flora, lalu urusan kita selesai sampai di sini.”
“Ternyata kamu sangat keras kepala,” balas Kivanc mendengkus geli.
Ia melemparkan tatapan menyelidik di balik senyum manis yang ia berikan. Dengan satu jentikan jari, seorang pria mengetuk pintu yang menghubungkan pantri. Pria itu datang dari arah ruang tengah.
Seorang pria berkelapa pelontos dengan kaus ketat berwarna hitam mendekati Kivanc, lalu menyerahkan satu map berisi lembaran kertas. Pulpen itu terselip di dalam lembaran yang diperlihatkan Kivanc di atas minibar.
Jemari Kivanc terketuk di atas surat. “Silakan baca dan tandatangani kalau kamu ingin aman dengan adikmu,” ucap Kivanc.
Kening Tara mengkerut. Ia mendekat, lalu menelisik isi dari perjanjian dan dibalas dengkusan mengejek. “Lo nggak berusaha mencari kesempatan?”
“Buat apa? Aku udah bilang nggak tertarik sama tubuh kamu.”
Embusan napas santai berbanding terbalik dengan rahang Tara yang mengetat. Ia tidak mengerti alasan di balik keinginan kuat Kivanc mengurung Tara dalam perangkap lewat sebuah perjanjian kontrak.
Di dalam tertera jelas, jika Kivanc hanya meminta Tara tidak melanggar kesepakatan mengenai Tara sebagai perusak hubungan orang. Ia jelas mendeskripsikan posisi Tara sebagai perempuan simpanan atau selingkuhan.
“Dan lo begitu peduli sama gue?”
“Kamu perempuan baik. Aku percaya itu.”
Tubuh Tara membeku. Kalimat lembut itu meluncur, memecahkan ketegangan dan rasa kesal Tara terhadap Kivanc. Pria itu memberikan tatapan teduh, lalu menarik kedua sudut bibir. “Aku nggak tau sepenuhnya tentang apa yang kamu lalui hingga detik ini. Tapi melihat kamu hidup dalam dendam, kamu hanya akan merusak diri kamu sendiri.”
“Satu atau dua kali, kamu bisa bebas dari kejaran mereka. Sayangnya, kamu lupa berhadapan dengan siapa. Target yang sudah berada dalam jebakan kamu. Mereka semua memiliki pengaruh besar di kota ini. Kamu salah jika sudah merasa aman dan menang,” jelas Kivanc, membuat wajah Tara merah padam.
Ia menggeleng tegas. Merasa sudah terlalu jauh Kivanc menerka jalan hidupnya. Perempuan itu segera mengambil alih map berisi perjanjian. “Lo menginginkan gue tunduk di hadapan lo, kan?” map itu diperlihatkan tepat di depan Kivanc.
Tara menaikkan sebelah alis, lalu memberikan tatapan dingin bersama lembaran yang dirobek. “Gue nggak peduli dengan apa pun, termasuk saat lo mengancam gue lewat adik yang entah di mana keberadaannya.”
“Setelah ini gue akan laporkan lo atas kasus penculikan terhadap anak kecil,” desis Tara berbalik meninggalkan Kivanc yang tidak menahan kepergian Tara.
Pria itu justru mendengkus geli. Ia kembali duduk dan menikmati minuman di saat sebenarnya perempuan itu dalam pengintaian orang jahat. “Mari kita lihat, apa yang terjadi setelah ini,” gumam Kivanc.
“Berengsek,” desis Tara berulang kali membuka kenop pintu, tapi tetap saja celah untuknya keluar sangat sulit.
Suara dari belakang membuat Tara berbalik dan menatap nyalang Kivanc. “Lo takut sampai harus mengurung gue di sini?”
“Takut untuk apa?” tanya balik Kivanc menantang dengan seringai tipis.
Kedua tangan pria itu dimasukkan dalam saku celana, berjalan mendekati Tara dengan tatapan lembut. “Silakan kamu pergi dari sini, Nona.”
“Dasar pria gila!”
“Apa gue bisa keluar dari sini dengan kunci yang lo simpan?”
Bahkan, ada alternatif lain untuk membuka pintu unit ini dengan sebuah password. Namun, Tara juga tidak tahu mengenai kode tersebut. “Kamu masih memiliki cara lain untuk keluar dari sini.”
Tara merasakan embusan napas memburu dan kedua tangan yang terasa ringan untuk memberikan pukulan bertubi. Pria itu sedang mempermainkan Tara, menguji kesabaran yang sejak beberapa tahun lalu ditutupi oleh sikap datar.
Dirinya tidak pernah tersulut emosi sejauh ini. “Apa yang bisa gue lakukan biar keluar dari neraka ini?”
Kivanc tertawa mendengar pertanyaan sekaligus menjadi sindiran sarkas. “Kamu terlalu berlebihan memikirkan penculikan adik angkat, lalu mendapati diri kamu berada di sini. Aku hanya ingin mengundang tamu baru. Karena kamu orang pertama berstatus asing yang menjejaki apartemen ini.”
“Aku belum mengenal siapa pun di kota ini,” tambah pria itu memberikan tatapan sedih.
Tara membuang pandangan. Ia tidak peduli ada cerita terselip tentang siapa dan bagaimana pria itu menghabiskan hari di Jakarta.
“Hanya ada satu cara jika kamu ingin pergi dari sini.”
Kivanc menemukan manik hitam itu menyorot tajam. Pria itu kembali menilik tubuh sempurna Tara, lalu berucap nyaris terkesan sensual, “Menarilah untukku malam ini.”
**
Tara mendengkus mengejek. “Pilihan lo nggak akan pernah gue lakukan.” “Nggak ada satupun orang yang bisa memaksa ataupun menyuruh gue melakukan tarian. Gue melakukannya karena suka, bukan sebuah paksaan,” desis Tara. Semua pria sama saja, tidak bisa melihat dan membiarkan para perempuan bebas mengekspresikan diri. Termasuk saat Kivanc baru beberapa menit lalu mencampahkan Tara dengan kalimat menyakitkan. Sekarang, pria itu seolah ingin menarik kembali ucapan yang sudah dibuang tanpa perasaan. “Gue yakin lo pria yang memegang ucapannya sendiri. Apalagi lo udah melihat gue sebagai bukan kriteria lo,” tambah Tara. Kivanc tersenyum tipis saat Tara berlalu memasuki salah satu kamar. Rencananya berhasil membuat Tara mengalah dan memutuskan pembicaraan mereka; mengalah. Perempuan bertubuh semampai itu mematung di depan kamar. Ia baru saja memasuki pintu lain, lalu melihat interior dengan kamar yang sudah terisi. Di atas meja rias itu sudah terisi beberapa perlengkapan make up. “Pakaian
“Maaf, Tuan. Nona Gistara berhasil kabur dengan mengelabui kami berdua.” deru napas tersengal terdengar jelas di telinga Kivanc. Pria itu melirik sekilas dari samping, jika dua anak buahnya datang menemui Kivanc di salah satu ruang kerja yang ada di unit apartemen baru miliknya. Mereka memperlihatkan raut menyesal dan sangat takut telah gagal memantau Tara di ruang gym. “Benar, Tuan. Nona Gistara sudah pergi dari ruang gym yang hanya menyisakan beberapa orang saja,” timpal satu pria lagi. Mereka juga ditugaskan untuk ganti memakai pakaian olahraga. Tapi mereka tidak pernah berpikir, jika Tara akan mengabaikan ancaman Kivanc tadi pagi. Karena perempuan itu meminta izin secara memaksa untuk menikmati fasilitas di area gedung apartemen. Kivanc tersenyum samar. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaan yang tertunda. Cuaca di Jakarta dan pemandangannya sudah lama tidak ia temui. “Kalian sudah melakukan hal yang tepat,” balas pria itu berdiri, lalu memandang mereka yang memperlihatkan raut
“Kamu? Aku pikir siapa yang bertamu sore hari dengan membunyikan bel terus menerus.” Kivanc menyambut tamu kehormatannya di depan pintu unit. Paras dingin itu tetap saja memperlihatkan raut pucat yang kentara. “Apalagi nggak ada sopan satun dalam menekan bel.” Kivanc tersenyum samar. Ia sudah cukup puas, meskipun hanya melihat raut pucat Tara yang menipis. Pria itu akui, jika Tara memang memiliki ego yang tinggi dan selalu berusaha keras menutupi kelemahannya. Sorot manik hitam itu memandang lurus Kivanc. “Mereka datang sesuai apa yang lo prediksi.” Kening pria keturunan Jerman – Turki itu mengernyit. Ia masih nyaman berdiri di ambang pintu, membiarkan Tara tidak ia persilakan masuk dengan cepat. “Siapa yang kamu maksud dengan kata mereka?” Tara menatap datar Kivanc celingukan di balik tubuhnya, menelisik keadaan sekitar lantai koridor. Tidak banyak orang lewat di area koridor, kecuali beberapa petugas kebersihan. “Gue memang cukup kaget karena ini kali pertama rencana gue gagal
Tara menatap dingin kekacauan kamar yang ia ciptakan. Seluruh barang berserakan dan lampu tidur itu sudah rusak. Benda tersebut beberapa waktu lalu dilempar ke arah Kivanc dan mengenai perut pria keturunan Jerman – Turki. “Dia berbohong,” desis Tara, mengingat erangan Kivanc tidak sesuai apa yang terjadi selanjutnya. Pria itu justru menenangkan Tara yang tertangkap menitikan air mata, mencoba meraih bahu dan berucap jika Kivanc baik-baik saja. Sepertinya ia terlalu berlebihan untuk menyesal telah melakukan hal kejam pada pemilik unit. Ia juga tidak bisa mengendalikan diri saat potongan ingatan itu silih berganti hampir sama, mengulang Tara dalam masa lalu kelam. Kedua tangan Tara terkepal kuat. Sorot tajam perempuan yang masih berbalut handuk menatap dirinya sendiri dari pantulan cermin rias. Ada retak kecil di titik fokus akibat lemparan Tara yang sangat brutal dan tidak terkendali. “Pria asing itu hampir tau kelemahan gue,” ucap perempuan itu. Rahang Tara mengetat dengan embusa
Sirene ambulans menarik atensi nyaris seluruh penghuni kompleks perumahan dengan type satu tingkat itu. Mereka keluar, melihat ambulans berhenti di salah satu rumah dan dengan cepat membawa satu lelaki mendapatkan perawatan intensif. Lelaki itu tergolek lemah di atas brankar, mengandalkan hidup dari masker oksigen. Napasnya nyaris terputus dan suara histeris sang istri tidak terelakkan. Banyak dari mereka bersimpati, mendekat lalu memberikan kata penenang. Kenapa dia nggak langsung mati? Manik hitam Tara terus saja menyorot sang istri lelaki tersebut yang meraung penuh tangis. Ia melihat sang istri yang mulai ikut naik ke dalam ambulans, disusul petugas medis lainnya yang sigap. “Suami Bu Diandra terkena serangan jantung.” “Untung ambulansnya cepat datang,” timpal salah satu ibu-ibu dari mereka yang berkumpul. Tara hanya melirik malas. Ia pikir, tetangga yang rumahnya hanya disekat oleh dua rumah lain, bisa membawa kabar yang membahagiakan untuk dirinya. Tapi di saat jam sudah m
Tara membuka pintu rumah dan mendapati perempuan cantik itu sudah terlihat lelah. “Sorry, Ra! Gue abis ngerayain ulang tahun teman gue dan baru di antar jam segini,” ucapnya tersengal. Karena portal kompleks sudah ditutup dan jika mengambil arah lain, maka akan jauh memutar. Ia lebih baik mengambil rute cepat dan memang harus sedikit berlari karena keadaan malam yang sudah sepi. Tara melirik jam di dinding ruang tamu. “Nggak apa-apa jam setengah satu lo datang. Kebetulan Flo tidur lebih larut karena masih ketakutan,” cetus Tara membuka pintu untuk Karina—teman semasa kuliah Tara—berbeda jurusan. Keduanya dipertemukan karena sebagai mahasiswi baru dan saling mengurus segala administrasi bersama. “Jadi beneran, si tua bangka itu kena serangan jantung?” Karina duduk nyaman seraya mengumpulkan oksigen lebih banyak. Karena lari malam tanpa pemanasan memang sangat menyebalkan. Ia melihat Tara duduk tenang di hadapannya dan mengangguk santai. “Tadinya gue udah berharap dia mati lebih c
Karina mengerjap tidak menyangka sambil memertahankan tangan yang menyibak gorden. Manik hitam perempuan itu menelisik lebih lekat kegiatan apa saja yang ada di rumah seberang Tara. Lampu teras menyala dan bagian kamar pun sama. Tidak terlihat mencurigakan sama sekali. Gorden itu ditutup cepat. “Gue tertinggal banyak berita dari lo karena sibuk kerja,” cetus perempuan memperlihatkan raut kaget yang belum bisa pudar. “Sampai pada akhirnya, gue diberitahu sama lo tentang pria asing itu tinggal berseberangan. Gue rasa dia beneran bukan orang kayak kita atau seseorang yang menghabiskan liburan di negara ini.” Karina memberikan penjelasan sambil mengambil duduk di depan Tara. Ia biarkan Tara menikmati nikotin yang terjepit cantik di jemari lentiknya. Keadaan di sekitar mereka sudah sangat tepat membiarkan Tara merokok karena Flora yang sudah terlelap di kamar. “Gue dijanjikan lebih dari 1M sama dia.” “Satu em—“ “—ber.” Bibir Karina terkatup rapat antara ingin terbahak atau melanjutk
Pagi ini Tara berbagi tugas dengan Karina. Perempuan itu membawa Flora ikut bekerja di salah satu perusahaan ternama, membiarkan anak perempuan manis itu duduk dan menunggu Karina menyelesaikan pekerjaannya.Setidaknya, Karina mendapatkan akses lebih bisa membawa orang lain, melalui jalur orang dalam. Karena anak dari pemilik perusahaan itu adalah kekasih Karina.Jadi, Tara akan aman menitipkan Flora pada Karina dan ia bersiap membereskan rumah, lalu pergi bekerja di showroom. Ini kali terakhir ia bekerja setengah hari, lalu mengajukan pengunduran diri dan berangkat sore hari.Ia adalah satu-satunya orang yang berani meminta pekerjaan, tapi disesuaikan dengan kebutuhan Tara.Perempuan itu hanya tidak ingin meninggalkan Flora terlalu lama dan membuat anak perempuan itu kesepian.Dunia terlalu kejam dan terkadang lingkup sekitar sangat rentan membawa perkara. Karena ia tidak memercayai orang lain lagi apalagi membiarkan Flora sendirian di rumah, ditinggal saat Tara bekerja.“Lantainya t