Share

4. Menemukan Sang Penggoda

“Maaf, Tuan. Nona Gistara berhasil kabur dengan mengelabui kami berdua.” deru napas tersengal terdengar jelas di telinga Kivanc.

Pria itu melirik sekilas dari samping, jika dua anak buahnya datang menemui Kivanc di salah satu ruang kerja yang ada di unit apartemen baru miliknya. Mereka memperlihatkan raut menyesal dan sangat takut telah gagal memantau Tara di ruang gym.

“Benar, Tuan. Nona Gistara sudah pergi dari ruang gym yang hanya menyisakan beberapa orang saja,” timpal satu pria lagi.

Mereka juga ditugaskan untuk ganti memakai pakaian olahraga. Tapi mereka tidak pernah berpikir, jika Tara akan mengabaikan ancaman Kivanc tadi pagi. Karena perempuan itu meminta izin secara memaksa untuk menikmati fasilitas di area gedung apartemen.

Kivanc tersenyum samar. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaan yang tertunda. Cuaca di Jakarta dan pemandangannya sudah lama tidak ia temui.

“Kalian sudah melakukan hal yang tepat,” balas pria itu berdiri, lalu memandang mereka yang memperlihatkan raut bingung.

Pria itu mengedik santai. “Saya menyuruh kalian untuk memantau saja, kan? Bukan mengekang dia jika kabur?”

“T-tapi, Tuan—“

“Tidak apa-apa. Silakan pergi dari ruangan ini. Biarkan dia menerima akibatnya dan akan kembali mencari saya dalam waktu dekat.”

Tidak ada yang bisa membantah pria yang memiliki kekuasaan di negara asalnya. Mereka pun mengangguk patuh, meninggalkan Kivanc sendirian.

Sorot manik hijaunya menatap hiruk pikuk dengan gedung bertingkat di depannya. “Dia ingin mencicipi adrenalin yang baru,” gumam Kivanc tersenyum puas.

Tara memang perempuan keras kepala dan menjadi satu-satunya perempuan yang tidak mudah masuk dalam pesonanya. Jadi, ia akan menunjukkan bagaimana ucapannya bekerja sangat tepat.

Di sisi lain. Tara sudah lebih dari tiga jam berada di indekos yang baru saja ia sewa. Ia menyisir sekitar mulai dari area gedung apartemen sampai harus menunggu dalam beberapa jam, jika Kivanc ataupun anak buah pria itu tidak mengetahui keberadaannya.

Napas Tara berembus kasar setelah menutup gorden usang. “Semua barang tertinggal di sana dan gue hanya bisa membawa dompet kecil.”

Perempuan berbalut sweater abu-abu itu memilih mengabaikan perintah Kivanc. Ia juga akan segera membuat laporan mengenai Flora. Terlebih Tara masih bisa meminta bantuan sang sahabat yang memiliki kekasih seorang pengusaha di kota ini.

“Lebih baik gue pergi ke tempat kerja, lalu mengambil gaji untuk bulan kemarin.”

Ia lebih menyukai menyimpan uang yang dianggap berlebih di bagian keuangan tempat kerja. Karena Tara masih memiliki tabungan. Perempuan itu memang tidak begitu boros mengeluarkan biaya untuk kebutuhan sendiri atau setelah kehadiran adik angkatnya.

Ibu jari Tara sudah menekan tepat di alat yang ditaruh samping pintu masuk ruang karyawan. Ia baru mengisi absensi harian, lalu masuk dan mencari lokernya sendiri. Perempuan itu bergegas mengganti pakaian dengan seragam di Rio’s Car Wash.

“Kamu baru datang, Tara?”

Perempuan itu menghentikan gerakan menguncir kuda rambut panjangnya.

Tidak ada satupun orang yang tahu dengan tato di leher Tara. Lebih tepatnya, perempuan itu tidak pernah memperlihatkan di tempat bekerja ataupun di area sekitar yang masih di pandang aneh oleh orang sekitar. Terlebih ia adalah seorang perempuan yang sejak awal sudah di cap nakal dan penggoda di tempatnya bekerja.

Rio tersenyum kecil saat Tara mendekat.

Ia telah menganggu perempuan cantik itu tengah bercermin sambil merapikan rambut. Sekarang, ia belum bisa melihat rambut yang dikuncir kuda oleh perempuan tersebut. Bahkan, ia tidak pernah mengerti kenapa Tara selalu suka memakai kaus turtleneck di balik seragam kerja.

“Maaf, Pak.”

“Pekerjaan di rumah cukup banyak menyita waktu,” jelasnya tanpa rasa bersalah.

“Saya terlambat sangat lama dan siap menerima sanksi.”

Tara tidak pernah menunjukkan permintaan maaf berlebih. Karena ia akan dengan mudah mengganti waktu yang kurang setelah jam siang. Jadi, ada kemungkinan ia akan pulang lebih lambat dari biasa.

Pria berusia dua puluh delapan tahun itu mengangguk. “Tidak masalah. Ini baru kali kedua kamu terlambat dan biasanya ... kamu akan mengganti jam yang terbuang, kan?” Tara mengangguk.

“Setelah makan siang, saya akan melanjutkan sisa dari keterlambatan tersebut,” sambung perempuan itu keluar dari ambang pintu ruang karyawan.

Ia menatap lekat pria yang lima senti lebih tinggi darinya. Pria duda anak satu itu sudah menunjukkan ketertarikan pada Tara sejak awal. Bahkan, dua kali ia pernah diajak makan siang bersama dan Tara dengan mudah menolak ajakan tersebut.

Cibiran dan kalimat tidak berperasaan kerap hadir di pendengarannya. Ia seolah memanfaatkan ketertarikan bos di sini dengan cara keluar masuk bekerja sesuka hati. Bahkan, ketika ia kali pertama melamar pekerjaan dan meminta setengah hari secara langsung dengan Rio. Pria itu tanpa berpikir dua kali langsung menerima Tara.

“Baiklah. Silakan kamu lanjutkan pekerjaan karena sudah banyak mobil antre untuk dibersihkan.”

Tara mengangguk dan mempersilakan pria itu kembali ke ruangannya.

Pria tampan dengan lesung pipi di sebelah kiri itu sangat mudah membuat perempuan lain jatuh cinta. Bahkan, beberapa perempuan di sini sebagai karyawan tetap, kerap menunjukkan ketertarikannya. Bukan hanya seorang bos di Rio’s Car Wash. Tapi Rio juga memiliki usaha keluarga berupa restoran seafood, peralatan mobil—sparepart—dan beberapa frenchise minimarket.

“Udah pakai jurus terakhir, ya?”

Tara menoleh dan mendapati perempuan seusianya yang bekerja di bagian pembukuan datang dengan senyum meremehkan. “Gue rasa lo udah ambil perhatiannya Pak Rio dengan ajak dia tidur, kan? Lo udah dengan senang hati lempar tubuh ke dia sampai Pak Rio santai saat lo datang terlambat.”

Adisty menarik sudut bibirnya. Ia melipat kedua tangan di depan dada, lalu menatap intens perempuan yang lebih tinggi darinya. “Lo cerdas dan juga licik. Baru bekerja beberapa bulan, udah bisa mengambil banyak langkah di depan gue dan karyawan perempuan di sini.”

“Iri sama gue?”

Adisty terpaku dengan pertanyaan santai Tara. Bahkan, raut wajah itu pun tidak menunjukkan ekspresi lebih dengan senyum mengejek.

Tara begitu datar dalam berucap, tapi mampu menohok Adisty. “Apa lo bilang?” Ia mendekat, lalu menatap tajam Tara yang hanya diam dan melihat Adisty.

“Seharusnya lo sadar, kalau lo udah licik dengan memanfaatkan kebaikan Pak Rio. Di sini semua orang bekerja sesuai SOP masing-masing. Sedangkan lo nggak pernah tau diri dan nggak tau diuntung.”

“Ngerti tentang rasa malu, kan?” tekan Adisty menatap Tara tajam.

“Lo memang baru dua kali datang terlambat. Tapi lo nggak tau seberapa rugi karyawan di sini. Gue dan yang lain merasa muak lihat lo kerja setengah hari dan gaji yang tetap utuh!”

Tara memiringkan sedikit kepalanya saat jemari telunjuk kanan itu lancang mengarah padanya. “Lo marah sama gue?”

Napas Adisty memburu. Ia mengepalkan kedua tangan saat melihat Tara tetap tenang, sulit untuk tersinggung dan merendahkan harga dirinya.

Tara menarik tipis senyum miringnya. Ia menatap datar Adisty dan berucap, “Semua orang di sini sudah tau kalau gue selalu meminta bayaran setengah dari gaji kalian. Gue sadar lebih awal dan meminta keringanan karena gue punya adik yang harus dijaga dengan kehidupan kami yang hanya berdua.”

“Jadi, kalau lo mau marah, silakan temui Pak Rio karena memberikan gaji ke gue secara utuh.”

“Sial,” desis Adisty memerah.

Kedua pipi putih itu menunjukkan ketidaksukaannya pada jawaban Tara.

Bahkan, ia mengetatkan rahang saat Tara menunduk, lalu mendekatkan bibirnya pada telinga kiri Adisty dan berbisik, “Tapi lo harus siap dipecat karena gue adalah karyawan kesayangan Pak Rio.”

Perempuan cantik itu menegakkan punggungnya dan tersenyum puas mendapati tubuh kaku dan kekalahan telak Adisty.

Tara berjalan santai ke depan dengan menguncir rambut sebagai kode jika ia begitu bahagia.

Adisty bukanlah lawannya dan ia tidak pernah memedulikan cap nakal juga sang penggoda yang sudah ada sejak awal kedatangan Tara di sini.

Mobil pertama sudah Tara cuci dengan cekatan. Ia melakukan pekerjaannya dengan sepenuh hati, menyambut pemilik mobil, meskipun tanpa senyum ramah.

Sedan putih berjalan ke area Tara. Ia berdiri tepat di depan kaca mobil pengemudi dan bersiap menyambut dengan menyeka sesaat peluh di kening.

Namun, tubuh yang siap dengan ramah menyambut pengemudi untuk keluar. Harus terganti dengan tubuh kaku dan gemuruh dalam dada Tara terasa kuat.

Seorang pria dengan setelan jas hitam, membuka kacamata senada. “Anda sangat merepotkanku, Nona Gistara.”

Ia tersenyum puas mendapati wajah pucat Tara. “Kurasa Anda tidak mungkin melupakanku sangat cepat.”

“Beberapa hari lalu Anda sempat menggodaku yang berdiri di samping atasanku. Apa Anda ingin mendengar kabarnya setelah ditinggalkan di kamar hotel?” sekujur tubuh Tara menggigil.

“Dia sangat marah besar dan aku mendapatkan tugas baru untuk membawa Anda di hadapannya. Oh, iya. Satu target lagi, yaitu adik kesayangan Anda yang berkebutuhan khusus.”

Napas Tara tercekat saat pria bertubuh tegap itu menyandarkan tubuh di jok mobil. Ia memasang santai kacamata tersebut, lalu memandang lurus area pencucian mobil. “Setidaknya, kami akan mendapatkan imbalan untuk ganti mencicipi kulit lembut Anda, Nona.”

“Jika malam itu Anda sangat hati-hati dicicipi dan dimanja atasan kami. Maka, malam ini Anda akan menjadi piala bergilir kami.”

Suara tawa kecil itu membuat tubuh Tara bergetar.

Ia tertegun melihat kaca mobil yang dinaikkan kembali, menunggu pekerjaan Tara dilakukan dan membiarkan sang pemilik menunggu di dalam mobil.

Jemari tangan Tara bergetar.

Wajahnya kian pucat dan tidak sengaja melirik ke area luar tempatnya bekerja. Betapa terkejutnya Tara melihat tiga orang dalam profesi berbeda menatap dirinya dari kejauhan.

Pedagang cilok, tukang parkir minimarket dan driver ojek online memberikan isyarat yang sama; senyum mengejek.

Ketiga orang di sana sudah mendengar percakapan pria di dalam mobil tadi dari alat yang di pasang di telinga mereka.

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status