Hari nominasi tiba. Ini adalah salah satu dari sedikit hari di mana para bintang dan tokoh terkenal berkumpul di satu tempat. Grand Hotel kala itu sangat bising. Orang-orang datang dari berbagai penjuru kota, bahkan tak sedikit yang sengaja mengosongkan jadwal demi bisa hadir. Tak terkecuali Alvindra. Pria itu langsung membuat para tamu saling berbisik dengan kehadirannya. Pikiran mereka dipenuhi rasa heran, bagaimana sang singa dari keluarga Grason bisa ada di tempat seperti itu. Padahal ia merupakan orang yang sangat sulit ditemui. Meski untuk urusan bisnis sekalipun, si bungsu hanya mau melakukan pertemuan dengan orang-orang paling berpengaruh saja. Namun, sosok garang itu malah tersenyum dengan wajah bersinar. Alvindra tampak gagah saat mengulurkan tangan setelah membuka pintu mobil, guna membantu sang istri untuk turun. Begitu melihat tangan seorang wanita, bisikan demi bisikan makin menjadi. Hingga akhirnya, Lyra keluar dan berjalan bersama sang suami. Wanita bergaun putih itu
Lia menampakkan senyum di wajah polosnya yang manis. Ia menatap Vindra dengan penuh rasa rindu. Degup jantungnya bahkan berdetak lebih kencang dari biasanya. Ia pun berucap dengan nada lembut, "Sejak kapan memeluk pria yang kuncintai menjadi hal memalukan? Vin, aku menyesal dengan yang terjadi di antara kita. Aku sudah melakukan kesalahan padamu, tapi aku sangat menyesalinya. Sekarang ayo kita--" Perkataannya dipotong. "Apa ada yang terjadi di antara kau dan aku?" sela Alvindra. Pria itu mengerutkan dahi sambil menahan diri agar tak berteriak. "Vin, aku mengerti kau marah dan itu sangat wajar, tapi ...." Gadis itu berhenti sejenak. "Aku akan berusaha mendapatkan maaf darimu."Vindra tak coba pergi, tetapi dalam hati memaki karena bertemu dengan sang mantan.Lia adalah gadis yang dulu amat dicintai dengan sepenuh hati, hingga Vindra rela menyerahkan jiwa dan raga. Bahkan jika gadis bernetra sipit itu meminta, dirinya pasti akan memberikan seluruh kekayaannya tanpa berpikir ulang. Semp
"Bagaimana sekarang? Apa bibirku manis?" tanya Lyra sambil tersenyum, membuat lesung di pipinya kian tampak. Alvindra pun tertawa, meraih kedua tangan istrinya lalu melayangkan kecupan. "Manisnya bibirmu selalu berhasil menghilangkan kepahitan dalam hidupku." Lanjut pria tersebut memeluk Lyra dengan kasar, membuat wine tadi benar-benar tumpah, meninggalkan bercak merah pada putihnya seprai. Namun, mereka tak peduli. Lyra mengusap rambut Alvindra seolah berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Dengan penuh rasa sabar, ia menanti hingga raut wajah mitra bicaranya kembali membaik. Entah karena pengaruh alkohol atau Lyra, yang pasti kini adik Romi kembali sedikit ceria. Ia merebahkan tubuhnya yang berpeluh, lalu merentangkan kedua tangan. "Kenapa kau tak bertanya?" Vindra melirik ke arah Lyra. "Sepertinya itu hal yang sedikit sensitif. Lagipula aku tak benar-benar ingin tahu." Putri Burhan tersenyum sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga
Suara kicau burung yang lembut menyambut mentari. Pagi itu angin bertiup dengan kencang, menggoyangkan dedaunan di luar jendela. Lyra tengah menelungkup berbalut selimut. Dengan mulut sedikit terbuka, wanita itu masih ada di alam bawah sadar. Memimpikan sebuah kuda putih tengah berlari di padang bunga. Derap langkah itu sembuatnya turut gembira. Bahkan rasa kagum dalam mimpi itu membuatnya secara nyata tersenyum. "Nyonya, bangunlah," bisik Ayuk perlahan. Ia tak tega membangunkan karena sangat jarang sang majikan tidur selelap itu. Namun, lama tak mendapat sahutan. Kini dirinya memanggil sembari menepuk lembut pundak Lyra. "Nyonya, tolong bangunlah. Hari ini Anda harus bekerja, bukan?""Mmm ... jam berapa ini?""Tujuh sepuluh.""Apa?!" Lyra langsung membuka mata. "Kenapa tidak membangunkanku dari tadi?"Wanita itu gelagapan. Ia mencari ponsel yang tertimbun tebalnya selimut. Buru-buru dirinya mengecek pesan. Dan benar saja, rent
Pertemuan itu hanya berlangsung kurang dari tiga puluh menit. Setelah ketiga model terbaik J.D Entertainment berkumpul, pihak Michelle memilih Lyra dengan mantab. Setelah istirahat lima menit, pertemuan kedua dimulai. Kali ini bersama dengan brand perhiasan terbaik di kota, Amora. Tak seperti klien sebelumnya, pihak Amora secara teliti memperhatikan para model. Terdapat dua perwakilan yang datang, yakni putri pemilik dan pria tua yang merupakan senior di sana. Pria tersebut sibuk mengajukan berbagai pertanyaan, mulai dari jumlah pengikut media sosial, pengalaman kerja, hingga hubungan dengan para tetangga. Itu adalah hal yang tak umum. Sebab, para klien biasanya langsung memasrahkan iklan pada model yang dipilih. Namun, melihat betapa terkenalnya Amora, hingga para selebriti dan konglomerat menggunakan perhiasan dari mereka, tak aneh bila pihak Amora ingin produk ekslusif mereka dipertunjukkan oleh model sepadan. Setelah berbincang cukup lama, akhirnya pria berka
Nabastala kini dihiasi semburat jingga. Angin di hari itu masih berembus cukup kencang, menerpa rambut panjang Lyra begitu keluar dari mobil. Saat perjalanan tadi ia cemberut, menyangga kepala dengan tangan kirinya. Bahkan ketika berjalan memasuki hunian mega megah pun tak tampak kebahagiaan sama sekali. Padahal ini hari berserah dalam karirnya yang telah berhasil menjalin kontrak dengan brand kelas atas semperti Michelle dan Amora. "Cantik, kau cemberut karena lapar, ya?" tanya Vindra mengekor usai melempar kunci mobil ke pelayan yang hendak memasukkan kendaraan tersebut ke garasi. "Tentu saja tidak," jawab wanita tersebut sembari melepas anting dan menempatkannya ke nampan yang dipegangi seorang pelayan wanita di depan pintu. "Lagi dapet?" celetuk si bungsu sekali lagi. Sontak Lyra menatapnya lebih ganas. "Belum.""Eh, lalu kenapa wajah cantikmu itu tetap cantik saat manyun?""Bicara yang benar. Aku sedang kesal." Wanita it
"Apa kau takut?" tanya Alvindra sambil memegangi pipi Lyra yang memerah. "Sudah kubilang ini akan menyakitkan, tapi aku tak akan berhenti, walau kau berteriak.""Jangan banyak bicara dan tunjukkan saja kemampuanmu itu," sahut Lyra dengan berani. Mereka pun kembali berciuman. Semakin lama semakin dalam. Lyra mengernyit tiap kali lehernya digigit dengan beringas. Kini tak ada lagi dari bagian wajahnya yang luput dari kecupan Vindra. Pria itu bahkan tak melewatkan satu pun jari sang model. Ia begitu bergairah, tak berhenti sekalipun istrinya mulai menggeliat. Malah tangannya yang nakal meraba masuk ke baju Lyra. Wanita itu mati-matian menahan diri untuk tak berteriak. Mereka berdua teramat fokus pada satu sama lain hingga tak mendengar suara langkah yang terdengar makin dekat. "Nyonya, saya bawakan jus dingin untuk Anda~" Ayuk yang tak tahu jika Vindra ada di dalam pun langsung masuk karena pintu kamar tak tertutup. Namun, begitu melihat majikannya tengah melakukan hal dewasa, ia terpe
Lyra meringis kesakitan saat petugas menaikkannya ke dalam ambulans. Wanita itu hanya bisa terpejam sembari mengeram menahan perutnya yang bergejolak. Ini adalah kali pertama dalam hidup, ia merasakan sakit yang tak tertahan. Bahkan saat sedang menstruasi pun, nyeri yang hadir tak sampai sebegitunya. Namun, bukan hanya Lyra, melainkan orang-orang di J.D Entertainment turut kalang kabut. Mereka sibuk menjilat pihak Amora agar memberi toleransi pada permasalahan kali ini. Akan tetapi, urusan dari brand tersebut seolah tak mau tahu. Ia merasa jika kesehatan adalah sesuatu yang bisa dipersiapkan dari jauh hari. Untung saja di saja ada Shinsya yang telah berjanji akan berteman dengan sang model. "Bagaimana sekarang? Mau mengganti model pun, perhiasan itu masih ada di tubuh wanita itu," cerca perwakilan Amora. Ia terus berusaha memojokkan Rendra dan Meta yang hanya bisa terdiam. "Kalaupun harus mengambil set baru, itu akan memakan waktu yang lama. Jarak tempat ini dan toko cabang Amora sa