"Bagaimana sekarang? Apa bibirku manis?" tanya Lyra sambil tersenyum, membuat lesung di pipinya kian tampak. Alvindra pun tertawa, meraih kedua tangan istrinya lalu melayangkan kecupan. "Manisnya bibirmu selalu berhasil menghilangkan kepahitan dalam hidupku." Lanjut pria tersebut memeluk Lyra dengan kasar, membuat wine tadi benar-benar tumpah, meninggalkan bercak merah pada putihnya seprai. Namun, mereka tak peduli. Lyra mengusap rambut Alvindra seolah berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Dengan penuh rasa sabar, ia menanti hingga raut wajah mitra bicaranya kembali membaik. Entah karena pengaruh alkohol atau Lyra, yang pasti kini adik Romi kembali sedikit ceria. Ia merebahkan tubuhnya yang berpeluh, lalu merentangkan kedua tangan. "Kenapa kau tak bertanya?" Vindra melirik ke arah Lyra. "Sepertinya itu hal yang sedikit sensitif. Lagipula aku tak benar-benar ingin tahu." Putri Burhan tersenyum sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga
Suara kicau burung yang lembut menyambut mentari. Pagi itu angin bertiup dengan kencang, menggoyangkan dedaunan di luar jendela. Lyra tengah menelungkup berbalut selimut. Dengan mulut sedikit terbuka, wanita itu masih ada di alam bawah sadar. Memimpikan sebuah kuda putih tengah berlari di padang bunga. Derap langkah itu sembuatnya turut gembira. Bahkan rasa kagum dalam mimpi itu membuatnya secara nyata tersenyum. "Nyonya, bangunlah," bisik Ayuk perlahan. Ia tak tega membangunkan karena sangat jarang sang majikan tidur selelap itu. Namun, lama tak mendapat sahutan. Kini dirinya memanggil sembari menepuk lembut pundak Lyra. "Nyonya, tolong bangunlah. Hari ini Anda harus bekerja, bukan?""Mmm ... jam berapa ini?""Tujuh sepuluh.""Apa?!" Lyra langsung membuka mata. "Kenapa tidak membangunkanku dari tadi?"Wanita itu gelagapan. Ia mencari ponsel yang tertimbun tebalnya selimut. Buru-buru dirinya mengecek pesan. Dan benar saja, rent
Pertemuan itu hanya berlangsung kurang dari tiga puluh menit. Setelah ketiga model terbaik J.D Entertainment berkumpul, pihak Michelle memilih Lyra dengan mantab. Setelah istirahat lima menit, pertemuan kedua dimulai. Kali ini bersama dengan brand perhiasan terbaik di kota, Amora. Tak seperti klien sebelumnya, pihak Amora secara teliti memperhatikan para model. Terdapat dua perwakilan yang datang, yakni putri pemilik dan pria tua yang merupakan senior di sana. Pria tersebut sibuk mengajukan berbagai pertanyaan, mulai dari jumlah pengikut media sosial, pengalaman kerja, hingga hubungan dengan para tetangga. Itu adalah hal yang tak umum. Sebab, para klien biasanya langsung memasrahkan iklan pada model yang dipilih. Namun, melihat betapa terkenalnya Amora, hingga para selebriti dan konglomerat menggunakan perhiasan dari mereka, tak aneh bila pihak Amora ingin produk ekslusif mereka dipertunjukkan oleh model sepadan. Setelah berbincang cukup lama, akhirnya pria berka
Nabastala kini dihiasi semburat jingga. Angin di hari itu masih berembus cukup kencang, menerpa rambut panjang Lyra begitu keluar dari mobil. Saat perjalanan tadi ia cemberut, menyangga kepala dengan tangan kirinya. Bahkan ketika berjalan memasuki hunian mega megah pun tak tampak kebahagiaan sama sekali. Padahal ini hari berserah dalam karirnya yang telah berhasil menjalin kontrak dengan brand kelas atas semperti Michelle dan Amora. "Cantik, kau cemberut karena lapar, ya?" tanya Vindra mengekor usai melempar kunci mobil ke pelayan yang hendak memasukkan kendaraan tersebut ke garasi. "Tentu saja tidak," jawab wanita tersebut sembari melepas anting dan menempatkannya ke nampan yang dipegangi seorang pelayan wanita di depan pintu. "Lagi dapet?" celetuk si bungsu sekali lagi. Sontak Lyra menatapnya lebih ganas. "Belum.""Eh, lalu kenapa wajah cantikmu itu tetap cantik saat manyun?""Bicara yang benar. Aku sedang kesal." Wanita it
"Apa kau takut?" tanya Alvindra sambil memegangi pipi Lyra yang memerah. "Sudah kubilang ini akan menyakitkan, tapi aku tak akan berhenti, walau kau berteriak.""Jangan banyak bicara dan tunjukkan saja kemampuanmu itu," sahut Lyra dengan berani. Mereka pun kembali berciuman. Semakin lama semakin dalam. Lyra mengernyit tiap kali lehernya digigit dengan beringas. Kini tak ada lagi dari bagian wajahnya yang luput dari kecupan Vindra. Pria itu bahkan tak melewatkan satu pun jari sang model. Ia begitu bergairah, tak berhenti sekalipun istrinya mulai menggeliat. Malah tangannya yang nakal meraba masuk ke baju Lyra. Wanita itu mati-matian menahan diri untuk tak berteriak. Mereka berdua teramat fokus pada satu sama lain hingga tak mendengar suara langkah yang terdengar makin dekat. "Nyonya, saya bawakan jus dingin untuk Anda~" Ayuk yang tak tahu jika Vindra ada di dalam pun langsung masuk karena pintu kamar tak tertutup. Namun, begitu melihat majikannya tengah melakukan hal dewasa, ia terpe
Lyra meringis kesakitan saat petugas menaikkannya ke dalam ambulans. Wanita itu hanya bisa terpejam sembari mengeram menahan perutnya yang bergejolak. Ini adalah kali pertama dalam hidup, ia merasakan sakit yang tak tertahan. Bahkan saat sedang menstruasi pun, nyeri yang hadir tak sampai sebegitunya. Namun, bukan hanya Lyra, melainkan orang-orang di J.D Entertainment turut kalang kabut. Mereka sibuk menjilat pihak Amora agar memberi toleransi pada permasalahan kali ini. Akan tetapi, urusan dari brand tersebut seolah tak mau tahu. Ia merasa jika kesehatan adalah sesuatu yang bisa dipersiapkan dari jauh hari. Untung saja di saja ada Shinsya yang telah berjanji akan berteman dengan sang model. "Bagaimana sekarang? Mau mengganti model pun, perhiasan itu masih ada di tubuh wanita itu," cerca perwakilan Amora. Ia terus berusaha memojokkan Rendra dan Meta yang hanya bisa terdiam. "Kalaupun harus mengambil set baru, itu akan memakan waktu yang lama. Jarak tempat ini dan toko cabang Amora sa
Lyra terpejam di atas ranjang rumah sakit. Dengan pakaian bergaris layaknya pasien lain, ia tak kunjung membuka mata setelah tiga jam berlalu. Wanita itu mengguncang seluruh Grason's Company. Bagaimana tidak, Alvindra buru-buru mematikan laptop dan meninggalkan rapat begitu mendapat kabar istrinya dilarikan ke rumah sakit. Amat berbeda dengan pria yang sebelumnya hanya bergeming kala mendapat kabar bahwa Malik, sang ayah, jatuh pingsan terkena serangan jantung. "Lyra, kau sudah bangun," panggilnya dengan lembut kala sang istri membuka mata dengan perlahan. "Al." Hanya itu yang dapat putri Burhan katakan. "Aku di sini." Segera pria itu memegangi tangan Lyra yang dingin. "Apa masih ada yang sakit? Aku akan memanggil dokter, tunggu sebentar, ya."Vindra pun menekan bel yang terpasang di dekat ranjang. Maka kurang dari semenit, seorang perawat datang bersama dokter. Mereka langsung mengecek detak jantung pasien dan menanyakan kondisinya. Setelah me
Jam menunjukkan pukul 09.02 pagi saat Lyra memasuki kantor agensi. Wanita itu tampak tenang menenteng tas, berjalan menuju ruangannya seolah tak ada yang terjadi. Ia bahkan menyapa dan tersenyum pada setiap orang yang ditemui. Wanita itu terlalu keras kepala untuk mendengarkan sang suami yang membujuknya agar tinggal di rumah dan beristirahat. Namun, tidak. Putri Burhan malah mengumpulkan semua tenaga dan semangat untuk bekerja begitu hari berganti, semata karena dirinya tak ingin tertinggal lebih jauh dari Violet. Apalagi hari ini ia harus menjalani pemotretan untuk iklan parfum bersama brand Amora. "Fitting baju akan dilakukan setengah jam lagi," kata sang asisten sembari mengecek ulang jadwal Lyra. "Majukan lima belas menit, aku ingin bersiap lebih awal.""Maaf, Ra. Sepertinya itu akan sedikit sulit. Aku tak yakin para penata rias akan setuju," kata wanita itu lagi. "Aku hanya mau mencobanya dulu. Tak sulit melakukannya sendiri.""B