Terima kasih banyak untuk para pembaca KDC, sesungguhnya penulis sangat senang dengan kehadiran kalian. Saya pun berusaha untuk melanjutkan buku yang telah hiatus selama empat bulan ini, tetapi kesibukan di dunia nyata mengalahkan keinginan saya (tetap saja, saya mencintai kalian). Dan, ya, saya sebenarnya sedikit terkejut saat tahu ada yang masih mau membaca cerita ini. ^^
Maaf sekali, saya pun benci jika harus membuat kalian kecewa. >.<
Bukan maksud saya membuat kalian menunggu. Namun, saya akan berusaha melanjutkan cerita Lyra dengan lebih baik lagi di penghujung tahun 2021. Sekali lagi saya meminta maaf. Terima kasih telah menyukai karya saya yang jauh dari kesempurnaan ini.
Salam sayang dari Rainey Alta, serta Lyra dan Alvindra~
Kalian semua luar biasa~ ^^
Lyra tersenyum. Ia merasa jika pria di hadapannya adalah orang yang sangat bodoh. Setelah salah paham dan membuat kekacauan, kini dirinya malah meminta pertolongan dari putri Burhan. Namun, kali ini Lyra tak akan mengikuti permainan Vindra. Alih-alih membantunya mandi, wanita tersebut berganti baju dan meninggalkan kamar. Ia menyerahkan semua urusan pada para bodyguard yang terlihat lesu bergadang semalaman. "Rawat tuanmu dengan benar, suruh dia ke restoran hotel saat siap. Tapi jangan membuatku menunggu terlalu lama," ucapnya sebelum pergi. Sontak para bodyguard membantu Alvindra. Mereka membawakan obat pereda mabuk dan baju baru. Sekalipun Vindra harus menahan mual, ia tetap mendatangi sang istri. Untuk kesekian kali, dirinya terhipnotis oleh sosok elok yang mengalahkan bidadari. Seperti obat, ia bahkan sadar dari mabuk begitu melihat Lyra. Hanya dengan mencium aroma parfum wanita itu dari jauh, rasa bahagia membucah dalam hati Vindra. "Cantik, apa aku membuatmu menunggu lama?""
Lyra berjalan dengan anggun, menyusuri koridor menuju ruangan sang atasan. Setelah mengetuk pintu dan mendapat izin, dirinya masuk. Sambil tersenyum riang, wanita berbaju biru dongker itu duduk tegap, menatap langsung ke mata pria yang ada di hadapannya, seolah menerka apakah hal yang akan ia bahas ini mendapat sambutan yang baik atau tidak. "Kau tak ingin mengatakan apa pun?" tanya Rendra yang merapatkan jari-jarinya di atas meja. "Aku yakin kau mendatangiku bukan sekadar untuk minum kopi dan berbasa-basi.""Aku sudah memikirkannya," kata Lyra, lalu memandang ke arah jendela. "Aku tak sudi melakukan hal kotor untuk kedua kalinya. Terlebih karirku sedang bagus, jadi untuk apa aku menjadikan model junior sebagai batu pijakan?""Kau percaya diri sekali." Pria bersetrlan silver itu mencodongkan tubuh ke arah mitra bicara. "Jangan membual di depanku, kau pasti punya rencananya yang lebih baik dari yang kumiliki. Atau setidaknya jaminan kalau Micella (brand parfum terkenal) dan Amora (tok
Violet tak menyangka jika reaksi Meta akan seperti ini. Ia sudah amat percaya diri, menganggap jika keinginannya akan dikabulkan hanya dengan mengatakan beberapa kata manis sambil tersenyum. Ia juga meremehkan Meta yang terkenal baik pada semua orang. Namun, melihat bagaimana rencananya hancur, kekasih Axe menyadari jika tak semua hal berjalan sesuai kehendaknya. Dirinya tak lagi berada dalam wilayah kekuasaan sang ayah. J.D Entertainment bukanlah tempat di mana dirinya bisa berlaku seenaknya. "Maaf karena mengecewakanmu, tapi tenang saja. Ada beberapa tawaran iklan yang kurasa cocok untukmu," ucap Meta dengan senyum lebar. Ia menyodorkan beberapa lembar kertas berisi tawaran kontrak. Violet langsung menerima kertas tersebut tanpa berucap. Namun, matanya kembali terbelalak tatkala melihat jika semua tawaran yang diajukan berasal dari brand yang bahkan tak pernah dijumpai saat menonton TV. "Apa-apaan semua ini?" tanyanya dengan mata melotot. "Apa ada masalah?" Sahabat Lyra pun
Hari nominasi tiba. Ini adalah salah satu dari sedikit hari di mana para bintang dan tokoh terkenal berkumpul di satu tempat. Grand Hotel kala itu sangat bising. Orang-orang datang dari berbagai penjuru kota, bahkan tak sedikit yang sengaja mengosongkan jadwal demi bisa hadir. Tak terkecuali Alvindra. Pria itu langsung membuat para tamu saling berbisik dengan kehadirannya. Pikiran mereka dipenuhi rasa heran, bagaimana sang singa dari keluarga Grason bisa ada di tempat seperti itu. Padahal ia merupakan orang yang sangat sulit ditemui. Meski untuk urusan bisnis sekalipun, si bungsu hanya mau melakukan pertemuan dengan orang-orang paling berpengaruh saja. Namun, sosok garang itu malah tersenyum dengan wajah bersinar. Alvindra tampak gagah saat mengulurkan tangan setelah membuka pintu mobil, guna membantu sang istri untuk turun. Begitu melihat tangan seorang wanita, bisikan demi bisikan makin menjadi. Hingga akhirnya, Lyra keluar dan berjalan bersama sang suami. Wanita bergaun putih itu
Lia menampakkan senyum di wajah polosnya yang manis. Ia menatap Vindra dengan penuh rasa rindu. Degup jantungnya bahkan berdetak lebih kencang dari biasanya. Ia pun berucap dengan nada lembut, "Sejak kapan memeluk pria yang kuncintai menjadi hal memalukan? Vin, aku menyesal dengan yang terjadi di antara kita. Aku sudah melakukan kesalahan padamu, tapi aku sangat menyesalinya. Sekarang ayo kita--" Perkataannya dipotong. "Apa ada yang terjadi di antara kau dan aku?" sela Alvindra. Pria itu mengerutkan dahi sambil menahan diri agar tak berteriak. "Vin, aku mengerti kau marah dan itu sangat wajar, tapi ...." Gadis itu berhenti sejenak. "Aku akan berusaha mendapatkan maaf darimu."Vindra tak coba pergi, tetapi dalam hati memaki karena bertemu dengan sang mantan.Lia adalah gadis yang dulu amat dicintai dengan sepenuh hati, hingga Vindra rela menyerahkan jiwa dan raga. Bahkan jika gadis bernetra sipit itu meminta, dirinya pasti akan memberikan seluruh kekayaannya tanpa berpikir ulang. Semp
"Bagaimana sekarang? Apa bibirku manis?" tanya Lyra sambil tersenyum, membuat lesung di pipinya kian tampak. Alvindra pun tertawa, meraih kedua tangan istrinya lalu melayangkan kecupan. "Manisnya bibirmu selalu berhasil menghilangkan kepahitan dalam hidupku." Lanjut pria tersebut memeluk Lyra dengan kasar, membuat wine tadi benar-benar tumpah, meninggalkan bercak merah pada putihnya seprai. Namun, mereka tak peduli. Lyra mengusap rambut Alvindra seolah berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Dengan penuh rasa sabar, ia menanti hingga raut wajah mitra bicaranya kembali membaik. Entah karena pengaruh alkohol atau Lyra, yang pasti kini adik Romi kembali sedikit ceria. Ia merebahkan tubuhnya yang berpeluh, lalu merentangkan kedua tangan. "Kenapa kau tak bertanya?" Vindra melirik ke arah Lyra. "Sepertinya itu hal yang sedikit sensitif. Lagipula aku tak benar-benar ingin tahu." Putri Burhan tersenyum sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga
Suara kicau burung yang lembut menyambut mentari. Pagi itu angin bertiup dengan kencang, menggoyangkan dedaunan di luar jendela. Lyra tengah menelungkup berbalut selimut. Dengan mulut sedikit terbuka, wanita itu masih ada di alam bawah sadar. Memimpikan sebuah kuda putih tengah berlari di padang bunga. Derap langkah itu sembuatnya turut gembira. Bahkan rasa kagum dalam mimpi itu membuatnya secara nyata tersenyum. "Nyonya, bangunlah," bisik Ayuk perlahan. Ia tak tega membangunkan karena sangat jarang sang majikan tidur selelap itu. Namun, lama tak mendapat sahutan. Kini dirinya memanggil sembari menepuk lembut pundak Lyra. "Nyonya, tolong bangunlah. Hari ini Anda harus bekerja, bukan?""Mmm ... jam berapa ini?""Tujuh sepuluh.""Apa?!" Lyra langsung membuka mata. "Kenapa tidak membangunkanku dari tadi?"Wanita itu gelagapan. Ia mencari ponsel yang tertimbun tebalnya selimut. Buru-buru dirinya mengecek pesan. Dan benar saja, rent
Pertemuan itu hanya berlangsung kurang dari tiga puluh menit. Setelah ketiga model terbaik J.D Entertainment berkumpul, pihak Michelle memilih Lyra dengan mantab. Setelah istirahat lima menit, pertemuan kedua dimulai. Kali ini bersama dengan brand perhiasan terbaik di kota, Amora. Tak seperti klien sebelumnya, pihak Amora secara teliti memperhatikan para model. Terdapat dua perwakilan yang datang, yakni putri pemilik dan pria tua yang merupakan senior di sana. Pria tersebut sibuk mengajukan berbagai pertanyaan, mulai dari jumlah pengikut media sosial, pengalaman kerja, hingga hubungan dengan para tetangga. Itu adalah hal yang tak umum. Sebab, para klien biasanya langsung memasrahkan iklan pada model yang dipilih. Namun, melihat betapa terkenalnya Amora, hingga para selebriti dan konglomerat menggunakan perhiasan dari mereka, tak aneh bila pihak Amora ingin produk ekslusif mereka dipertunjukkan oleh model sepadan. Setelah berbincang cukup lama, akhirnya pria berka