Share

Pak Lukman menginginkan Kanaya

"Alen Towsar yang akan memimpinnya," ucap Opa yang membuat mereka semua terkejut mendengarnya.

Termasuk Alen. Ia tak menyangka jika sang kakek memberikan jabatan itu kepadanya.

Naya menoleh ke arah Alen yang terlihat biasa saja setelah mendengar kabar baik itu.

"Apa dia tidak suka mendapatkan semua itu?" tanya batin Naya menunduk saat Alen menoleh ke arahnya.

*****

Semua terdiam dan hening di ruang makan yang di hadiri seluruh keluarga towsar.

Alen terdiam seraya menopangkan kedua tangan di dada. Dia sudah mengira kalo ini semua akan terjadi pada keluarga towsar.

"Ini semua sudah menjadi keputusan opa! Kalo kalian tidak setuju, kalian bisa angkat kaki dari keluarga ini!" ucap opa dengan tegas.

Semua terdiam dan tak berani membantah. Mereka sadar diri dengan posisi di keluarga Towsar. Dan memang hanya Alen satu-satunya keturunan asli dari sang opa.

Alen memicing menatap seluruh keluarganya yang terlihat tak suka dengan dirinya. 

"Aku tak akan membiarkan kalian semua memanfaatkan opa di saat umurnya yang sudah tua," gumam Alen tersenyum sinis melihat kekecewaan pada mereka.

Arga mengendorkan dasinya. Ia benar-benar tak habis pikir, jika opa memberikan semua aset untuk Alen bukan dirinya.

"Bagaimana bisa aku menjadi bawahan adik sepupuku sendiri?" gumam batinnya seraya menatap Naya yang duduk di samping Alen. Ia tak berhenti mengerjap saat memperhatikan mantan kekasihnya itu memang sangat cantik. Sangat berbeda saat bersamanya dulu.

Alen mengerling dan mendesah sebal saat tau Arga memandang Kanaya dengan penuh arti. 

"Kenapa kamu memandang kekasihku seperti itu?" Pertanyaan Alen yang membuat semua menatap ke arah Arga."Apa kamu berniat untuk menggodanya?" 

Naya seakan tak mampu menegak salivanya sendiri. Tangan kekar Alen memegang bahunya begitu kuat.

"Heh, mana mungkin aku menggoda calon adik iparku? Aku tak akan berani melakukannya!" kata Arga tersenyum tipis.

Alen mengernyitkan dahi. Ia seakan tak percaya dengan apa yang di katakan saudara sepupunya yang playboy itu.

"Sudah! Opa tak mau kalian berdebat di meja makan. Jangan kacaukan malam ini!" pinta Opa membuyarkan suasana tegang yang terjadi pada mereka.

Naya tertunduk, nafsu makannya seakan hilang melihat hubungan Arga dan Alen yang sedang tidak baik-baik saja.

"Ya Tuhan, apa semua akan baik-baik saja? Apa hubunganku dengan Arga di masa lalu akan berdampak buruk pada mas Alen?" batin Naya bertanya seraya melirik Alen yang sibuk menyingkirkan daging dari makanannya.

 Tanpa pikir panjang, Naya mengambil makanan Alen dan menukar makanan miliknya.

"Maaf, Mas. Aku lupa kalo kamu tak menyukai daging," ucap Naya yang membuat orang di sekitarnya  menatap ke arahnya termasuk Alen.

Alen tak menyangka jika Naya tau kalo dia tidak makan daging.

"Makanlah!" seru Naya mengembangkan senyum manisnya dan mulai memakan makanan milik Alen.

Arga mendesah sebal. Rasa cemburu mulai menghampiri dirinya saat melihat perhatian Naya pada saudaranya itu.

"Opa, Arga keluar dulu!" pamit Arga pergi begitu saja.

"Iya!" jawab opa datar tanpa memandang Arga yang akan pergi dari hadapannya.

"Alen, kamu benar-benar beruntung memiliki kekasih seperti Kanaya. Udah cantik, baik dan perhatian lagi. Kalo Tante jadi Kanaya, tante mana mau menukar makanan kamu dan memakannya," puji tante  Ana mencoba untuk tersenyum.

"Iya, Alen sangat bersyukur mendapatkan Kanaya," kata Alen menyapu rambut Naya yang mengganggu makannya.

 Naya menyunggingkan sedikit senyumnya. Ia kembali fokus ke makanan dan tak mau menatap wajah tampan yang dimiliki Alen.

 "Dan aku berharap dia tidak seperti tante," ucap Alen memicing ke arah Tante Ana.

Senyum tante Ana seketika memudar. Ia mendesah dan seakan tak percaya dengan apa yang terlontar dari mulut keponakannya itu."Dasar anak tak tau diri! Berani-beraninya dia bersikap seperti itu sama aku. Awas saja! Aku akan balas semua ini," kata batin Tante Ana tersenyum.

"Ana, makanlah! Jangan kacaukan malam ini!" pinta opa. 

*****

Di mobil, Naya terdiam saat kata-kata serampah keluar dari mulut Alen kepadanya.

"Kamu sudah mempermalukanku di depan tante rese itu. Seharusnya, kamu diam dan tak usah banyak bicara jika mereka bertanya," kata Alen terlihat begitu emosi.

"Maafkan aku, Mas. Aku janji, aku tak akan mengulanginya lagi!" jawab Naya tertunduk.

"Aku perlu bukti bukan janji!" ketus Alen.

"Iya," jawab Naya memilih untuk memejamkan matanya yang sangat lelah.

"Mereka semua licik. Diam-diam, mereka semua ingin menjatuhkan aku untuk menguasai semua harta milik opa. Jadi, aku minta kamu ...," kata Alen terhenti saat melihat Naya tertidur pulas.

Alen mengernyit. Ia tersenyum tipis saat mengetahui dirinya berbicara seorang diri.

"Bisa-bisanya kamu membiarkan diriku berbicara seorang diri. Apa kamu lupa kalo kamu telah berhutang padaku satu miliar," tutur Alen mendesah sebal.

Drt ... Drt ...

Getaran ponsel mengalihkan pandangannya. Alen mengerling melihat nama yang menghubungi dirinya.

"Gala?" tanya Alen mulai mengangkat telepon tersebut."Gala, bagaimana?"

Sesaat, sudut mata Alen mengerut. Ia menoleh ke arah Naya. Pandangannya yang semula penuh kemarahan, perlahan mulai memudar. Rasa kasihan mulai menghampiri dirinya. 

Dan tak seharusnya ia bersikap kasar pada wanita yang seharusnya tak tau apa-apa tentang masalah hidupnya.

"Hutang ayahnya tidak seberapa. Melainkan hutang ibu tirinya yang di biarkan menumpuk agar pak Lukman bisa menikah dengannya. Secara tidak langsung, ibu tirinya menjualnya pada rentenir itu." Perkataan Gala yang masih terngiang dalam telinganya.

"Ibu tiri? Siapa ibu tirinya?" tanya Alen memicing. Tanpa pikir panjang, Alen menghubungi Gala kembali untuk mencari tau tentang ibu tiri Kanaya sebenarnya.

***

Keesokan harinya, Naya terbangun. Ia terbelalak kaget saat dirinya sudah berada di dalam kamar. Sesaat, kedua matanya mengerling saat melihat gaun merah yang ia kenakan tadi malam sudah tak melekat di tubuhnya. 

"Ya Tuhan, bagaimana bisa baju tidur ini ...," kata Naya syok saat pikirannya tertuju pada Alen.

"Apa jangan-jangan dia yang menggantikan bajuku?" tanya Naya seakan tak percaya."Ti-dak, itu tidak mungkin terjadi. Dalam perjanjian, dia tidak akan menyentuhku selama aku belum resmi jadi istrinya. Aku harus tanya langsung!" gegas Naya keluar dari kamarnya.

Hentakan kaki Kanaya terdengar begitu jelas di telinga Alen. Alen menoleh ke arah Kanaya yang menghampirinya dengan wajah yang terlihat panik.

"Mas Alen, maaf kalo saya harus bertanya sama, Mas. Tapi, saya hanya ingin memastikan saja, apa mas Alen yang ...," kata Naya terhenti.

"Eh, Nona cantik sudah bangun? Oiya, sebelumnya saya minta maaf, ya, Non. Saya telah lancang menggantikan baju Enon tanpa minta ijin terlebih dulu sama Enon," jawab Surti yang membuat Naya mengernyit. Ia menoleh ke arah Alen yang masih sibuk membaca koran sambil meminum kopi yang tersaji.

"Jadi, Bibi yang menggantikan baju saya?" tanya Naya memastikan.

"Iya, maaf, ya, Non!" kata Surti seraya menaruh camilan untuk Alen. 

Naya menghela nafas panjang. Ia mengernyit melirik Alen yang tak menatapnya sama sekali.

"Surti, apa kamu sudah menyiapkan apa yang saya perintahkan?" tanya Alen mengagetkan Surti.

"Oiya, Mas. Surti lupa!" ucap Surti menepuk jidatnya pelan."Kalo begitu, Surti tinggal dulu. Permisi!" kata Surti pergi meninggalkan mereka berdua.

Naya seakan tak mampu menegak salivanya sendiri. Ia  tak bisa bayangkan jika pertanyaan untuk Alen terlontar dari mulutnya. Sudah pasti Alen akan menceramahinya tiada henti seperti tadi malam.

"Apa yang ingin kamu tanyakan?" tanya Alen menyilangkan kedua kakinya dan mulai menatap ke arah Naya.

"Ti-dak, tidak jadi, Mas. Kalo begitu saya ke atas dulu!" kata Naya tersenyum tipis dan mulai melangkah pergi. 

Sejenak, langkah Naya terhenti saat Alen memanggil namanya.

"Kanaya!" panggil Alen.

"Iya, Mas," jawab Naya membalikkan badannya.

"Mandilah! Satu jam lagi, aku ingin mengajakmu pergi ke suatu tempat," kata Alen pergi begitu saja.

"Ke suatu tempat? Ke mana?" tanya Naya penasaran.

*****

Tok tok tok

Ketukan pintu terdengar begitu jelas. Laura mengernyit saat ketukan pintu semakin keras dan cepat.

"Siapa sih? Ganggu waktu santai aku aja," keluh Laura berjalan dengan malasnya.

Ceklek

Kedua mata Laura terbelalak kaget. Ia seakan tak mampu menegak salivanya sendiri saat melihat orang yang terlihat begitu perfect di depannya.  Gagah, berkumis tebal di lengkapi dengan memakai kacamata hitam membuat aura orang itu kian terpancar.

"Hai, Laura. Apa mama kamu di rumah?" tanya Pak Lukman membuka kacamata hitamnya sembari tersenyum manis.

Laura terkejut, terperangah dan tak menyangka jika orang itu adalah pak Lukman, orang yang akan menikah dengan saudara tirinya. 

"Laura ... Laura ...?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status