"Yura! Astaga, kenapa malah melamun! Cepat bersiap, Pak Arya sebentar lagi datang!”Seketika itu juga lamunan Yura terhenti. "Baik, Bu.""Ingat! Jangan ada kesalahan," ucap Bu Rika lalu beranjak pergi.Setelahnya, Yura menghela napas. Dicobanya mengingat segala informasi yang baru diterima.Ceklek!Suara pintu yang terbuka dan derap pentofel mahal yang terdengar membuat Yura seketika membungkukkan badan seperti training singkat Bu Rika. “Selamat pagi, Pak!"Seramah mungkin wanita itu menguntai senyum. Telah bersiap bila mendapatkan balasan serupa tetapi nyatanya hanya harap semata. Arya bahkan tak menarik sudut bibirnya barang satu mili pun. Pria berpostur tinggi itu hanya menghentikan langkah di depan meja Yura tanpa membalas sapa sebelum meletakkan amplop cokelat berukuran besar di meja wanita itu. “Tolong berikan ini ke Bu Rika dan katakan setelah jam sembilan segera ke ruangan saya,” pintanya.Meski bingung, Yura memberikan anggukan sebagai tanda mengerti. “Baik, Pak. Akan segera
“Bapak ingin makan siang di kantor atau di luar?” Sebenarnya rasa malu dan canggung setelah peristiwa peluk-memeluk yang tidak diprediksi pagi tadi belum hilang. Namun, harapan itu musnah ketika Bu Rika mengingatkan untuk bertanya makan siang.Berkas dan pulpen yang dipegang diturunkan. Sesaat kemudian pria berkulit sawo matang itu mengambil ponsel dan memeriksanya. “Nanti saja, saya tanya rumah dulu mau kirim makanan atau tidak,” jawabnya tanpa mendongak sedikitpun ke arah Yura.“Baik, Pak. Mohon beritahu saya jika ada kiriman makanan dari rumah, terima kasih,” pamitnya. Wanita itu berbalik badan, hendak kembali ke meja kerja, tetapi baru tiga kali kakinya menapak lantai, Arya membalas kalimatnya.“Saya belum mengijinkan kamu pergi!” Seketika langkahnya terhenti. Dua tangan yang masing-masing memegang pulpen dan catatan kecil kini mengepal lebih erat dari sebelumnya. Apa lagi? Jika belum mengijinkan pergi kenapa tidak memintanya untuk menunggu? Dengan berat hati Yura memutar tubuh
Entah mengapa sejak bertemu Tuan Gin dan jadi sekretaris Pak Arya, hari-hari Yura tidak tenang.Baik di kantor ataupun tempat tidur.Maka, Yura memutuskan tidur meski masih memakai penutup mata.Hanya saja, tidur nyenyak Yura terusik saat menyadari sesuatu yang berat tengah menindih perutnya. Dan juga ... desir napas teratur di belakang tengkuknya. Yura lantas mencoba beringsut. Sayangnya, pelukan yang terkesan posesif itu sulit untuk diurai. Tak ingin menyerah, ia berusaha mengangkat lengan Gin agar berpindah. Sayang, terlalu berat untuk diangkat dengan satu tangan.“Gin?” Yura memanggil dengan suara sepelan mungkin, takut bila mengejutkannya. Satu kali panggilan, tak menimbulkan reaksi apapun. Baru dipanggilan ketiga pelukan Gin perlahan merenggang seiring dengan tarikan napas panjang yang terdengar begitu dekat telinganya. “Hm?” “Maaf ..., aku ketiduran. Aku pikir kau tidak jadi datang,” ujarnya seraya membalikkan badan menghadap dada Gin yang bidang. Indra penciumannya mulai
"Jangan-jangan dia ada skandal dengan Pak Arya?"“Oh, my God! Benar juga. Itu bisa jadi! Tidak mungkin dia bisa sampai di tahap ini jika tidak memiliki hubungan dengan Pak Arya.” Langkah kaki Yura terhenti persis di depan kamar mandi kantor. Keinginan untuk masuk ke dalam bilik diurungkan setelah mendengar kalimat yang bergema hingga luar ruangan. Telinganya lantas menajam, penasaran dengan topik yang sedang dibicarakan. Siapa yang memiliki skandal dengan bosnya? Jika saat ini memutuskan untuk bertemu dengan Erna dan bertanya padanya, mungkin wanita itu sudah tahu lebih dulu. Tetapi sudah satu minggu Yura bekerja terpisah dengannya, sehingga jarang sekali bisa bertemu dengan sahabatnya itu. Erna bekerja di lantai bawah, sementara dirinya di lantai tiga. Itu semakin menciptakan jarak antar keduanya. "Iya, kan? Awalnya aku tidak percaya. Apa sih kehebatan dia sampai bos besar mau dengannya? Secara, fisiknya saja tak menarik! Tubuhnya kurus macam orang penyakitan, mukanya kucal sepe
"Dari mana?" Arya menyambut dingin Yura yang baru saja menapaki lantai ruangannya/ Pria itu duduk di atas sofa sembari memeriksa beberapa dokumen tanpa melihat ke arahnya. Seperti biasa, tidak menjual ekspresi apa-apa. . "Maaf, Pak Arya, tadi saya ke kamar mandi sebentar,” jawab Yura setelah sampai di hadapannya. “Ke kamar mandi atau pacaran. Saya melihat kamu bermesraan dengan pria lain?” todongnya tanpa basa-basi. Sementara Yura menahan napasnya beberapa detik. "Kamu tidak ingat jabatan ini adalah kesempatan terakhir untuk memperbaiki kesalahan?" Sepuluh menit yang lalu lelaki itu tiba di kantor. Yura bahkan tahu seluruh agendanya, mulai dari pukul berapa dia datang, dan apa saja yang akan Arya lakukan. Namun, bukannya melihat Yura berdiri menyambutnya di depan ruangan, ia malah mendapati sekretaris barunya itu sedang asik bermesraan dengan Narendra di lantai dua? “Sepertinya Bapak salah paham dengan kejadian ini, saya hanya menyapa Pak Narendra sebentar karena kebetulan ka
"Berapa kali saya ingatkan kamu untuk stand by sepuluh menit sebelum Bapak datang? Hari ini saya kena tegur karena dianggap tidak bisa memberi arahan!" Alih-alih mengonfirmasi pengacara Tuan Gin itu, Yura kini malah diomeli Bu Rika. Tampaknya, wanita itu tak terima sebab nama baik yang dijaga selama ini turut terseret dengan kesalahan yang dibuat oleh sekretaris baru pimpinannya. Padahal, ini hanya perkara datang lebih awal dari biasanya saja, bukan pekerjaan berat semacam angkut galon dari lantai satu ke lantai lima atau menagih piutang yang berbulan-bulan tak kunjung dilunasi!Lagi-lagi, Yura menundukkan kepala seraya meremas jemari. Toh, bukankah semua atasan tidak suka dibantah?Mereka hanya mau bawahannya mengaku salah sekalipun tak melakukannya—terkadang. Namun, sepertinya respon Yura tidak sesuai dengan keinginan Bu Rika..... "Yura kamu ini kalau diajak bicara bisa tidak merespon sedikit? Jangan hanya diam saja!" tuntutnya lagi setelah meremas udara di samping tubuhnya.
"Sebenarnya siapakah Tuan Gin? Mengapa pria itu seperti berada dekat dengannya?" Yura bertanya dalam hati. Begitulah pertanyaan yang sejak tadi berlarian di kepala Yura, lebih tepatnya setelah membaca pesan yang dikirimkan oleh Gin. Ucapan selamat makan saat Yura menyantap makanannya membuatnya kembali membuat hipotesa yang sama. Mungkinkah Gin juga bekerja di perusahaan ini? Atau mungkin saja mata-mata di sekitarnya? Entah apa yang dimau, ia sendiri sampai saat ini belum bisa mengerti. Posesif yang terlalu besar juga sikap yang terkadang tak bisa ditebak membuat Yura harus ekstra sabar menghadapinya. Kendati saat Gin berlaku demikian tak dipungkiri ia merasa diperhatikan, dicintai, dan dianggap layaknya seorang istri. “Ra! Yura!” Teriakan itu membuat Yura tersadar. Gumpalan nasi yang telah dikunyahnya, langsung ditelan begitu mendapati seorang wanita berkemeja putih berdiri di hadapannya membawa sebuah bendelan kertas dan pouch kecil berwarna hitam. "Erna?" Entah sejak kapan
“Ka—kapan kau bertemu ibu mertuaku? Lalu, mengapa ibu berkata begitu?” “Beberapa hari lalu saat aku mengantar suamiku untuk cek darah di rumah sakit.” Erna mengurai dua tangan kemudian menyeret kursi di hadapan meja dan mendaratkan tubuhnya di sana.“Aku menyempatkan diri untuk berkunjung berharap bisa menemukanmu di sana karena di kantor kita tidak pernah bertemu setelah kau diangkat menjadi sekretaris Pak Arya. Tapi ternyata aku hanya berjumpa dengan ibu mertuamu dan beliau berkata begitu saat bertanya keberadaanmu,” sambungnya masih dengan tatapan lekatnya. Kepala Yura mendadak pening. Jawaban pertanyaan beberapa saat lalu belum terpikirkan di kepala, dan kini ia dikejutkan dengan pernyataan Erna. Mengapa Katrina malah berkata demikiam? Kendati memang benar Yura menjual diri untuk mendapatkan uang, tetapi bukankah lebih baik tidak menyebarkannya kepada orang lain? Setidaknya, menjaga nama baik Yura sebagai menantunya. Erna mungkin dekat dengannya dan seandainya Yura jujur, s