Suara motor tua itu terdengar dari jauh, meraung pelan menembus senja yang mulai turun. Ayla yang sedang meratapi dirinya setelah kembali dari Dirgantara Group. Di benaknya, siapa pun bisa datang… asalkan bukan orang yang sudah lama menghilang tanpa kabar.
Tapi nasib memang suka bercanda. Saat motor itu berhenti di depan pagar rumah, Ayla membeku. Sosok lelaki kurus dengan jaket lusuh dan ransel robek di pundak perlahan membuka helmnya. Lelaki itu tersenyum canggung, seolah tak pernah kabur selama beberapa bulan. “Hai, Dik.” Ayla menelan ludah, mencoba meredam emosi yang mulai mendidih. Tapi detik berikutnya, dia sudah membuka pagar dengan hentakan keras. “Berani-beraninya kamu muncul sekarang!” bentaknya, mendorong bahu kakaknya. “Kamu pikir ini rumah singgah?!” “Ayla…” suara Andra pelan, lelah. “Aku cuma…” “Kamu cuma apa? Kabur? Hilang tanpa kabar? Dan sekarang muncul setelah semua berantakan?” “Cukup, Ayla,” potong Bu Marni yang tiba-tiba muncul dari dalam. “Biar Ibu yang bicara.” Dingin menyelimuti ruang tamu sejak kedatangan Andra. “Itu tuduhan, Ayla. Aku nggak ngambil uang itu buat diri sendiri. Aku… dipaksa ikut proyek yang ternyata fiktif. Tanda tanganku dipakai. Tapi karena aku kepala tim, aku yang kena.” kata Andra membela diri. “Kamu yang bikin masalah, terus lari. Dan karena kamu nggak sanggup bayar, kamu jual aku ke bosmu?!” “Jadi,” Andra pada akhirnya. “Kamu sudah tahu semuanya?” “Kamu kakak gila!,” Ayla menatapnya lurus. “Dengan mengorbankan aku?!” Andra mengangkat tangan. “Dengar dulu. Arka nggak maksa, dia… kasih pilihan. Dan aku tahu kamu orang yang kuat, kamu bisa—” “Diam!” Ayla berdiri, matanya berkaca-kaca. “Kamu tahu apa yang kamu lakuin, Andra? Kamu kabur, meninggalkan aku dan Ibu. Kamu rusak hidupmu, dan sekarang kamu rusak hidupku juga.” “Kalau aku bisa ganti tempat, aku akan—” “Kamu tuh kakakku, Ndra. Kamu seharusnya jagain aku, bukan jual aku!,” “Aku... waktu itu panik. Aku emang gelapkan dana. Tapi bukan untuk foya-foya, Ayla. Aku ditipu orang. Investasi bodong. Uang kantor ikut lenyap. Pas tahu aku bisa dipenjara... aku nekat.” “Dan kamu pikir menyerahkan aku pada Arka adalah solusi terbaik?” Andra menatapnya. “Aku pikir... aku bisa nego. Biar dia maafin aku. Lalu... dia yang bilang syaratnya nikahin kamu. Aku tahu itu salah. Tapi waktu itu... aku mikir, kamu belum punya pacar, belum nikah juga. Dia orang kaya. Mungkin kamu bisa... hidup lebih baik.” Ayla menahan air mata. Marah dan sedih menjadi satu. “Terlambat!” Ayla menggeleng. “Semuanya sudah terjadi. Dan satu-satunya alasan aku nggak pergi sekarang juga… karena aku masih punya sisa rasa hormat pada Ibu! Gak kayak kamu!,” Di restoran yang tampak mewah, tak membuat Ayla goyah dengan dirinya dengan statusnya yang berbeda. Pernikahan kecilnya, tak ada musik. Hanya petugas pencatat sipil, dua saksi, dan selembar surat kontrak di meja. “Dengan ini, Arka Dirgantara dan Ayla Ramadhani secara hukum dinyatakan sebagai pasangan suami-istri…” Ayla memejamkan mata sejenak saat kata-kata itu meluncur dari mulut petugas. Perasaan hampa menyelubungi dadanya. Ini bukan hari yang akan ia kenang dengan senyuman. Arka menatapnya, matanya tak menyiratkan emosi. Selesai. Mereka suami istri. Secara hukum. Secara kontrak. Secara emosi? Nol. Setelah penandatanganan kontrak, semua orang beranjak pergi dengan cepat. Andra dan Ibu pamit dengan tatapan kosong. Mereka tinggal berdua di lobi gedung kecil itu. Sunyi. Hanya suara sepatu mereka yang terdengar menggema. Ayla menunduk. “Mulai hari ini… aku tinggal di mana?” “Rumahku. Sudah kusiapkan kamar untukmu. Asisten rumah tanggaku sudah diberi instruksi.” “Baik.” “Aku tidak akan ikut malam ini. Ada rapat direksi di Singapura.” Ayla mengangguk pelan. “Kapan aku bertemu keluargamu?,"“Nanti.”
Masih ada beberapa hari untuk menyiapkan diri… atau mencoba menerima kenyataan. Arka menyerahkan sebuah map padanya. “Ini salinan kontrak, dan juga akses masuk ke apartemen.” Ayla meraihnya dengan hati-hati. Tangannya sempat menyentuh tangan Arka, dan pria itu langsung menarik tangannya. Dingin. Itulah yang akan dia hadapi. Dan dia sudah tahu sejak awal. “Dan Ayla…” Ayla menolehnya. “Ya?” “Mulai minggu depan… kamu akan mulai bekerja di kantorku. Bukan sebagai istri CEO. Tapi sebagai staf baru di divisi internal audit.” Ayla tertegun. “Staf biasa?” Arka menatapnya lurus. “Aku tidak ingin semua orang tahu siapa kamu. Dan kamu juga perlu mengenal dunia ini jika kita ingin pernikahan ini tampak nyata.” Bagai gemuruh di dalam dada, ia meng-iya-kan sebelum ditinggalkan di lobi dengan semua perasaannya yang penuh pertanyaan.Pagi berikutnya, Arka memasuki ruang rapat utama Dirgantara Group dengan langkah mantap. Rautnya tegas, tapi di matanya ada sedikit kelelahan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia tahu, agenda rapat kali ini akan menguras energi pembahasan lanjutan pasca-merger, sekaligus menanggapi rumor yang sedang beredar.Begitu ia duduk di kursi ujung meja, beberapa direksi langsung saling bertukar pandang. Ada yang menatapnya penuh harap, ada juga yang ragu-ragu. Arka bisa merasakan suhu ruangan yang lebih dingin dari biasanya bukan karena AC, tapi karena ketidakpercayaan yang diam-diam menular.“Baik, kita mulai,” ucap Arka singkat. Suaranya jernih, tak memberi ruang untuk spekulasi.Sementara itu, di rumah, Ayla kembali menatap deretan email yang masuk. Beberapa dari mereka berisi permintaan konfirmasi dari media, tapi ada satu yang membuat napasnya tercekat undangan talkshow nasional dengan tema ‘Wanita di Balik Sukses Seorang CEO’.Ia membaca ulang pesan itu. Kata-katanya manis, menawarkan panggu
Pagi itu, ruang pantry kantor Dirgantara Group ramai seperti biasa. Tapi kali ini bukan karena kopi pagi atau sarapan roti dari vendor langganan. Suasana justru dipenuhi dengan bisik-bisik pelan, tatapan sinis, dan tawa setengah teredam saat Ayla lewat membawa map di tangannya."Katanya sih gara-gara dekat sama CEO, bisa langsung naik jabatan," bisik salah satu karyawan perempuan yang berdiri dekat dispenser air."Ya gimana enggak? Lihat aja, cantik, lembut, gampang dikendalikan CEO pasti seneng yang kayak gitu," timpal yang lain dengan senyum penuh sindiran.Ayla mendengar semuanya, tapi langkahnya tetap tenang. Ia hanya menunduk sedikit, menghela napas dalam, lalu terus berjalan tanpa menoleh. Tapi jauh di dalam, hatinya mulai terasa sesak.Rasanya seperti kembali ke masa SMA ketika kabar tentang keluarganya mulai tersebar dan ia jadi bahan gosip. Tapi sekarang jauh lebih rumit, karena bukan hanya harga dirinya yang dipertaruhkan… melainkan karier dan masa depannya juga.Sesampainya
Keesokan paginya, suasana kantor terasa lebih dingin dari biasanya. Sejak pagi, semua mata seolah menatap Ayla dengan bisik-bisik tak kasat mata. Ia tahu, efek dari berita kemarin masih bergema.Ayla melangkah ke mejanya dengan kepala tegak. Ia menyalakan laptop, membuka agenda kerja, dan berusaha bersikap seperti biasa. Tapi tangan dinginnya tak bisa menyembunyikan kegelisahan yang menyelimuti hatinya.“Besty…” Cynthia muncul dengan dua gelas kopi.“Darurat double shot espresso?” Ayla menyambut cangkir itu dengan senyum tipis.Cynthia duduk di kursi sebelahnya. “Aku barusan denger, beberapa orang dari tim merger mulai raguin posisi kamu.”Ayla menoleh cepat. “Siapa?”“Dwi, si analis keuangan, dan satu orang dari legal tim Naira. Mereka ngomongin kamu di pantry tadi. Kayak... mempertanyakan kenapa kamu masih ikut koordinasi merger, padahal posisimu ‘hanya staf’.”Ayla menatap kosong ke depan. Rasanya tak adil, setelah kerja kerasnya, semua diruntuhkan hanya karena satu gosip dan masa
Ayla menatap pantulan wajahnya di cermin kamar mandi kantor. Matanya sedikit sembap, tapi ia memaksa bibirnya tersenyum. Tak ada waktu untuk terlihat rapuh. Terutama setelah semalam Arka menunjukkan bahwa masa lalu betapapun pahitnya selalu punya cara datang kembali.Pagi itu, suasana kantor Dirgantara Group terasa berbeda. Bisik-bisik kecil menyebar cepat, seperti embusan angin yang membawa kabar Investor baru yang cantik itu punya hubungan masa lalu dengan CEO.Ayla melangkah cepat melewati lorong, menolak menanggapi tatapan penasaran dari beberapa karyawan yang dengan sengaja menoleh dua kali saat ia lewat. Ia tidak buta. Ia tahu bagaimana dunia kerja sering kali kejam pada wanita, terutama yang dianggap ‘naik pangkat’ karena koneksi pribadi.Sampai akhirnya suara familiar menghentikannya.“Ayla, sebentar,” ujar Cynthia sambil berjalan menghampiri dengan berkas di tangan.Ayla menoleh. “Ada yang perlu saya tandatangani?”Cynth
Udara Jakarta terasa lebih lembap dari biasanya. Di dalam ruang rapat utama Dirgantara Group, para eksekutif dan staf sudah menempati tempat masing-masing untuk membahas presentasi proyek terbaru proyek yang akan menentukan arah merger strategis ke depan.Ayla duduk di barisan kedua, mencatat sambil sesekali mencuri pandang ke arah Arka yang tengah memimpin rapat. Sikap Arka tetap tenang dan profesional, seolah tidak tergoyahkan oleh berita yang sedang ramai di luar sana tentang kembalinya Naira Maheswari.Namun semua berubah saat pintu ruang rapat terbuka.“Maaf, saya terlambat. Ada sedikit kendala lalu lintas,” ucap suara lembut namun tegas dari arah pintu.Semua mata menoleh.Ayla membeku.Wanita itu melangkah masuk dengan anggun, mengenakan blazer krem dipadukan celana panjang putih dan rambut panjang yang disisir rapi ke belakang. Senyumnya ramah, tapi dingin. Sorot matanya menyapu ruangan, lalu berhenti pada Arka.
Malam itu, apartemen Arka terasa lebih hening dari biasanya. Tak ada suara televisi, tak ada denting gelas dari dapur, hanya detak jam di dinding yang terdengar samar. Ayla duduk di sofa ruang tamu, mengenakan sweater hangat dan rambut digulung seadanya. Matanya sesekali menoleh ke arah pintu, menunggu Arka yang berjanji akan bicara jujur malam ini.Dan ketika suara pintu terbuka, Ayla menegakkan tubuhnya. Arka masuk dengan langkah berat. Wajahnya tampak lelah, tapi lebih dari itu ada semacam tekanan emosional yang tak bisa ia sembunyikan.Tanpa banyak basa-basi, ia meletakkan map kerja di meja dan duduk di seberangnya.“Aku pernah bertunangan,” Arka memulai.Ayla hanya diam, menunggu kelanjutannya.“Namanya Naira Maheswari. Anak tunggal dari salah satu pengusaha properti besar di Jakarta. Kami dijodohkan bukan karena cinta, tapi karena aliansi bisnis antara keluarga Dirgantara dan Maheswari.”Ayla tak kaget, tapi tetap tersentak. Ia menyimak, mencoba tetap netral.“Awalnya aku pikir,