Sudah dua hari Ayla tinggal di apartemen Arka, tapi rasanya seperti tinggal di hotel yang terlalu sepi dan terlalu besar. Kamar yang ia tempati memang nyaman ada jendela besar menghadap kota, ranjang empuk, bahkan lemari yang diisi pakaian baru atas nama ‘fasilitas’ tapi tidak ada rasa milik. Tidak ada kehangatan. Tak ada suara. Tak ada tawa. Bahkan tidak ada bau masakan rumah seperti yang biasa ia cium di rumah Bu Marni dulu.
Ayla bangun lebih pagi dari biasanya. Ini hari Senin hari pertamanya bekerja di kantor Arka. Ia berdiri di depan cermin, merapikan kemeja putih polos dan rok span hitam yang terlihat sedikit terlalu formal untuk selera pribadinya. Tapi lebih baik begini daripada terlihat tidak profesional. Apalagi, siapa pun tahu bekerja di perusahaan milik suami sendiri bukan berarti bebas. Justru lebih rumit. Dan apalagi kalau suami itu adalah Arka Dirgantara. Pukul tujuh tepat, mobil sudah menunggunya di bawah. Supir pribadi Arka menyapa dengan sopan, dan sepanjang perjalanan hanya suara radio yang menemani. Ayla hanya menjawab singkat ketika ditanya, dan lebih banyak menghabiskan waktu memperhatikan jalanan ibu kota yang macet seperti biasa. Kepalanya masih dipenuhi pikiran-pikiran bagaimana harus bersikap nanti? Apakah semua orang tahu siapa dia sebenarnya? Atau pernikahan ini memang benar-benar disimpan rapat? Sesampainya di kantor, ia disambut oleh resepsionis yang langsung menyerahkan ID karyawan dan menunjukkan arahan lift ke lantai 11. “Anda akan bekerja di Divisi Umum, Mbak Ayla. Kepala divisinya Pak Jodi.” Ayla mengangguk, tersenyum sopan. Ia belum mengatakan siapa dirinya. Dan tak ada yang menyinggung. Mungkin ini bagian dari instruksi Arka. Sampai di lantai 11, suasana kantor cukup ramai tapi teratur. Orang-orang terlihat sibuk, tapi tak panik. Kantor Dirgantara Corp memang terkenal profesional, dengan standar tinggi. “Selamat pagi. Anda pasti karyawan baru ya?” Ayla menoleh. Seorang perempuan muda berambut sebahu dan berkacamata menyambutnya dengan senyum ramah. “Iya. Saya Ayla.” “Saya Dini, staf keuangan. Sini, saya tunjukkan tempat dudukmu. Tadi Pak Jodi bilang kamu mulai hari ini.” Ayla mengikuti Dini ke sudut ruangan. Di sana sudah disiapkan satu meja lengkap dengan komputer dan alat tulis. Rapi dan nyaman. “Kalau ada yang bingung, tanya aku aja ya,” kata Dini ramah. “Terima kasih banyak, Dini.” Baru lima menit duduk, Ayla sudah merasa lega. Setidaknya, atmosfer kantor ini tidak seintimidasi yang ia bayangkan. Menjelang siang, semua staf berkumpul di ruang rapat besar. Ada briefing rutin mingguan yang dipimpin oleh salah satu manajer bukan Arka. Namun, beberapa menit kemudian, pintu ruang rapat terbuka. Langkah tegap dan suara sepatu mahal yang khas membuat semua kepala menoleh. Arka Dirgantara masuk dengan postur tinggi, setelan hitam, dan ekspresi datar. Pandangannya menyapu seluruh ruangan… dan berhenti sepersekian detik di wajah Ayla. Lalu, tanpa perubahan ekspresi, dia melangkah ke depan ruangan. “Selamat pagi,” suaranya tenang tapi tegas. “Saya hanya ingin menyampaikan bahwa minggu ini kita akan kedatangan auditor dari luar. Tolong semua data disiapkan rapi. Saya tidak mau ada kesalahan.” Semua mengangguk. Arka hanya bicara singkat, lalu keluar kembali. Ayla belum sempat menghela napas saat melihat beberapa pegawai saling berbisik kecil. “Aku deg-degan tiap kali dia masuk ruangan, deh,” bisik salah satu staf. “Pakai parfum aja bisa langsung luntur kalo dia lewat.” Mereka tertawa pelan. Dini menoleh ke Ayla. “Itu Pak Arka, CEO kita. Super perfectionist. Tapi tenang aja, asal kerja rapi, aman kok.” Ayla tersenyum kecil. “Iya, aku bisa lihat auranya.” Dalam hati, Ayla ingin tertawa atau menangis. Siapa yang menyangka kalau CEO dingin yang mereka takuti itu adalah suaminya sekarang? Waktu makan siang, Dini mengajak Ayla ke kantin di lantai dasar. Mereka duduk di pojok, menikmati nasi ayam penyet dan es teh. “Eh, Ayla… kamu tinggal di mana? Deket sini?” “Di daerah Sudirman. Dapat tempat tinggal dari kantor.” Jawaban standar. Ia tak ingin mengarang, tapi juga tak ingin terlalu terbuka. “Wah, enak banget. Aku masih naik KRL tiap hari.” “Capek banget, ya?” “Ya gitu deh,” Dini tertawa. “Tapi aku suka kerja di sini. Suasananya… ya, kaku sih, tapi stabil. Kalau butuh kerja yang aman dan jangka panjang, ini tempat yang pas.” Ayla mengangguk pelan. Aman? Ia tak tahu apakah ‘aman’ adalah kata yang tepat untuk menggambarkan dirinya sekarang. Pukul lima sore, pekerjaan hari pertama selesai. Ayla merasa cukup puas. Ia sudah mulai membaca laporan divisi dan mencoba memahami alur kerja. Saat ia keluar kantor, mobil yang tadi pagi menjemput sudah menunggu di depan lobi. Supir membukakan pintu tanpa berkata apa pun. Di dalam mobil, Ayla bersandar sambil memandangi langit Jakarta yang mulai berubah jingga. Hari pertama yang cukup tenang. Tapi ia tahu… ketenangan ini tak akan bertahan lama. Sesampainya di apartemen, Ayla membuka pintu dan langsung disambut keheningan. Tidak ada suara televisi, tidak ada langkah kaki. Arka jelas belum pulang. Entah sedang di mana pria itu sekarang. Ia mengganti baju, menggulung lengan bajunya, lalu menuju dapur. Ada beberapa bahan makanan yang sudah ditaruh di kulkas sepertinya hasil belanjaan ART yang disewa untuk mengisi kebutuhan apartemen ini. Tapi malam ini Ayla memutuskan memasak sendiri. Ia ingin merasakan sesuatu yang nyata. Sesuatu yang… bisa ia kontrol. Sepanci sup ayam sederhana mulai mendidih di atas kompor. Aroma kaldu menguar pelan, mengisi ruang dapur yang selama ini terlalu steril. Saat Ayla menuangkan sup ke mangkuk, terdengar suara pintu apartemen dibuka. Langkah kaki Arka terdengar berat. Sejenak Ayla terpaku, lalu melanjutkan menyendok sup ke mangkuk kedua. Ia tidak tahu mengapa, tapi seperti ada dorongan untuk tidak membiarkan pria itu makan sendirian malam ini. Arka muncul di ambang pintu dapur, membuka dasi dan menggulung lengan kemejanya. "Kamu masak?" tanyanya singkat. Ayla mengangguk. "Cuma sup. Mau makan?" Arka menatapnya beberapa detik. Wajahnya sulit ditebak seperti biasa. Lalu, akhirnya ia menarik kursi dan duduk. Mereka makan dalam diam. Hanya suara sendok dan garpu yang terdengar. Tapi anehnya, tidak ada ketegangan seperti yang Ayla kira akan ada. Diam mereka bukan dingin. Hanya... canggung. “Susah nggak hari ini?” Arka akhirnya bertanya, suaranya pelan. Ayla menoleh. “Hari pertama selalu susah, kan? Tapi stafnya baik. Dini... dia banyak bantu.” Arka mengangguk pelan. “Kalau ada yang ganggu, bilang ke aku.” “Aku pikir kita sepakat hubungan ini… hanya di atas kertas,” ujar Ayla sambil menatapnya. “Aku nggak mau bikin suasana kantor jadi aneh. Aku juga nggak akan manfaatin posisi... sebagai ‘istri’.” Arka menatap balik. “Aku tahu kamu bukan tipe yang begitu.” Sejenak hening lagi. Lalu Arka meletakkan sendoknya dan menatap meja. “Aku tahu kamu belum bisa nerima semua ini, Ayla. Dan aku pun belum tahu harus memperlakukan kamu sebagai apa. Tapi… aku nggak akan ganggu hidupmu. Kita jalani ini sesuai syaratmu.” Ayla diam. Ia tidak tahu harus senang atau sedih mendengarnya. Ada bagian dari dirinya yang ingin memercayai ketulusan Arka. Tapi ada luka yang masih terlalu baru untuk diabaikan. “Makasih,” katanya pelan. Malamnya, Ayla duduk di balkon, memandangi kota yang penuh cahaya. Jakarta malam hari seperti dunia yang berbeda seolah semua orang sedang mengejar sesuatu. Kebahagiaan, kekuasaan, uang, atau mungkin... cinta. Ia memeluk lutut, berpikir. Bagaimana bisa ia tinggal di sini, berpura-pura menjadi istri dari pria yang bahkan nyaris tak ia kenal? Bahkan kakaknya sendiri telah menjualnya tanpa seizin dirinya, hanya demi menyelamatkan diri dari tuntutan hukum. Ayla menggigit bibirnya, mencoba mengusir amarah yang mulai mendidih. Ia belum tahu harus bagaimana menghadapi kakaknya. Bagaimana menerima semua yang sudah terjadi. Suara pintu geser balkon membuka pelan membuat Ayla menoleh. Arka berdiri di sana dan ekspresi yang tak mudah ditebak. “Angin malam begini bisa bikin masuk angin,” ucapnya singkat, lalu duduk di kursi sebelah. Ayla tidak menjawab. Ia hanya kembali menatap lampu kota. Mereka diam cukup lama.Lalu Arka bicara lagi, nadanya datar.
“Besok kamu pulang kerja jam berapa?” “Kenapa?” Ayla balik bertanya. “Nanya aja. Kalau kamu masak, aku gak makan diluar,” Ayla mengerjap pelan, tidak menyangka kalimat itu keluar dari Arka. Bukan karena manis, “Kita ini bukan pasangan beneran, Arka.” “Ah iya,” kata Arka berdeham. “Soalnya enak,” “Apanya?” “Supnya,” tukasnya sempat mencuri pandang melihat ekspresi Ayla yang setengah ingin tertawa, setengah jengkel. “Kalau tiap hari kayak gini... enak,” gumam Arka pelan, hampir tak terdengar. Ayla mendongak cepat. “Apanya?” Arka mengangkat bahu. “Maksudnya, sup kayak gini enak. Susah dicari di GrabFood.” Ada kekehan kecil dari Ayla, membuat Arka diam-diam meliriknya lagi. Tatapan perempuan itu melembut, dan senyumnya meski singkat cukup untuk membuat dinginnya malam mereka berubah sedikit hangat.Pagi berikutnya, Arka memasuki ruang rapat utama Dirgantara Group dengan langkah mantap. Rautnya tegas, tapi di matanya ada sedikit kelelahan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia tahu, agenda rapat kali ini akan menguras energi pembahasan lanjutan pasca-merger, sekaligus menanggapi rumor yang sedang beredar.Begitu ia duduk di kursi ujung meja, beberapa direksi langsung saling bertukar pandang. Ada yang menatapnya penuh harap, ada juga yang ragu-ragu. Arka bisa merasakan suhu ruangan yang lebih dingin dari biasanya bukan karena AC, tapi karena ketidakpercayaan yang diam-diam menular.“Baik, kita mulai,” ucap Arka singkat. Suaranya jernih, tak memberi ruang untuk spekulasi.Sementara itu, di rumah, Ayla kembali menatap deretan email yang masuk. Beberapa dari mereka berisi permintaan konfirmasi dari media, tapi ada satu yang membuat napasnya tercekat undangan talkshow nasional dengan tema ‘Wanita di Balik Sukses Seorang CEO’.Ia membaca ulang pesan itu. Kata-katanya manis, menawarkan panggu
Pagi itu, ruang pantry kantor Dirgantara Group ramai seperti biasa. Tapi kali ini bukan karena kopi pagi atau sarapan roti dari vendor langganan. Suasana justru dipenuhi dengan bisik-bisik pelan, tatapan sinis, dan tawa setengah teredam saat Ayla lewat membawa map di tangannya."Katanya sih gara-gara dekat sama CEO, bisa langsung naik jabatan," bisik salah satu karyawan perempuan yang berdiri dekat dispenser air."Ya gimana enggak? Lihat aja, cantik, lembut, gampang dikendalikan CEO pasti seneng yang kayak gitu," timpal yang lain dengan senyum penuh sindiran.Ayla mendengar semuanya, tapi langkahnya tetap tenang. Ia hanya menunduk sedikit, menghela napas dalam, lalu terus berjalan tanpa menoleh. Tapi jauh di dalam, hatinya mulai terasa sesak.Rasanya seperti kembali ke masa SMA ketika kabar tentang keluarganya mulai tersebar dan ia jadi bahan gosip. Tapi sekarang jauh lebih rumit, karena bukan hanya harga dirinya yang dipertaruhkan… melainkan karier dan masa depannya juga.Sesampainya
Keesokan paginya, suasana kantor terasa lebih dingin dari biasanya. Sejak pagi, semua mata seolah menatap Ayla dengan bisik-bisik tak kasat mata. Ia tahu, efek dari berita kemarin masih bergema.Ayla melangkah ke mejanya dengan kepala tegak. Ia menyalakan laptop, membuka agenda kerja, dan berusaha bersikap seperti biasa. Tapi tangan dinginnya tak bisa menyembunyikan kegelisahan yang menyelimuti hatinya.“Besty…” Cynthia muncul dengan dua gelas kopi.“Darurat double shot espresso?” Ayla menyambut cangkir itu dengan senyum tipis.Cynthia duduk di kursi sebelahnya. “Aku barusan denger, beberapa orang dari tim merger mulai raguin posisi kamu.”Ayla menoleh cepat. “Siapa?”“Dwi, si analis keuangan, dan satu orang dari legal tim Naira. Mereka ngomongin kamu di pantry tadi. Kayak... mempertanyakan kenapa kamu masih ikut koordinasi merger, padahal posisimu ‘hanya staf’.”Ayla menatap kosong ke depan. Rasanya tak adil, setelah kerja kerasnya, semua diruntuhkan hanya karena satu gosip dan masa
Ayla menatap pantulan wajahnya di cermin kamar mandi kantor. Matanya sedikit sembap, tapi ia memaksa bibirnya tersenyum. Tak ada waktu untuk terlihat rapuh. Terutama setelah semalam Arka menunjukkan bahwa masa lalu betapapun pahitnya selalu punya cara datang kembali.Pagi itu, suasana kantor Dirgantara Group terasa berbeda. Bisik-bisik kecil menyebar cepat, seperti embusan angin yang membawa kabar Investor baru yang cantik itu punya hubungan masa lalu dengan CEO.Ayla melangkah cepat melewati lorong, menolak menanggapi tatapan penasaran dari beberapa karyawan yang dengan sengaja menoleh dua kali saat ia lewat. Ia tidak buta. Ia tahu bagaimana dunia kerja sering kali kejam pada wanita, terutama yang dianggap ‘naik pangkat’ karena koneksi pribadi.Sampai akhirnya suara familiar menghentikannya.“Ayla, sebentar,” ujar Cynthia sambil berjalan menghampiri dengan berkas di tangan.Ayla menoleh. “Ada yang perlu saya tandatangani?”Cynth
Udara Jakarta terasa lebih lembap dari biasanya. Di dalam ruang rapat utama Dirgantara Group, para eksekutif dan staf sudah menempati tempat masing-masing untuk membahas presentasi proyek terbaru proyek yang akan menentukan arah merger strategis ke depan.Ayla duduk di barisan kedua, mencatat sambil sesekali mencuri pandang ke arah Arka yang tengah memimpin rapat. Sikap Arka tetap tenang dan profesional, seolah tidak tergoyahkan oleh berita yang sedang ramai di luar sana tentang kembalinya Naira Maheswari.Namun semua berubah saat pintu ruang rapat terbuka.“Maaf, saya terlambat. Ada sedikit kendala lalu lintas,” ucap suara lembut namun tegas dari arah pintu.Semua mata menoleh.Ayla membeku.Wanita itu melangkah masuk dengan anggun, mengenakan blazer krem dipadukan celana panjang putih dan rambut panjang yang disisir rapi ke belakang. Senyumnya ramah, tapi dingin. Sorot matanya menyapu ruangan, lalu berhenti pada Arka.
Malam itu, apartemen Arka terasa lebih hening dari biasanya. Tak ada suara televisi, tak ada denting gelas dari dapur, hanya detak jam di dinding yang terdengar samar. Ayla duduk di sofa ruang tamu, mengenakan sweater hangat dan rambut digulung seadanya. Matanya sesekali menoleh ke arah pintu, menunggu Arka yang berjanji akan bicara jujur malam ini.Dan ketika suara pintu terbuka, Ayla menegakkan tubuhnya. Arka masuk dengan langkah berat. Wajahnya tampak lelah, tapi lebih dari itu ada semacam tekanan emosional yang tak bisa ia sembunyikan.Tanpa banyak basa-basi, ia meletakkan map kerja di meja dan duduk di seberangnya.“Aku pernah bertunangan,” Arka memulai.Ayla hanya diam, menunggu kelanjutannya.“Namanya Naira Maheswari. Anak tunggal dari salah satu pengusaha properti besar di Jakarta. Kami dijodohkan bukan karena cinta, tapi karena aliansi bisnis antara keluarga Dirgantara dan Maheswari.”Ayla tak kaget, tapi tetap tersentak. Ia menyimak, mencoba tetap netral.“Awalnya aku pikir,