Home / Romansa / Kontrak Hati Sang CEO / Bab 3 – Rumah Bukan Tempat Pulang

Share

Bab 3 – Rumah Bukan Tempat Pulang

Author: Yuna lys
last update Huling Na-update: 2025-07-06 17:42:54

Sudah dua hari Ayla tinggal di apartemen Arka, tapi rasanya seperti tinggal di hotel yang terlalu sepi dan terlalu besar. Kamar yang ia tempati memang nyaman ada jendela besar menghadap kota, ranjang empuk, bahkan lemari yang diisi pakaian baru atas nama ‘fasilitas’ tapi tidak ada rasa milik. Tidak ada kehangatan. Tak ada suara. Tak ada tawa. Bahkan tidak ada bau masakan rumah seperti yang biasa ia cium di rumah Bu Marni dulu.

Ayla bangun lebih pagi dari biasanya. Ini hari Senin hari pertamanya bekerja di kantor Arka. Ia berdiri di depan cermin, merapikan kemeja putih polos dan rok span hitam yang terlihat sedikit terlalu formal untuk selera pribadinya. Tapi lebih baik begini daripada terlihat tidak profesional.

Apalagi, siapa pun tahu bekerja di perusahaan milik suami sendiri bukan berarti bebas. Justru lebih rumit. Dan apalagi kalau suami itu adalah Arka Dirgantara.

Pukul tujuh tepat, mobil sudah menunggunya di bawah. Supir pribadi Arka menyapa dengan sopan, dan sepanjang perjalanan hanya suara radio yang menemani. Ayla hanya menjawab singkat ketika ditanya, dan lebih banyak menghabiskan waktu memperhatikan jalanan ibu kota yang macet seperti biasa.

Kepalanya masih dipenuhi pikiran-pikiran bagaimana harus bersikap nanti? Apakah semua orang tahu siapa dia sebenarnya? Atau pernikahan ini memang benar-benar disimpan rapat?

Sesampainya di kantor, ia disambut oleh resepsionis yang langsung menyerahkan ID karyawan dan menunjukkan arahan lift ke lantai 11. “Anda akan bekerja di Divisi Umum, Mbak Ayla. Kepala divisinya Pak Jodi.”

Ayla mengangguk, tersenyum sopan. Ia belum mengatakan siapa dirinya. Dan tak ada yang menyinggung. Mungkin ini bagian dari instruksi Arka.

Sampai di lantai 11, suasana kantor cukup ramai tapi teratur. Orang-orang terlihat sibuk, tapi tak panik. Kantor Dirgantara Corp memang terkenal profesional, dengan standar tinggi.

“Selamat pagi. Anda pasti karyawan baru ya?”

Ayla menoleh. Seorang perempuan muda berambut sebahu dan berkacamata menyambutnya dengan senyum ramah.

“Iya. Saya Ayla.”

“Saya Dini, staf keuangan. Sini, saya tunjukkan tempat dudukmu. Tadi Pak Jodi bilang kamu mulai hari ini.”

Ayla mengikuti Dini ke sudut ruangan. Di sana sudah disiapkan satu meja lengkap dengan komputer dan alat tulis. Rapi dan nyaman.

“Kalau ada yang bingung, tanya aku aja ya,” kata Dini ramah.

“Terima kasih banyak, Dini.”

Baru lima menit duduk, Ayla sudah merasa lega. Setidaknya, atmosfer kantor ini tidak seintimidasi yang ia bayangkan.

Menjelang siang, semua staf berkumpul di ruang rapat besar. Ada briefing rutin mingguan yang dipimpin oleh salah satu manajer bukan Arka.

Namun, beberapa menit kemudian, pintu ruang rapat terbuka. Langkah tegap dan suara sepatu mahal yang khas membuat semua kepala menoleh.

Arka Dirgantara masuk dengan postur tinggi, setelan hitam, dan ekspresi datar. Pandangannya menyapu seluruh ruangan… dan berhenti sepersekian detik di wajah Ayla.

Lalu, tanpa perubahan ekspresi, dia melangkah ke depan ruangan.

“Selamat pagi,” suaranya tenang tapi tegas. “Saya hanya ingin menyampaikan bahwa minggu ini kita akan kedatangan auditor dari luar. Tolong semua data disiapkan rapi. Saya tidak mau ada kesalahan.”

Semua mengangguk. Arka hanya bicara singkat, lalu keluar kembali. Ayla belum sempat menghela napas saat melihat beberapa pegawai saling berbisik kecil.

“Aku deg-degan tiap kali dia masuk ruangan, deh,” bisik salah satu staf.

“Pakai parfum aja bisa langsung luntur kalo dia lewat.”

Mereka tertawa pelan.

Dini menoleh ke Ayla. “Itu Pak Arka, CEO kita. Super perfectionist. Tapi tenang aja, asal kerja rapi, aman kok.”

Ayla tersenyum kecil. “Iya, aku bisa lihat auranya.”

Dalam hati, Ayla ingin tertawa atau menangis. Siapa yang menyangka kalau CEO dingin yang mereka takuti itu adalah suaminya sekarang?

Waktu makan siang, Dini mengajak Ayla ke kantin di lantai dasar. Mereka duduk di pojok, menikmati nasi ayam penyet dan es teh.

“Eh, Ayla… kamu tinggal di mana? Deket sini?”

“Di daerah Sudirman. Dapat tempat tinggal dari kantor.” Jawaban standar. Ia tak ingin mengarang, tapi juga tak ingin terlalu terbuka.

“Wah, enak banget. Aku masih naik KRL tiap hari.”

“Capek banget, ya?”

“Ya gitu deh,” Dini tertawa. “Tapi aku suka kerja di sini. Suasananya… ya, kaku sih, tapi stabil. Kalau butuh kerja yang aman dan jangka panjang, ini tempat yang pas.”

Ayla mengangguk pelan. Aman? Ia tak tahu apakah ‘aman’ adalah kata yang tepat untuk menggambarkan dirinya sekarang.

Pukul lima sore, pekerjaan hari pertama selesai. Ayla merasa cukup puas. Ia sudah mulai membaca laporan divisi dan mencoba memahami alur kerja.

Saat ia keluar kantor, mobil yang tadi pagi menjemput sudah menunggu di depan lobi. Supir membukakan pintu tanpa berkata apa pun.

Di dalam mobil, Ayla bersandar sambil memandangi langit Jakarta yang mulai berubah jingga. Hari pertama yang cukup tenang.

Tapi ia tahu… ketenangan ini tak akan bertahan lama.

Sesampainya di apartemen, Ayla membuka pintu dan langsung disambut keheningan. Tidak ada suara televisi, tidak ada langkah kaki. Arka jelas belum pulang. Entah sedang di mana pria itu sekarang.

Ia mengganti baju, menggulung lengan bajunya, lalu menuju dapur. Ada beberapa bahan makanan yang sudah ditaruh di kulkas sepertinya hasil belanjaan ART yang disewa untuk mengisi kebutuhan apartemen ini. Tapi malam ini Ayla memutuskan memasak sendiri. Ia ingin merasakan sesuatu yang nyata. Sesuatu yang… bisa ia kontrol.

Sepanci sup ayam sederhana mulai mendidih di atas kompor. Aroma kaldu menguar pelan, mengisi ruang dapur yang selama ini terlalu steril. Saat Ayla menuangkan sup ke mangkuk, terdengar suara pintu apartemen dibuka.

Langkah kaki Arka terdengar berat. Sejenak Ayla terpaku, lalu melanjutkan menyendok sup ke mangkuk kedua. Ia tidak tahu mengapa, tapi seperti ada dorongan untuk tidak membiarkan pria itu makan sendirian malam ini. Arka muncul di ambang pintu dapur, membuka dasi dan menggulung lengan kemejanya.

"Kamu masak?" tanyanya singkat.

Ayla mengangguk. "Cuma sup. Mau makan?"

Arka menatapnya beberapa detik. Wajahnya sulit ditebak seperti biasa. Lalu, akhirnya ia menarik kursi dan duduk.

Mereka makan dalam diam. Hanya suara sendok dan garpu yang terdengar. Tapi anehnya, tidak ada ketegangan seperti yang Ayla kira akan ada. Diam mereka bukan dingin. Hanya... canggung.

“Susah nggak hari ini?” Arka akhirnya bertanya, suaranya pelan.

Ayla menoleh. “Hari pertama selalu susah, kan? Tapi stafnya baik. Dini... dia banyak bantu.”

Arka mengangguk pelan. “Kalau ada yang ganggu, bilang ke aku.”

“Aku pikir kita sepakat hubungan ini… hanya di atas kertas,” ujar Ayla sambil menatapnya. “Aku nggak mau bikin suasana kantor jadi aneh. Aku juga nggak akan manfaatin posisi... sebagai ‘istri’.”

Arka menatap balik. “Aku tahu kamu bukan tipe yang begitu.”

Sejenak hening lagi. Lalu Arka meletakkan sendoknya dan menatap meja.

“Aku tahu kamu belum bisa nerima semua ini, Ayla. Dan aku pun belum tahu harus memperlakukan kamu sebagai apa. Tapi… aku nggak akan ganggu hidupmu. Kita jalani ini sesuai syaratmu.”

Ayla diam. Ia tidak tahu harus senang atau sedih mendengarnya. Ada bagian dari dirinya yang ingin memercayai ketulusan Arka. Tapi ada luka yang masih terlalu baru untuk diabaikan.

“Makasih,” katanya pelan.

Malamnya, Ayla duduk di balkon, memandangi kota yang penuh cahaya. Jakarta malam hari seperti dunia yang berbeda seolah semua orang sedang mengejar sesuatu. Kebahagiaan, kekuasaan, uang, atau mungkin... cinta.

Ia memeluk lutut, berpikir.

Bagaimana bisa ia tinggal di sini, berpura-pura menjadi istri dari pria yang bahkan nyaris tak ia kenal? Bahkan kakaknya sendiri telah menjualnya tanpa seizin dirinya, hanya demi menyelamatkan diri dari tuntutan hukum.

Ayla menggigit bibirnya, mencoba mengusir amarah yang mulai mendidih. Ia belum tahu harus bagaimana menghadapi kakaknya. Bagaimana menerima semua yang sudah terjadi.

Suara pintu geser balkon membuka pelan membuat Ayla menoleh. Arka berdiri di sana dan ekspresi yang tak mudah ditebak.

“Angin malam begini bisa bikin masuk angin,” ucapnya singkat, lalu duduk di kursi sebelah.

Ayla tidak menjawab. Ia hanya kembali menatap lampu kota. Mereka diam cukup lama.

Lalu Arka bicara lagi, nadanya datar.

“Besok kamu pulang kerja jam berapa?”

“Kenapa?” Ayla balik bertanya.

“Nanya aja. Kalau kamu masak, aku gak makan diluar,”

Ayla mengerjap pelan, tidak menyangka kalimat itu keluar dari Arka. Bukan karena manis, “Kita ini bukan pasangan beneran, Arka.”

“Ah iya,” kata Arka berdeham. “Soalnya enak,”

“Apanya?”

“Supnya,” tukasnya sempat mencuri pandang melihat ekspresi Ayla yang setengah ingin tertawa, setengah jengkel.

“Kalau tiap hari kayak gini... enak,” gumam Arka pelan, hampir tak terdengar.

Ayla mendongak cepat. “Apanya?”

Arka mengangkat bahu. “Maksudnya, sup kayak gini enak. Susah dicari di GrabFood.”

Ada kekehan kecil dari Ayla, membuat Arka diam-diam meliriknya lagi. Tatapan perempuan itu melembut, dan senyumnya meski singkat cukup untuk membuat dinginnya malam mereka berubah sedikit  hangat.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kontrak Hati Sang CEO    Bab 17 – Malam yang Disorot

    Gedung Grand Seraya Ballroom berdiri megah di tengah pusat kota, seluruh fasadnya disinari lampu-lampu putih keemasan yang membuatnya tampak seperti istana dari cerita lama. Malam itu, parkirannya dipenuhi mobil-mobil mewah, dan karpet merah terbentang dari pintu masuk sampai lobi utama.Ayla berdiri di depan cermin apartemen, mengenakan gaun navy pilihan Oma Ratna. Rambutnya disanggul rapi, hanya beberapa helai dibiarkan jatuh lembut di sisi wajah. Riasannya tipis, elegan. Stylist yang dikirim Arka bekerja cepat dan profesional tapi tak ada yang bisa menenangkan gemuruh di dadanya.Ia menarik napas dalam-dalam, lalu keluar dari kamar.Arka sudah menunggunya di ruang tengah. Pria itu mengenakan setelan jas hitam dengan dasi berwarna senada dengan gaun Ayla. Saat melihat Ayla berjalan pelan ke arahnya, langkahnya terhenti.Mata mereka bertemu."Kamu… cocok banget sama warna itu," ucap Arka, singkat tapi tulus.Ayla tersenyum kecil

  • Kontrak Hati Sang CEO    Bab 16 - Di Balik Serangan

    Pagi itu, suasana di Dirgantara Group terlihat seperti biasa. Tapi di lantai 15, beberapa staf terlihat bergerak lebih cepat dari biasanya, membisikkan sesuatu sambil saling menunjukkan layar ponsel mereka. Ayla, yang baru saja turun dari lift, langsung menyadari perbedaan itu.Langkahnya terhenti sejenak saat melihat Cynthia berbicara dengan dua staf dari divisi lain wajah mereka serius, suara mereka tertahan. Begitu melihat Ayla mendekat, mereka langsung diam dan berpura-pura sibuk.Ayla tidak bereaksi. Ia melanjutkan langkahnya menuju ruang kerjanya. Namun sebelum sempat masuk, Cynthia memanggilnya."Ayla, Pak Arka minta kamu ke ruangannya sekarang."Nada suaranya seperti biasa, datar dan formal. Tapi mata Cynthia menatap dengan sorot berbeda lebih tajam dari biasanya.Ayla mengangguk pelan dan menuju ruang CEO. Saat ia membuka pintu, Arka sudah berdiri di depan layar besar yang menampilkan tangkapan layar dari beberapa situs berita da

  • Kontrak Hati Sang CEO    Bab 15 – Ujung Benang yang Mulai Tampak

    Keesokan harinya, kantor Dirgantara Corp lebih ramai dari biasanya. Ruang rapat dipenuhi agenda, dan lantai eksekutif dipenuhi lalu lalang staf senior. Suasana tegang tak terhindarkan, terutama setelah berita mengenai latar belakang Ayla beredar dan menjadi bahan gosip di berbagai kalangan internal.Namun, Ayla tetap datang tepat waktu. Mengenakan setelan sederhana berwarna abu lembut dan membawa map berisi pembaruan dokumen merger. Tatapannya lurus, langkahnya mantap, meski hatinya tetap waspada.Di meja pantry, beberapa staf hanya melirik lalu pura-pura sibuk. Tidak ada yang menyapa. Tidak ada yang terang-terangan mencibir. Tapi keheningan itu sudah cukup tajam untuk membuat napas terasa berat.Ayla memilih fokus. Ia masuk ke ruangannya dan langsung bekerja.Tak lama berselang, Cynthia masuk tanpa mengetuk. Wajahnya serius.“Ada rapat mendadak dengan PT Lathansa jam sebelas. Di ruang video conference lantai atas. Pak Arka minta kamu iku

  • Kontrak Hati Sang CEO    Bab 14 – Tetap Bertahan

    Pagi itu, Ayla berjalan memasuki kantor dengan kepala tegak, meski langkahnya terasa berat. Sejak berita tentang masa lalu kakaknya tersebar, tatapan orang-orang di sekitarnya berubah. Tak ada lagi bisik-bisik mereka terang-terangan, tapi atmosfer itu terasa seperti kabut tipis yang menyelimuti setiap sudut ruangan. Dingin. Sunyi. Menghakimi.Namun ia tak berpaling. Ia datang bukan untuk mencari pengakuan, tapi untuk membuktikan bahwa ia masih bisa berdiri.Ketika lift terbuka di lantai tujuh, beberapa staf yang sedang menunggu langsung berpura-pura sibuk dengan ponsel mereka. Ayla menahan napas, menyapa mereka dengan senyum tipis yang tak mendapat balasan.Di ruang kerjanya, ia langsung tenggelam dalam tumpukan dokumen merger yang semakin kompleks. Arka belum tampak sejak pagi. Biasanya pria itu akan menyempatkan muncul untuk menanyakan laporan atau sekadar memberi arahan. Tapi hari ini, tidak ada kabar.Saat waktu menunjukkan pukul 10.15, sebuah

  • Kontrak Hati Sang CEO    Bab 13 – Luka yang Tak Sempat Pulih

    Pagi itu langit Jakarta mendung, seolah mencerminkan isi hati Ayla yang berat. Sudah dua hari sejak pemberitaan itu mencuat, dan meski kantor terlihat seperti biasa, Ayla tahu ombak tidak selalu datang dengan suara besar. Kadang hanya lewat tatapan dan gumaman halus yang memotong seperti pisau. Saat Ayla menyalakan komputer, notifikasi email masuk beruntun. Salah satunya dari tim PR internal. Kepada: Ayla Ramadhani Kami mendapat pertanyaan dari mitra kerja PT Lathansa terkait pemberitaan yang beredar. Kami akan segera mengatur klarifikasi tertulis. Mohon kerja samanya untuk tetap tenang dan tidak membuat pernyataan ke media tanpa seizin tim PR. Ayla membaca ulang pesan itu, lalu menarik napas panjang. Bukan karena isi emailnya tapi karena ia tahu, ini baru awal. Berita itu mulai menyentuh luar tembok kantor. Dan sekali nama seseorang dikaitkan dengan skandal, stempel itu sulit terhapus. Pukul 10.00 pagi, Cynthia datang menghampirinya di ruang kerja bersama. “Kamu dipanggil Pak A

  • Kontrak Hati Sang CEO    Bab 12 – Riuh yang Tak Terucap

    Pagi itu kantor seperti sarang lebah. Semua terlihat sibuk, tapi jelas bukan karena pekerjaan saja. Ada kegelisahan samar yang beredar di udara bisik-bisik yang ditahan, pandangan yang terlalu cepat dialihkan saat Ayla lewat.Ayla melangkah masuk ke lantai 7, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana bahan hitam. Wajahnya tenang, tapi kedua tangannya mengepal di balik tas.Ia tahu hari ini akan berat.Begitu sampai di ruangannya, ia langsung menyalakan laptop dan menatap layar kosong. Tapi fokusnya sulit dikumpulkan. Beberapa menit kemudian, suara langkah tergesa menghampiri.“Ayla.” Cynthia muncul di ambang pintu, kali ini dengan wajah serius, bukan sinis seperti biasanya. “Pak Arka mau bicara sekarang. Di ruangannya.”Ayla berdiri. Napasnya dalam. Jantungnya berdetak lebih cepat saat menapaki lift menuju lantai 20, ruangan CEO. Ia belum tahu akan dihadapkan pada strategi... atau keputusan.Begitu pintu lift terbuka, Arka sud

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status