Di dermaga, Ken langsung melintasi jembatan penghubung. Ia mengedarkan pandangannya, barangkali pelarian John dan Naira belum jauh. Di tangannya, ponselnya berdering. Ken segera mengangkatnya.
"Posisimu di mana?" tanya Ken sambil menunduk mengikuti bekas jejak kaki di pasir. Hanya terdapat dua pasang kaki yang jejaknya terlihat menembus kumpulan pasir putih yang tak tersentuh. "Ya, cepat menyusul ke sini. Saya sudah tiba di dermaga. Jangan ada kesalahan apapun. Misi ini harus segera berakhir di sini!" tambah Ken setelah mendengar suara balasan di ujung sana. Sampai tibalah, kaki Ken terhenti ketika jejak kaki itu berakhir di antara deretan villa kosong dan sepi. Ia mendongak menatap lekat villa kayu tersebut. Napasnya sedikit tersengal, namun ia tak memiliki waktu banyak. Ia pun segera menaiki tiap tangga villa yang di duga John dan Naira berada di sana. Dan ...sayup-sayup suara terdengar di deretan villa ke empat, Ken langsung menaiki tempat sumbeLangit sudah mulai gelap. Naira turun dari mobil Roselina di depan rumah lamanya di Quezon. Sesuai ucapannya, malam ini ia tepati untuk kembali ke rumah ibunya yang sudah lama tidak ditempati. Rumah bercat coklat keemasan dengan interior klasik, membuat rumah itu tampak hangat dan penuh kenangan. Naira kembali menginjakkan kaki di sana, setelah huru-hara terakhirnya dengan Roselina saat masih bersuami dua tahun yang lalu. Kini, ia kembali datang bersamanya untuk menjajaki kisah masa lalu yang belum sempat ia ungkap kebenarannya. Ia menarik napas dalamnya sambil menghirup aroma segar dari bunga-bunga di pekarangan rumahnya, bulan itu musim bunga bermekaran. Sementara di dalam rumah, sudah ada bibi—penjaga rumah yang masih kerabat dekat dari garis ibunya—merawat rumah itu meskipun Naira dan Roselina sudah tidak tinggal di sana. Bak seperti habis pulang merantau, Roselina dan Naira langsung bersantai di ruang keluarga, merebahkan tubuhnya yang mulai penat. Keduanya menatap a
"Bagaimana makanan di sini tuan Fred? Apakah lidahmu sudah cukup terbiasa?" Fred menikmati makanan khas negara Ken dengan lahap. "Oh, wow. Lechon³ ini memang luar biasa lezat sekali! Saya sangat menikmati hidangan makan siang ini dengan semangat. Hahaha ..." Ken tersenyum berseri. "Kau bisa membawa banyak untuk di bawa ke Amerika, tuan. Saya sangat bersyukur, Anda kali ini bisa lebih santai untuk beberapa hari di kota ini." Fred hanya mengangguk-angguk kecil sambil terus menyuapkan potongan daging lechon tersebut. Tiba-tiba suara ponsel Ken berbunyi memunculkan kontak Naira. Ken pun meminta izin bangkit dari sana untuk mengangkatnya. Fred mempersilakan tak masalah. "Ya, Nai? Ada apa?" "Kamu di mana? Aku membawakan makan siangmu tak jauh dekat gedung kantormu, Ken." "Ah,
Ken mulai beraktifitas kembali ke kantornya. Setelah sebelumnya mengantar Naira kembali ke apartemen miliknya untuk menemui William. Ketika masuk lobi, beberapa pasang mata pegawai mulai menatap dari kejauhan kedatangan Ken yang sudah cuti selama beberapa hari. Jeff, baru saja menempel kartu pada mesin absensinya langsung menyingkir ke samping saat sadar kehadiran tubuh Ken berdiri di belakangnya. Dengan perasaan gugup, dia menyapanya sambil tersenyum canggung, "Selamat pagi, Pak Kendrick." Ken sejenak melirik memberi anggukan lalu kembali menatap lurus ke depan. Saat memasuki lift, Ken mulai sadar dengan sikap para pegawainya yang kikuk ketika ketahuan menggosipkan pernikahan Ken di depan orangnya langsung. Jeff yang juga ikut naik lift di belakang tubuh Ken hanya berdehem untuk mencairkan ketegangan orang-orang di sana yang merasa bersalah. Tak berselang lama, pintu lift terbuka di lantai tiga. Para pegawai di belakangnya memberi hormat saat melewati Ken. Ken pun hanya menganggu
Di dermaga, Ken langsung melintasi jembatan penghubung. Ia mengedarkan pandangannya, barangkali pelarian John dan Naira belum jauh. Di tangannya, ponselnya berdering. Ken segera mengangkatnya. "Posisimu di mana?" tanya Ken sambil menunduk mengikuti bekas jejak kaki di pasir. Hanya terdapat dua pasang kaki yang jejaknya terlihat menembus kumpulan pasir putih yang tak tersentuh. "Ya, cepat menyusul ke sini. Saya sudah tiba di dermaga. Jangan ada kesalahan apapun. Misi ini harus segera berakhir di sini!" tambah Ken setelah mendengar suara balasan di ujung sana. Sampai tibalah, kaki Ken terhenti ketika jejak kaki itu berakhir di antara deretan villa kosong dan sepi. Ia mendongak menatap lekat villa kayu tersebut. Napasnya sedikit tersengal, namun ia tak memiliki waktu banyak. Ia pun segera menaiki tiap tangga villa yang di duga John dan Naira berada di sana. Dan ...sayup-sayup suara terdengar di deretan villa ke empat, Ken langsung menaiki tempat sumbe
Pemandu itu pun akhirnya menuruti desakan Ken. Uang yang dikeluarkannya lebih banyak dibanding pria tua sebelumnya. Perahu itu langsung berlayar di atas lautan yang membentang mengejar perahu yang terus menjauh dari pandangan matanya. Naira menatap di kejauhan, berharap Ken dapat menyusulnya. Sementara di ujung pandang ke depan, sebuah pulau kecil sudah mulai terlihat. John di sampingnya tetap menodongkan pisau di dekat lehernya. Pemandu di depannya berpura-pura tak melihatnya, meskipun secara nurani itu cukup mengganggunya. Naira hanya berpasrah diri, ia terduduk dengan lutut yang menekuk. Angin semilir membawa hatinya pada rasa sakit yang harus ia terima. Tatapan John tak beralih sedikit pun. Ia hanya terus menekankan dekat telinga Naira kalau ia takkan menyakitinya. Naira hanya diminta untuk menurutinya. "Kenapa kau harus membawaku jauh sampai ke pulau, Tuan? Apakah penjelasan tak cukup di cafe saja?" N
Mobil Ken akhirnya tiba di depan cafe milik John. Ia segera berlari keluar dari mobilnya dan mendorong pintu yang sudah tidak terkunci. Ken pun tak berpikir panjang. Dia masuk memanggil tuan John dan Naira. Namun, seruannya tak mendapat sahutan sama sekali. Matanya mengitari beberapa kursi dan meja sedikit bergeser tidak teratur. Ken berdiri di depan pintu kamar John yang tertutup. Berharap bukan sesuatu hal yang buruk terjadi sesuai pikirannya. Detik demi detik berlalu. Ia berdiri mematung memberanikan diri untuk benar-benar membuka pintu itu. Namun, saat kekuatan tangannya mendorong daun pintu itu, di kamar itu tak menemukan siapapun. Pikirannya mengelana dengan tubuh yang membeku. Apa yang harus ia lakukan? Kemana ia akan mencari Naira? John tidak berada di sana, itu artinya sesuatu hal yang buruk terjadi pada Naira. Ken segera berlari keluar, meraih ponselnya yang tergeletak di dashboard mobil. Ia menyalakan layar, mencari kontak Andrew lalu memanggilnya. Dalam beberapa detik, su