Harry terkejut dengan tawaran yang diberikan pada Arumi. Dia jelas takut kalau sampai Arumi menerima tawaran dari Nerissa itu. Jika sampai hal itu terjadi. Tamatlah sudah riwayatnya. Nerissa melihat jelas wajah Harry yang tampak panik. Dia menunggu Arumi mengungkap semua agar dia bisa sekaligus memberikan pelajaran pada Harry. Arumi menimbang tawaran yang diberikan Nerissa. Dia bingung harus menjawab apa. Dia tidak berani melihat ke arah Harry. Takut jika membuat curiga teman-temannya. “Saya melakukannya sendiri. Tanpa bantuan siapa-siapa. Saya minta nomor itu dari Pak Harry dan tidak memberitahu apa yang ingin saya lakukan.” Setelah menimbang, akhirnya Arumi memilih menanggung sendiri. Tak melibatkan Harry. Belum tentu jika dia mengungkap siapa yang membantu akan menguntungkan untuknya. Dia yakin jika pasti mereka akan mendapatkan hukuman atas apa yang dilakukan. Belum lagi rekan kerjanya akan membicarakannya terus menerus, dan itu membuat Arumi tidak sanggup. Lebih baik keluar
“Coba saja bangunkan dia dan tanya sendiri.” Naven merasa pertanyaan itu tak bisa ditanyakan padanya. Karena hanya Nerissa yang bisa menjawab. Dokter hanya bisa pasrah ketika diminta membangunkan istri Presdir tempatnya bekerja. “Bu Nerissa ....” Dokter mencoba memanggil Nerissa. Nerissa yang mulai sadar pun mencoba membuka mata. Hal pertama yang dilihatnya adalah sebuah ruangan yang asing baginya. Tentu saja itu membuatnya bertanya-tanya di mana dirinya berada. Saat melihat ke sekitar, dia mendapati jika ada suaminya di sana. Tak hanya suaminya ada seorang pria yang memakai jas putih. Nerissa yakin jika itu adalah seorang dokter.“Bu Nerissa, apa yang dirasakan?” tanya dokter ketika Nerissa baru saja membuka mata. Mendapati pertanyaan itu membuat Nerissa merasakan tubuhnya. “Pusing dan badan lemas.” Dengan lemas, Nerissa berusaha menjawab pertanyaan itu. “Kapan terakhir Bu Nerissa datang bulan?” Nerissa tampak berpikir ketika mendapati pertanyaan itu. “Minggu lalu.” Menden
Naven menelan salivanya ketika melihat pemandangan sang istri yang sedang tidur memunggunginya. Kemeja bagian belakang sang istri tersingkap dan memperlihatkan pinggang putihnya.Belum lagi posisi sang istri yang meringkuk, membuat rok pendek yang dipakai semakin ke atas.Naven memang tidak memberikan selimut di kamar, karena memang kamar hanya dipakai saat siang hari dan tidak perlu selimut.Melihat pemandangan tubuh Nerissa membuat Naven salah tingkah. Tubuhnya sedikit panas, meskipun pendingin ruangan berada di suhu paling dingin.Naven sering melihat wanita seksi, tapi entah kenapa dia merasa jika melihat Nerissa sedikit berbeda.Tubuh Nerissa yang meringkuk, membuat pandangan Naven segera beralih ke pendingin ruangan. Dilihatnya pendingin ruangan berada di suhu terendah. Mungkin karena Nerissa sedang sakit, pendingin ruangan terasa dingin.Tak mau melihat istrinya sakit, Naven langsung segera mematikan pendingin ruangan. Kemudian menghampiri sang istri untuk membangunkan“Nerissa
Nerissa memberikan tas pada Naven. Dia harus merapikan penampilannya. Dan, tidak bisa jika membawa tasnya. Naven yang diminta membawa tas Nerissa hanya terperangah. Bagaimana bisa seorang presdir diminta membawakan tas? Tapi, karena Nerissa langsung menyerahkan tasnya, terpaksa dia menerimanya begitu saja. Tepat saat itu juga lift terbuka. Mereka segera masuk ke lift, karena takut jika sampai lift tutup kembali. Di dalam lift, Nerissa mengambil ikat rambut yang berada di dalam tasnya. Kemudian mengikat rambutnya. Naven hanya bisa menelan salivanya ketika sang istri mengikat rambut. Kemeja yang terangkat membuat perut sang istri terlihat. Jelas itu adalah godaan yang benar-benar berat. Nerissa yang menyadari kemejanya terangkat, langsung buru-buru membetulkan kemejanya tersebut. Dia memasukkan kemejanya ke dalam roknya. Lagi dan lagi Naven hanya bisa pasrah ketika istrinya melakukan hal itu. Sang istri ibarat hidangan nikmat, tapi tak dapat dinikmati. Tentu saja membuatnya hany
Nerissa mengalihkan pandangan pada orang yang memanggilnya itu. Tampak seorang pria sedang berjalan ke arahnya. Dia mencoba mengingat siapa pria itu.Naven yang mendengar nama sang istri dipanggil langsung mengalihkan pandangan ke arah orang yang memanggil. Saat mengalihkan pandangan, dia mendapati seorang pria di sana. Tampak Naven begitu penasaran sekali. Siapa pria yang memanggil istrinya itu.“Ternyata benar kamu Nerissa.” Pria itu tidak menyangka bertemu Nerissa di restoran cepat saji. Nerissa masih berusaha mengingat siapa pria yang memanggilnya itu. Dia benar-benar tidak ingat. “Kamu siapa?” Nerissa yang tidak ingat pun memilih untuk bertanya. “Aku Evan, teman sekolahmu.” Nerissa berusaha untuk mengingat nama itu. “Evan Martin?” Dia mencoba menebak. “Iya, aku Evan Martin.” Pria itu membenarkan.Nerissa tampak terkejut ketika mengetahui jika pria di depannya itu adalah teman sekolahnya dulu. “Astaga, ternyata kamu Evan.” Nerissa tidak menyangka jika pria di depannya itu ad
Pagi Nerissa bersiap untuk ke kantor. Tubuhnya jauh lebih enak dibanding kemarin. Jadi dia ingin segera bekerja. Saat keluar dari kamar, Nerissa berpapasan dengan Naven. “Kamu sudah mau pergi kerja?” Naven melihat sang istri yang memakai baju kerja dan tampak rapi. “Iya, saya mau kerja.” “Kenapa harus memaksakan diri? Jika masih sakit, istirahat dulu.” Naven melemparkan protesnya. “Saya sudah sehat. Jadi tidak apa-apa jika pergi bekerja.” “Aku bilang istirahatlah dulu. Aku tidak mau kamu sakit.” Naven masih bersikeras. Dia merasa jika memang Nerissa butuh istirahat. Jika sampai kurang tidur, nanti dia akan sakit lagi. “Saya sudah enakan, Pak. Jadi lebih baik saya masuk kerja.” Nerisa merasa jika pasti dia akan bosan jika di rumah. “Terserah padamu saja. Jika sampai kamu pingsan lagi. Aku tidak akan mau mengangkatmu.” Naven menatap tajam pada Nerissa. Istrinya itu tampak keras kepala sekali. Nerissa hanya mencibirkan bibirnya. Lagi pula siapa yang mau pingsan. Badannya sudah j
“Pak Naven meminta Anda ke ruangannya untuk makan siang, Bu.” Nerissa tampak terkejut. Tadi dia hanya beralasan saja pada Harry, tapi ternyata benar jika suaminya meminta untuk makan bersama. “Apa kamu mengatakan aku ingin makan bersama?” Nerissa curiga dengan Kiki. “Tidak, Bu. Saya tidak mengatakan apa-apa. Ini benar-benar perintah Pak Naven.” Nerissa merasa ini adalah kebetulan yang luar biasa. Sampai di kantor, Nerissa langsung ke ruangan Naven. Sebelum masuk, dia mengetuk pintu lebih dulu. Saat membuka pintu, Nerissa melihat Naven yang sedang duduk di sofa. Di atas meja berjajar makanan yang tampak menggiurkan. “Kamu sudah kembali?” Baru saja sampai, Nerissa sudah disambut dengan pertanyaan dari sang suami. “Sudah, Pak.” Nerissa segera masuk dan menutup pintu. Langkahnya segera diayunkan ke sofa di mana Naven berada. Dia duduk tepat di depan Naven. “Cepat makan!” Naven memberikan perintah pada Nerissa. Perintah Naven itu terdengar tak terbantah. Tentu saja itu membua
“Apa kamu tidak bisa berjalan dengan benar?”Nerissa yang mengenali suara itu langsung menatap ke arah pemilik suara.“Pak Naven di sini?”“Aku menunggumu lama sekali. Karena itu aku ke sini.”Nerissa memang tadi belum memberitahu Naven jika akan lembur. Jadi wajar jika pria itu menghampirinya.“Maaf, saya lupa mengabari.” Nerissa mengulas senyumnya. “Sudah ayo, kita pulang.” Dia segera menarik tangan Naven untuk segera masuk ke lift yang terbuka.Naven merasa aneh dengan sikap Nerissa. Seperti baru melihat sesuatu sampai buru-buru menariknya.Saat pintu lift tertutup, Nerissa mulai merasa nyaman. Dia memegangi dadanya yang merasa jauh lebih tenang.“Kamu sebenarnya kenapa?” Naven penasaran dengan apa yang terjadi pada Nerissa. “Kamu baru saja melihat hantu?” tanyanya menyindir.“Ini lebih menakutkan dari pada hantu.” Nerissa tampak serius.Naven yang melihat wajah Nerissa hanya mengerutkan dahinya. Namun, sedetik kemudian dia merasa wajah istrinya itu tampak lucu ketik sedang serius.