"Jangan pegang-pegang! Awas kalo kamu curi-curi kesempatan!" Desis Agatha dingin ketika Kelvin beranjak naik ke atas tempat tidur. "Nggak kok. Jangan khawatir. Kamu istirahat aja yang nyaman, Yang. Biar anak aku juga ikut istirahat!" Balasnya sambil tersenyum, ia menarik selimut lalu merebahkan tubuh tepat di sebelah Agatha. 'Sial!' Agatha memaki kesal. Kenapa juga anak ini harus benar anak Kelvin? Jadi dia tidak bisa berkelit dari jerat lelaki itu! Janin dalam rahim Agatha inilah yang seolah menjadi belenggu baginya untuk lari menjauh dari Kelvin. Namun, suka tidak suka, mau tidak mau, janin dalam rahimnya ini juga yang menjadi penyemangat mamanya untuk terus berjuang. Kenapa pilihan dalam hidup Agatha serumit ini? "Besok mobil kamu udah datang, kan? Selamat, ya Sayang, mobilnya baru. Hati-hati, ya? Walaupun jujur aku khawatir kamu dalam posisi hamil muda kayak gini malah kudu nyetir sendiri." Kelvin tidak bisa berkutik, ia harus sudah ada di rumah sakit bahkan sejak pukul empat
"Mau kemana?"Kelvin yang baru saja selesai memakai pakaiannya kontan menoleh ke arah suara. Agatha masuk dari pintu kamar, menutup pintu kamar rapat-rapat lantas menatapnya dengan tatapan tajam. "A--.""Kamu libur hari ini, jangan bilang kalau kamu mau ketemu sama selingkuh kamu itu!" Tuduh Agatha dengan nada ketus. Kelvin tergagap, ia tak tahu harus menjawab apa. Ia memang akan bertemu dengan Namira, tapi bukan pertemuan yang seperti Agatha maksudkan! "Kenapa diam? Nggak bisa jawab karena bener kan kamu mau ketemu sama dia? Dasar bener-bener nggak bisa dipercaya, katamu ka--.""Oke Sayang, oke!" Potong Kelvin sebelum Agatha makin murka. "Aku memang mau ketemu sama dia, tapi bukan kayak yang kamu maksud, Tha.""Bukan seperti yang aku maksud? Kamu pikir aku segoblok itu bisa kamu bohongi? A--.""Dengerin dulu, Sayang!" Kelvin seketika pusing, bagaimana cara menjelaskan semua ini? "Dengerin aku dulu, tolong jangan dipotong!" Mohon Kelvin dengan suara lirih. Agatha mendengus, ia tid
".... Sedangkan dengan sampel milik dokter Kelvin Hardyanto, kecocokan DNA-nya nol persen." Rasanya Kelvin ingin berteriak sekencang-kencangnya! Akhirnya semua kebenaran terungkap! Janin itu bukan anaknya, setidaknya Kelvin bisa satu langkah lebih aman. Mata Kelvin memanas, ia kembali teringat Agatha, janin itulah yang membuat Kelvin terancam kehilangan Agatha, meskipun semua ini berawal dari kesalahan Kelvin juga. "Terimakasih ya Allah!" Kelvin menoleh, nampak Dimas refleks langsung merengkuh dan merangkul Namira yang nampak sangat syok dengan hasil tes yang baru saja dibacakan oleh dokter Keela.Bisa Kelvin lihat wajah Dimas begitu bahagia, lelaki itu juga nampak menitikkan air mata, sementara Namira, ia mematungbdengan mata memerah. "Sudah jelas semua, ya?" Kelvin mengangguk cepat, ia segera mengulurkan tangan sebagai ucapan terimakasih kepada dokter yang membantunya memperjelas siapa ayah dari janin yang berada dalam rahim Namira. "Sama-sama, sudah jadi tugas saya." Dokter Ke
"Udah pulang, Vin?"Kelvin tersenyum, ia segera menghampiri Handira dan mencium punggung telapak tangan mama mertuanya itu dengan penuh hormat, Kelvin nampak mengedarkan pandangan, sepi. Ah dia lupa kalau istrinya ini pasti sudah berada di kampus. "Thata bawa mobil sendiri, Ma?" Kelvin bahkan lupa membalas pertanyaan basa-basi yang tadi dilontarkan Handira padanya. "Iya, Vin. Tadi mau mama anter karena bagaimanapun kalau cuma nyetir mama masih kuat, cuma dianya nggak mau."Kelvin mengangguk, ia kembali menatap Handira yang tengah membaca koran di sofa depan TV. "Biar Kelvin yang susul, Ma. Mama jangan khawatir." Desis Kelvin yang ingat di mana istrinya itu menyimpan duplikat kunci mobil hadiah dari Handira. "Iya sana susulin, Vin. Mama jujur agak khawatir."Kelvin mengangguk, ia segera melangkah ke dalam kamar, membuka lemari lalu meraih kunci duplikat yang ditaruh Agatha dalam sebuah kotak. Setelah mendapatkan kunci, Kelvin kembali melangkah keluar, berpamitan pada Handira yang n
"Mau apa ke sini?" Tanya Agatha ketus ketika ia sudah sampai di dekat mobil. Kelvin menoleh, senyumnya merekah sempurna. Kelvin segera melangkah mendekati Agatha, sementara Agatha, semakin Kelvin mendekatinya, sorot matanya makin menjadi tajam. "Aku jemput istriku pulang kuliah, Sayang. Yuk pulang! Sini, biar aku yang nyetir!" Kelvin meraih tangan Agatha, membawanya menuju ke sisi lain mobil dan membuka pintunya untuk Agatha. "Ka-kamu?" Agatha nampak terkejut, Kelvin terkekeh, membantu istrinya masuk ke dalam lalu memakaikan sekalian sabuk pengamannya. "Maaf kalau nggak izin kamu dulu, Sayang. Aku ambil duplikatnya tadi. Mama khawatir terus sama kamu." Gumam Kelvin menjelaskan. "Oh jemput aku karena disuruh sama mama ternyata?" Tanya Agatha dengan nada ketus. Kelvin yang hendak menutup pintu mobil kontan membelalak, tawanya seketika pecah. Kelvin mengulurkan tangan, mencubit gemas pipi Agatha yang seketika dibalas pukulan oleh Agatha. "Nggak lah! Aku emang udah niat mau jemput
"Kira-kira mama dibelikan apa, Yang?" Tanya Kelvin ketika mereka sudah kembali masuk ke dalam mobil. Agatha melirik sekilas, ia menghela napas panjang sambil memangku sebucket bunga tulip pemberian suaminya. "Perlu aku ingatkan, mama tidak lagi konsumsi makanan gluten, makanan dengan kandungan gula, garam dan pengawet, stop konsumsi daging merah dan tidak makan makanan instan." Jelas Agatha yang sepertinya sia-sia sebenarnya. Kelvin mahasiswa pendidikan spesialis, meskipun spesialis yang dia ambil adalah kesehatan anak, tapi secara garis besar Kelvin tentu lebih paham dari Agatha yang baru mahasiswi pre klinik. "I see, Sayang. Oh aku tahu!" Desis Kelvin kemudian. Agatha mengerutkan kening, ia menoleh sekilas dan menatap wajah itu dari tempatnya duduk. Ada secercah perasaan rindu dalam hatinya, mengingat ia pernah menghabiskan momen-momen manis bersama lelaki ini. Momen indah yang berujung dengan luapan gairah yang memabukkan itu sekarang sudah tinggal kenangan. Meskipun belum per
"Hah? Ke Thailand, Ma?"Agatha memekik, ia menjatuhkan sendok ke piring dengan reflek spontan. Matanya tak lepas dari Handira yang malam ini makan berdua bersama Agatha. Handira mengangguk pelan, ia segera meraih gelas berisi air putih dan meneguknya perlahan. Setelah memastikan mulutnya kosong, Handira kembali menjelaskan niat dan tujuannya pergi ke negara Gajah Putih itu. "Ikhtiar nggak ada salahnya, kan? Nanti mama mertua kamu ikut sama mama. Kita bakalan berdua perginya. Jangan khawatir.""Bentar!" Kini gantian Agatha yang meneguk air putih, "Mama yakin? Ada kontradiksi sama pengobatan medis yang mama lakukan nggak? Terus manfaatnya, apakah bisa membantu mama menekan atau bahkan membunuh sel-sel itu dalam waktu sebelas hari? Atau--.""Tha ... Pelan-pelan, Sayang!" Potong Handira lembut. "Jadi begini, mereka itu sebenarnya tidak bisa dikatakan pengobatan. Kalau untuk berobat, mereka tidak bisa jamin karena tiap kasus penyakit kan sendiri-sendiri, Tha. Dan ini semi spiritual juga.
"Mama yakin terbang sendiri?" Agatha mengenggam tangan Handira ketika ia dan Kelvin mengantarkan Handira pergi ke bandara. "Siapa bilang mama sendiri? Dewi udah nungguin di Jakarta, nanti kami terbang sama-sama, Sayang." Handira melepaskan tangan Agatha, mengelus lembut pipi anak semata wayangnya itu dengan mata berkaca-kaca. "Ini mustahil di ilmu yang kita dalami, Ma. Tapi aku harap mama bisa benar-benar sembuh dengan cara ini." Desis Agatha menahan tangis. "Tidak mustahil juga sebenarnya. Kamu tahu apa makanan paling disukai sel kanker? Di sana semua di stop, benar-benar stop. Kamu tahu apa yang terjadi kalau sel kanker itu kelaparan, Tha?""Jika mereka kelaparan, beberapa akan memakan sesamanya sendiri dan lama-lama mereka lenyap dari tubuh." Sambung Kelvin yang sontak membuat Handira dan Agatha kompak menoleh. "Nah itu teori simpelnya, untuk lebih lanjut nanti mau mama Dewi teliti, Tha. Kita bisa bahas sama-sama nanti sekeluarga kalau mama pulang, sambil kita bandingkan nantin