Share

Menyesal

Jantung Evan tercekat. 

Pikirannya seakan terguncang mendengar informasi itu. 

“... Apa?” Evan berkedip canggung, “Apa maksudnya, Suster?” tanya pria itu lagi. 

Rahangnya terlihat lebih tegas dan batu besar seakan menyumbat di tenggorokannya. 

“Nyonya Drisanna sudah mendonorkan mata dan ginjalnya untuk Anda, Tuan,” ucap perawat itu, “Dia juga mendonorkan jantungnya untuk adiknya.” 

Jantung Evan seakan diremas kuat-kuat mendengarnya. 

Pikirannya menjadi kalut seketika. Ia tidak bisa membayangkannya. Bagaimana mungkin, gadis licik dan mata duitan seperti Sanna sanggup mengorbankan semuanya untuk mereka?

“Kamu sudah sadar, Evan?” Suara sang ibu terdengar, disusul derap langkah mendekat. 

Perawat itu sudah pergi dan Hannah terkejut mendapati sang putra sudah terduduk di atas ranjangnya dengan mata hitam terbuka. 

“Evan? Kamu mendengar Mama? Apakah kamu bisa melihat Mama?” Hannah bertanya dengan gugup. 

Perlahan, Evan menoleh ke arah sang ibu dan mengangguk. Ia bisa melihat wajah sang ibu dengan amat jelas. 

Hannah langsung memeluk putra sulungnya. Matanya diwarnai air mata bahagia. 

“Syukurlah, kamu benar-benar sudah bisa melihat sekarang,” ucap Hannah dengan penuh rasa syukur. 

Wajah Evan masih terlihat tawar. Bahkan kebahagiaan yang semula menyelimuti dirinya seakan sirna begitu saja. 

“Apakah benar Sanna yang memberikan mata ini untukku, Ma?” Evan bertanya. 

Hal itu membuat usapan pada punggung Evan seketika terhenti. Hannah mengurai pelukan mereka. Wajah wanita itu terlihat gugup saat kembali memandang sang putra. 

“Mengapa … mengapa tiba-tiba kamu menanyakannya? Informasi pendonor seharusnya dirahasiakan. Lagi pula, itu tidak penting—”

“Jawab aku, Ma!” tegas Evan. Manik hitamnya memandang sang ibu dengan sorot tajam, “Apakah benar Sanna yang mendonorkan mata dan ginjalnya untukku? Apakah benar dia memberikan jantungnya untuk Bethany?” tanya pria itu dengan suara tegas. 

Hannah terlihat begitu gugup untuk menjawabnya. Seharusnya, Evan merasa senang dan bersyukur, mengapa pria itu justru marah dan memprotes kepadanya?

“Benar,” Hannah kembali bersuara, “Itu semua karena keinginan Sanna sendiri.” 

Alis Evan mengernyit sempurna. 

“Apa?” tanyanya dengan tidak percaya. 

“Beberapa hari lalu, Sanna sendiri yang mendatangi Mama dan berkata dia ingin mendonorkan mata dan ginjalnya untukmu. Mama ingin menolaknya, tapi dia datang kepada Mama dan menangis-nangis, bagaimana mungkin Mama menolaknya?” jawab Hannah, setengah berbohong. 

Ia yakin tak akan ada masalah yang menghampirinya, toh Sanna pun sudah berada di kamar mayat sekarang. 

Evan membisu. Masih tidak percaya dengan kenyataan ini. 

Padahal, ia sudah bersikap tidak adil kepada gadis itu. Padahal Evan yakin ia sudah membuat hidup Sanna seperti berada di neraka.

Mengapa … mengapa Sanna justru mengorbankan dirinya sendiri? 

“Kak Evan.” Suara Bethany terdengar dari pintu masuk. 

Gadis itu duduk di kursi rodanya dan bergerak mendekati ranjang pria itu. Sama seperti Evan, Bethany mengenakan seragam khusus pasien. 

“Kak Evan sudah siuman,” sapanya dengan senyum cerah di wajah. 

Pria itu tidak menjawab. Ia meniti penampilan Bethany dari ujung kepala hingga ujung kaki. Gadis itu terlihat jelita meski wajahnya tampak sedikit pucat. 

Namun, bukan itu yang Evan perhatikan. Ia justru bertanya-tanya apakah wajah Sanna mirip dengan wajah gadis itu. 

“Apakah operasimu berjalan lancar, Bethany?” Hannah bertanya dengan nada ramah. 

Bethany mengangguk. Ia tersenyum saat tangannya meraba area jantungnya. 

“Aku merasa sangat sehat,” ucapnya. Ia bisa merasakan detak jantung yang kuat. Bahkan, jantungnya tak terasa sakit setiap ia menarik napas panjang-panjang. 

“Semua ini berkat Kak Sanna.” Gadis itu menambahkan. 

Di luar dugaan, air mata mulai berkumpul pada mata Bethany dan gadis itu mulai terisak. 

“Aku masih tidak percaya Kak Sanna benar-benar berkorban sebanyak ini untuk kita,” tuturnya dengan terisak. Raut wajahnya terlihat sangat berbeda dengan yang ia tunjukkan di sisi ranjang operasi Sanna. 

Hannah mengangguk dan ikut larut dalam sandiwara Bethany. 

“Kita harus bersama agar pengorbanan Kak Sanna tidak sia-sia, Kak Evan,” ucap Bethany, melanjutkan skenarionya, “Aku akan menggantikan posisi Kak Sanna untuk merawat Kak Evan.” 

“Itu benar.” Hannah menambahkan. “Pesan terakhir yang diucapkan Sanna adalah kalian harus menikah sebagai bayaran atas pengorbanannya. Dia ingin melihat kalian hidup bahagia.”

Bethany terisak lebih keras. 

“Aku merasa sangat bersalah kepada Kak Sanna. Tapi, jika itu yang dia inginkan, aku akan mengabulkannya,” tutur gadis itu. 

Evan tidak mengatakan apa-apa. 

Pria itu masih membisu. 

Entah mengapa, satu bagian dalam dirinya seakan runtuh dan kosong setelah mengetahui Sanna melakukan itu untuk mereka. 

“Jika itu yang kamu inginkan, aku benar-benar akan pergi.”

Kata-kata terakhir Sanna kembali mengiang dalam benak Evan. 

Penyesalan memenuhi pikirannya hingga tanpa sadar satu tetes air mata terjatuh di pipinya. 

“Aku ingin melihat jasad Sanna,” pinta pria itu. 

Ketiganya lantas beranjak pergi menuju kamar mayat di rumah sakit. Namun, mereka justru mendapat penolakan dari petugas di sana. 

“Kalian tidak diizinkan melihat jasad yang bersangkutan,” ucap petugas itu. 

Hannah dan Bethany bertukar pandangan dengan heran. 

“Tapi, kami adalah keluarga pasien,” ucap Hannah, berusaha membela diri. 

“Tetap tidak bisa,” ucap petugas itu. “Ini adalah permintaan terakhir dari pasien. Dia tidak ingin membiarkan siapa pun melihat jasadnya. Pihak rumah sakit sendiri yang akan mengurus proses kremasi.” 

Hannah dan Bethany terlihat semakin heran, sementara Evan masih membungkam. 

Entah mengapa, sejak tadi hatinya terasa tawar dan kosong mengetahui ia tak akan pernah bisa menemui Sanna lagi. 

Kini, manik hitamnya terlihat rapuh saat menatap lurus pada pintu kamar mayat. 

“Sanna ….” 

***

Aroma pengharum ruangan yang wangi menyelinap pada indra penciuman seorang gadis, kontras dengan aroma kuat obat khas rumah sakit. 

Sanna mengendus udara di sekitarnya dua kali sebelum matanya perlahan terbuka. Hal pertama yang ia temukan adalah langit-langit ruangan berwarna putih. 

… apakah ia sudah berada di surga?

Sanna telah mengorbankan dirinya untuk orang lain. Paling tidak, seharusnya dia dibiarkan masuk surga. 

Akan tetapi, alisnya mengernyit heran melihat furnitur kamar yang terlihat tidak asing di sekitarnya. 

“Kamu sudah sadar.” Suara seorang wanita terdengar dan Sanna membelalak kaget menemukan Dokter Linda muncul dari ambang pintu. 

“Do—dokter? Mengapa dokter ada di sini?” sergahnya, “Apakah terjadi sesuatu saat dokter mengoperasiku? Mengapa dokter ikut mati bersamaku?” 

Alis Linda mengernyit dalam mendengarnya. Dia menggelengkan kepala, kemudian terkekeh. 

“Kamu tidak berada di surga,” tutur wanita itu, “Ini adalah kamarku dan kita berdua masih hidup sekarang.”

Kini, giliran raut wajah Sanna yang diliputi keheranan. 

“Bagaimana bisa? Aku sudah mendonorkan jantung, mata, dan ginjalku. Mana mungkin aku masih hidup?” 

Bukannya menjawab, Linda justru mengulas senyum tipis. 

“Itu karena bantuanku,” ucap seorang pria seraya berjalan masuk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status