Share

Menyesal

last update Last Updated: 2024-01-31 09:45:25

Jantung Evan tercekat. 

Pikirannya seakan terguncang mendengar informasi itu. 

“... Apa?” Evan berkedip canggung, “Apa maksudnya, Suster?” tanya pria itu lagi. 

Rahangnya terlihat lebih tegas dan batu besar seakan menyumbat di tenggorokannya. 

“Nyonya Drisanna sudah mendonorkan mata dan ginjalnya untuk Anda, Tuan,” ucap perawat itu, “Dia juga mendonorkan jantungnya untuk adiknya.” 

Jantung Evan seakan diremas kuat-kuat mendengarnya. 

Pikirannya menjadi kalut seketika. Ia tidak bisa membayangkannya. Bagaimana mungkin, gadis licik dan mata duitan seperti Sanna sanggup mengorbankan semuanya untuk mereka?

“Kamu sudah sadar, Evan?” Suara sang ibu terdengar, disusul derap langkah mendekat. 

Perawat itu sudah pergi dan Hannah terkejut mendapati sang putra sudah terduduk di atas ranjangnya dengan mata hitam terbuka. 

“Evan? Kamu mendengar Mama? Apakah kamu bisa melihat Mama?” Hannah bertanya dengan gugup. 

Perlahan, Evan menoleh ke arah sang ibu dan mengangguk. Ia bisa melihat wajah sang ibu dengan amat jelas. 

Hannah langsung memeluk putra sulungnya. Matanya diwarnai air mata bahagia. 

“Syukurlah, kamu benar-benar sudah bisa melihat sekarang,” ucap Hannah dengan penuh rasa syukur. 

Wajah Evan masih terlihat tawar. Bahkan kebahagiaan yang semula menyelimuti dirinya seakan sirna begitu saja. 

“Apakah benar Sanna yang memberikan mata ini untukku, Ma?” Evan bertanya. 

Hal itu membuat usapan pada punggung Evan seketika terhenti. Hannah mengurai pelukan mereka. Wajah wanita itu terlihat gugup saat kembali memandang sang putra. 

“Mengapa … mengapa tiba-tiba kamu menanyakannya? Informasi pendonor seharusnya dirahasiakan. Lagi pula, itu tidak penting—”

“Jawab aku, Ma!” tegas Evan. Manik hitamnya memandang sang ibu dengan sorot tajam, “Apakah benar Sanna yang mendonorkan mata dan ginjalnya untukku? Apakah benar dia memberikan jantungnya untuk Bethany?” tanya pria itu dengan suara tegas. 

Hannah terlihat begitu gugup untuk menjawabnya. Seharusnya, Evan merasa senang dan bersyukur, mengapa pria itu justru marah dan memprotes kepadanya?

“Benar,” Hannah kembali bersuara, “Itu semua karena keinginan Sanna sendiri.” 

Alis Evan mengernyit sempurna. 

“Apa?” tanyanya dengan tidak percaya. 

“Beberapa hari lalu, Sanna sendiri yang mendatangi Mama dan berkata dia ingin mendonorkan mata dan ginjalnya untukmu. Mama ingin menolaknya, tapi dia datang kepada Mama dan menangis-nangis, bagaimana mungkin Mama menolaknya?” jawab Hannah, setengah berbohong. 

Ia yakin tak akan ada masalah yang menghampirinya, toh Sanna pun sudah berada di kamar mayat sekarang. 

Evan membisu. Masih tidak percaya dengan kenyataan ini. 

Padahal, ia sudah bersikap tidak adil kepada gadis itu. Padahal Evan yakin ia sudah membuat hidup Sanna seperti berada di neraka.

Mengapa … mengapa Sanna justru mengorbankan dirinya sendiri? 

“Kak Evan.” Suara Bethany terdengar dari pintu masuk. 

Gadis itu duduk di kursi rodanya dan bergerak mendekati ranjang pria itu. Sama seperti Evan, Bethany mengenakan seragam khusus pasien. 

“Kak Evan sudah siuman,” sapanya dengan senyum cerah di wajah. 

Pria itu tidak menjawab. Ia meniti penampilan Bethany dari ujung kepala hingga ujung kaki. Gadis itu terlihat jelita meski wajahnya tampak sedikit pucat. 

Namun, bukan itu yang Evan perhatikan. Ia justru bertanya-tanya apakah wajah Sanna mirip dengan wajah gadis itu. 

“Apakah operasimu berjalan lancar, Bethany?” Hannah bertanya dengan nada ramah. 

Bethany mengangguk. Ia tersenyum saat tangannya meraba area jantungnya. 

“Aku merasa sangat sehat,” ucapnya. Ia bisa merasakan detak jantung yang kuat. Bahkan, jantungnya tak terasa sakit setiap ia menarik napas panjang-panjang. 

“Semua ini berkat Kak Sanna.” Gadis itu menambahkan. 

Di luar dugaan, air mata mulai berkumpul pada mata Bethany dan gadis itu mulai terisak. 

“Aku masih tidak percaya Kak Sanna benar-benar berkorban sebanyak ini untuk kita,” tuturnya dengan terisak. Raut wajahnya terlihat sangat berbeda dengan yang ia tunjukkan di sisi ranjang operasi Sanna. 

Hannah mengangguk dan ikut larut dalam sandiwara Bethany. 

“Kita harus bersama agar pengorbanan Kak Sanna tidak sia-sia, Kak Evan,” ucap Bethany, melanjutkan skenarionya, “Aku akan menggantikan posisi Kak Sanna untuk merawat Kak Evan.” 

“Itu benar.” Hannah menambahkan. “Pesan terakhir yang diucapkan Sanna adalah kalian harus menikah sebagai bayaran atas pengorbanannya. Dia ingin melihat kalian hidup bahagia.”

Bethany terisak lebih keras. 

“Aku merasa sangat bersalah kepada Kak Sanna. Tapi, jika itu yang dia inginkan, aku akan mengabulkannya,” tutur gadis itu. 

Evan tidak mengatakan apa-apa. 

Pria itu masih membisu. 

Entah mengapa, satu bagian dalam dirinya seakan runtuh dan kosong setelah mengetahui Sanna melakukan itu untuk mereka. 

“Jika itu yang kamu inginkan, aku benar-benar akan pergi.”

Kata-kata terakhir Sanna kembali mengiang dalam benak Evan. 

Penyesalan memenuhi pikirannya hingga tanpa sadar satu tetes air mata terjatuh di pipinya. 

“Aku ingin melihat jasad Sanna,” pinta pria itu. 

Ketiganya lantas beranjak pergi menuju kamar mayat di rumah sakit. Namun, mereka justru mendapat penolakan dari petugas di sana. 

“Kalian tidak diizinkan melihat jasad yang bersangkutan,” ucap petugas itu. 

Hannah dan Bethany bertukar pandangan dengan heran. 

“Tapi, kami adalah keluarga pasien,” ucap Hannah, berusaha membela diri. 

“Tetap tidak bisa,” ucap petugas itu. “Ini adalah permintaan terakhir dari pasien. Dia tidak ingin membiarkan siapa pun melihat jasadnya. Pihak rumah sakit sendiri yang akan mengurus proses kremasi.” 

Hannah dan Bethany terlihat semakin heran, sementara Evan masih membungkam. 

Entah mengapa, sejak tadi hatinya terasa tawar dan kosong mengetahui ia tak akan pernah bisa menemui Sanna lagi. 

Kini, manik hitamnya terlihat rapuh saat menatap lurus pada pintu kamar mayat. 

“Sanna ….” 

***

Aroma pengharum ruangan yang wangi menyelinap pada indra penciuman seorang gadis, kontras dengan aroma kuat obat khas rumah sakit. 

Sanna mengendus udara di sekitarnya dua kali sebelum matanya perlahan terbuka. Hal pertama yang ia temukan adalah langit-langit ruangan berwarna putih. 

… apakah ia sudah berada di surga?

Sanna telah mengorbankan dirinya untuk orang lain. Paling tidak, seharusnya dia dibiarkan masuk surga. 

Akan tetapi, alisnya mengernyit heran melihat furnitur kamar yang terlihat tidak asing di sekitarnya. 

“Kamu sudah sadar.” Suara seorang wanita terdengar dan Sanna membelalak kaget menemukan Dokter Linda muncul dari ambang pintu. 

“Do—dokter? Mengapa dokter ada di sini?” sergahnya, “Apakah terjadi sesuatu saat dokter mengoperasiku? Mengapa dokter ikut mati bersamaku?” 

Alis Linda mengernyit dalam mendengarnya. Dia menggelengkan kepala, kemudian terkekeh. 

“Kamu tidak berada di surga,” tutur wanita itu, “Ini adalah kamarku dan kita berdua masih hidup sekarang.”

Kini, giliran raut wajah Sanna yang diliputi keheranan. 

“Bagaimana bisa? Aku sudah mendonorkan jantung, mata, dan ginjalku. Mana mungkin aku masih hidup?” 

Bukannya menjawab, Linda justru mengulas senyum tipis. 

“Itu karena bantuanku,” ucap seorang pria seraya berjalan masuk.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kontrak Rahasia dengan CEO Penuh Kuasa   Kucing Liar yang Menggoda

    “Mengapa kamu keluar dari sana?” Logan bertanya dengan heran. Pagi ini, jantungnya seakan berhenti berdetak saat ia berjalan menuju ruang makan dan menemukan Sanna melangkah keluar dari kamar mandi. Hanya mengenakan mantel mandi berwarna putih. Handuk putih terlilit di rambutnya dan kulitnya terlihat bersih. Tiap kamar di kediaman itu telah dilengkapi kamar mandi dan Sanna tak pernah berkeliaran di rumah ini hanya dengan mengenakan mantel mandi. “Air di kamar mandiku tidak mengalir,” ucap Sanna, “Aku sudah meminta bantuan Barney, tapi terpaksa menggunakan kamar mandi di sini,” tuturnya. Logan tak langsung menjawab. Manik mata hitamnya memandang Sanna dari ujung kepala hingga ujung kaki. Meski telah menikah selama beberapa minggu, Logan belum pernah melihat Sanna berpakaian terbuka. Kini kulit leher dan dada gadis itu terekspos, membuat leher Logan bergerak naik turun dengan gugup. “K—kalau begitu, aku harus bersiap sekarang,” ucap Sanna, kemudian berjalan cepat menuju kamarnya.

  • Kontrak Rahasia dengan CEO Penuh Kuasa   Logan Mulai Curiga

    “Apakah kamu mencoba menggodaku?” Logan memandang dengan sorot menuduh. Sanna semakin bingung dibuatnya. Ia baru saja tiba dan tahu-tahu diberondong oleh banyak pertanyaan yang tidak ia mengerti. “Aku sama sekali tidak memiliki niat untuk melakukannya,” ucap Sanna, jujur. Manik mata hitamnya berkilau cerah, seakan transparan hingga ia dapat langsung ketahuan kapan pun ia berbohong. “Benarkah?” Salah satu alis terangkat naik. “Lalu, mengapa kamu tiba-tiba melakukan ini?” sergah pria itu. Sanna berkedip canggung. “Aku sudah memikirkan perkataanmu dan sesuai saran yang kau berikan, aku mencoba berubah. Aku tidak ingin menggunakan uang itu karena seluruh fasilitas ini sudah cukup. Aku tidak ingin merepotkan lagi,” tutur Sanna. Ia bersikap jujur saat mengatakannya. Bahkan, alasan Sanna memilih untuk bekerja adalah agar ia bisa menopang kebutuhannya sendiri. “Karena itu ….” Sanna berkata lagi. “Aku tidak akan mengganggumu lagi. Kau bisa membawa gadis ke kantor atau pergi ke mana pun.

  • Kontrak Rahasia dengan CEO Penuh Kuasa   Istriku Tiba-tiba Cantik

    Sejak awal, Logan tak terlalu memperhatikan penampilan Sanna. Mereka hanya melakukan pernikahan kontrak yang akan berakhir dalam waktu satu tahun, untuk apa ia memedulikan gadis itu? Jika Logan benar-benar akan menikah, jelas ia akan memilih wanita yang sesuai dengan seleranya. Kini, ia benar-benar terkejut dan hampir tak percaya jika Sanna dapat terlihat begitu cantik. Bahkan, sepanjang hari, Sanna membuat pikiran Logan sulit untuk fokus. Tiap kali gadis itu mendekat untuk memberikan berkas padanya, Logan akan kembali terpikat dan mengikuti tiap pergerakan Sanna. Dalam hati bertanya-tanya apakah itu benar Sanna, gadis buluk seperti kucing liar yang ia temukan di bawah derai hujan di jalan yang kotor? “Bagaimana, Tuan? Apakah Anda setuju untuk menjadikan aktor itu sebagai brand ambassador kita?” tanya seorang pria yang menjadi ketua tim pengiklanan itu. Logan tak langsung menjawab. Sejak dua menit lalu, pria itu justru menatap ke arah Sanna dan mengabaikan presentasi yang d

  • Kontrak Rahasia dengan CEO Penuh Kuasa   Sanna Menghilang

    Sanna sengaja berangkat pagi-pagi sekali. Sekarang baru pukul tujuh pagi dan sopirnya sudah menurunkan gadis itu di depan sebuah klinik kecantikan. Ia telah mencari sepanjang malam dan tempat ini satu-satunya klinik yang buka sejak pagi. Sepanjang malam, Sanna telah memikirkan perkataan Logan dan pria itu benar. Seharusnya Sanna memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan dirinya. Oleh sebab itu, Sanna memulai dengan penampilannya. Sanna menoleh ke kanan dan kiri, tampak canggung. Ini kali pertama ia datang ke salon kecantikan. Seperti gajah masuk kota, Sanna tak tahu ke mana ia harus pergi dan apa yang harus ia lakukan. … apakah ia langsung masuk saja? pikirnya. “Apa yang kau lakukan di sini, Nona?” Seorang pria tiba-tiba bertanya. Refleks, Sanna menoleh dengan waspada. Ia sedikit kaget menemukan pria berbadan tegap dan jangkung yang berdiri di sisinya. Garis wajahnya terlihat tegas, dengan hidung mancung dan alis tebal. Sekilas, Sanna teringat akan Logan yang memiliki

  • Kontrak Rahasia dengan CEO Penuh Kuasa   Diamnya Istriku

    Logan langsung menarik Sanna dari tempat itu. Gadis itu tak mengatakan apa-apa hingga Logan mengarahkan gadis itu untuk langsung memasuki mobilnya. “Apa yang sebenarnya kamu lakukan?” sergah Logan. Raut wajahnya masih terlihat kesal. “Siapa yang mengizinkanmu menemui keluargaku begitu saja?” lanjut pria itu. Manik mata hitam Logan menatap Sanna dengan sorot tegas. Membuat gadis itu teringat akan kejadian tempo hari di kelab. “Dia … dia memintaku untuk datang,” jawab Sanna, lirih. “Mengapa kamu datang sendirian?” tanya pria itu, “Jenna adalah perempuan gila. Sudah pasti dia memiliki motif saat mengundangmu untuk datang,” sergah Logan. Tangan Sanna mencengkram sisi kursi dengan erat. Ia berusaha menahan tangisan yang mendesak untuk keluar. Diperlakukan seperti itu oleh Jenna sudah cukup membuatnya syok, kini Logan semakin memarahinya. “Lalu apa yang harus aku lakukan?” tanya gadis itu, balas menatap Logan dengan sorot tegas meski berkaca-kaca. “Apakah menurutmu aku ingin datang se

  • Kontrak Rahasia dengan CEO Penuh Kuasa   Dipermalukan dan Mempermalukan

    Sanna menatap rumah mewah yang menjulang tinggi di depannya. Tangan gadis itu menggenggam undangan pemberian Jenna tempo hari. Perayaan kecil itu diadakan di kediaman utama mereka. Sejak awal, Sanna berniat menjaga jarak dari keluarga Logan, tak berusaha untuk terlalu terkait dengan keluarga milyuner itu. Bagaimanapun, semakin Sanna menjaga jarak, semakin mudah baginya untuk terlepas pada waktunya nanti. Akan tetapi, nyatanya ia tak bisa menolak ajakan Jenna. Bahkan, Sanna berani mendatangi kediaman yang sudah seperti kandang singa itu seorang diri. Ia berniat memberitahu Logan saat mereka bekerja. Namun, entah mengapa, tiap kali tatapan mereka bertemu, Sanna teringat akan Logan yang berusaha menyerangnya dan bibirnya seakan terkunci seketika. “Saya bisa menghubungi Tuan Logan jika Nyonya menginginkannya.” Sang sopir menawarkan. Bahkan dia bisa melihat kegugupan pada wajah Sanna. Gadis itu menggelengkan kepala. “Tidak perlu. Aku hanya datang untuk menyapa,” jawab Sanna. Set

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status