Terpesona mah terpesona aja Logan, ngga perlu pakai nuduh-nuduh XD Anyway, aku belum tahu apakah cerita ini banyak peminatnya >< Yang terbiasa jadi silent reader, boleh yuk kali ini absen kehadiran Manteman di kolom komentar supaya aku tahu siapa aja pembaca setia Logan & Sanna <3
“Apakah kamu mencoba menggodaku?” Logan memandang dengan sorot menuduh. Sanna semakin bingung dibuatnya. Ia baru saja tiba dan tahu-tahu diberondong oleh banyak pertanyaan yang tidak ia mengerti. “Aku sama sekali tidak memiliki niat untuk melakukannya,” ucap Sanna, jujur. Manik mata hitamnya berkilau cerah, seakan transparan hingga ia dapat langsung ketahuan kapan pun ia berbohong. “Benarkah?” Salah satu alis terangkat naik. “Lalu, mengapa kamu tiba-tiba melakukan ini?” sergah pria itu. Sanna berkedip canggung. “Aku sudah memikirkan perkataanmu dan sesuai saran yang kau berikan, aku mencoba berubah. Aku tidak ingin menggunakan uang itu karena seluruh fasilitas ini sudah cukup. Aku tidak ingin merepotkan lagi,” tutur Sanna. Ia bersikap jujur saat mengatakannya. Bahkan, alasan Sanna memilih untuk bekerja adalah agar ia bisa menopang kebutuhannya sendiri. “Karena itu ….” Sanna berkata lagi. “Aku tidak akan mengganggumu lagi. Kau bisa membawa gadis ke kantor atau pergi ke mana pun.
“Mengapa kamu keluar dari sana?” Logan bertanya dengan heran. Pagi ini, jantungnya seakan berhenti berdetak saat ia berjalan menuju ruang makan dan menemukan Sanna melangkah keluar dari kamar mandi. Hanya mengenakan mantel mandi berwarna putih. Handuk putih terlilit di rambutnya dan kulitnya terlihat bersih. Tiap kamar di kediaman itu telah dilengkapi kamar mandi dan Sanna tak pernah berkeliaran di rumah ini hanya dengan mengenakan mantel mandi. “Air di kamar mandiku tidak mengalir,” ucap Sanna, “Aku sudah meminta bantuan Barney, tapi terpaksa menggunakan kamar mandi di sini,” tuturnya. Logan tak langsung menjawab. Manik mata hitamnya memandang Sanna dari ujung kepala hingga ujung kaki. Meski telah menikah selama beberapa minggu, Logan belum pernah melihat Sanna berpakaian terbuka. Kini kulit leher dan dada gadis itu terekspos, membuat leher Logan bergerak naik turun dengan gugup. “K—kalau begitu, aku harus bersiap sekarang,” ucap Sanna, kemudian berjalan cepat menuju kamarnya.
PRAANGG! Bunyi nyaring piring membentur lantai seketika membuat Sanna berjengit kaget. Ia mematikan kompor dan bergegas mendatangi meja makan. Wanita berambut panjang itu terkejut mendapati mangkuk berisi makanan itu telah pecah dan berceceran. Sang suami masih duduk di kursi. “Apa-apaan masakanmu ini, Sanna? Kau tahu aku tidak bisa makan ikan!” sergah Evan dengan suara geram. Iris hitam pria itu menatap lurus, tetapi bukan ke arah sang istri. Meski terlihat normal, Evan telah kehilangan penglihatannya sejak lima tahun lalu. “Aku tidak memasukkan ikan,” tutur Sanna, mencoba menjelaskan. “Itu hanya sup biasa, Evan.”“Pembohong!” kecam Evan. Dia membanting gelas di dekatnya hingga Sanna kembali berjengit kaget dan ketakutan.“Aku bisa mencium aroma ikan dari makanan itu. Apakah kau sedang meledekku karena buta? Kau pikir aku tidak akan tahu!?” Mendengar tuduhan itu, Sanna langsung menggeleng cepat. Dengan hati-hati, wanita itu mendekati sang suami. “Aku sama sekali tidak memili
“Bagaimana kalau kamu memberikan mata dan ginjalmu untuk Evan?” Deg! Jantung Sanna seakan berhenti seketika. Ia berkedip beberapa kali, tidak menyangka dengan permintaan mertuanya barusan. “A-apa?” tanya gadis itu. “Berikan ginjal dan matamu untuk Evan.” Hannah mengulangi. “Kamu bisa melakukannya, ‘kan?” Sanna menelan saliva yang terasa seperti jarum. Ia sama sekali tak menyangka Hannah akan terang-terangan mengatakan itu kepadanya. Ia, diminta untuk memberikan apa yang sejak lahir menjadi miliknya. Hal yang menopang hidupnya begitu saja.“Tapi, jika aku buta, bagaimana aku akan mengurus Evan, Bu?” balas Sanna dengan suara tercekat. “Dan … untuk ginjalku–”“Ck, ginjalmu kan ada dua. Anggap saja, itu adalah pengabdian terbesar yang bisa kamu lakukan sebagai seorang istri,” ucap Hannah, memotong kalimat Sanna. “Setelah Evan sembuh, kamu tidak perlu merawatnya lagi.”Meskipun kalimatnya terdengar seperti ingin menenangkan Sanna, wajah Hannah tidak tampak demikian.“Ayolah, Sanna.
Sanna pasti sudah gila. Ia tahu ia pasti sudah gila karena membiarkan pria asing membawanya ke kamar hotel. Kini, perlahan mata Sanna terbuka. Kepalanya terasa begitu pening dan seluruh tubuhnya pegal. Seluruh rasa sakit itu berpusat di area kewanitaannya. Hingga Sanna membelalakkan mata saat merasakan selimut yang begitu lembut menerpa kulitnya. Tak hanya kulit tangan, tetapi seluruh kulit di tubuhnya. Butuh waktu beberapa detik untuk menyadari bahwa dirinya telanjang tanpa busana. Sontak, ia menoleh ke samping dan jantungnya seakan jatuh ke lambung mendapati punggung terbuka seorang pria. Bodoh, umpat Sanna dalam hati. Sayup-sayup cahaya matahari menyelinap dari jendela kamar hotel dan satu hal langsung terbesit dalam benak Sanna. Ia harus menyiapkan sarapan dan membantu Evan untuk membersihkan diri.Tanpa buang waktu, gadis itu bergegas turun dari ranjang. Ia berusaha bergerak sesenyap mungkin dan berpakaian dalam waktu singkat. Saat ia mengecek ponsel, sudah ada belasan p
“Bagaimana? Kau sudah menemukan informasi mengenai gadis itu?” Logan langsung bertanya begitu tiba di perusahaan mereka. Pria itu tampak perlente dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tubuhnya tegap atletis dan terlihat sempurna dalam balutan jas hitam berpadu kemeja putih. Langkahnya terlihat tegas dan pasti saat melintas dan beberapa pegawai mengangguk hormat saat berpapasan dengannya. “Namanya adalah Drisanna Gabriella, Tuan.” Benny memberitahu, “Dia adalah istri dari Evan William dan sekarang kami sedang mencari tahu keberadaannya.” Mendengar itu, langkah Logan terhenti seketika. Pria itu terlihat serius saat menatap Benny.“Evan William?” tanyanya. Benny mengangguk. Ia tahu apa yang terlintas dalam benak Logan. Evan William adalah salah satu anak keturunan Arthur William, pemimpin Will Company yang sudah meninggal beberapa bulan lalu. Kabar terakhir yang ia dengar adalah Evan William mengalami kebutaan karena suatu insiden. Hal itu sejalan dengan penuturan wanita itu yang m
Jantung Evan tercekat. Pikirannya seakan terguncang mendengar informasi itu. “... Apa?” Evan berkedip canggung, “Apa maksudnya, Suster?” tanya pria itu lagi. Rahangnya terlihat lebih tegas dan batu besar seakan menyumbat di tenggorokannya. “Nyonya Drisanna sudah mendonorkan mata dan ginjalnya untuk Anda, Tuan,” ucap perawat itu, “Dia juga mendonorkan jantungnya untuk adiknya.” Jantung Evan seakan diremas kuat-kuat mendengarnya. Pikirannya menjadi kalut seketika. Ia tidak bisa membayangkannya. Bagaimana mungkin, gadis licik dan mata duitan seperti Sanna sanggup mengorbankan semuanya untuk mereka?“Kamu sudah sadar, Evan?” Suara sang ibu terdengar, disusul derap langkah mendekat. Perawat itu sudah pergi dan Hannah terkejut mendapati sang putra sudah terduduk di atas ranjangnya dengan mata hitam terbuka. “Evan? Kamu mendengar Mama? Apakah kamu bisa melihat Mama?” Hannah bertanya dengan gugup. Perlahan, Evan menoleh ke arah sang ibu dan mengangguk. Ia bisa melihat wajah sang ibu
Mata Sanna membelalak kaget melihat seorang pria berjalan masuk, diikuti oleh pria lain yang terlihat seperti asistennya. Dalam sekali lihat, Sanna bisa langsung mengenali wajah tampan itu. “Kau … kau pria di bar itu!” sergah Sanna. Tenggorokannya tercekat. Sekujur tubuhnya seakan bereaksi begitu melihat dia. Teringat akan malam panas mereka bersama. Sanna yakin ia tak meninggalkan informasi apa pun, bagaimana mungkin dia berhasil menemukan dirinya? “Dia adalah Logan Asher Maverick.” Linda menjelaskan. “Dia membayar seorang mayat sebagai ganti donor yang dibutuhkan.” Mendengar itu, otak Sanna seakan membeku dan tak bisa mencerna seluruh situasi ini. Alisnya mengernyit bingung dan ia menatap ke arah pria bernama Logan itu dengan sorot tidak mengerti. “Mengapa … mengapa kau melakukan ini padaku?” tanya gadis itu. Bukannya menjawab, Logan justru memasukkan salah satu tangannya ke dalam saku dan memberikan gestur kepada sang asisten. Tanpa dikomandoi lebih lanjut, pria itu melangk