“Bagaimana? Kau sudah menemukan informasi mengenai gadis itu?” Logan langsung bertanya begitu tiba di perusahaan mereka.
Pria itu tampak perlente dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tubuhnya tegap atletis dan terlihat sempurna dalam balutan jas hitam berpadu kemeja putih.
Langkahnya terlihat tegas dan pasti saat melintas dan beberapa pegawai mengangguk hormat saat berpapasan dengannya.
“Namanya adalah Drisanna Gabriella, Tuan.” Benny memberitahu, “Dia adalah istri dari Evan William dan sekarang kami sedang mencari tahu keberadaannya.”
Mendengar itu, langkah Logan terhenti seketika. Pria itu terlihat serius saat menatap Benny.
“Evan William?” tanyanya.
Benny mengangguk. Ia tahu apa yang terlintas dalam benak Logan.
Evan William adalah salah satu anak keturunan Arthur William, pemimpin Will Company yang sudah meninggal beberapa bulan lalu.
Kabar terakhir yang ia dengar adalah Evan William mengalami kebutaan karena suatu insiden. Hal itu sejalan dengan penuturan wanita itu yang mengatakan ia diminta untuk mendonorkan matanya.
“Rupanya, keluarga itu lebih kejam dari yang kukira,” gumam Logan.
“Tapi, mengapa Anda tiba-tiba menginginkan informasi ini, Tuan?” Benny bertanya dengan penasaran.
Biasanya, Logan tidak tertarik pada wanita yang sudah ia tiduri. Bahkan, Logan lebih banyak menyembunyikan identitasnya agar wanita itu tidak datang menghampiri Logan setelah urusan mereka selesai.
Namun, kali ini berbeda.
Kali ini, ia menyentuh gadis yang berbeda. Gadis malang yang justru merelakan keperawanannya saat hidupnya berada di ujung tanduk.
Bagaimana mungkin ia tak menginginkan informasi gadis itu?
“Dia berbeda,” gumam Logan, “Segera beri tahu aku jika kau sudah menemukan keberadaannya.”
Sementara itu, Sanna sudah terbaring di atas meja untuk operasi.
Ia tahu ia mengambil tindakan yang bodoh. Setelah dicaci maki dan melihat pengkhianatan orang terdekatnya, ia justru masih menyanggupi permintaan ini.
Namun, tak ada seorang pun yang mengerti betapa putus asa Sanna. Dia tidak memiliki apa pun. Dia tidak memiliki tempat untuk kembali. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah mengorbankan dirinya untuk kedua orang terdekatnya.
“Kami akan mulai membiusmu,” ucap seorang perawat.
“Tunggu dulu.” Seorang dokter wanita tiba-tiba beranjak masuk. Dia adalah Linda, dokter bedah yang akan memimpin operasi transplantasi.
“Apakah Anda yakin akan melakukan ini, Nyonya? Anda adalah orang sehat. Anda yakin akan mendonorkan jantung, mata, dan ginjal Anda?” tanya dokter itu.
Bukan tanpa alasan ia menanyakan hal itu. Sebelumnya, tak pernah ada orang yang cukup gila untuk melakukannya.
Kini, Sanna tersenyum tipis. Bahkan ia sendiri tak percaya ia menyanggupi permintaan ini.
“Benar, Dok,” ucapnya.
Semua orang terlihat tidak percaya. Bahkan Dokter Linda amat menyayangkan hal itu. Namun, akhirnya dokter wanita itu memberi isyarat kepada perawat untuk melanjutkan.
Dia memasukkan jarum infus ke dalam pembuluh darah Sanna. Begitu selesai, dia memasukkan bius ke dalam cairan infus.
“Biusnya akan masuk ke pembuluh darah dan mulai bekerja. Kami akan memulai operasi lima belas menit lagi,” ucap perawat itu.
Sanna mengangguk. Itu berarti, nyawanya akan berakhir dalam waktu lima belas menit. Sanna mengembuskan napas panjang dan melihat sekitar.
Tak ada siapa pun di sekitarnya.
Satu-satunya keluarga yang ia miliki adalah Bethany dan tentu saja gadis itu tidak ada di sini.
Sanna tersenyum tipis. Bahkan, pada saat terakhir, ia masih kesepian.
Perlahan, matanya mulai terasa berat dan menutup secara perlahan. Meski demikian, indra pendengarannya masih berfungsi dan ia bisa mendengar derap langkah mendekat.
“Kakakku yang malang,” ucap satu suara yang Sanna kenali sebagai suara Bethany.
Sanna bersiap mendengar perkataan gadis itu. Alih-alih, ia justru mendengar kekehan.
“Aku benar-benar kasihan padamu, Kak. Mengapa Kakak begitu bodoh dan menerima tawaran ini? Tidak, seharusnya Kakak melakukan ini sejak dulu, tapi Kakak sangat bodoh hingga aku harus berbicara kepada Tante Hannah terlebih dahulu agar dia meminta Kakak melakukannya,” tutur Bethany.
Gadis itu sudah mengenakan pakaian untuk operasi dan menatap lurus pada sang kakak yang terbaring di atas ranjang.
“Terima kasih, Bu, sudah membantuku.” Bethany melirik ke arah Hannah yang sudah berdiri di sisinya.
Wanita itu mengangguk dan terlihat begitu santai.
“Akhirnya aku tidak akan memiliki menantu seperti dirinya lagi,” tutur wanita itu.
“Maaf, Kak, anggap saja, ini adalah pengorbanan Kakak untukku. Aku sudah sakit seumur hidup. Sekarang, aku bisa memiliki Kak Evan, bahkan hidup bahagia bersamanya. Aku akan menjadi nyonya di rumah besar itu dan menikmati semua fasilitasnya. Yang paling penting, aku akan menikmati warisan kakek bersama Evan.” Bethany lanjut terkekeh puas.
Mendengarnya, mendadak jantung Sanna seakan berdetak lebih cepat. Ia sama sekali tak menyangka jika semua ini adalah strategi adiknya untuk menyingkirkan dirinya.
Kini, Sanna berusaha menggerakkan tangannya, tetapi seluruh tubuhnya seakan mati, bahkan Sanna tak mampu untuk membuka kelopak matanya.
“Kakak sudah bekerja keras mengurus Kak Evan selama ini. Kakak sudah bekerja keras sejak dulu. Aku sangat kasihan melihat Kakak menderita jadi memutuskan untuk melakukan hal ini. Terima kasih untuk jantungnya, Kak. Aku akan menjaganya dengan baik.” Terdapat jeda sebelum Sanna merasakan hembusan napas dekat telinganya.
“Semoga Kakak lebih beruntung di kehidupan berikutnya,” kekeh gadis itu.
Sanna ingin meronta dan menjambak rambutnya, tetapi tidak bisa menggerakkan tubuhnya seinci pun. Ia berteriak dan meronta-ronta, tetapi di dunia nyata, Sanna masih terbaring tak sadarkan diri.
Pintu bergeser terbuka dan sekelompok perawat tampak sudah siap.
“Kami akan membawa pasien ke ruang operasi,” ucapnya.
Sanna menggelengkan kepala, berusaha menolak takdir ini, tetapi telinganya mendengar bunyi roda tempat tidur yang dibawa keluar ruangan dan itu adalah hal terakhir yang ia ingat.
***
Sudah lima tahun sejak terakhir kali Evan bisa melihat.
Kini, beberapa jam setelah operasi selesai dilakukan, pria itu perlahan membuka matanya dan wajahnya langsung tersenyum semringah karena kembali melihat warna dari keadaan di sekitarnya.
Kelopak matanya berkedip beberapa kali seakan tidak percaya.
“Anda sudah siuman, Tuan,” ucap seorang perawat yang datang menyapa.
Tidak ada siapa pun di sekitar ranjang Evan hingga pria itu berkedip heran.
“Ke mana orang yang menjagaku, Sus?” tanyanya.
“Tadi, saya melihat ibu Anda turun. Katanya, dia ingin membeli makanan,” jelas perawat tersebut seraya memeriksa tanda-tanda vital Evan.
“Bagaimana dengan Sanna? Di mana istri saya?” Evan bertanya lagi.
Sesaat sebelum operasi, ia tidak melihat wanita itu datang untuk melihatnya. Evan tak percaya wanita itu benar-benar pergi meninggalkannya.
Namun, perawat itu justru mengernyit heran mendengarnya.
“Maksud Anda, Nyonya Drisanna?” tanya perawat itu.
Evan tampak heran karena perawat itu mengenali istrinya, tetapi dia mengangguk.
“Dia sudah meninggal, Tuan,” jawab perawat itu, “Dialah yang mendonorkan mata dan ginjalnya untuk Tuan. Apakah Tuan tidak mengetahui hal itu?”
Jantung Evan tercekat. Pikirannya seakan terguncang mendengar informasi itu. “... Apa?” Evan berkedip canggung, “Apa maksudnya, Suster?” tanya pria itu lagi. Rahangnya terlihat lebih tegas dan batu besar seakan menyumbat di tenggorokannya. “Nyonya Drisanna sudah mendonorkan mata dan ginjalnya untuk Anda, Tuan,” ucap perawat itu, “Dia juga mendonorkan jantungnya untuk adiknya.” Jantung Evan seakan diremas kuat-kuat mendengarnya. Pikirannya menjadi kalut seketika. Ia tidak bisa membayangkannya. Bagaimana mungkin, gadis licik dan mata duitan seperti Sanna sanggup mengorbankan semuanya untuk mereka?“Kamu sudah sadar, Evan?” Suara sang ibu terdengar, disusul derap langkah mendekat. Perawat itu sudah pergi dan Hannah terkejut mendapati sang putra sudah terduduk di atas ranjangnya dengan mata hitam terbuka. “Evan? Kamu mendengar Mama? Apakah kamu bisa melihat Mama?” Hannah bertanya dengan gugup. Perlahan, Evan menoleh ke arah sang ibu dan mengangguk. Ia bisa melihat wajah sang ibu
Mata Sanna membelalak kaget melihat seorang pria berjalan masuk, diikuti oleh pria lain yang terlihat seperti asistennya. Dalam sekali lihat, Sanna bisa langsung mengenali wajah tampan itu. “Kau … kau pria di bar itu!” sergah Sanna. Tenggorokannya tercekat. Sekujur tubuhnya seakan bereaksi begitu melihat dia. Teringat akan malam panas mereka bersama. Sanna yakin ia tak meninggalkan informasi apa pun, bagaimana mungkin dia berhasil menemukan dirinya? “Dia adalah Logan Asher Maverick.” Linda menjelaskan. “Dia membayar seorang mayat sebagai ganti donor yang dibutuhkan.” Mendengar itu, otak Sanna seakan membeku dan tak bisa mencerna seluruh situasi ini. Alisnya mengernyit bingung dan ia menatap ke arah pria bernama Logan itu dengan sorot tidak mengerti. “Mengapa … mengapa kau melakukan ini padaku?” tanya gadis itu. Bukannya menjawab, Logan justru memasukkan salah satu tangannya ke dalam saku dan memberikan gestur kepada sang asisten. Tanpa dikomandoi lebih lanjut, pria itu melangk
Bethany mengerjap berulang kali sebelum melangkah cepat membelah kerumunan untuk mengejar siluet itu. Akan tetapi, begitu ia berhasil melewati keramaian, ia justru tak menemukan apa pun. Area itu begitu sepi. Hanya ada sepeda motor dan mobil yang berlalu-lalang. Tak ada seorang wanita atau manusia pun di sana. Bethany mengerut semakin heran. Ia tak salah lihat. Wanita berambut hitam panjang yang Bethany lihat dari dalam benar-benar mirip sang kakak. … bagaimana mungkin? Gadis itu celingukan memeriksa situasi di sekitarnya. Hari itu matahari terasa terik, tetapi entah mengapa mendadak bahunya bergidik ngeri. Tidak mungkin roh Sanna menghantui dirinya, ‘kan? Bethany kembali bergidik ngeri dan cepat-cepat berjalan menuju mobilnya. *** *** “Hari ini, Anda harus menghadiri lima kencan buta, Tuan.” Benny memberitahu kepada Logan yang baru saja beranjak memasuki mobil. Sebenarnya, Benny tidak mengemban jabatan sebagai sekretaris Logan. Pria itu hanya kepala kuasa usaha hu
Sanna berpikir ia hanya hidup seorang diri di dunia ini. Sekarang Logan justru kembali muncul di hadapannya, membuat Sanna merasa hangat meski derai hujan masih deras di sekitarnya. “... Kau ….” Logan mengulurkan tangan ke arah Sanna. Tatapan pria itu tidak berubah, masih terlihat serius dan perhatian. “Bangunlah,” ucapnya. Mendengar itu, Sanna terisak satu kali. Ia cepat-cepat mengusap air matanya dan menyambut uluran tangan Logan. Tangan pria itu terasa begitu hangat di tangan Sanna yang dingin. “Mengapa … mengapa kau datang?” Sanna bertanya dengan canggung. Sesaat, raut wajahnya terlihat malu dan ketakutan. Jelas ia merasa malu. Kemarin, Sanna bersikeras menolak bantuan Logan dan bertekad untuk membayar semua utang yang ia miliki. Kini Logan menangkap basah dirinya yang menangis dan terlihat lemah. Akan tetapi, Logan tidak terlihat berniat mengejek ataupun merendahkannya. Pria itu masih memegangi payung hitam yang sebagian besar melindungi tubuh Sanna yang sudah basah kuyup
“Mulai sekarang, namamu adalah Ashilla Leandra.” Logan berkata seraya menyodorkan sebuah mop cokelat ke arah Sanna. Pria itu menjemput Sanna sesuai waktu yang dijanjikan dan kini keduanya sudah duduk dalam mobil yang melaju. Tanpa menjawab, Sanna mulai membuka mop cokelat itu. Di dalamnya, ada kartu identitas, ijazah, bahkan paspor yang semuanya terdaftar atas nama Ashilla Leandra. Mata Sanna membelalak dengan tak percaya. Ia tak tahu semua itu bisa didapatkan semudah ini. “Semuanya palsu.” Logan menjelaskan, “Kamu tidak bisa menggunakannya untuk mendaftar kuliah di kampus bagus, tapi cukup untuk menjadi kartu identitas,” tuturnya. Berulang kali, Sanna mengecek seluruh dokumen itu dengan mata berbinar kagum. Foto yang tertera benar gambar dirinya dengan identitas dan tanggal lahir yang berbeda. “Bagaimana Anda bisa melakukannya?” Sanna bertanya dengan penasaran. Logan tersenyum bangga, merasa tersanjung karena berhasil membuat Sanna kagum. “Mudah saja,” ucapnya dengan nada angk
“Apa yang penyihir itu katakan?” sergah Logan dengan gusar. Beberapa menit lalu, sang ibu memang memintanya untuk meninggalkan ruangan yang telah ia pesan. Namun, jelas Logan tak bisa meninggalkannya begitu saja. Gelas, piring, garpu, bahkan pisau. Semuanya berada di sana dan bisa saja Amari gunakan untuk melukai Sanna jika gadis itu salah menjawab. Ini benar-benar di luar prediksi Logan. Sebelumnya, sang ibu tak pernah meminta untuk berbicara langsung dengan wanita yang ia bawa. Kini, pria itu berdiri dengan resah di depan ruangan, sementara Benny menempelkan telinga pada daun pintu. Berharap ia dapat mendengar percakapan keduanya. “Sepertinya, Nyonya Besar menawarkan sejumlah uang kepada Nona Shilla, Tuan.” Pria itu bergumam. “Apa—” Logan hampir berseru dan cepat-cepat merapatkan bibirnya saat tersadar sang ibu bisa mendengar suaranya. Ia berjalan cepat mendekati Benny. “Kau yakin penyihir itu melakukannya?” tanya Logan dengan nada penuh selidik. Benny kembali menempelkan t
Sanna tahu pernikahan mereka hanyalah sandiwara. Oleh sebab itu, saat Logan berkata mereka akan menikah minggu itu juga, Sanna berpikir mereka hanya akan mengucapkan ikrar pernikahan. Hingga wanita itu tercengang takjub saat seorang sopir membawanya ke sebuah gedung yang khusus untuk melangsungkan pernikahan. Tak sampai di situ, Logan benar-benar telah mengatur semuanya. Mulai dari gaun, penata rias, dan semua pernak-pernik yang Sanna butuhkan. Membuat Sanna merasa sedikit gugup karena rupanya kesepatakan mereka jauh lebih besar dari yang ia duga. Kini, gadis itu telah mengenakan gaun pernikahan putih bersih. Rambutnya ditata, lengkap dengan pernak-perniknya. Sekalipun hanya sandiwara, sebuah senyum kecil terbit di wajah Sanna saat memandang dirinya di cermin. “Semuanya sudah selesai?” Perhatian Sanna teralihkan saat Benny datang menghampiri ruang ganti pengantin. Salah satu penata rias mengangguk. “Sudah, Tuan,” katanya, memutar tempat duduk Sanna perlahan dan menampilkan penam
Logan membelalak, kemudian menyipitkan pandangannya mendengar tebakan tak masuk akal Sanna. Dirinya adalah seorang mafia? “Apa maksudmu?” tanya Logan. Alisnya mengernyit sempurna. Bukannya menjawab, Sanna justru kembali mengambil satu langkah mundur. Gadis itu terlihat jelas berada pada puncak kewaspadaannya. “Pernikahan yang mewah dan para penjaga itu, kau juga memiliki rumah yang besar dan semua ini. Apakah kau seorang pemimpin mafia? Kau menjalankan bisnis kotor seperti … seperti menjual … menjual sesuatu yang tidak seharusnya dijual,” gumam Sanna dengan amat hati-hati. Ia sudah sangat curiga dengan gerak-gerik Logan. Mana mungkin ada pria yang rela menggelontorkan begitu banyak dana hanya untuk menikah dengan wanita seperti dirinya? Di hadapannya, Logan mengukir senyum kecil. Ia nyaris tak percaya dengan isi kepala Sanna. Susah payah Logan bekerja keras dan membangun perusahaan untuk memiliki semua aset ini, dan gadis itu justru menuduhnya sebagai mafia pemilik bisnis