“Apa yang penyihir itu katakan?” sergah Logan dengan gusar. Beberapa menit lalu, sang ibu memang memintanya untuk meninggalkan ruangan yang telah ia pesan. Namun, jelas Logan tak bisa meninggalkannya begitu saja. Gelas, piring, garpu, bahkan pisau. Semuanya berada di sana dan bisa saja Amari gunakan untuk melukai Sanna jika gadis itu salah menjawab. Ini benar-benar di luar prediksi Logan. Sebelumnya, sang ibu tak pernah meminta untuk berbicara langsung dengan wanita yang ia bawa. Kini, pria itu berdiri dengan resah di depan ruangan, sementara Benny menempelkan telinga pada daun pintu. Berharap ia dapat mendengar percakapan keduanya. “Sepertinya, Nyonya Besar menawarkan sejumlah uang kepada Nona Shilla, Tuan.” Pria itu bergumam. “Apa—” Logan hampir berseru dan cepat-cepat merapatkan bibirnya saat tersadar sang ibu bisa mendengar suaranya. Ia berjalan cepat mendekati Benny. “Kau yakin penyihir itu melakukannya?” tanya Logan dengan nada penuh selidik. Benny kembali menempelkan t
Sanna tahu pernikahan mereka hanyalah sandiwara. Oleh sebab itu, saat Logan berkata mereka akan menikah minggu itu juga, Sanna berpikir mereka hanya akan mengucapkan ikrar pernikahan. Hingga wanita itu tercengang takjub saat seorang sopir membawanya ke sebuah gedung yang khusus untuk melangsungkan pernikahan. Tak sampai di situ, Logan benar-benar telah mengatur semuanya. Mulai dari gaun, penata rias, dan semua pernak-pernik yang Sanna butuhkan. Membuat Sanna merasa sedikit gugup karena rupanya kesepatakan mereka jauh lebih besar dari yang ia duga. Kini, gadis itu telah mengenakan gaun pernikahan putih bersih. Rambutnya ditata, lengkap dengan pernak-perniknya. Sekalipun hanya sandiwara, sebuah senyum kecil terbit di wajah Sanna saat memandang dirinya di cermin. “Semuanya sudah selesai?” Perhatian Sanna teralihkan saat Benny datang menghampiri ruang ganti pengantin. Salah satu penata rias mengangguk. “Sudah, Tuan,” katanya, memutar tempat duduk Sanna perlahan dan menampilkan penam
Logan membelalak, kemudian menyipitkan pandangannya mendengar tebakan tak masuk akal Sanna. Dirinya adalah seorang mafia? “Apa maksudmu?” tanya Logan. Alisnya mengernyit sempurna. Bukannya menjawab, Sanna justru kembali mengambil satu langkah mundur. Gadis itu terlihat jelas berada pada puncak kewaspadaannya. “Pernikahan yang mewah dan para penjaga itu, kau juga memiliki rumah yang besar dan semua ini. Apakah kau seorang pemimpin mafia? Kau menjalankan bisnis kotor seperti … seperti menjual … menjual sesuatu yang tidak seharusnya dijual,” gumam Sanna dengan amat hati-hati. Ia sudah sangat curiga dengan gerak-gerik Logan. Mana mungkin ada pria yang rela menggelontorkan begitu banyak dana hanya untuk menikah dengan wanita seperti dirinya? Di hadapannya, Logan mengukir senyum kecil. Ia nyaris tak percaya dengan isi kepala Sanna. Susah payah Logan bekerja keras dan membangun perusahaan untuk memiliki semua aset ini, dan gadis itu justru menuduhnya sebagai mafia pemilik bisnis
“Apa yang Anda lakukan, Nyonya?” Seorang pelayan perempuan bergegas menghampiri Sanna begitu ia mengeluarkan beberapa sayuran dari kulkas. Sanna terlihat bingung. Sekarang masih pagi dan setelah membersihkan diri, Sanna langsung turun ke dapur, memulai rutinitasnya seperti biasa. “Aku akan memasak sarapan,” jawab Sanna, “Ada apa?” “Anda tidak perlu repot-repot melakukannya, Nyonya,” ucap pelayan wanita itu, “Biar saya yang melakukannya.” Pelayan itu cepat-cepat menggeser sayuran yang telah Sanna keluarkan dan mengambil segenggam daun bawang di tangan Sanna. Gadis itu masih terlihat bingung. Pagi ini, ia sudah bangun pagi-pagi, khawatir Logan akan marah seandainya ia terlambat menyiapkan sarapan. Dahulu Evan selalu seperti ini. Kini, ia justru dilarang untuk memasak. “Tapi, aku harus membuat sarapan ….” Sanna mencoba menjelaskan. “Itu tugas saya, Nyonya,” jawab pelayan itu, “Nyonya bisa duduk di sana. Saya akan menyajikan roti untuk pengganjal lapar.” “Tapi—” “Dia be
“Apa?” Benny menatap bosnya dengan sorot penuh tanda tanya. “Kau tidak mendengarku? Langsung tolak dia,” ucap Logan. Tanpa ragu, pria itu menyerahkan CV Sanna kepada Benny dan lanjut meninjau CV pendaftar untuk posisi sekretaris. “Apakah Anda akan langsung menolaknya? Masih ada beberapa posisi yang kosong,” ucap Benny. Sedikit banyak Benny telah melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap hidup Sanna dan mengetahui karakter gadis itu. Hingga saat melihat namanya pada daftar pelamar, Benny tahu Sanna melakukannya dengan sungguh-sungguh. “Dia tidak akan bekerja di perusahaanku,” tukas Logan acuh tak acuh. “Tapi, mengapa, Tuan? Bukankah Nyonya mendaftar karena tahu Anda bekerja di sini?” Benny bertanya lagi. Meski telah melangsungkan resepsi pernikahan, tak ada satu pun pegawai yang mengetahui Logan sudah menikah. Benny menduga Sanna mendaftar untuk mengawasi Logan yang memang sering membawa wanita ke ruangannya. “Dia tidak tahu,” jawab Logan. Tatapannya mendadak menjadi
“Saya sudah mengirim pesan dan meminta Nyonya Sanna untuk datang hari ini sesuai perintah Anda.” Benny memberitahu begitu ia menemui Logan di lobby perusahaan. Pria itu mengangguk satu kali dan terus berjalan lurus. Ia tak perlu repot-repot menyelinap di antara pegawai yang berlalu-lalang sebab tatapan tegas Logan dan dentum pantofelnya sudah cukup memberi tanda bagi pegawai untuk menyingkir sesaat, memberi jalan khusus bagi pemimpin mereka itu menuju lift. “Apakah Anda berubah pikiran dan berencana menerimanya bekerja di sini, Tuan?” Benny bertanya lagi. Tak puas dengan anggukan Logan yang tidak menjelaskan apa pun. Logan tak juga menjawab. Di dalam lift, pria itu justru menatap pantulan perawakan tingginya, kemudian mendengkus pendek. Rasanya tak benar jika dibilang berubah pikiran, sebab Logan tak mudah mengubah keputusannya. Ia bukan pria yang plin-plan. Sekali ia tak ingin menerima Sanna di perusahaannya, maka ia benar-benar enggan. Namun, posisinya akan lebih terancam ji
Bruk Dokumen dan buku saku yang Sanna bawa seketika meluncur dari tangan Sanna, jatuh membentur lantai dan sontak membuat pasangan itu menoleh waspada. Bibir sang wanita tampak basah, sementara Logan tidak terlihat terkejut dengan kehadiran Sanna. Sanna yang memergoki keduanya, tetapi gadis itu juga yang terlihat paling gugup di ruangan. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Logan. Tatapan dan nada suaranya terdengar datar. Seakan ia, sebagai CEO maupun sebagai suami Sanna, tak merasa bersalah karena perbuatannya tertangkap basah. Sanna berkedip cepat. Ia menelan saliva yang terasa berat untuk membasahi tenggorokan yang tiba-tiba kering kerontang. Rasa gugup, terkejut, dan syok menguasai dirinya. “Aku … aku datang untuk membawakan laporan—” “Benny tidak memberitahumu kalau saya tidak suka diganggu saat sedang melakukan ini?” Logan bertanya, terlihat terusik dengan kehadiran Sanna di sana. Wanita di sisinya masih berada di atas pangkuan pria itu. Tidak berkutik sedikit pun. Sa
Sanna merapatkan bibir dengan gugup. Tamatlah riwayatnya kali ini. Ia telah meneguhkan perasaan hingga yakin tak akan terkejut dengan apa pun yang Logan lakukan hari ini. Namun, Sanna justru kembali membeku saat melihat Amari, ibu mertuanya, di kantor itu. Logan pasti akan membunuhnya jika pertemuan ini membuat Amari mencurigai pernikahan mereka. “Jadi, kamu benar-benar bekerja di sini? Sejak kapan?” Amari bertanya dengan penasaran. Kini keduanya sudah berada di kafetaria. Sanna sengaja mengajak Amari ke tempat yang tidak akan didatangi Logan. Jika keduanya sampai bertemu, Sanna bisa-bisa dipecat hari itu juga. “Aku … aku masih dalam masa training. Aku baru mulai bekerja kemarin.” Gadis itu menjelaskan dengan jujur. Seperti pesan Logan padanya, sang ibu bisa langsung menyadari saat lawan bicaranya berbohong hingga Sanna berpikir satu-satunya cara untuk menghadapi situasi ini adalah dengan jujur. Amari mengangguk satu kali. Gerakannya selalu terlihat terencana, seakan ia merek