Setelah beberapa menit berbicara dengan Audrey diluar, Veny akhirnya beranjak meninggalkannya sendirian dan memberinya ruang untuk menenangkan diri.“Veny, apa yang kalian bicarakan diluar?” tanya Dante dengan tidak sabaran, perasaanya tidak begitu baik melihat gerak-gerik yang terjadi.Veny tersenyum dengan penuh kelegaan dengan secercah harapan yang tersirat dibinar matanya. Dilihatnya Dante dan Jach bergantian, lalu akhirnya Veny berbicara, “Nona Audrey akan mendonorkan sebagian hatinya untuk nona Aurelie. Saya menjamin dengan donor ini, nona Aurelie pasti akan sembuh.”Kabar melegakan sekaligus menyesakan itu berhasil membuat Jach menutup mulut dalam bekapan kuat. Hatinya mencelos sakit tidak terima dengan keputusan yang akan Audrey ambil.Dante diam terpaku dengan wajah pucatnya, lama pria itu diam seolah tidak percaya dengan apa yang telah ia dengar. Dante bingung, apakah dia harus bersyukur mendengar Aurelie akan sembuh, atau justru khawatir.“Hati itu ada satu, Veny!” jawab Da
“Jangan melihatku!” Jeritan Aurelie terdengar serak dan sarat oleh sakit, gadis itu kembali memuntahkan banyak darah dengan tangan gemetar mengejang berusaha mempertahankan kesadarannya ditengah derita yang harus dirasa.Gumpalan darah keluar dari mulutnya hingga membuat hidungnya tersedak, kepalanya berdengung kesakitan.Seluruh tubuh Audrey menggigil, menyaksikan pemandangan seperti sebuah déjà vu. Begitu familiar dan terbiasa dia saksikan beberapa tahun lalu saat terjadi pada Arman.Saat itu, Audrey hanya bisa berdiri menyaksikan tanpa bersuara, jika dia mendekat hanya untuk membantu, Arman akan mendorongnya dengan kasar agar Audrey menjauh seolah dia tidak layak mendapatkan pertolongan dan hidupnya semakin tidak berguna.Audrey mendekat dengan ragu, menghampiri Aurelie untuk mengulurkan bantuan agar saudaranya sedikit tenang, namun tidak sampai tubuh itu merengkuh Aurelie, saudaranya mendorong Audrey sampai jatuh membentur kusen dan ambruk dilantai.“Jangan mendekat! Aku tidak b
Jach tidak tahan jika hanya diam dan melihat dari kejauhan, belum sempat dia keluar, langkahnya tertahan karena kehadiran Dante yang ikut terbangun karena angin dari pintu yang terbuka.Jach mengedikan dagunya, meminta Dante ikut dengannya pergi keluar, menghampiri Audrey yang tengah sendirian.Jach ingin melakukannya sendiri, namun dia ingat dengan janjinya."Tidak, kau saja," jawab Dante.Menyadari kedatangan Jach, Audrey mengusap wajahnya berkali-kali dan tersenyum memaksakan. Sekilas Jach melihat Dante yang berdiri dibalik pintu, memutuskan hanya menjadi pendengar dari percakapan yang akan terjadi.“Sejak tadi, kau terlihat sibuk dengan pikiranmu sendiri,” ucap Jach langsung menyeruakan rasa penasarannya akan sikap Audrey.Audrey meremas permukaan gaun tidurnya dengan kuat, sorot matanya yang berkaca-kaca terlihat gelap diliputi banyak kenangan. "Aku ingin tahu, apa sebenarnya yang ada dipikiranmu saat ini Audrey," ucap Jach lagi, mengharapkan kesediaan Audrey untuk bicara jujur
Menggunakan piring seadanya, meja kecil itu telah penuh dengan beberapa jenis makanan yang telah dibuat, lilin-lilin kecil menyala memantulakn temaram bayangan lembut di dinding.Untuk pertama kalinya semura orang berada dalam satu ruangan yang sama, melalui mement yang sama, membasuh pertengkaran yang sering terjadi satu sama lain sejak pertemuan pertama mereka.Aurelie mengambil alat makannya, dibalik tenangnya dia diam-diam mengamati Audrey, Dante dan Jach bergantian. Orang-orang itu terbingkai dalam penglihatannya seperti sebuah lukisan yang tengah bercerita, terjebak dalam situasi canggung yang mengharuskan mereka untuk belajar saling menerima keadaan.Mata Aurelie memanas, hatinya terenyuh mengingat tahun-tahun sebelumnya dia melalui malam natal yang mewah dengan Salma dan yang keluarganya. Dibalik gemerlap kemewahan malam natalnya, Aurelie tidak merasakan kehangatan apapun, namun dia dipaksakan untuk tersenyum secerah mungkin, tampil sempurna untuk mempertahankan kehormatan kel
Serena mematut dirinya didepan cermin, sorot matanya tajam menelusuri setiap lekukan wajahya yang dihiasi gari-garis baru disana, bukan sekadar kerutan, tapi sisa luka yang belum sepenuhnya pulih dari operasi plastic yang dia jalani.Setiap jahitan disematkan dengan presisi, dari garis kening, tulang hidung, rahang hingga kelopak mata, masih ada perban pula yang membungkus kepalanya.Serena mengusap pipinya pelan, dulu dia cukup percaya diri dengan kecantikan alaminya, namun kini dia menginginkan sesuatu yang lebih dari itu. Tidak hanya sekadar cantik saja, ia ingin lebih dan lebih dari kata cantik.Serena ingin wajah cantik yang membuat siapapun melihat tidak berpaling, terutama dari pandangan mata Dante Arnaud yan kini terpincut pada perempuan yang lebih muda darinya.Mata Serena bergerak menyapu kesebuah bingkai photo yang tersimpan diatas meja rias, disana ada photo dirinya dan Dante. Serena memandangi dirinya yang serang dengan versii lama bergantian, kini dia nyaris tidak mengen
Audrey meremas permukaan pakaiannya menahan sesuatu yang akan pecah dalam dada, menyaksikan Aurelie yang duduk disudut ruangan dengan mata kosong yang tersesat, bukan ditempat asing namun didalam jiwanya sendiri.Ada sesuatu yang hancur didalam tatapan itu, sesuatu yang tidak akan pernah bisa diucapkan ataupun dipahami orang lain, bahkan Aurelie sendiri tidak bisa menyadarinya.Sudah setengah jam lamanya Aurelie duduk disana, hanya diam dan sibuk dengan kukunya tanpa berbicara sepatah katapun.Ini bukan kali pertama ia menyaksikan pemandangan yang memilukan seperti ini. Dulu, Audrey berdiri di sisi ayahnya yang perlahan dilumpuhkan kanker, menyaksikan setiap helaan napas berubah menjadi perjuangan. Dan kini, luka serupa kembali menganga, menyaksikan sakit yang harus Aurelie lawan.Audrey diam, bukan karena tak peduli. Justru karena terlalu peduli, terlalu terbebani oleh sakit yang datang silih berganti dari orang-orang yang ia cintai. Rasa sesak itu sudah terlalu lama bersarang di d