Di sisi lain, Arman terbaring di ranjang rumah sakit, masih dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tubuhnya kurus kering, wajahnya terlihat pucat memiliki banyak cekungan tajam karena kehilangan banyak berat badan.
Audrey yang baru datang, langsung menggenggam tangan Arman dengan penuh kehati-hatian. Dia ingin menghabiskan sisa-sisa waktu yang dia miliki untuk menatap lekat wajahnya yang akan dirindukan. Rasanya masih seperti mimpi, menghadapi kenyataan jika Audrey harus pergi meninggalkan Arman tanpa bisa berpamitan dan menceritakan keadaannya. Audrey harus merahasiakan kepergiannya ke ibu kota. Merahasiakan pengorbanan yang harus dilakukan untuk kesembuhan Arman. Menyembunyikan segunung ketakutan yang harus disimpan dalam diam. Ayahnya hanya perlu tahu bahwa Audrey pergi jauh untuk bekerja. Audrey tertunduk mengecup punggung tangan Arman, menyembunyikan tangisan yang tidak dapat dibendung lagi. “Aku akan melakukan segalanya untuk Ayah, karena itu aku mohon, segeralah sembuh agar pengorbananku tidak sia-sia,” tangis Audrey penuh permohonan. *** Perjalanan menuju ibu kota menghabiskan waktu 4 jam. Sepanjang jalan Audrey masih bertanya-tanya apakah dia telah membuat keputusan yang tepat? Dengan Audrey pergi meninggalkan kota Lapolez dan menyetujui syarat yang diinginkan Salma, secara tidak langsung masa depan Audrey akan berubah, dia harus siap mengandung di usia yang masih muda, melahirkan anak untuk lelaki asing yang hanya dia kenal sebatas nama. Sungguh, hati Audrey masih berkecamuk, tidak tahu apakah kini harus menangisi pekerjaan kotornya demi uang, atau mensyukuri uang telah dia dapatkan. Harusnya, Audrey tidak perlu takut karena saat ini dia akan bersama ibunya. Namun entah mengapa, insting Audrey tetap merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Ketika sampai di airport, Audrey dan Angela pergi secara terpisah. Audrey langsung diantar pergi ke sebuah apartemen untuk beristirahat. Selama di apartemen, beberapa jam sekali Audrey selalu kedatangan tamu yang diutus oleh Salma. Mereka ditugaskan untuk memberikan perawatan dari ujung kaki hingga ujung kepala selama berjam-jam agar Audrey sempurna seperti Aurelie, kembarannya. Semua orang yang diutus Salma sangat berbakat, melalui tangan-tangan mereka yang profesional, cukup dengan dua hari perawatan, mereka telah berhasil membuat Audrey malu menatap cermin karena tidak mengenali dirinya sendiri. Dengan uang, Audrey yang kumal seperti gelandangan menjadi bersinar seperti nona muda yang hidup dalam kemakmuran. Dua hari tinggal di apartemen, semua orang yang datang bertamu adalah orang asing, ibunya masih belum menunjukan diri ataupun mengajak Audrey berbicara melalui telepon. Meski begitu, Audrey tidak mengeluh. Dia selalu mengingatkan dirinya sendiri agar selalu tahu diri. Hanya saja, di hari ketiga, pagi-pagi sekali dua orang asing datang ke apartemen membawa alat rias bersama beberapa set pakaian, mereka mendandani Audrey tanpa memberi penjelasan apapun. “Sudah saya duga, Anda memang sangat cantik,” puji penata rias tersenyum puas. Audrey mengenakan dress biru muda selutut, rambut panjangnya yang berwarna hitam legam terurai membingkai wajah mungil bermata zamrud. Mendengar itu, Audrey tersipu malu, mengusap permukaan dress yang begitu lembut dan nyaman di kulitnya. Mungkin ini salah satu pakaian terbaik yang pernah Audrey kenakan dalam hidupnya selain seragam sekolahnya. “Nyonya datang,” kata Lizy segera membereskan alat-alat make up yang berserakan. Deg! Tubuh Audrey menegak, jantungnya berdebar kencang menantikan pertemuannya dengan Salma, sosok ibu yang selama ini tidak Audrey kenali wajahnya. Audrey melihat ke arah pintu kamar dengan gugup–mendengar suara langkah sepatu yang semakin dekat. Tidak berapa lama, munculah sesosok wanita paruh baya berdiri di ambang pintu, dia begitu cantik terbalut dalam pakaian berwarna hitam menenteng sebuah tas. Kulit Audrey meremang, berpandangan dengan sepasang mata zamrud milik Salma. ‘Itukah Ibuku?’ batin Audrey. Bibir mungil Audrey terangkat, berusaha memberanikan diri menyapa Salma yang tidak pernah dia jumpai setelah delapan belas tahun lamanya berpisah. “Cepat, aku tidak mau terlambat,” perintah Salma dengan dingin memecah keheningan. Audrey terhenyak kaget. Ada sakit yang menelusup masuk ke dalam dada melihat Salma yang bersikap seolah pertemuan ini tidak memiliki arti apapun untuknya. Salma berbalik pergi, tanpa sedikitpun menyapa ataupun menunjukan sebuah kerinduan yang perlu diobati pada seorang putri yang telah lama dia tinggalkan karena perselingkuhannya. Dengan berat, Audrey beranjak dari tempat duduknya–keluar kamar dan menghampiri Salma. Dada Audrey sesak, merasakan ada sebuah tembok tinggi yang membatasi mereka berdua. Di tempat ini, mereka seperti dua orang asing yang dipertemukan untuk kepentingan pekerjaan, ikatan darah yang mengalir seperti sudah tidak ada artinya lagi. Apakah sekarang Audrey juga harus memanggil Salma dengan panggilan nyonya? Salma bersedekap, meneliti sosok Audrey dari ujung kaki hingga ujung kepala, begitu mirip dengan Aurelie. Salma yakin, tidak ada satu orangpun yang akan bisa membedakan keduanya. Kondisi Audrey yang kurus justru bisa dijadikan alasan mengapa Aurelie pergi kabur. Salma tiba-tiba mendekati Audrey. “Mulai detik ini, kau adalah Aurelie yang lupa ingatan. Lakukan tugasmu dengan baik tanpa bertanya apapun yang sebenarnya terjadi, jangan pernah coba-coba untuk memberitahu siapapun bahwa kau adalah kembaran Aurelie, kau tidak diizinkan pergi sebelum melahirkan anak untuk Dante. Mengerti?” Audrey mengangguk dengan berat, tidak mampu menatap sepasang mata Salma yang dingin. “Kita pergi sekarang.” Salma melenggang pergi diikuti oleh langkah terantuk-antuk Audrey yang berusaha berjalan secepat yang dia bisa agar tidak tertinggal. *** Jemari Audrey saling bertaut di pangkuan, duduk dalam ketegangan melihat lalu lalang kendaraannya yang memenuhi jalanan. Tidak ada percakapan apapun yang terjadi. Salma sibuk dengan handphonenya sendiri–sama sekali tidak menunjukan minat untuk berbicara dengan Audrey. Sekarang Audrey cukup mengerti mengapa selama ini Salma tidak pernah sekalipun berusaha untuk berkunjung ataupun menghubunginya. Sepertinya, Audrey tidak memiliki tempat di hati ibunya itu. Mungkin bagi Salma, karena putrinya kembar identik, melihat Audrey sama saja seperti melihat Aurelie. Lantas, apakah pantas Audrey diperlakukan sedingin ini oleh ibunya? Audrey dengar, seorang ibu adalah pemilik cinta paling murni bagi anak-anaknya. Tapi mengapa Audrey tidak merasakan sedikitpun kehangatan dimata ibunya? “Di mana Aurelie?” tanya Audrey memecah keheningan. “Dia pergi entah kemana, karena itu aku membutuhkan bantuanmu,” jawab Salma menggantung. Wanita itu menutup handphonenya dan melihat Audrey sepenuhnya, “Kuharap kau melakukan tugasmu dengan baik.” Audrey meremas dress-nya dengan kuat, menatap lekat wajah Salma. “Apa kita akan sering bertemu?” “Jika dibutuhkan, kita akan bertemu.” “Pernahkah Anda, sedikit saja memikirkan atau merindukan saya?” tanya Audrey lagi, masih berharap ada setitik perhatian yang bisa dia terima dari ibunya sebelum mereka berpisah lagi. Salma terdiam, terlihat begitu kesulitan untuknya menjawab sebuah pertanyaan sederhana dari Audrey. Salma membuang muka, melihat rumah besar berlantai dua menghadap ke arah sungai Aldes yang berwarna biru jernih. “Kita sudah sampai,” ucap Salma mengabaikan pertanyaan Audrey. Semakin mobil mendekat ke rumah itu, dapat Audrey lihat ada seorang pria berdiri tegap di anak tangga, terbalut dalam setelan formal berwarna hitam. Pria itu memiliki pahatan wajah sempurna dengan rambut berwarna coklat dan mata biru. Pria itu menempatkan tangannya di belakang punggung, menanti kedatangan Salma untuk membawa kembali putri kesayangannya yang sempat kabur satu minggu lalu. “Dia Dante Arnaud, lelaki yang menginginkan seorang bayi dari Aurelie. Mulai hari ini kau akan tinggal di rumah ini sampai berhasil melahirkan seorang anak untuknya. Bersikaplah tenang seolah kau sudah lama mengenalnya,” perintah Salma sebelum keluar dari mobil. Beberapa kali Audrey mengatur napasnya, mengumpulkan banyak keberanian untuk keluar dari mobil. Audrey tertunduk dengan langkah gemetar takut, tidak berani membalas tatapan Dante. Dia terintimidasi oleh tajamnya sorot mata Dante, tatapannya seolah tengah menghakimi Audrey seperti seorang pendosa besar.Audrey melangkah ringan tanpa beban, membawa sebuah kelegaan yang telah mencair setelah sekian lama mengendap, terombang-ambing dalam kebimbangan yang begitu besar dan harus dia simpan dalam diam.Perasaannya pada Jach begitu besar sampai sulit untuk Audrey ungkapkan dengan kata, Audrey telah berusaha melupakannya sedikit demi sedikit dalam proses yang begitu panjang.Bahkan ketika Dante telah bebas dari penjara, Audrey masih ragu untuk mengakui bahwa rasa didalam hatinya telah terhapus sepenuhnya.Malam ini, Audrey kembali bertemu dengan Jach..Saat mata mereka saling berjumpa, masih bisa Audrey rasakan kehangatan yang hidup didalam hatinya, namun tanpa debaran seperti sebuah cinta yang dulu pernah ada.Kehangatan yang masih hidup itu ternyata arti dari tali sebuah pertemanan yang tidak akan pernah terputus.Audrey telah memberanikan diri untuk berbicara dengannya dan kembali memastikan, sampai akhirnya Audrey menemukan sebuah jawaban, bahwa ternyata kini perasaannya pada Jach telah
Suara keramaian masih terdengar setelah pertunjukan berakhir, Aurelie yang berada di belakang panggung tersenyum lebar memeluk begitu banyak bunga sambil berbincang dengan teman-temannya.Setelah urusannya selesai, Aurelie menghampiri Audrey dan yang lainnya yang telah cukup lama menunggu untuk mengucapkan selamat atas pertunjukan perdananya yang berjalan tanpa hambatan“Kita akan harus makan malam bersama untuk merayakannya,” seru Brian disambut persetujuan Donna."Kebetulan sekali aku sangat lapar," jawab Aurelie.“Kalian duluan, aku mau berbicara sebentar dengan Audrey,” ucap Dante terdengar ragu namun tetap dia ungkapkan juga.Donna dan Aurelie saling berpandangan, mereka yang mengerti dengan apa yang terjadi akhirnya membawa Matthias untuk menjauh sejenak dari kedua orang tuanya."Nanti menyusul-lah ke restaurant Victoria, kami akan menunggu disana," ucap Brian sebelum akhirnya pergi menyusul Donna dan yang lainnya.Audrey mengamati satu per satu orang yang berlalu pergi, lalu me
Matthias berdiri atas sebuah kursi, tubuh kecilnya yang basah terbungkus dalam balutan handuk. Wajah mungilnya terangkat menikmati hangatnya pengering rambut yang Dante gunakan. Sepanjang hari Matthias pergi bermain dengan Dante, bepergian ke tempat-tempat yang sudah sering dia kunjungi bersama ibunya, pergi ke kebun binatang, pergi berenang di pantai, terkubur dipasir, bercerita tentang keinginannya untuk mengadopsi seekor anak anjing namun belum mendapatkan izin dari Audrey. Melelahkan, namun energy Matthias masih sangat banyak untuk dia habiskan dihari besok dan besoknya lagi. Dante menikmati waktunya meski Audrey tidak hadir karena sibuk di sekolah. Malam ini, Dante memiliki janji untuk menonton pertunjukan pertama Aurelie bersama keluarganya, juga Audrey. Begitu rambut Matthias telah kering, Dante membawanya pergi keluar dan membantunya untuk berpakaian. “Ayah,” panggil Matthias dengan kedua tangan terangkat, membiarkan Dante memasangkan baju padanya. "Ada apa?" “Menikah
Wajah Dante terangkat, merasakan sapuan hangat sinar matahari memeluk dirinya, pria itu menghirup aroma bunga-bunga yang berguguran di jalanan, udara yang segar dan perubahan-perubahan pembangunan kota yang selama ini tidak sempat disaksikannya. Rasanya seperti mimpi, berdiri tanpa penghalang, tanpa pengawasan. Berkumpul di tempat yang sama bersama orang-orang terkasihnya, seperti dunia akhirnya kembali berputar ke arah yang benar. “Apa yang akan kau lakukan selanjutnya Dante?” tanya Donna ditengah kesunyian yang sedang Dante nikmati. Perlahan Dante membuka matanya, dipandangnya dari kejauhan Matthias yang tengah bermain sepeda dengan Brian. “Aku akan menghabiskan waktu dengan Matthias, kembali bekerja, menunggu Audrey lulus sekolah kedokterannya.” “Apa hanya sebatas itu keinginanmu Nak?” tanya Donna lagi, membuat Dante menengok seketika dan memandangi ibunya dengan penuh tanya. “Kau tidak berencana untuk segera menikah dengan Audrey?” Jari-jari Dante mengusap sudut lututnya,
“Jangan lupa untuk mengirimkan proposalnya yang kita bahas akhir minggu lalu. Aku sangat menantikannya.” “Aku akan segera menghubungi assistantmu,” jawab Dante berjalan santai menjinjing tas besar yang dibawanya. Didalam lapas khusus itu, bukan hanya Dante seorang pengusaha yang terjerat hukum, ada banyak pengusaha lainnya yang terjerat berbagai jenis kasus criminal. Bertahun-tahun saling mengenal, secara tidak sengaja mereka justru menemukan mitra bisnis baru. “Kita akan bertemu lagi dua bulan lagi.” Pria paruh baya yang mengantar Dante itu mengajaknya bersalaman sebelum akhirnya melepasnya pergi, melewati beberapa pintu pengawasan yang membawanya keluar bersama tiga tahanan lainnya yang dijadwalkan bebas hari ini. Derak suara pintu terdengar, hembusan angin menyapu kulit. Dante melangkah dengan jantung berdebar kencang, melewati sedikit demi sedikit jalan yang mengarah pintu besar menjulang tinggi diadapannya. Sebuah pintu kebebasan yang telah lama ia nantikan. Akhirnya, penan
Suara tawa anak-anak terdengar ditaman sekolah. Hari ini Audrey pergi ke taman kanak-kanak untuk mendaftarkan Matthias sekolah, tampaknya Audrey tidak perlu memilih sekolah yang lebih bagus lagi karena Matthias langsung menyukainya. Kepribadiannya yang ceria dan pandai mengakrabkan diri membuat Matthias langsung mendapatkan teman. Audrey duduk disebuah bangku, bersebelahan dengan Aurelie yang menemaninya. Fisik mereka berdua yang sangat identitik telah mencuri perhatian beberapa ornag yang tidak sengaja melihat. Audrey seperti tengah duduk disamping cermin yang bernyawa. Dan uniknya, tidak sembarangan orang bisa membedakan mana dirinya dan yang mana Aurelie. Audrey menghela napasnya dengan senyuman, sangat melegakan bisa melihat anaknya sekolah ditempat yang nyaman dan bebas bermain. Jika diingat kembali dengan masa lalunya, dulu saat Audrey menjelang sekolah taman kanak-kanak, justru Audrey harus duduk di pos tunggu selama bertahun-tahun, menunggu ayahnya selesai bekerja. Betap