"Biggie!"Suara ceria Jennie memecah lamunan kelam Gara. Ia menoleh dan melihat istrinya keluar dari mini market sambil menenteng sebuah kantong plastik kecil, senyumnya merekah lebar. "Aku dapat es krimnya! Ada promo beli satu gratis satu, lho."Gara berusaha keras menarik sudut bibirnya membentuk senyuman. "Bagus, dong," jawabnya, suaranya terdengar sedikit aneh di telinganya sendiri.Jennie mendekat dan menyadari raut wajah suaminya. "Kamu kenapa, Sayang? Pucat banget. Perutmu sakit lagi?" tanyanya cemas sambil meletakkan punggung tangannya di dahi Gara."Ah, tidak. Hanya sedikit pusing karena ngantuk," dalih Gara, berusaha terdengar sesantai mungkin. "Ayo, kita pulang."Ia membukakan pintu untuk Jennie dan memastikan istrinya masuk dengan selamat sebelum ia berjalan memutar ke kursi pengemudi. Sepanjang perjalanan pulang yang singkat, Jennie asyik berceloteh tentang rencananya menikmati es krim sambil menonton episode terbaru dramanya. Gara hanya menanggapinya dengan gumaman singk
"Aku mau informasi tentang sopir truk itu. Siapa dia? Apa hubungannya dengan Riko? Apakah dia hanya orang bayaran atau bagian dari rencana ini? Tawarkan imbalan pada siapa pun yang bisa memberikan informasi valid tentang keberadaannya."Gara tahu, memecahkan teka-teki sopir truk itu adalah salah satu kunci utama. Apakah dia korban yang dipaksa, atau pelaku yang sama jahatnya dengan Riko?"Saya mengerti, Bos," jawab Yas dengan tegas, "saya akan mengerahkan tim terbaik.""Bagus," Gara kembali bersandar, merasa sedikit lebih lega karena roda sudah mulai berputar. "Laporkan padaku setiap perkembangan, sekecil apa pun. Aku ingin tahu segalanya.""Baik, Bos!" Yas menjawabnya penuh semangat. "Untuk perusahaan keluarga Nyonya Bos, kini sudah beralih ke tangan Nyonya. Apa rencana selanjutnya.""Kita bicarakan nanti, aku tidak akan membiarkan Jennie bekerja. Ada paman jauh Jennie yang akan membantu menjalankan perusahaan.""Baik, Bos. Kalau tidak ada yang dibicarakan lagi, saya permisi."Setel
"Aku janji akan selalu mencintaimu dan melindungimu, Biggie." Gara kembali mengecup bibir istrinya. Hari itu, sepanjang hari, baik Gara atau pun Jennie, keduanya masih memikirkan tentang video itu. Kepala Jennie merasa sakit ketika mencoba mengingat serpihan kenangan bersama ayahnya dan juga tentang Riko."Kamu kenapa, Biggie?" Gara memegang tangan istrinya yang sedang memegangi kepala. "Kepalamu sakit?""Sepertinya Riko ini bukan sekedar pegawai papaku," ucap Jennie sambil meringis, memegangi kepalanya."Jangan diingat lagi." Gara memeluk istrinya. "Semua akan baik-baik saja. Kamu jangan terlalu khawatir."Jennie mengangguk, lalu mengeratkan pelukannya. "Sayang, aku lelah.""Kamu istirahat ya." Gara menggendong Jennie dan membawanya ke tempat tidur, ia merebahkan istrinya dengan hati-hati. "Tidurlah!" Gara berbaring di samping Jennie, memeluk wanitanya dengan mesra, mencium keningnya dengan lembut. "Semua akan baik-baik saja."Keesokan paginya, matahari pagi menyusup malu-malu mela
"Perutku... protes karena laper. Aku kan tadi sarapannya sedikit," ucap Gara sambil menahan tawa. Jennie yang tadinya tegang kini tak bisa menahan tawa kecilnya. Suasana mengerikan beberapa detik yang lalu langsung menguap begitu saja. Inilah Gara-nya. Di tengah situasi paling serius sekalipun, selalu ada saja celah untuk hal-hal jenaka yang tak terduga."Tuh, kan! Gara-gara es krim tadi," omel Jennie, tapi dengan senyum di bibirnya. Ia bangkit berdiri dan mengulurkan tangannya. "Ayo masuk. Aku buatin teh jahe hangat."Gara menyambut uluran tangan itu dan membiarkan dirinya ditarik berdiri. "Teh jahe hangat dan pelukan dari istriku sepertinya kombinasi penyembuh yang sempurna," katanya sambil mengedipkan sebelah mata."Dasar modus," cibir Jennie, namun ia membiarkan Gara merangkul pinggangnya saat mereka berjalan masuk ke dalam rumah.Di dapur, Jennie bergerak dengan cekatan. Ia mengambil beberapa ruas jahe, mencucinya, lalu mulai mengirisnya dengan hati-hati di atas talenan. Gara ti
Setelah Andin pergi meninggalkan anak dan menantunya di halaman belakang rumah, Jennie menangkup wajah suaminya sambil menatap sedih."Biggie, kenapa kamu sedih?" Gara mengusap lembut pipi istrinya. Wajah Jennie yang biasanya cerah kini dihiasi mendung tipis yang membuat hatinya ikut terasa perih. "Nanti kita beli lagi kalau aku udah pulih total. Kita borong satu truk es krim kalau perlu."Jennie menggeleng cepat, matanya yang indah berkaca-kaca. "Bukan itu yang membuat aku sedih," suaranya bergetar. "Aku sedih karena nggak bisa jadi istri yang baik buat kamu. Semua yang aku lakuin selalu ngebahayain kamu. Pertama, karena aku sakit hati dibohongi, aku maksa kamu makan pedes sampai kamu masuk IGD. Sekarang, aku ngasih kamu banyak es krim, padahal aku tau, lambung kamu iritasi." Setetes air mata akhirnya jatuh, membasahi punggung tangan Gara yang masih menempel di pipinya.Gara menarik Jennie ke dalam pelukannya, membenamkan wajah istrinya di dadanya yang bidang. Ia bisa merasakan getar
"Berencana jadi janda, ya? Jangan harap!" bisik Gara, tatapannya yang tadinya romantis kini berubah menjadi intens dan dalam, menenggelamkan Jennie dalam pesonanya. Tawa Jennie meledak, renyah dan lepas. Ia sama sekali tidak takut dengan tatapan Gara. Justru, ia merasa hangat dan dicintai. Tangannya yang bebas bergerak mengusap sisa noda es krim di mulut suaminya dengan lembut. "Aku nggak akan jadi janda, kamu juga nggak akan jadi duda," balasnya dengan suara yang tak kalah lembut. "Kita akan sehidup semati. Kalau kamu mati, aku juga ikut."Janji itu terucap begitu saja, tulus dari lubuk hatinya yang paling dalam. Gara tersenyum, senyum tulus yang mampu membuat dunia Jennie berhenti berputar. Ia hendak membalas, mungkin dengan sebuah ciuman, saat sebuah suara menginterupsi momen sakral mereka."Heh, kalian! Pagi-pagi udah ngomongin kematian!"Itu suara Bara, tentu saja. Si perusak suasana nomor satu. Ia berdiri sambil menyendok es krimnya dengan ekspresi jengkel. Anisa di sebelahny