"Uang? Seberapa banyak?" tanya Gara, suaranya meninggi. Ia tak percaya Riko, bisa terlibat dalam hal sebesar ini."Cukup untuk biaya hidup dan... misi itu," jawab Riko, suaranya nyaris berbisik. "Aku... aku kalut, Ga. Tidak ada pekerjaan. Saat itu, tawaran Sasha terasa seperti satu-satunya jalan keluar."Gara menghela napas panjang. Kekesalannya luntur, berganti rasa iba. Ia menepuk pundak Riko. "Aku mengerti. Aku tahu kamu tidak bermaksud jahat. Aku tidak menyalahkanmu.""Tapi... Gara..." Riko menatap Gara. "Aku yang membuat Nienie dan kamu berada dalam bahaya.""Bukan kamu, Riko," jawab Gara tegas. "Sasha yang jahat. Kamu hanya dimanfaatkan untuk dijadikan tersangka."Riko mengerutkan dahi. "Apa maksudmu?""Sasha yang mengatur kecelakaan itu. Mungkin mereka pikir itu Jennie karena aku memakai motor istriku waktu itu," kata Gara. Ia menelan ludah. "Daddy sudah menyelidiki semuanya dan menjaga keselamatan kita.""Mereka?" Riko mengerutkan kening. "Maksudmu Sasha tidak sendirian?""Dia
Di tengah kebahagiaan yang melingkupi Gara, Riko, dan keluarga kecil mereka, sebuah bayangan gelap perlahan merayap. Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang terus mengawasi.Suatu malam, Gara dan Jennie memutuskan untuk menginap di rumah orang tua Gara. Mereka memang sudah beberapa malam tidak pulang karena pekerjaan yang menumpuk."Aku kira kalian nggak ingat jalan pulang ke sini," ucap Bara sambil melirik sinis. "Kerjaan di kantor numpuk," jawab Gara, "makanya kamu bantuin Abang.""Lah, aku juga punya kerjaan sendiri," jawab Bara. "Aku sama Gara pulang malam terus, jadi lebih dekat pulang ke rumah kita." Jennie berusaha menjelaskan.Anisa tersenyum, lalu memeluk lengan Jennie. "Aku seneng kalian akhirnya pulang ke sini. Jadi rumah ini bakal ramai lagi kalau ada Kak Jen."Andin tersenyum melihat anak-anaknya berkumpul. "Jennie, kapan-kapan ajak Riko makan malam di sini. Mommy ingin kenal sama dia."Jennie mengangguk. "Iya, Mom. Nanti aku ajak Kak Iko ke sini."Bara, yang sedari
"Itu artinya kamu mau menjadi bagian dari masa depanku?" Riko menatap dalam netra coklat itu.Luna mengangguk, senyumnya begitu tulus. "Ya, Riko. Aku mau."Mereka berdua berjalan keluar dari restoran malam itu, hati dipenuhi kebahagiaan. Jalanan kota terasa lebih terang, bintang-bintang di langit terlihat lebih indah. Mereka menemukan cinta, bukan dari pelarian atau obsesi masa lalu, melainkan dari penerimaan dan keikhlasan.Sejak malam itu, suasana di kantor Gara terasa berbeda. Bukan hanya karena keberhasilan penangkapan dalang di balik kecelakaan Gara, tetapi juga karena perubahan yang kentara pada diri Riko. Senyum tidak pernah lepas dari wajahnya, langkahnya ringan, dan ia bahkan sesekali menyapa rekan kerja. Hal yang paling mencolok adalah interaksinya dengan Luna.Dulu, Riko hanya sekilas melewati meja Luna, seolah tak pernah melihatnya. Kini, ia selalu berhenti, mengajak Luna mengobrol, dan bahkan membawakan kopi atau camilan. Luna pun menyambut Riko dengan senyum ramah yang s
Enam bulan kemudian, dalang di balik kecelakaan Gara berhasil ditangkap. Ternyata, dia adalah saingan bisnis Gara yang iri dengan kesuksesannya.Gara mendatangi Riko. "Kami akan menyelenggarakan pesta perayaan keberhasilan ini. Aku ingin kamu datang."Riko menggeleng. "Aku tidak bisa, Gara. Aku tidak suka keramaian."Gara tidak menyerah. "Ini bukan hanya tentang pesta, Riko. Ini tentang kamu. Tentang kita. Kamu adalah bagian dari keluarga ini. Kamu adalah bagian dari kebahagiaan kami."Riko terdiam. Ia menatap Gara, melihat ketulusan di matanya. Ia akhirnya mengangguk. "Baiklah, aku akan datang."Saat pesta berlangsung, Riko melihat Jennie dan Gara menari di tengah-tengah keramaian. Mereka terlihat sangat bahagia. Riko tersenyum, lalu berbalik dan berjalan menuju teras. Ia tidak ingin mengganggu kebahagiaan mereka.Gara melihat Riko pergi. Ia segera menghampiri Riko. "Kenapa pergi? Pesta baru saja dimulai."Riko tersenyum. "Aku hanya ingin mencari udara segar.""Apa kamu bahagia?" Gar
Suara sirene memenuhi udara, memecah kesunyian malam. Gara menoleh, melihat beberapa mobil polisi mendekat dengan lampu berkedip-kedip. Ia menatap Riko yang terhuyung-huyung, terkejut dan ketakutan.“Riko, berhenti!” Gara berteriak, tapi Riko tidak mendengarkan.Riko terus berlari, tetapi langkahnya terhenti saat dua petugas polisi keluar dari mobil dan menghadangnya. Riko tidak punya pilihan. Ia menyerah. Matanya menatap Gara, penuh kekecewaan, seolah-olah Gara telah mengkhianatinya.Gara hanya bisa berdiri mematung, melihat Riko diborgol dan dibawa pergi. Ia tahu Riko telah melakukan kesalahan, tetapi ia juga tahu bahwa di balik tindakannya ada hati yang hancur. Gara mengepalkan tangannya, merasa bersalah karena tidak bisa menghentikan Riko.Beberapa hari berlalu. Sejak penangkapan Riko, Jennie selalu terlihat gelisah. Ia sering melamun dan memegang kepalanya. Bayangan-bayangan samar terus menghantuinya. Gara khawatir. Namun, ia tidak tahu bagaimana cara membantu Jennie. Ia tidak in
Senyum wanita paruh baya itu memudar. Matanya beralih dari Gara ke Jennie, yang berdiri di samping suaminya dengan ekspresi bingung. Ada jeda yang panjang, di mana waktu seakan terhenti."Ya," jawabnya pelan. "Saya Siti. Saya pernah bekerja di rumah keluarga Sanjaya sebagai pengasuh."Gara merasakan ketegangan di bahunya mereda. Akhirnya, sebuah jembatan ke masa lalu Jennie. "Bu Siti, kami ingin bertanya tentang masa lalu istri saya, terutama tentang masa kecilnya." Gara melirik Jennie, yang masih berusaha mengingat-ingat. "Apakah Ibu ingat... seorang anak laki-laki tetangga yang bernama Riko?"“Silakan duduk dulu, Nak.” Bu Siti mempersilakan Gara dan yang lainnya untuk duduk di bangku kayu yang ada di teras depan. “Terima kasih, Bu.” Gara dan yang lainnya duduk, lalu kembali bertanya. “Saya ingin bertanya tentang Riko. Ibu ingat?” Nama itu seakan menjadi mantra. Senyum yang sempat menghilang kini kembali di wajah Bu Siti, tapi kali ini, senyum itu penuh dengan nostalgia dan sedikit