"Aku nggak punya waktu untuk ngejelasin semuanya." Jennie melangkah mundur. Wanita itu mendadak murung.
"Semuanya baik-baik saja, 'kan?" Gara mengangkat dagu sang istri hingga wajah yang dibasahi dengan air mata itu terlihat jelas.
"Ada yang mau aku omongin sama kamu," ujar Jennie sambil mengusap air matanya, tidak ada basa-basi sama sekali di antara mereka, benar-benar pertemuan yang menyedihkan.
Gara mengusap air mata yang membasahi sudut pipi wanitanya. "Katakan, ada apa?"
"Gara, aku ngomong sama Mama kalau terjadi sesuatu di antara kita berdua. Jadi, untuk beberapa hari ini tolong jangan temui aku dulu."
"Kamu datang hanya untuk pergi?" tanya Gara, "kalau aku bertanya alasannya, apa kamu akan menjawabnya, Biggie?"
Jennie menghela napas panjang. "Sayang, semua yang aku lakuin supaya kita bisa terus bersama. Bersabarlah sebentar lagi, aku janji bakal ngelakuin apa pun supaya Mama merestui hubungan kita."
"Dengan begini kamu membuatku menjadi suami yang tidak berguna. Aku hanya duduk manis di rumah menunggu restu dari ibumu?" Gara merasa menjadi suami yang tidak bertanggung jawab.
"Aku tau siapa mamaku, aku yakin dia bakal nurutin semua kemauanku. Nggak ada orang tua yang mau merusak kebahagiaan anaknya 'kan? Mungkin saat ini Mama cuma lagi sakit hati karena kita menikah nggak ngasih tau dia."
'Kamu tidak tahu kalau dia bukan ibu kandungmu, Biggie.' Gara hanya bisa berucap dalam hati, ia tidak bisa mengatakan semuanya karena tidak mempunyai bukti yang kuat.
Setelah beberapa saat terdiam, Jennie melanjutkan ucapannya. "Aku tau pasti ada banyak pertanyaan yang terlintas di benakmu saat ini. Kenapa aku tiba-tiba ngomong kayak gini." Jennie kembali menghela napas panjang, lalu tersenyum. "Aku janji bakal berusaha mendapatkan restu dari Mama."
"Biggie, kamu tidak mengatakan apa pun tentang kita kan?" Gara khawatir Jennie mengatakan tentang kontrak pernikahannya.
Jennie menggeleng. "Untuk saat ini, aku cuma butuh kepercayaan kamu, Sayang. Aku bahagia banget ngeliat kamu baik-baik aja, ini cukup untuk aku. Aku bakal berjuang untuk ngeyakinin Mama supaya bisa menerima hubungan kita."
"Kenapa kamu berkata seperti itu, Biggie? Kamu istriku, tentu saja aku akan mempercayaimu." Gara akhirnya mengizinkan. "Aku akan melakukan apa yang kamu katakan. Sebisa mungkin untuk menahan rinduku padamu."
"Aku harus pulang sekarang. Aku bakal balik lagi setelah Mama benar-benar percaya sama aku."
Gara mengangguk, bibirnya juga ikut menampilkan senyuman.
"Aku pamit. Jaga diri kamu baik-baik, ya?" ucap Jennie, benar-benar mengakhiri pertemuan singkat itu dengan hanya mengatakan kalimat perpisahan seadanya.
Gara mencekal tangannya, menarik wanita itu ke dalam pelukan. "Aku akan merindukanmu," bisik pria itu, tepat di telinga sang istri. "Pastikan kamu tidak sakit ataupun terluka. Jika terjadi sesuatu, cepat hubungi suamimu ini!"
"Bang, bisakah kamu antar aku pulang?"
"Sandainya bisa memilih, aku tidak ingin kamu pergi," kata Gara, "tapi jika menurutmu ini jalan terbaik untuk masa depan kita, aku akan mengantarmu pulang."
"Kamu tunggu di sini, aku akan ke kamar sebentar. Ada sesuatu yang tertinggal," ucap Jennie.
"Baiklah."
Jennie bergegas masuk ke dalam kamarnya dan Gara, ia menutup pintu perlahan. Wanita itu hendak mengambil selembar kertas berisi perjanjian pernikahan mereka.
"Dimana Gara menaruh surat itu?" gumamnya sambil memeriksa semua laci yang ada di kamar itu.
Sudah beberapa menit berlalu Jennie belum menemukannya juga. "Gimana ini? Kalau kelamaan, pasti Gara bakal masuk ke sini."
Jennie mencari di bawah pakaian suaminya. "Akhirnya ketemu juga." Jennie tersenyum lega. Ia berharap sang mama bisa memercayainya lagi.
"Biggie, apa yang kamu cari di lemariku?"
'Ya Tuhan ... gimana ini?' gumam Jennie dalam hati. Ia buru-buru melipat asal kertas perjanjian itu, lalu menyelipkannya pada pakaian yang akan ia bawa."I-ini aku mau bawa baju kamu," jawab Jennie sedikit gugup, "boleh kan? Aku bisa memeluk ini kalau aku kangen sama kamu, Sayang."
Jennie mengambil pakaian yang biasa di gunakan sang suami sehari-hari sambil menyembunyikan selembar surat perjanjian pernikahannya dengan Gara.
Entah apa yang ada di pikiran wanita itu. Bukannya menyelematkan pernikahannya, tapi perbuatan Jennie bisa mengancam rumah tangganya sendiri.
Jennie hanya ingin membuat Lisa percaya lagi padanya supaya ia dan Gara bisa berbicara baik-baik pada ibunya, tapi Jennie tidak tahu kalau wanita yang dia anggap ibu kandungnya itu sangatlah licik.
Gara menghampiri Jennie, lalu memeluknya dari belakang. Ia melabuhkan ciuman di tengkuk sang istri.
"Maafkan aku, Biggie." Gara merasa tidak berguna."Sayang, ini bukan salahmu." Jennie mendongak. "Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau kekerasan itu jangan dilawan dengan kekerasan juga. Jadi, aku ingin mengambil hati mama, mungkin dia bisa merestui kita kalau untuk sementara aku mengikuti keinginannya."
Menurut Jennie, seorang Ibu pasti menginginkan anaknya bahagia. Jika ia menjelaskan perlahan, Jennie yakin sang mama akan merestui hubungan mereka.
"Biggie, kamu itu istriku. Aku berhak atas dirimu. Seharusnya aku bisa memilikimu karena kita sudah menjadi pasangan yang sah. Kamu tanggung jawabku, aku bisa merampas dengan paksa dari ibumu jika kamu mengizinkan."
Gara terlihat seperti laki-laki lemah yang tidak bisa berbuat apa-apa ketika istrinya dalam genggaman sang ibu tiri.
"Jangan! Sekuat apa pun cinta kita, seberapa besar pun usaha kita untuk membangun rumah tangga, nggak bakal bahagia tanpa restu orang tua. Apa lagi dia ibuku, wanita yang melahirkanku, aku nggak mau menjadi anak durhaka."
Jennie begitu mencintai suaminya, tapi ia juga tidak mau menjadi anak durhaka. Walau perlakuan ibunya terkadang sangat kejam, tapi ia tidak bisa membenci wanita itu seratus persen.
'Andai kamu tahu, rahasia ibumu, Biggie. Dan betapa bodohnya aku tidak bisa mengatakan semua itu karena aku tidak punya bukti kuat untuk mengungkap semuanya. Jika aku mengungkap sekarang, ibumu akan dengan mudah memutarbalikkan fakta, hingga akulah yang akan dipersalahkan.' Gara larut dalam lamunannya.
"Sayang, kenapa kamu ngelamun?" Jennie kembali memeluk suaminya. "Kamu doain aku suapaya Mama secepatnya ngerestui kita."
Jennie begitu yakin kalau ibunya akan merestui hubungannya setelah melihat isi surat perjanjian itu.
Gara melepas pelukannya, lalu menangkup wajah sang istri. "Apa yang harus aku lakukan untuk membantumu, Biggie?"
"Sayang, perusahaanmu lagi ada bermasalah, kamu fokus aja nyari jalan keluar dari masalah di perusahaanmu, aku bisa menangani ini sendiri, percaya sama aku," kata Jennie.
Inilah salah satu alasan, kenapa Jennie tidak melibatkan suaminya. Ia tahu perusahaan mertuanya sedang dalam masalah. Ia ingin sang suami fokus pada pekerjaannya saat ini.
"Kamu adalah kekuatanku." Gara menangkup wajah istriya , lalu mengecup bibir wanita itu dengan mesra. "Semua masih berjalan lancar, aku hanya butuh doa dari istriku." Gara tersenyum walau dalam pikirannya seperti benang kusut.
"Sayang, maafin aku ya, aku selalu bawa masalah dalam hidupmu. Aku memang pembawa masalah besar di kehidupanmu."
"Cintamu adalah masalah terbesar yang kamu bawa untukku, Biggie." Gara mencubit hidung istrinya. "Aku bisa gila jika kamu pergi dari hidupku. Aku sungguh mencintaimu dan tidak mau kehilangan kamu, istriku."
"Tuan muda angkuh ini udah pintar ngegombal sekarang." Jennie memicingkan matanya menatap wajah sang suami dengan teliti.
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?" Gara meraba wajahnya. "Apa ada yang salah dengan wajahku?"
Pembaca Haidar yang sudah hadir, komen dong
Pagi masih merangkak pelan saat Jennie membuka mata. Suara kicau burung dari luar jendela menyambut, tapi yang lebih dominan adalah dengkuran halus dari balik pintu kamarnya. Dengan langkah pelan, ia mendekat, menarik gagang pintu dan mengintip. Di sanalah Gara, suaminya yang perkasa namun kadang absurd, teronggok manis di atas sofa, selimut tipis menutupi sebatas dada. Posisi favoritnya semenjak mereka sepakat untuk "gencatan senjata" tidur terpisah, yang entah kenapa selalu berakhir dengan Gara menjadi penjaga pintu kamarnya."Gara, bangun," bisik Jennie, menggoyangkan bahu suaminya. Gara menggeliat, mengerjap-ngerjap, lalu menatap Jennie dengan pandangan separuh sadar. Rambutnya acak-acakan, ada jejak bantal di pipinya, membuatnya terlihat seperti beruang kutub yang baru bangun dari hibernasi.Jennie sudah menyiapkan skenario terbaiknya pagi ini. Ia akan memohon dengan wajah paling memelas, mengatakan betapa ia merindukan suasana kantor, betapa ia ingin membantu Gara meski hanya s
Jennie merasakan tenggorokannya tercekat. Merindukan Gara? Tentu saja. Ada bagian dari dirinya yang sangat merindukan pelukan Gara, sentuhannya, dan tawa renyahnya. 'Ya ampun suamiku serem banget. Gimana ini?' Jennie semakin gugup melihat suaminya semakin marah. 'Aku harus tenang.' Jennie menarik napas dalam-dalam agar menjadi lebih tenang."Aku merindukanmu, Gara," kata Jennie, suaranya nyaris berbisik. "Tapi aku hanya butuh istirahat. Tolong, jangan buat ini jadi masalah.""Ini sudah jadi masalah, Biggie!" Gara tak bisa lagi menahan kemarahannya. Ia bangkit berdiri, menatap Jennie dengan mata yang menyala. "Kamu datang dari rumah ibumu dan berubah menjadi orang lain. Aku butuh tahu alasannya. Apa yang terjadi di sana? Apa ibumu mengatakan sesuatu tentangku? Tentang pernikahan kita?"Pikiran Jennie berputar cepat. Ia harus mengalihkan topik. Harus meredakan kecurigaan Gara. "Ibu nggak ngomong apa-apa." Ia berbohong, meskipun jantungnya berdentum keras di dadanya. "Dia cuma... dia se
"Baiklah. Kamu istirahat aja, aku mau mandi dulu." Gara tersenyum sambil membelai wajah istrinya.Jennie mengangguk, lalu bangun dari tempat tidur. Ia menarik napas panjang, berusaha untuk tetap bersikap seperti biasanya walau ia sangat gugup saat berhadapan dengan suaminya. "Sayang, kamu cepet ya mandinya. Aku nunggu di bawah, udah laper banget soalnya." "Iya," sahut Gara dari dalam kamar mandi.Jennie pergi ke dapur untuk membantu menyiapkan makanan. Ia menghampiri wanita paruh baya yang sedang menyiapkan makanan untuk makan malam. "Biar aku aja, Bi." "Biar Bibi aja, Nyonya." "Nggak apa-apa, Bi. Sekali-sekali aku juga mau bantu," balas Jennie dengan senyum tipis. Ia membawa masakan yang sudah matang ke meja makan. Tak lama kemudian, Gara turun dengan rambut setengah basah dan kaus santai. Ia melangkah ke dapur dan mendapati Jennie sedang membantu Bibi di dapur. Senyum tipis terukir di bibirnya. "Wah, rajinnya istriku."Jennie menoleh dan tertawa pelan setelah menaruh masaka
Mentari pagi menyusup malu-malu dari tirai jendela yang tersibak sebagian, menyiramkan kehangatan pada ruang makan sederhana. Jennie duduk di kursinya, jemarinya memilin-milin tepi serbet makan, sementara di hadapannya, Lisa, mamanya, menyesap teh panas dengan tatapan penuh perhitungan.Semalam adalah badai emosi yang menguras tenaga. Kini, saat ketenangan pagi menyapa, Jennie tahu saatnya ia harus mengambil keputusan. Bukan keputusan yang mudah, tapi harus ia perjuangkan untuk masa depannya.“Jadi, bagaimana, Jennie?” suara Lisa memecah keheningan, renyah namun penuh otoritas. “Kamu sudah memikirkannya tentang kamu dan Mario kedepannya?”Jennie mengangkat wajahnya, menatap lurus ke mata mamanya. Ada bayangan lelah di sana, namun juga tekad yang kuat. “Aku setuju, Ma,” katanya pelan, suaranya sedikit serak.Senyum tipis mengembang di bibir Lisa. “Bagus. Mama tahu kamu akan mengerti.”“Tapi ada syaratnya, Ma.” Jennie menyela cepat, tidak membiarkan mamanya berlarut dalam kepuasan.Sen
Gara merasa darahnya berdesir dingin. "Mereka? Siapa 'mereka'?" Ia mencoba menahan diri agar suaranya tidak terdengar terlalu cemas, namun giginya terkatup rapat."Saya tidak yakin, Bos," jawab Yas, suaranya kini sedikit lebih stabil, namun masih penuh ketegangan. "Saya sedang memeriksa beberapa rekaman CCTV lama dari area dekat lokasi kecelakaan Tuan Toni Sanjaya. Ada satu rekaman, dari toko kelontong kecil yang luput dari perhatian polisi saat itu, yang menangkap bagian belakang mobil sesaat sebelum kecelakaan. Dan di sana, ada sebuah van hitam tanpa plat nomor yang membuntuti. Van itu terlihat mencurigakan.""Van hitam?" Gara mengulang, otaknya bekerja keras mengasosiasikan informasi. "Dan bagaimana kamu yakin mereka tahu kita menyelidiki?""Sore tadi, saat saya kembali ke kantor setelah seharian menggali informasi di lapangan, saya menemukan pintu server ruang arsip sedikit terbuka," jelas Yas. "Saya yakin saya menguncinya pagi tadi. Tidak ada yang hilang, tapi file rekaman CCTV t
“Nyonya, apakah Anda bisa merahasiakan kalau saya menjabat tangan Anda?” Yas bertanya sangat hati-hati sambil menunduk, menghindari tatapan Jennie. Ia membayangkan skenario terburuk jika Gara tahu.“Memangnya kenapa?” Jennie terkejut dengan pertanyaan Yas, lalu sebuah ide nakal muncul di benaknya. Ia berencana menggoda asisten setia sang suami."Tidak apa-apa, Nyonya Bos," jawab Yas sambil tersenyum kecil. “Kalau Gara tau kita ketemuan diam-diam di malam hari kayak gini, dia bakal marah nggak ya?” Jennie menyeringai, membayangkan wajah cemburu Gara. Itu pasti akan lucu.“Tamatlah riwayat Yas Mirza, Nyonya. Anda tidak akan bisa bekerja sama lagi dengan saya.” Yas mencoba mengancam sang nyonya, suaranya datar, menunjukkan keseriusan. Ia tidak main-main.“Aku tau,” kata Jennie sambil tertawa kecil, tawanya renyah di tengah keheningan malam. “Aku masih butuh kamu. Jangan mati dulu sebelum rencanaku berhasil.”‘Kelihatannya Nyonya Bos lebih menyeramkan daripada suaminya,’ batin Yas, kerin