Aku menautkan alis menatap Salim yang sedang terlihat salah tingkah. Lagian kok ada-ada saja. Masa bisa salah pegang? Perasaan antara tanganku dan rem parkir posisinya lumayan cukup jauh."Maaf ya, Kak!" Pria berkulit putih itu tersenyum."Iya, nggak apa-apa. Besok jangan sampai salah pegang lagi!" jawabku sambil turun dari mobil.Aku memesan satu loyang martabak rasa keju lalu duduk di sebelah Salim yang sedang memainkan gawainya. Mengintip layar ponsel anak tiriku itu, penasaran, ingin tahu dia sedang berbalas pesan dengan siapa."Pacar kamu orang mana, Lim?" tanyaku penasaran."Apaan sih? Saya nggak mau pacar-pacaran. Maunya langsung nikah!" sahut pria itu sambil menutup layar gawainya."Ya sudah, kenalin ceweknya sama Bunda dan Ayah. Biar kita langsung datangi orang tuanya buat meminang dia!"Salim langsung memalingkan wajah. Air mukanya langsung berubah. Apa dia jangan-jangan tidak mencintai wanita?Ih, amit-amit! Aku mengelus perut sambil menelisik tubuh Salim yang terlihat mach
"Iya, Sayang. Mas akan selalu menjaga kesehatan untuk kamu. Agar kita bisa terus bersama sampai anak-anak kita besar. Doain Mas supaya panjang umur ya, Dek!"Aku mengangguk mengiyakan kemudian membenamkan wajah di dada Mas Kenzo."Ya sudah makan dulu, habis itu kamu bobo lagi. Aku beliin bubur ayam di depan komplek ya, Mas!" "Iya, Sayang. Hati-hati. Kalau nggak minta tolong Salim atau Salman saja. Soalnya nyebrang jalan!"Aku segera mengambil kerudung lalu menutup pintu kamar. Menyambar dompet yang ada di atas lemari es, berjalan ke depan untuk membeli sarapan."Bu Fita mau ke mana?" sapa seorang tetangga yang berpapasan di depan rumah."Mau beli bubur, Bu," jawabku sembari mengembangkan sedikit senyuman."Bu Fita lagi isi ya? Kok pucat sekali. Wajahnya kelihatan beda gitu!""Aamiin, doakan saja, Bu.""Mudah-mudahan Saquina cepat punya adek. Ya sudah, saya duluan, Bu Fita!" pamitnya."Iya, Bu. Monggo."Tidak lama berselang, Salim muncul menggendong Saquina. Dia tersenyum, lalu meraih
“Kamu itu ngawur! Mana bisa Dek Fita nikah sama kamu. Emangnya kamu naksir Bunda?” Mas Kenzo menatap lekat wajah putranya.“Apaan, sih. Saya bercanda kali, Yah. Mana mungkin saya mencintai Ibu tiri saya sendiri. Kan nggak boleh. Bikin sakit hati doang, karena hanya bisa mengagumi tanpa bisa memiliki!” jawab Salim sembari melipat tangan di depan dada.Aku menahan tawa mendengarnya.“Udah ah, kita sarapan. Ayah lapar!” Pria berwajah tampan itu mengambil sendok ,lalu segera menyantap bubur yang baru saja aku beli.“Sini, Dek. Makan dulu. Biar Mas suapin!” Mas Kenzo menepuk-nepuk kursi kosong di sebelahnya, memberi isyarat supaya aku duduk di sampingnya.“Kak Fita bisa makan sendiri kali, Yah. Nggak usah lebay!” rutuk Salim lagi.“Aak, Mas. Adek maunya makan disuapin kamu!” “Ish!” Salim mengangkat satu ujung bibirnya. Ekspresinya itu lucu sekali, seperti orang sedang kepanasan. Mungkin dia cemburu karena sang ayah sekarang lebih perhatian kepadaku.Hampir dua minggu ini Mas Kenzo selalu
Aku membekap mulut membaui aroma minyak kayu putih yang langsung membuat perut ini mual serta kepalaku bertambah pusing. “Muntahin di sini saja, Dek!” Mas Kenzo menyodorkan sebuah keresek.Aku mengeluarkan semua isi perutku, hingga kerongkonganku terasa perih dan mulutku terasa sangat pahit. “Kamu sudah tes belum, Fit. Kayanya kamu beneran isi deh!” ucap Ibu sambil menggenggam jemariku.“Sudah, tapi negatif!” jawab Mas Kenzo mewakiliku.“Coba dites lagi. Siapa tahu kemarin belum terdeteksi!” Ragu-ragu aku berjalan menuju kamar mandi, dipapah oleh Mas Kenzo karena badanku masih terasa lemas. Kebetulan aku juga sedang ingin buang air kecil dan langsung menampung sedikit urine di wadah yang ibu sodorkan.Ibu membuka sebungkus test pack yang sengaja aku simpan di dalam laci, mencelupkannya ke dalam air seniku beberapa detik, lalu dia terus mengamati benda kecil tipis itu tanpa berkedip.“Coba ambil satu lagi, Za!” titah Ibu kepada Mbak Kenza.“Gimana, Bu?” Mbak Kenza terlihat penasara
“Kenzo Al Faiq, Mbak,” sambungku pelan.“Orang yang ditanya nama saya kok!” protes Salim.“Suster itu nanya nama ayah bayi dalam perut saya, Salim. Bukan nama kamu?” Menunjuk ke perut.“Oh!” Dia menggaruk kepala sambil tersenyum, salah tingkah.“Yang benar yang mana?” tanya suster sembari menatapku, lalu bergantian menatap Salim.“Kenzo Al Faiq,” jawab Salim.Laki-laki berusia dua puluh tahun itu kemudian membantuku berdiri untuk menimbang berat badan. Masih tetap empat puluh delapan kilogram. Mudah-mudahan setelah hamil berat badanku naik, biar terlihat agak berisi.“Sudah dipanggil apa belum, Dek?” tanya Mas Kenzo, setelah hampir lima belas menit menerima panggilan telepon dari rekan kerjanya.“Belum, Mas. Kamu nelepon saja kok lama sekali. Sebenarnya yang suamiku itu Salim apa kamu sih?” protesku, memonyongkan bibir manja.“Maaf, Dek. Tadi atasan nelepon Mas. Ada hal penting yang mau beliau sampaikan, jadi Mas tinggal kamu dulu berdua sama Salim.”“Ya sudah kalau pekerjaan lebih pe
Membuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali karena cahaya yang menyilaukan. “Ya Allah, Sayang. Kamu kenapa?” tanya Mas Kenzo sambil menatap wajahku sendu.“Aku nggak tahu, Mas. Kepala aku tiba-tiba pusing,” sahutku pelan, hampir tidak terdengar.“Mas sudah khawatir banget loh.”Tidak lama kemudian ibu datang membawa pakaian untukku.“Emang kalian habis ngapain sih? Fita lagi mabok, nggak usah diajakin begituan dulu ngapa sih, Zo!” Rutuk Ibu sambil membantuku memakai gamis. Sepertinya dia salah paham.“Astagfirullah, Bu. Saya nggak habis ngapa-ngapain Fita. Dia minta mandi, terus saya mandiin. Eh, tiba-tiba dia pingsan!” jawab Suamiku dengan wajah memerah. Mungkin dia merasa malu kepada ibu.Karena keadaanku yang begitu lemah, dokter menyarankan supaya menjalani rawat inap selama beberapa hari, sampai keadaanku mulai membaik.Aku menurut saja karena tidak mau terjadi sesuatu dengan calon bayiku. Aku ingin melakukan yang terbaik untuk dek utun.“Dek, Mas pergi ke kantor dulu ya. Ka
Malam semakin larut, akan tetapi Mas Kenzo belum juga kembali. Aku sangat mengkhawatirkan kesehatan suamiku karena sekarang dia sering pergi pulang pagi. Kusambar gawai yang tergeletak di atas nakas, menghubungi nomor ponselnya, berharap dia cepat pulang menemaniku di rumah sakit.'Kamu ke mana sih, Mas. Kok nomor kamu tidak aktif!' gumamku dalam hati.[Mas, kamu ke mana? Kapan pulangnya] send, suamiku.Aku menoleh ke arah Salim yang sudah terlelap di atas Sofa. Kenapa justru dia lagi yang harus menemaniku. Aku jadi kasihan sama anak tiriku itu, apalagi setelah mendengar cerita cintanya yang berakhir tragis. 'Sama mantan pacarnya disuruh-suruh terus, sama ayahnya juga disuruh nemenin ibu tirinya terus,' bhatinku.Mencoba turun dari tempat tidur, namun kapala ini masih terasa berat dan keliyengan. Aku juga tidak mungkin membangunkan Salim untuk mengantarku pergi ke kamar mandi."Ya Allah, Mas. Kamu kok teg
"Ayo Bun, kita masuk," ajak Salman sambil menggandeng tanganku."Iya, Sayang. Habis ini ambil Quina di rumah nenek ya, Man. Sama sekalian beliin Bunda bubur kacang hijau di depan." "Iya, Bun. Sekarang Bunda mau ke kamar apa mau duduk di sofa?" "Di sofa saja dulu, Man. Bunda bosen di kamar terus."Salman membimbingku duduk di sofa lalu pria bertubuh kurus itu langsung pamit untuk mengambil Saquina di rumah neneknya.Beberapa menit kemudian, Salman kembali bersama Mbak Kenza membawa bubur untukku. Anak kedua suamiku itu langsung ke dapur untuk mengambil mangkuk, lalu menuang bubur kacang hijau itu ke mangkuk yang ia bawa."Makan dulu. Bun. Mumpung masih hangat. Tapi aku bagi sedikit ya. Aku kepengen. Tadi mau beli sudah habis!" Dia menyeringai sambil menggaruk kepala. Persis seperti abangnya kalau lagi salah tingkah."Ya sudah kita makan berdua saja, Man. Bi Kenza mau?" Aku menoleh ke arah Mbak Kenza yang s