“Apa?” Citra tersentak bangun hingga nyaris membuat infus di lengannya terlepas. “Apa maksudmu dengan anak dalam rahimku? Jangan bilang kalau aku- aku hamil? Hah, jangan bercanda, Rion!”Walaupun suaminya memilih untuk melakukan aksi diam, tapi dari wajahnya Citra tahu jika Orion sungguh-sungguh dengan omongannya. Namun, bagaimana bisa ia hamil? Itu tidak mungkin! Itu tidak boleh terjadi! Tidak boleh!Setelah membiarkan Citra mencerna informasi yang dibawanya selama beberapa saat, Orion akhirnya membuka mulutnya. “Dokter Hardi yang bilang kalau kamu hamil. Tapi, cukup dengan itu. Sekarang, bilang padaku siapa ayah anak dalam perutmu? Kamu kan tahu sudah berbulan-bulan kita tidak melakukan hubungan suami istri!”Citra semakin terperanjat. Ia menutup muka dengan kedua tangannya kemudian menjambak rambutnya sendiri sambil memekik nyaring. “Aaahhh! Tidak mungkin! Aku tidak mungkin hamil!”Orion terkejut melihat reaksi Citra yang di luar dugaan. Ia tadinya berpikir kalau Citra akan menyamb
Nadi memindai berkeliling. Ruang rawat itu terlalu mewah untuk difungsikan sebagai tempat orang sakit menjalani pemulihan. Lebih tepat jika disebut sebagai vila mini. Lihat saja sofa mewah, brankar kualitas terbaik, televisi layar lebar yang menutupi satu sisi sinding, lemari pendingin empat pintu, pendingin ruangan kelas atas, karpet tebal lembut, belum lagi lantai bergranit menyilaukan dan langit-langit dengan kandelir memukau. Fasilitas untuk orang kaya memang mencengangkan.“Silakan duduk, Pak Nadi. Jangan sungkan-sungkan. Maaf sekali kami tidak bisa menerima Anda di tempat yang lebih layak,” ujar Erian ramah, menunjuk satu set sofa mahal yang tidak akan didapati oleh Nadi di rumah dan kantornya.Polisi itu nyaris menganga mendengar sambutan Erian yang dirasanya tidak masuk akal. Tempat semewah ini dianggap kurang layak? Wah, selera orang kaya memang levelnya sulit dijangkau.Nadi pun duduk di salah satu sofa dan sebisa mungkin menyamankan dirinya. “Saya minta maaf sebelumnya kare
“Nih, pesananmu. Dasar pemalas! Bisa-bisanya kamu menyuruh seorang wanita membelikanmu makanan? Tidak tahu malu! Seandainya bukan karena rahasia yang kita bagi sama-sama, aku pasti sudah akan kabur sejak lama,” gerutu seorang wanita dengan rambut hitam panjang yang dicepol pada sesosok tubuh yang teronggok di sofa.Pria yang tengah sibuk dengan game onlinenya itu mendongak dan menyeringai sinis. Wajahnya lumayan tampan, dengan hidung mancung dan mata teduh. Tapi, kepribadiannya berbanding terbalik dengan wujudnya. Pria itu licik, oportunis, dan tidak malu menghalalkan segala cara demi tujuannya yang pasti tidak jauh-jauh dari uang.“Jangan mengeluh, Ar. Seharusnya kamu berterimakasih pada Tuhan karena dipertemukan denganku. Kalau tidak, kamu pasti sudah terlunta-lunta di luar sana, tidur di trotoar dan makan dari hasil mencari di tempat sampah,” ujar Gema, nama pria itu.Ariani mencibir. “Jangan bilang kamu lupa kalau aku yang mengajakmu kerja di rumah orang kaya itu? Kalau tidak, man
Ulfa mengetuk-ngetukkan kuku panjangnya yang dicat warna pink ke meja kayu hitam di hadapannya. Matanya tidak lepas dari pintu lift yang terletak beberapa meter ke kanan di seberangnya, berharap benda itu akan menguak dan memperlihatkan wujud seseorang yang sudah lama ditunggunya.Ting!Suara dentingan lift menyadarkan Ulfa. Ia segera menegakkan badan dan berupaya mempertontonkan sikap profesional dengan senyum yang telah terlatih di bibirnya. Pintu pun terbuka dan seorang pria setengah baya sekaligus setengah botak memakai setelan bagus berwarna abu-abu menampakkan dirinya. Mau tidak mau Ulfa merasa kecewa luar biasa, tapi tetap mempertahankan wajahnya agar enak dilihat.“Selamat siang Pak Wira, ada yang bisa saya bantu?” Ulfa menyapa ramah begitu si pria sudah sampai di depan mejanya dan menoleh-noleh ke arah pintu hitam yang terletak persis dibelakangnya.“Saya ingin bertemu dengan Pak Orion. Ada yang mau saya bicarakan soal pengembangan hotel di kota sebelah. Beliau ada?” Wira ber
“Apa? Kamu bilang pada polisi kalau Gema adalah selingkuhanku? Apa maksudnya kamu mengatakan kebohongan itu? Kamu mau namaku jelek di mata para polisi itu?” Citra bertanya sengit pada Erian yang duduk di sampingnya dalam mobil yang melaju. Mereka berdua sedang dalam perjalanan pulang dari rumah sakit sore itu.“Kebohongan? Aku tidak tahu kalau itu adalah kebohongan, setahuku kan kamu memang berselingkuh. Henny yang bilang padaku soal kamu selingkuh dengan Gema, benar atau tidaknya kan polisi tidak bisa memastikan karena Henny sudah meninggal dan Gema tidak tahu di mana sekarang,” jawab Erian santai.Darah Citra menggelegak. Berani sekali Erian membeberkan hal seburuk itu yang tidak ada hubungannya dengan penyidikan. Bagaimana kalau ia juga sekalian membongkar perselingkuhan Orion dan Ulfa? Supaya borok keluarga Indrayana terungkap sekaligus. Itu tentu akan sangat menyenangkan. Setidaknya namanya tidak akan cemar sendirian.“Jangan coba-coba untuk melakukan sesuatu yang bodoh, Citra,”
Ruang autopsi itu dingin, sedingin tubuh-tubuh yang dibedah di situ. Keadaan itu pun memengaruhi dokter forensik yang menghabiskan setengah dari 24 jam sehari yang dipunyai dengan menghuni tempat itu.Di mata rekan-rekannya, Dokter Levin adalah sosok manusia yang tidak berperasaan, nihil empati, dan nyaris tidak ada interaksi dengan orang lain, kecuali soal pekerjaan. Sungguh sesuai dengan profesinya yang berkaitan sangat erat dengan mayat.Dokter Levin tengah menyelesaikan tahap akhir autopsi yang dibebankan padanya: menjahit bagian tengah badan jenazah yang telah dibedahnya dengan kecepatan dan ketepatan yang mengagumkan. Jahitannya sudah hampir berakhir saat dinding kaca yang membatasi ruang autopsi dan ruang tunggu yang biasanya digunakan oleh polisi, jaksa, atau rekan dokter yang lain tiba-tiba diketuk.Tok, tok, tok!Ketukan dengan bunyi mendesak seperti itu hanya bermakna dua hal bagi Dokter Levin. Satu, ada mayat lain yang perlu diautopsi secepatnya. Dan dua, pihak yang membua
"Bik Yuli, tolong bicara jujur. Apa benar keterangan Bu Citra yang menyatakan bahwa Anda membawa Bu Henny ke kamarnya setelah beliau bertengkar dengan Bu Citra sekitar pukul 4 lewat di sore hari kejadian?"Menindaklanjuti informasi yang diterimanya dari Dokter Levin, Nadi langsung memanggil Bik Yuli ke kantor polisi untuk diinterogasi sebagai saksi keesokan paginya, walaupun Erian sempat bersikeras agar asisten rumah tangganya itu ditanyai di rumahnya saja saat aparat menjemput Bik Yuli."Emm, emm, itu benar, Pak. Tapi, saya tidak tahu jam berapa membawa Nyonya Henny ke kamar," jawab Bik Yuli gugup. Matanya tidak berhenti menjelajahi ruangan tempatnya diwawancarai, terutama dua polisi bertubuh tegap yang menemani Nadi.Nadi membuang napas. Sepertinya perkiraan kronologi yang dipaparkan oleh Dokter Levin tepat. Bisa saja saat bertengkar itu korban sudah sangat mengantuk akibat pengaruh obat tidur sehingga mudah saja terjatuh. Tapi, kenapa tidak ada bekas lebam di tubuhnya?"Bik Yuli, d
Orion menatap tak berkedip layar ponsel di tangannya. Pandangannya terpancang pada susunan huruf-huruf yang di bawahnya dipampang dengan jelas foto ibunya bersama ayahnya saat Hotel Ryha diresmikan hampir sepuluh tahun lalu. Mungkin media tidak berhasil mendapatkan foto Henny yang terbaru sehingga hanya bisa memajang foto itu. Padahal, ibunya telah banyak sekali berubah sejak waktu itu.Pintu ruangannya tiba-tiba menguak dan memperlihatkan Ulfa dengan setelan kemeja dan rok pendeknya yang berwarna hitam, mungkin maksudnya turut berduka cita walaupun Orion tahu tida ada kesedihan sama sekali dalam diri selingkuhannya itu.“Sayang, bisa tidak kamu mengetuk pintu dulu sebelum masuk? Aku kaget kalau kamu mendadak membuka pintu begitu,” tegur Orion dengan suara yang berupaya dibuat selembut mungkin.Ulfa merengut manja. “Kenapa aku harus melakukan itu, Sayang? Aku kan pasti tahu kalau ada orang lain di dalam ruanganmu. Atau, jangan-jangan kamu menyembunyikan sesuatu dariku, ya?” Mata Ulfa