Satu jam sebelum kafe buka,
Seperti biasa Alya datang ke Kafe yang ia dirikan saat usianya masih dua puluh tahun setiap pagi. Kafe itu ia beri nama 'Kopi dan Lemon', yang menyediakan berbagai macam minuman panas dan dingin, mulai dari kopi hingga yogurt dan berbagai macam kue serta sandwich bahkan pizza.
Ia tidak mempekerjakan bayak orang. Hanya ada tujuh orang termasuk dirinya sendiri. Terdiri dari satu chef utama yang merangkap pramusaji kadang-kadang, tiga pramusaji yang merangkap chef, satu satpam yang merangkap juru parkir dan juga OB lalu seorang lagi sebagai akuntan sekaligus marketing dan gudang. Ia sendiri menjabat sebagai manager dan yang menanggung berbagai macam hal yang menyangkut kafe, kadang ia juga mengerjakan pekerjaan kasar semisal mengelap kaca, seperti yang tengah ia lakukan saat ini. Ia telah mengelap hampir semua bagian kaca di bangunan dua lantai itu.
"Pagi, Mbak!" sapa Reno menghampiri Alya yang sedang mengosok jendela kaca dengan semangat seorang tentara, Chef yang merangkap waiter yang juga merupakan karyawan termuda kedua dan seksi yang ia pekerjakan sejak dua tahun lalu. Usianya baru dua puluh tahun.
"Pagi ganteng!" balas Alya sarkas, ia masih kesal dengan sikap Reno beberapa saat lalu.
"Tumben rajin?"
"Gue terlahir rajin!" Alya menatap Reno dengan sinis.
"Oh..., " Reno manggut-manggut membuat Alya kembali membara, terserah Alya saja, yang peting ia tidak mendengar suara melengkingnya saja.
"Udah sana pergi urusin kerjaan lo," tambah Alya sewot.
"Nah, jadi gini mbak.... " Reno bersuara lirih, tak ingin membuat singa betina di depannya marah kembali.
"Apa lagi?" Alya melotot, mengawasi Reno yang cengar-cengir. Ada sesuatu yang tidak beres dengan senyuman itu.
"Pagi ini kita belum bisa menyediakan menu berbahan dasar yogurt mbak,"
"Lah, tadi, 'kan lo udah buat?"
"Ya, bikin yogurt juga butuh proses kali, mbak?" bantah Reno sambil melepas napas lelah. Berdebat dengan Alya bisa merusak mood-nya yang sedang bagus pagi ini, ia harus segera pergi menghindari perempuan itu sejauh mungkin. "Mungkin nanti sore baru jadi," imbuh Reno.
"Mungkin?"
"Paling enggak butuh enam jam, mbak, biar kulturnya hidup bahagia, terus berkeluarga dulu," canda Reno.
Merasa Reno menyelipkan pesan tersembunyi dalam kalimatnya, Alya menyergit,
"Terus gue sarapannya gimana?" tandas Alya, berbalik menatap Reno, ia terpaksa menghentikan gerakan tangannya, alisnya kembali berkerut pertanda ia tidak suka dengan berita yang ia dengar pagi ini. Bukan hanya Mario, sekarang Reno pun ingin bergulat rupanya.
"Ya.... tinggal sarapan, mbak, mau saya disuapin?"
"Lo bilang yogurtnya nggak ada! Gue bikin smoothie pisang favorit gue pakek apa? Mikir dong!" Alya berceramah, emosi.
Reno menarik napas panjang, "Pakek susu aja, mbak," saran Reno asal.
"Lo suruh gue makan susu sama pisang?"
Reno tersenyum, pikirannya melayang kepada 'susu dan pisang' yang lain, "Ngapain lo senyum-senyum?"
"Saya minta Joni buat beliin mbak yogurt di supermarket, ya?"
"Nggak usah-nggak usah!" tepisnya manyun. "Bikinin gue panini aja, yang banyak selai kacangnya! Sama honeylemon!"
"Oke, mbak. Ntar saya antar ke ruangan, mbak, ya?"
"Hmmm..., " balasnya malas. "Pokoknya ntar sore sebelum jam tiga yogurt Lo harus udah jadi! Titik!"
Padahal ia selalu memulai harinya dengan semangkuk smoothie pisang plus yogurt yang dibekukan atau disajikan dingin. Sialan Reno, kalau saja ia membuat yogurtnya semalam, hari ini mereka pasti bisa menyajikan berbagai macam makanan olahan dari yogurt dan ia bisa menikmati smoothie favoritnya.
"Nanti saya sampaikan ke kulturnya, mbak!"
"Rese' Lo emang!" Alya melempar lap kotor di tangannya ke wajah mulus Reno. Hanya saja Reno sudah membalikkan badan, melangkah menuju pantry dengan napas lega, dengan senyum bahagia karena ia berhasil membuat Alya frustrasi dengan yogurtnya. Sesuai dengan kemauan Alya, ia kembali ke dapur untuk menyiapkan roti untuk membuat panini sesuai permintaan Alya yang super bawel soal makanan.
Alya menggerutu sendiri sambil mengelap kaca dengan gemas setelah memungut kain lap di lantai, benar juga perkataan Dito, bekerja saat marah, emosi, lebih cepat selesai, pintar juga anak itu? pikir Alya mengawasi hasil kerja keras pertamanya pagi itu. Cukup membanggakan, ia berhasil membersikan seluruh kaca seorang diri. Ia bisa mendapatkan penghargaan atas jerih payah dan kecepatannya dalam bekerja.
Ia terus mengelap hingga seorang pelanggan datang puluhan menit berikutnya, sambil menggerutu soal smoothies pisang yang gagal ia santap pagi itu.
Alya mengawasi laki-laki berpakaian rapi itu masuk ke dalam kafe dengan langkah mantap, ia terlihat seperti orang penting, ya, dengan pakaian serapi itu setidaknya ia tampak seperti seorang pengusaha atau paling tidak sales mobil. Mengambil duduk di sebuah meja yang menghadap keluar, laki-laki itu mengeluarkan ponselnya.
Apa sepasang pot bunga kaktus di jendela itu terlihat menarik? Mungkin laki-laki itu menyukai kaktus, pikir Alya masih menghujani laki-laki itu dengan tatapan rakus.
Alya meletakkan kain lap hitam itu di saku celemek hitam yang ia kenakan, sambil mengusapkan kedua tangannya dicelemek untuk menghilangkan kemungkinan debu yang menempel di jari-jari mungilnya, ia mendekati laki-laki itu. Ada sesuatu yang membuat laki-laki itu yang membuat Alya terkesan hingga ia ingin melihat lebih jelas wajah yang terlihat memesona dari kejauhan.
"Saya mau pesan roti kacang dan jus lemon," Laki-laki itu bersuara. Suaranya berat, Alya sudah bisa menebak, laki-laki sepertinya pasti memiliki suara yang memikat.
Lama tak mendengar sahutan, Leo mengintip sekilas pramusaji yang berdiri di sampingnya, ia mendesah, jangan katakan ia tertarik padaku, pikir Leo was-was, perhatiannya kembali kepada buku menu sebelum ia tertangkap basah mengawasi perempuan mungil yang tingginya mungkin tak lebih dari seratus enam puluh senti. Atau lebih buruk lebih pendek lagi, jika saat ini ia mengenakan sepatu ber-hak.
Leo mengintip bagian bawah perempuan muda di samping depannya, sepasang kaki itu dibalut dengan sneaker putih polos.
"Ada lagi?" pertanyaan itu terdengar setelah beberapa saat dalam keheningan. Leo berdehem,
"Tidak ada," menjawab tegas, ia ingin perempuan itu segera pergi dan berhenti melihatnya seolah ia adalah sepotong danging steak yang hendak ia santap sebagai menu sarapan.
"Oke, tunggu sebentar." Alya masih heran, bagaimana bisa seseorang dengan wajah kebarat-baratan itu memiliki aksen lokal? Ah, mungkin dulu ibunya sering melihat film James Bond. Ya, bisa jadi.
Tapi aku yakin dia itu bule! Pikir Alya berhenti melangkah hanya untuk kembali mengintip laki-laki yang duduk seorang diri itu sebelum melangkah pergi menuju meja panjang dimana Dito dan beberapa rekannya berdiri melalukan sesuatu, entah apa. Mungkin mereka sedang menghias donat?
"Siska mana Siska?" tanya Alya begitu berhadap-hadapan dengan Dito. Siska telah menghilang dari pandangan hampir satu jam. Kemana perginya perempuan penurut itu?
"Mbak nanyain orang yang ada aja kenapa sih, mbak?" keluh Dito.
"Sejak kapan yang ada dicari? Dimana-mana yang nggak ada itu yang dicari?" Alya mulai mengomel. "Mana Siska?" Ia kembali bertanya dengan tidak sabar.
"Cuci baju! Emang saya bapaknya apa? Tahu dia dimana? Ngapain?"
"Kok sewot gitu sih?"
"Ya, mbak sih, tadi siapa yang suruh Siska pergi ke supermarket beli 'itu'? Dito menyahut, pusing kepalanya berbicara dengan Alya terlalu lama. "Sekarang malah ditanyain? Mbak abis kebentur?"
"Oh..." Sahut Alya mengabaikan cibiran Dito, akhirnya ia mengerti 'itu' yang dimaksud Dito, ia sedang datang bulan dan kelupaan bawa 'itu' cadangan. Ia tersenyum malu, bagaimanapun Dito adalah seorang laki-laki, Alya merasa tabu membicarakan hal itu dengan laki-laki, "Ya udah, terus Reno mana?"
"Mbak cari sendiri kenapa sih? Ren, dicariin istri kedua lo!" teriak Dito membuat Alya kembali terperangah.
"Hus.... " Alya memutar kepalanya panik, berharap tak ada orang disana yang akan mendengarkan perbincangan mereka, sayangnya sepasang telingga yang tajam telah menangkap informasi itu dengan baik. "Ya udah, siapin roti kacang sama jus lemon, tuh orangnya duduk dekat jendela." Alya mencondongkan tubuhnya ke atas meja pantry, berbisik.
"Roti kacang? Emang kita jualan kue kacang, mbak?"
"Roti Kacang! Bukan kue kacang!" Gigi Alya saling bertabrakan saat mengatakannya. Ia berjuang keras untuk tidak kembali berteriak.
"Bukannya sama aja, mbak? Roti kacang yang kek gimana, mbak? Mbak jangan ngarang deh!"
"Ya panini kali, roti lapis kacang?"
"Roti lapis? Emang kita buat, mbak?" tanya Dito polos.
"Argh. Panganggin roti tawar gandum terus olesi dengan selain kacang!" jawab Alya gemas, ia bisa saja mencakar wajah Dito saking kesalnya. Karyawannya yang satu itu memang 'mentah' setiap kali diajak bicara, paling pandai membantah, Alya juga bertanya-tanya mengapa ia masih mempertahankan Dito sebagai karyawan kafe.
"Lah tadi katanya panini? Yang bener yang mana, mbak?" desak Dito.
"Whatever-lah?" Alya pergi meninggalkan Dito yang masih kebingungan.
"Iya, mbak?"
"Terserah kamu! Pokoknya roti kacang!" Alya mengibaskan tangannya sebelum menaiki anak naik menuju lantai dua dimana ruang kerjanya berada. Ia sudah merasa cukup lelah dengan drama pagi itu.
Dito mendesah melihat kepergian Alya. Daripada membuat kesalahan pesanan, akhirnya ia menyiapkan dua macam roti kacang untuk pelangan pertama mereka, panini dan roti gandum bakar tawar dengan selai kacang, sama tapi tak sama.
Dito melirik pelanggan yang dimaksud Alya, sayangnya laki-laki itu membelakanginya membuatnya tak bisa melihat siapa pemilik badan atletis itu.
Dito menuangkan air perasan lemon ke dalam gelas piala yang sudah diisi es batu sebelumnya, menambahkan dua sendok madu, lalu mengadukknya pelan. Sebagai hiasan, ia menambahkan irisan lemon yang ia lekatkan pada dinding gelas serta pucuk daun mint di antara es batu yang mengambang. Merasa puas dengan hasil karyanya ia tersenyum, mengambil nampan, meletakkan semua pesanan lalu melangkah mantap menuju pelanggan pertama mereka.
"Pesanan anda," Dito menyapa saat meletakkan nampan di meja, "silakan dinikmati."
Leo mengangkat kepalanya hanya untuk memastikan perempuan itu tidak memiliki suara seperti seorang laki-laki. "Terima kasih, tapi hanya pesan satu jenis roti." Leo mengawasi sesaat laki-laki yang mengantar makanan pesanannya, kemana perginya pelayan perempuan itu? Bukankah ia terlihat sangat tertarik kepadanya? Apakah ia malu karena sempat kepergok memelototi pelangan secara berlebihan? Baguslah.
"Oh, yang satu bonus, anda adalah pelanggan pertama kami hari ini." Dito menawarkan senyuman sopan.
"Terima kasih," balas Leo datar. Ia membiarkan pramusaji itu pergi sebelum menyentuh makanannya.
Ketika tangannya hendak menyentuh gelas bening di meja, ia melihat ponselnya mengeluarkan bunyi familiar yang memberitahunya bahwa ada pesan masuk.
Tangan kanannya beralih menarik ponsel yang baru saja ia letakkan di atas meja, membuka ponsel itu dengan sidik jari.
Sebuah pesan dari rekan bisnisnya sekaligus CEO di biro konsultan arsitek yang mereka bangun bersama masuk,
[Man, gua absen hari ini. My wf might preg. Need hospital!]
Leo menarik napas, sudut bibirnya tertarik ke atas, ternyata Haidar butuh waktu tiga bulan untuk menghamili istrinya? Ah, mungkin benihnya kurang berkualitas! Leo menggelengkan kepala, ia teringat kesombongan sahabatnya itu yang mengatakan dalam semalam istrinya bisa hamil. Well, ia harus membayar atas kesombongannya.
Leo menghempuskan napas lelah, meski pagi ini ia tidak melakukan apapun, ia merasa lelah secara batin. Ia ikut senang saat Haidar akhirnya memberanikan diri untuk memulai hidup baru dengan menikahi mantan pacarnya dulu. Ya, saat mereka bertemu di Amerika, Canada maksudnya, kondisi Haidar bisa dikatakan buruk. Saat itu ia melarikan diri karena lamarannya kepada istrinya yang sekarang di tolak oleh keluarganya. Singkat cerita, adik iparnya tidak rela kakaknya menikah dengan mantan 'bajingan', Haidar di masa lalu. Ya, ia pernah bercerita, semasa kuliah, ia bukanlah mahasiswa baik-baik, ia sering pergi ke klub malam, mengencani bayak perempuan disana, dan berbagai macam kenakalan mahasiswa pada umumnya. Rahasia buruknya itu sampai ke telingga calon iparnya saat itu, dan tentu saja, iba terhadap sang kakak yang mungkin dimanipulasi oleh laki-laki yang sebenarnya akrab dengan keluarga mereka, ia membatalkan acara lamaran tersebut dengan mengatakan bahwa ia juga mencintai Haidar.
Leo masih merasa cerita itu terlalu mengada-ada tapi tak elak membuat perutnya berguncang karena tawa setiap kali mengingatnya.
Jika Haidar yang berasal dari keluarga konglomerat saja ditolak karena masa lalu yang buruk? Siapa yang akan menerimanya menjadi menantu? Bukan berarti ia sangat ingin menikah dan diterima. Tidak justru kebalikannya. Menyadari ia memiliki masa lalu dan kepribadian yang buruk, ia tak berminat untuk menjadikan dirinya bahan lelucon ketika lamarannya ditolak. Ditambah lagi, ia bukanlah keluarga konglomerat, ya, meski kini ia bisa mengumpulkan lebih banyak uang daripada ayahnya yang bekerja sebagai seorang dokter di rumah sakit, tetap saja ia masih belum memiliki keinginan untuk melepas kesendiriannya.
Leo kembali mendesah, kali ini karena ia teringat pernikahan adik perempuannya Sabtu ini.
Dengan siapa ia harus pergi? Ia menarik ponselnya kembali dan memanggil seseorang.
"Mona?" sapanya saat panggilan telponnya dijawab.
#####
Sudah seminggu sejak pasangan pengantin baru itu pulang dari honeymoon di Eropa. Keduanya kembali beraktivitas normal. Alya menjalani harinya sebagai seorang penulis dan pemilik kafe. Tak ada yang banyak berubah, hanya saja ia harus menjadi lebih disiplin terutama soal kebersihan rumah. Seperti hari ini sang suami komplain lagi.Alya yang terbiasa hidup sendiri tidak pernah melakukan bersih-bersih rumah apalagi memasak. Ada asisten rumah tangga yang bertugas untuk membersihkan dan merapihkan rumah. Sementara tugas memasak Alya bergantung penuh kepada Reno. Dan tidak ada yang berubah. Kecuali kini ia tinggal berdua bersama sang suami di apartemen sang suami. Masih sama. Ia hanya menunpang tidur.Alya tak ingin menyewa asisten rumah tangga karena sudah menikah. Ia takut ada rahasia rumah tangganya yang bocor ke khalayak umum. Atau bahkan menimbulkan fitnah."Baby, kau tahu dimana kemeja navy milikku?" Tanya Leo keluar dari wardrobe hanya dengan memakai handuk yang dililitkan di pingga
Ketika mereka sudah tiba di hotel tujuan, tepatnya di kota London. Keduanya langsung lelap begitu pipi mereka menyentuh bantal. Mereka tidak sempat sarapan tetapi sempat membersihkan diri sebelum menikmati tidur pertama di hotel itu."Baby," bisik Leo sambil menepuk pelan pundak sang istri. "Hmmm," Alya hanya mengerang karena terganggu dengan suara Leo. Ia masih sangat lelah dan butuh tidur hingga beberapa jam ke depan. Ia selalu tidur tidak kurang dari delapan jam sehari. Sementara beberapa hari belakangan, bahkan sejak persiapan pesta pernikahan hingga kemarin waktu tidurnya berkurang drastis.Ia pikir setelah menikah bisa tidur dengan tenang, ternyata tidak semudah itu apalagi dengan keberadaan sang suami. Malam bukan lagi miliknya untuk dinikmati sendiri tapi harus rela dibagi dengan sang suami. Jadi jangan salahkan Alya jika ia sangat-sangat mengantuk, apalagi perjalanan panjang mereka yang sangat melelahkan."Ayo sayangku, wake up! Rise and shine!" Leo membuka selimut tebal ya
Leo memesan tiket pesawat kelas kelas utama maskapai Qatar airways. Perjalanan yang panjang dan lama itu membuat Alya tidak nyaman bahkan cenderung gusar. Entah karena ia masih terpikir oleh ucapan Rara atau yang lain. Kenyataan lainnya, yang juga sangat ia sayangkan bahwa ia tak bisa memeluk sang suami sesuka hati apalagi hingga hatinya puas.Ia harus bertahan dengan berbaring di ranjang dadakan itu dan terpisah dari tubuh hangat Leo.Setelah menyadari sang istri tak bisa duduk dengan tenang Leo menawarkan diri untuk membantu Alya agar bisa tidur.Meski awalnya menolak akhirnya Alya menerima tawaran menggiurkan itu. Mereka berbagi kursi. Atau lebih tepatnya, Leo mendekap Alya di kursi bisnis mereka. Alya tidur sepanjang perjalanan hanya beberapa kali saja ia membuka mata untuk mencari posisi yang paling nyaman di pelukan sang suami.Kini, ia benar-benar bisa tidur dengan pulas dan tentu saya puas.Entah seperti apa nantinya, ia mengira tak akan bisa tidur selain dalam pelukan sang
Siang itu akhirnya, Alya hanya menemukan Rara dan sang suami, Iman saat turun untuk makan siang. Menurut pengakuan Rara, mereka berdua, ia dan sang suami akan tinggal di resort selama tiga hari ke depan. Berdua saja. Mereka telah memutuskan untuk menelantarkan satu-satunya putra mereka saat ini untuk kesenangan mereka sendiri. Alya tidak habis pikir, bagaimana bisa Rara memilih berlibur berdua saja dengan sang suami sementara Khai masih terlalu kecil untuk ditinggal sendirian? "Lo yakin Khai nggak apa-apa sendirian dengan baby sitter?" Alya bertanya dengan serius. Rara menyesap jus kiwinya dengan santai sambil melirik Alya sekilas. "Percayalah sama gue, Al. Itu adalah keputusan terbaik, bukan cuma buat gue sama suami tapi buat Khai juga. Gue udah enek sama Khai, sesekali gue pengen berduaan sama suami gue aja!" "Gila lo, ya! Lo tega banget ninggalin anak buat seneng-seneng sama suami?" Alya melotot tak percaya. "Gue nggak percaya bang Iman tega ninggalin anaknya cuma buat senengin
Leo mengerjap sekali. Lalu dua kali hingga ketiga kali sebelum sepasang matanya terbuka demgan sempurna. Ia merasa jauh lebih bugar, lebih bersemangat dan entahlah. Ia merasa berbeda pagi ini. Kegelapan menyambutnya. Rupanya hari masih gelap. Leo tersenyum begitu mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Untuk pertama kalinya akhirnya ia bisa memadu kasih dengan istri tercinta tanpa ada gangguan maupun penghalang. Mereka berhasil menyatu bukan hanya dalam janji suci pernikahan melainkan menyatukan jiwa. Leo awalnya tak mengerti mengapa Haidar berubah drastis setelah menikah, namun sekarang ia bisa memahaminya. Karena ia sendiri juga merasa dirinya telah berubah. Entah perubahan seperti apa persisnya. Tetapi tentu saja hal itu adalah sesuatu yang baik. Senyumnya makin lebar ketika mendapati sang istri yang merangkulnya begitu erat dalam tidur seolah ia adalah sebuah guling kesayangannya. Hampir separuh tubuh Alya berada diatas tubuh Leo. Ia menyandarkan kepalanya tepat di jan
"Was it good?" Tanya Leo sambil menyuapi Alya sepotong cheesecake. Mereka sudah tiba di kamar hotel. Ranjang mereka dihiasi mawar merah yang membentuk hati, sayangnya hal itu sia-sia. Tetapi Alya cukup tersentuh dengan usaha sang suami untuk membuat malam mereka romantis. Alya duduk bersila di atas ranjang lembut berwarna putih itu, mengangguk puas, sambil tersenyum disaat mulutnya penuh dengan hidangan legit itu. Alya baru saja menghabiskan semangkuk yogurt dan segelas air putih. "Coba saja, ini sangat enak dan lembut. Mmm..." Ucap Alya setelah makanan di mulutnya lenyap, ia kembali membuka mulutnya. Leo mengangguk puas, "Kau yakin tidak ingin makan yang lain?" Tanya Leo seraya mengangkat garpu ke mulut sang istri. "Tidak. Ini saja sudah cukup. Mmm..." Alya mengerang kegirangan. Makanan manis membuat moodnya membaik seketika. "Can I try?" Tanya Leo lembut, menatap lekat mata sang istri yang berbinar-binar. Lalu pandangan turun ke arah bibir Alya yang sibuk mengunyah dengan an
Tiga Bulan Kemudian "Aaalll!!!" Rara dengan histeris memeluk Alya yang tengah tenggelam dalam lamunannya. Di benaknya, Alya memutar ulang semua kejadian sejak pertama kali ia melihat Leo di kafenya hingga detik ini. Saat ia menunggu di ruang tunggu pengantin. Di hotel saudaranya di pulau Bali. Proses Ijab kabul sudah dilaksanakan di Jakarta Jumat lalu, dan resepsi dilakasanakan dua kali. Pertama di Jakarta yang bersifat terbuka. Ada lebih dari seribu tamu undangan. Alya sendiri tidak tahu siapa saja tamu di pesta pernikahannya itu. Ia hanya mengenal beberapa wajah, tidak lebih dari dua seratus orang. Mereka adalah sahabat, rekan kerja, karyawan di kafenya, dan beberapa teman sekolah termasuk juga teman kuliah. Selebihnya adalah orang asing, tamu dari kedua keluarga besar yang menyatu itu. Dan sekarang, seminggu setelah pesta di Jakarta mereka, Leo dan keluarganya lebih tepatnya, mengadakan pesta kedua yang bersifat lebih private. Hanya keluarga, sahabat dan kerabat dekat yang diun
Sejak saat itu, Alya selalu menemukan dirinya bersama Leo. Tidak, bukan berarti mereka berkencan atau semacamnya. Sama sekali tidak. Hanya saja. Entah bagaimana, mereka selalu bertemu. Baik itu saat acara keluarga, atau hanya Leo yang sedang mengunjungi kafe untuk makan, acara kumpul-kumpul dengan saudara sepupunya. Alya menemukan laki-laki itu selalu ada di mana-mana dan menghantuinya. Awalnya Alya hanya berani melempar senyum sopan yang kurang tulus, tetapi kemudian mereka saling mengirim pesan meski hanya sekali dalam sehari. Itu pun, karena laki-laki bernama Leonardo itu sering menerornya melalui pesan-pesan singkat. Tak lama, kurang dari tiga bulan, Leo mulai berani mengajaknya pergi makan malam. Bukan di kafe miliknya, bukan juga di restoran mahal dengan suasana romantis, bukan juga di hotel dengan masakan kebarat-baratan, bukan pula restoran jepang. Dan tentu saja bukan warung tenda, meski sebenarnya Alya tak akan keberatan jika Leo yang mengajak. Sayangnya, tidak. Leo
Lima tahun yang lalu... Sejak mimpi aneh itu, Alya tidak lagi berani untuk tidur setelah Ashar atau maghrib. Jika sangat mengantuk, Alya akan memaksakan diri untuk membantu Reno di dapur alias memata-matai Reno. Atau Alya akan meluangkan waktu sekitar satu jam untuk tidur siang setelah jam makan siang berakhir. Namun, Alya paling tidak berani menunjukkan wajahnya saat jam-jam sarapan, makan siang atau makan malam. Ia akan berdiam diri, di ruangan kecil yang terletak di lantai dua, ditemani oleh laptop miliknya dan cemilan khusus yang disiapkan Reno. Setelah, dengan cerobohnya ia mengundang laki-laki asing untuk bekerja di kafe dan bahkan memimpikannya, Alya dengan jiwa pengecutnya berharap laki-laki itu tak akan pernah datang lagi ke kafenya. Ia terlalu malu, lebih dari itu ia sangat cemas. Cemas dengan mimpinya. Selama seminggu pertama sejak hari itu, hari Alya berbicara dengan laki-laki tampan berkunjung ke dalam mimpinya, Alya selalu datang terlambat. Ia baru akan tiba di kaf