Share

BAB 11 - Semua Ada Alasannya

Mili menyeruput teh dingin dari dalam botol. Tangannya mengelap keringat yang keluar dari pori-pori keningnya. Dia memandang seluruh isi kantin. Dari satu sudut ke sudut lainnya. Kemudian kembali menikmati menu makan siang yang sebenarnya tidak terasa enak ketika teringat rupa dari bangkai yang dia temukan beberapa jam lalu. Perutnya terasa mual saat secara tidak sadar aroma tidak enak terasa terus menempel di rongga hidungnya.

“Hai, Mili.” Suara familiar terdengar di telingnya.

Mili mengehela napas malas. “Lo ngapain lagi?”

“Saya? Nggak, mau datengin kamu aja. Kamu nggak apa-apa?”

Melihat wajah cowok di sampingnya tersebut, semakin membuat Mili tidak nafsu menghabiskan makan siangnya. “Lo punya mata? Bisa lihat kan kalau gue nggak kenapa-kenapa?”

Cowok itu membenarkan posisi kaca matanya. “Bukannya kamu tadi nemuin sesuatu ya di bawah meja kamu?”

Mili membaca tulisan dalam name tag yang menempel di kemeja. “Dirgantara.... Oh what, siapa pun nama lo, nggak ada urusannya sama lo. Mau gue ketemu bangkai, harta karun.”

“Oh... Iy-iya. Tapi saya cuma dengar aja dari anak-anak lain. Jadi mau mastiin aja.” Cowok bernama Dirgantara itu seketika salah tingkah.

So? Lo ngapain masih di sini?”

“Saya mau di sini aja. Menemani kamu.”

Mili mendorong piring ke tengah meja, menyeruput sisa teh dingin sampai habis, kemudian bangun dari duduknya. “Dasar Alien! Lo nyadar nggak, sih, kalau lo itu aneh? Nggak usah deketin gue. Gue nggak suka. And you must remember that!

Mili berjalan keluar dari kantin, berencana menghampiri Karina yang sejak tadi berada di ruang Bimibingan Konseling. Dia membalikan tubuhnya sekali untuk kembali melihat Dirga, memastikan cowok aneh itu tidak mengikutinya. Namun rasa itu kembali datang. Rasa diikuti sesuatu. Untuk pertama kali bulu kuduknya terasa merinding tepat ketika dia berjalan melewati ruang latihan teater. Bola mata Mili tidak henti melirik ke segala arah. Memastikan bahwa rasa aneh itu hanya perasaannya saja.

“Mil?” Sapaan Karina yang muncul tiba-tiba membuatnya terkejut. Hampir saja Mili berteriak.

Mili menghembuskan napas. “Astaga, lo ngagetin gue, Kar. Udah ketemu Guru BK? Apa katanya?”

“Aku mau pulang sekarang, Mil. Kata beliau aku mendingan pulang buat nenangin diri dulu. Dan pihak guru mau cari siapa yang ngelakuin hal itu.”

“Yah, gue sendirian dong. Tapi yang ngelakuin emang keterlaluan. Ngapain coba taruh bangkai burung gereja segala. Masih ada darahnya pula. Tega banget.” Mili masih bisa membayangkan rupa bangkai tersebut. Merasa jijik.

Karina mengangkat bahu. “Nggak tahu deh. Semoga pelakunya cepet ketemu ya, Mil. Dan.... kamu sadar nggak sih. Kalau tulisan tangan di kertas yang ditaruh bareng bangkai itu sama kayak tulisan di kertas dalam kotak?”

“Ah masa?” Mili berusaha mengingat, tapi tidak berhasil. “Really? Jangan-jangan pelakunya sama.”

Karina tidak berani menjawab. Dia hanya ingin secepatnya pulang dan tidur di atas kasur. Kepalanya terasa sakit. Sedangkan Mili sibuk berpikir mengenai kecurigaannya terhadap seseorang. Dirgantara.... Tidak tahu mengapa nama teman seangkatan yang gemar mengikutinya tersebut terus terngiang. Mengapa cowok itu selalu muncul ketika Mili sedang sendiri? Mengapa ada perasaan aneh setiap bertemu dengannya? Mili berusaha mengingat kapan pertama kali Dirga mulai mengikutinya.

“Duh, enak ya yang sakit! Bisa pulang jam segini.” Amanda yang berdiri di ambang pintu kelasnya berteriak. Membuat banyak pasang mata melihat ke arah Karina dan Mili.

“Tuh bule maunya apa, sih?” Bisik Mili sambil menahan rasa kesal.

Karina tidak ingin meladeni. Dia memilih untuk masuk ke dalam kelas dan mengambil tasnya. “Mil, aku pulang ya.”

Okay, take care, Kar. Kalau ada yang macem-macem jangan lupa teriak yang kenceng!”

Mili mengantar Karina sampai ke pintu gerbang. Sementara itu terlihat dari jauh, Tiara yang berlari-lari berusaha menghampiri mereka. Dia tampak semangat ingin mengatakan sesuatu. Ekspresi wajah Mili berubah saat cewek tersebut berhasil berada di sampingnya.

Oh my god!” Mili menjauh beberapa langkah. Memastikan tubuh Tiara tidak dekat dengannya.

“Kenapa, Ra?” tanya Karina sambil memakai knitted jacket pelan tapi pasti.

“Latihan hari ini gimana ya? Tadi aku lihat Roni sama Abdul pulang karena diskors. Sekarang kamu juga pulang.” Mata Tiara melirik tas yang menggantung di bahu Karina.

“Diskors?!” Nada Karina meninggi tidak percaya. Dia merasa ada yang tidak beres dengan Roni. Dia tahu betul kalau Roni jarang sekali kena hukuman sekolah. Bahkan menghindari.

Tiara mengangguk. “Iya, kamu nggak tahu? Tadi pagi Roni sama Abdul berantem dekat parkiran. Muka mereka aja sampai babak belur.”

Are you sure? Lo nggak ngarang cerita, kan?” Mili menatap wajah Tiara serius.

“Iya, sumpah. Tadi aku sempat ngobrol sebentar kok sama Roni. Ada apa, Kar? Kalian lagi berantem juga?” Sulit untuk tidak bertanya hal semacam itu saat mengetahui bahwa masing-masing dari pasangan populer sekolah tersebut sedang tidak tahu kabar satu sama lain.

Mili tertawa sebal. “Lo kepo banget, sih? Udah sana. Soal latihan, kayaknya harus diundur lagi. Bilangin juga sama anak-anak yang lain. Kasihan Karina, mau istirahat.”

Tiara memandang wajah Karina yang mulai berubah. Bola matanya menunjukan kesenduan, tidak ada senyuman ramah yang biasa dikeluarkan. Tanpa menunggu jawaban, Tiara memutuskan untuk kembali ke kelas. Lagipula Mili sejak tadi sudah mengeluarkan gelagat tidak suka.

“Genk udik selamanya akan menjadi genk udik! Iwww...” Mili bergumam. “Udah, lo balik dulu aja. Nggak usah mikirin yang macem-macem. Wajar kalau Roni diskors dengan alasan berantem sama Abdul. Pacar lo butuh liburan, Kar.”

Karina mengangguk, kemudian berjalan ke luar gerbang. Sambil menunggu taksi, dia memandang langit terang di atas, matahari yang bersembunyi di balik awan membuatnya semakin kehilangan semangat.

"Kenapa jadi begini?" tanya Karina dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status