Mili menyeruput teh dingin dari dalam botol. Tangannya mengelap keringat yang keluar dari pori-pori keningnya. Dia memandang seluruh isi kantin. Dari satu sudut ke sudut lainnya. Kemudian kembali menikmati menu makan siang yang sebenarnya tidak terasa enak ketika teringat rupa dari bangkai yang dia temukan beberapa jam lalu. Perutnya terasa mual saat secara tidak sadar aroma tidak enak terasa terus menempel di rongga hidungnya.
“Hai, Mili.” Suara familiar terdengar di telingnya.
Mili mengehela napas malas. “Lo ngapain lagi?”
“Saya? Nggak, mau datengin kamu aja. Kamu nggak apa-apa?”
Melihat wajah cowok di sampingnya tersebut, semakin membuat Mili tidak nafsu menghabiskan makan siangnya. “Lo punya mata? Bisa lihat kan kalau gue nggak kenapa-kenapa?”
Cowok itu membenarkan posisi kaca matanya. “Bukannya kamu tadi nemuin sesuatu ya di bawah meja kamu?”
Mili membaca tulisan dalam name tag yang menempel di kemeja. “Dirgantara.... Oh what, siapa pun nama lo, nggak ada urusannya sama lo. Mau gue ketemu bangkai, harta karun.”
“Oh... Iy-iya. Tapi saya cuma dengar aja dari anak-anak lain. Jadi mau mastiin aja.” Cowok bernama Dirgantara itu seketika salah tingkah.
“So? Lo ngapain masih di sini?”
“Saya mau di sini aja. Menemani kamu.”
Mili mendorong piring ke tengah meja, menyeruput sisa teh dingin sampai habis, kemudian bangun dari duduknya. “Dasar Alien! Lo nyadar nggak, sih, kalau lo itu aneh? Nggak usah deketin gue. Gue nggak suka. And you must remember that!”
Mili berjalan keluar dari kantin, berencana menghampiri Karina yang sejak tadi berada di ruang Bimibingan Konseling. Dia membalikan tubuhnya sekali untuk kembali melihat Dirga, memastikan cowok aneh itu tidak mengikutinya. Namun rasa itu kembali datang. Rasa diikuti sesuatu. Untuk pertama kali bulu kuduknya terasa merinding tepat ketika dia berjalan melewati ruang latihan teater. Bola mata Mili tidak henti melirik ke segala arah. Memastikan bahwa rasa aneh itu hanya perasaannya saja.
“Mil?” Sapaan Karina yang muncul tiba-tiba membuatnya terkejut. Hampir saja Mili berteriak.
Mili menghembuskan napas. “Astaga, lo ngagetin gue, Kar. Udah ketemu Guru BK? Apa katanya?”
“Aku mau pulang sekarang, Mil. Kata beliau aku mendingan pulang buat nenangin diri dulu. Dan pihak guru mau cari siapa yang ngelakuin hal itu.”
“Yah, gue sendirian dong. Tapi yang ngelakuin emang keterlaluan. Ngapain coba taruh bangkai burung gereja segala. Masih ada darahnya pula. Tega banget.” Mili masih bisa membayangkan rupa bangkai tersebut. Merasa jijik.
Karina mengangkat bahu. “Nggak tahu deh. Semoga pelakunya cepet ketemu ya, Mil. Dan.... kamu sadar nggak sih. Kalau tulisan tangan di kertas yang ditaruh bareng bangkai itu sama kayak tulisan di kertas dalam kotak?”
“Ah masa?” Mili berusaha mengingat, tapi tidak berhasil. “Really? Jangan-jangan pelakunya sama.”
Karina tidak berani menjawab. Dia hanya ingin secepatnya pulang dan tidur di atas kasur. Kepalanya terasa sakit. Sedangkan Mili sibuk berpikir mengenai kecurigaannya terhadap seseorang. Dirgantara.... Tidak tahu mengapa nama teman seangkatan yang gemar mengikutinya tersebut terus terngiang. Mengapa cowok itu selalu muncul ketika Mili sedang sendiri? Mengapa ada perasaan aneh setiap bertemu dengannya? Mili berusaha mengingat kapan pertama kali Dirga mulai mengikutinya.
“Duh, enak ya yang sakit! Bisa pulang jam segini.” Amanda yang berdiri di ambang pintu kelasnya berteriak. Membuat banyak pasang mata melihat ke arah Karina dan Mili.
“Tuh bule maunya apa, sih?” Bisik Mili sambil menahan rasa kesal.
Karina tidak ingin meladeni. Dia memilih untuk masuk ke dalam kelas dan mengambil tasnya. “Mil, aku pulang ya.”
“Okay, take care, Kar. Kalau ada yang macem-macem jangan lupa teriak yang kenceng!”
Mili mengantar Karina sampai ke pintu gerbang. Sementara itu terlihat dari jauh, Tiara yang berlari-lari berusaha menghampiri mereka. Dia tampak semangat ingin mengatakan sesuatu. Ekspresi wajah Mili berubah saat cewek tersebut berhasil berada di sampingnya.
“Oh my god!” Mili menjauh beberapa langkah. Memastikan tubuh Tiara tidak dekat dengannya.
“Kenapa, Ra?” tanya Karina sambil memakai knitted jacket pelan tapi pasti.
“Latihan hari ini gimana ya? Tadi aku lihat Roni sama Abdul pulang karena diskors. Sekarang kamu juga pulang.” Mata Tiara melirik tas yang menggantung di bahu Karina.
“Diskors?!” Nada Karina meninggi tidak percaya. Dia merasa ada yang tidak beres dengan Roni. Dia tahu betul kalau Roni jarang sekali kena hukuman sekolah. Bahkan menghindari.
Tiara mengangguk. “Iya, kamu nggak tahu? Tadi pagi Roni sama Abdul berantem dekat parkiran. Muka mereka aja sampai babak belur.”
“Are you sure? Lo nggak ngarang cerita, kan?” Mili menatap wajah Tiara serius.
“Iya, sumpah. Tadi aku sempat ngobrol sebentar kok sama Roni. Ada apa, Kar? Kalian lagi berantem juga?” Sulit untuk tidak bertanya hal semacam itu saat mengetahui bahwa masing-masing dari pasangan populer sekolah tersebut sedang tidak tahu kabar satu sama lain.
Mili tertawa sebal. “Lo kepo banget, sih? Udah sana. Soal latihan, kayaknya harus diundur lagi. Bilangin juga sama anak-anak yang lain. Kasihan Karina, mau istirahat.”
Tiara memandang wajah Karina yang mulai berubah. Bola matanya menunjukan kesenduan, tidak ada senyuman ramah yang biasa dikeluarkan. Tanpa menunggu jawaban, Tiara memutuskan untuk kembali ke kelas. Lagipula Mili sejak tadi sudah mengeluarkan gelagat tidak suka.
“Genk udik selamanya akan menjadi genk udik! Iwww...” Mili bergumam. “Udah, lo balik dulu aja. Nggak usah mikirin yang macem-macem. Wajar kalau Roni diskors dengan alasan berantem sama Abdul. Pacar lo butuh liburan, Kar.”
Karina mengangguk, kemudian berjalan ke luar gerbang. Sambil menunggu taksi, dia memandang langit terang di atas, matahari yang bersembunyi di balik awan membuatnya semakin kehilangan semangat.
"Kenapa jadi begini?" tanya Karina dalam hati.
Gue ini kenapa? Salah gue di mana?Pertanyaan-pertanyaan yang berterbangan dalam benak Roni menambah rasa kecewa yang sulit dia jelaskan. Sambil mengganti seragam dengan baju seadanya yang dia ambil dari lemari, dia memandang seorang pria tua yang terbaring di sebuah ranjang dengan hati-hati.Hampir seluruh rambut pria tersebut sudah memutih disertai kulit tubuh yang sudah dipenuhi kerutan. Pria itu tenang, menikmati tidurnya. Hanya terlihat perutnya yang buncit bergerak naik turun, mengikuti irama napas.Roni mengikat celana training yang sedikit longgar. Merasakan perbedaan ukuran tubuhnya dengan sang ayah. Begitu juga dengan Polo t-shirt berwarna navy yang gombrang. Selesai berganti pakaian, Roni duduk di atas kursi yang terletak tepat di samping ranjang. Dia memperhatikan wajah pria di hadapannya.Tetesan cairan infus mengalir teratur, memasuki jarum yang tertusuk di tangan pria itu. Sesaat Roni bisa merasakan amarah ketika
Mili menyeruput teh dingin dari dalam botol. Tangannya mengelap keringat yang keluar dari pori-pori keningnya. Dia memandang seluruh isi kantin. Dari satu sudut ke sudut lainnya. Kemudian kembali menikmati menu makan siang yang sebenarnya tidak terasa enak ketika teringat rupa dari bangkai yang dia temukan beberapa jam lalu. Perutnya terasa mual saat secara tidak sadar aroma tidak enak terasa terus menempel di rongga hidungnya.“Hai, Mili.” Suara familiar terdengar di telingnya.Mili mengehela napas malas. “Lo ngapain lagi?”“Saya? Nggak, mau datengin kamu aja. Kamu nggak apa-apa?”Melihat wajah cowok di sampingnya tersebut, semakin membuat Mili tidak nafsu menghabiskan makan siangnya. “Lo punya mata? Bisa lihat kan kalau gue nggak kenapa-kenapa?”Cowok itu membenarkan posisi kaca matanya. “Bukannya kamu tadi nemuin sesuatu ya di bawah meja kamu?”Mili membaca tulisan dalam name
Jam belajar telah dimulai. Suasana sekolah mulai tenang dan sepi. Lapangan dipenuhi murid dari sebuah kelas yang sedang mengikuti mata pelajaran olahraga.Abdul menendang gelas plastik bekas minuman yang tergeletak di pinggir lapangan. Menuangkan emosi yang masih bergemuruh di dalam dadanya. Dia tidak terima dengan apa yang baru saja ia dengar. Keputusan kepala sekolah mengenai hukuman mereka.Sementara Roni sejak tadi hanya memandang kelas Karina dari kejauhan, lalu bergantian memandang Abdul. Sesekali dia memegang hidungnya yang mulai terasa berdenyut. Pukulan Abdul lumayan juga, pikir Roni.“Roni?” Tiara memenghampiri Roni sambil membawa tumpukan kertas yang dia peluk di dada.Cukup sulit untuk mengeluarkan senyum saat kondisi wajahnya babak belur. Roni menaikan alisnya.Tiara memperhatikan luka Roni serius. Dia tahu kejadian apa yang baru saja terjadi dengan teman sekelasnya itu. “Nggak masuk kelas?”“Gue di
Semua tampak sama saja. Karina mengamati setiap sudut sekolah. Dia menghindari tatapan-tatapan aneh yang diberikan oleh siswa lain sepanjang koridor menuju kelas. Mengapa kabar bohong itu menyebar cepat? Siapa yang menaruh dendam? Karina menggelengkan kepala, tetap coba berpikir positif. Toh ada Milli yang berada di sampingnya memasang badan.“Lo akhirnya berani masuk juga?” Amanda melipat tangannya di depan dada. Ekspresinya penuh maksud, seulas senyum keluar dari bibirnya yang tebal. “Ya ampun, lo harusnya pakai apa kek, masker, atau semacamnya. Lo mau nularin satu sekolahan?”Karina dan Mili saling pandang. Mili memasukan untaian rambut ke balik telinga. “Apa? Lo ngomong apa barusan?”Amanda menyipitkan mata. “Sebentar, jangan-jangan lo udah tertular juga. Lo kan temen se
Mili mendatangi rumah Karina. Setelah menekan tombol bel, lalu dipersilakan masuk, Mili duduk di sofa ruang tamu. Tubuhnya lemas, suhu tubuhnya tidak stabil. Mili tahu sendiri bahwa kondisi kesehatannya semakin menurun. Seharusnya dia tidak keluar rumah dan beristirahat saja. Namun dia justru lebih merasa tidak sehat kalau harus sendirian di kamar. Karina terkejut melihat kehadiran Mili. “Mil, kamu nggak sekolah?” Mili mengangguk. “Gue boleh nginep di rumah lo malam ini, kan, Kar?” “Ada apa, Mil?” Karina duduk di samping Mili, memegang kening Mili yang terasa hangat. “Mil?” “Gue cuma lagi kurang fit akhir-akhir ini. Lagian, bokap nyokap gue tadi subuh berangkat ke Brunei, ada kerja
Abdul berlari mengejar Roni yang berjalan cepat menuju kelas. Dia ingin sekali menyelesaikan masalahnya kemarin. Tidak peduli bagaimana Roni marah padanya, yang dia pikirkan hanyalah Karina. Hanya demi Karina. Dia tahu betul, peristiwa di rumah Karina menambah pikiran cewek itu. Padahal jelas, Karina sedang down akibat tulisan yang keluar dari kotak itu. Karina butuh orang yang sangat dia sayangi saat ini dan orang itu salah satunya adalah Roni. Kini masalah yang harus dihadapi Karina bertambah.Abdul dapat melihat tatapan penuh amarah Roni ketika dia berhasil membuat langkah kaki Roni terhenti. Bahu Roni meninggi, kepalanya tegak, matanya lurus menatap Abdul. Melihat tampang Roni, membuat keinginan Abdul kembali mencuat. Keinginan untuk memukul wajah Roni, membalas yang belum terbalas.