Mili mendatangi rumah Karina. Setelah menekan tombol bel, lalu dipersilakan masuk, Mili duduk di sofa ruang tamu. Tubuhnya lemas, suhu tubuhnya tidak stabil. Mili tahu sendiri bahwa kondisi kesehatannya semakin menurun. Seharusnya dia tidak keluar rumah dan beristirahat saja. Namun dia justru lebih merasa tidak sehat kalau harus sendirian di kamar.
Karina terkejut melihat kehadiran Mili. “Mil, kamu nggak sekolah?”
Mili mengangguk. “Gue boleh nginep di rumah lo malam ini, kan, Kar?”
“Ada apa, Mil?” Karina duduk di samping Mili, memegang kening Mili yang terasa hangat. “Mil?”
“Gue cuma lagi kurang fit akhir-akhir ini. Lagian, bokap nyokap gue tadi subuh berangkat ke Brunei, ada kerjaan. Jadi gue sendiri di rumah.”
“Bukannya kamu biasanya seneng kalau rumah kosong?”
Mili membenarkan posisi duduknya. “Itu dia, gue.... Gue nggak apa-apa sih. I’m okay. Cuma sepi aja di rumah. So bored. Oh ya, sore ini nyalon aja gimana? Lo juga lagi butuh refreshing, kan? Dari kemarin gue pengin nyalon nih. Rambut kerasanya nggak banget!”
Ada yang berbeda dari Mili, dan Karina bisa merasakan itu. Mili tidak seceria biasanya dan cara bicara Mili berbeda. Biasanya Mili sangat semangat kalau sudah membicarakan soal perawatan, tapi kali ini ekspresi Mili datar. Tidak bergairah.
“Eh, Mil, kamu belum tahu ya soal Roni mukul Abdul kemarin?” Kejadian tersebut kembali terbayang di benak Karina.
“Wow, are you sure, Kar? They were fighting for? Ah, gue lupa. Berebut lo?”
“Bukan berebut, aku aja nggak tahu kok kenapa Roni jadi emosian gitu. Dia tiba-tiba dateng, terus nonjok Abdul. Kasihan kan Abdul.”
Mili menepuk tangannya. “Gue tahu! Kemarin di sekolah, gue sama Roni ngobrol sedikit soal lo. Roni lagi goyah gara-gara kotak itu. Cowok lo lemah ya. Sama kotak doang takut.”
“Tapi ini beda, Mil. Kok bisa gitu ya, ada yang tahu soal rahasia aku sama Roni. Padahal kami sama-sama nyimpen. Nggak ada yang pernah ngomongin rahasia kami di depan orang lain. Aku sih gitu. Nggak tahu kalau Roni.”
“Tunggu deh, gue mau nanya, tapi lo jangan ngambek ya, jadi yang dalam tulisan itu bener? Lo...”
“Nggak! Mil... Aku nggak ngidap penyakit apa-apa.”Air mata Karina tertahan di pelupuk. Dia menatap satu figura besar di tengah dinding ruang tamu. “Kakak aku yang sakit.”
Mili memandangi sosok cewek yang memiliki wajah mirip dengan Karina dalam foto. Rambutnya sama-sama panjang, kulitnya sama-sama berwarna kuning langsat. Cewek itu berdiri di samping Karina. “Tapi kok lo nggak cerita soal ini sama gue? Sekarang kakak lo di mana?”
Air mata Karina mengalir. “Dia udah nggak ada, Mil. Udah dipanggil Tuhan.”
“Sorry to hear that, Kar.”
“Nggak apa-apa. Waktu SMP, aku pernah di-bully gara-gara itu. Makanya aku takut buat cerita. Sama siapa pun. Sampai suatu waktu aku kenal sama Roni. Dan yang tahu soal itu cuma Roni.” Tangan Karina sibuk mengelap air mata. Tiba-tiba dia bisa merasakan sesuatu yang kosong saat mengingat bahwa sekarang dia dan Roni sedang bertengkar.
Mili menghela napas. “Jadi lo jauh-jauh pindah dari Bandung ke Jakarta demi ngehindar dari hal yang sama? Kok teman-teman lo jahat gitu sih. Kalau gue jadi lo, gue udah tuntut semuanya. Sekolahnya sekalian.”
“Iya, aku sama mama jadi pindah ke Jakarta. Sementara papa tetep kerja di Bandung. Beruntungnya, mama juga waktu itu emang lagi ada bisnis di sini. Makanya aku belum berani masuk sekolah sampai hari ini. Aku takut, Mil... Takut...”
“Ya kalau ada yang macem-macem, jelasin aja semuanya, Kar. Gue bantuin lo! Pasti! Lagian ada Roni sama Abdul juga kan. Lo nggak sendirian kok. So, lo besok harus masuk lagi. Temenin gue. Mau sampai kapan lo ngehindar? Masalah nggak akan selesai dengan cara menghindar, Kar. Okay?”
Karina menatap kembali figura di dinding, “Iya, deh iya."
"Gitu dong! Kan gue juga nggak ada temen di sekolah. Ogah banget harus nongkrong atau main sama geng-geng kutu buku kayak Tiara sama teman-temannya gitu. Hih."
"Ya padahal bagus juga, Mil. Siapa tahu nular pinternya. Hahaha."
Mili dengan cepat mengambil bantal kecil di sampingnya, lalu melemparkan ke arag Karina. "Dasar ya lo! It's okay, penting lo udah bisa balik ketawa. Just ignore them, Kar. Janju ya lo besok mau masuk sekolah lagi?"
"Iyaaaa. Bawel!"
Gue ini kenapa? Salah gue di mana?Pertanyaan-pertanyaan yang berterbangan dalam benak Roni menambah rasa kecewa yang sulit dia jelaskan. Sambil mengganti seragam dengan baju seadanya yang dia ambil dari lemari, dia memandang seorang pria tua yang terbaring di sebuah ranjang dengan hati-hati.Hampir seluruh rambut pria tersebut sudah memutih disertai kulit tubuh yang sudah dipenuhi kerutan. Pria itu tenang, menikmati tidurnya. Hanya terlihat perutnya yang buncit bergerak naik turun, mengikuti irama napas.Roni mengikat celana training yang sedikit longgar. Merasakan perbedaan ukuran tubuhnya dengan sang ayah. Begitu juga dengan Polo t-shirt berwarna navy yang gombrang. Selesai berganti pakaian, Roni duduk di atas kursi yang terletak tepat di samping ranjang. Dia memperhatikan wajah pria di hadapannya.Tetesan cairan infus mengalir teratur, memasuki jarum yang tertusuk di tangan pria itu. Sesaat Roni bisa merasakan amarah ketika
Mili menyeruput teh dingin dari dalam botol. Tangannya mengelap keringat yang keluar dari pori-pori keningnya. Dia memandang seluruh isi kantin. Dari satu sudut ke sudut lainnya. Kemudian kembali menikmati menu makan siang yang sebenarnya tidak terasa enak ketika teringat rupa dari bangkai yang dia temukan beberapa jam lalu. Perutnya terasa mual saat secara tidak sadar aroma tidak enak terasa terus menempel di rongga hidungnya.“Hai, Mili.” Suara familiar terdengar di telingnya.Mili mengehela napas malas. “Lo ngapain lagi?”“Saya? Nggak, mau datengin kamu aja. Kamu nggak apa-apa?”Melihat wajah cowok di sampingnya tersebut, semakin membuat Mili tidak nafsu menghabiskan makan siangnya. “Lo punya mata? Bisa lihat kan kalau gue nggak kenapa-kenapa?”Cowok itu membenarkan posisi kaca matanya. “Bukannya kamu tadi nemuin sesuatu ya di bawah meja kamu?”Mili membaca tulisan dalam name
Jam belajar telah dimulai. Suasana sekolah mulai tenang dan sepi. Lapangan dipenuhi murid dari sebuah kelas yang sedang mengikuti mata pelajaran olahraga.Abdul menendang gelas plastik bekas minuman yang tergeletak di pinggir lapangan. Menuangkan emosi yang masih bergemuruh di dalam dadanya. Dia tidak terima dengan apa yang baru saja ia dengar. Keputusan kepala sekolah mengenai hukuman mereka.Sementara Roni sejak tadi hanya memandang kelas Karina dari kejauhan, lalu bergantian memandang Abdul. Sesekali dia memegang hidungnya yang mulai terasa berdenyut. Pukulan Abdul lumayan juga, pikir Roni.“Roni?” Tiara memenghampiri Roni sambil membawa tumpukan kertas yang dia peluk di dada.Cukup sulit untuk mengeluarkan senyum saat kondisi wajahnya babak belur. Roni menaikan alisnya.Tiara memperhatikan luka Roni serius. Dia tahu kejadian apa yang baru saja terjadi dengan teman sekelasnya itu. “Nggak masuk kelas?”“Gue di
Semua tampak sama saja. Karina mengamati setiap sudut sekolah. Dia menghindari tatapan-tatapan aneh yang diberikan oleh siswa lain sepanjang koridor menuju kelas. Mengapa kabar bohong itu menyebar cepat? Siapa yang menaruh dendam? Karina menggelengkan kepala, tetap coba berpikir positif. Toh ada Milli yang berada di sampingnya memasang badan.“Lo akhirnya berani masuk juga?” Amanda melipat tangannya di depan dada. Ekspresinya penuh maksud, seulas senyum keluar dari bibirnya yang tebal. “Ya ampun, lo harusnya pakai apa kek, masker, atau semacamnya. Lo mau nularin satu sekolahan?”Karina dan Mili saling pandang. Mili memasukan untaian rambut ke balik telinga. “Apa? Lo ngomong apa barusan?”Amanda menyipitkan mata. “Sebentar, jangan-jangan lo udah tertular juga. Lo kan temen se
Mili mendatangi rumah Karina. Setelah menekan tombol bel, lalu dipersilakan masuk, Mili duduk di sofa ruang tamu. Tubuhnya lemas, suhu tubuhnya tidak stabil. Mili tahu sendiri bahwa kondisi kesehatannya semakin menurun. Seharusnya dia tidak keluar rumah dan beristirahat saja. Namun dia justru lebih merasa tidak sehat kalau harus sendirian di kamar. Karina terkejut melihat kehadiran Mili. “Mil, kamu nggak sekolah?” Mili mengangguk. “Gue boleh nginep di rumah lo malam ini, kan, Kar?” “Ada apa, Mil?” Karina duduk di samping Mili, memegang kening Mili yang terasa hangat. “Mil?” “Gue cuma lagi kurang fit akhir-akhir ini. Lagian, bokap nyokap gue tadi subuh berangkat ke Brunei, ada kerja
Abdul berlari mengejar Roni yang berjalan cepat menuju kelas. Dia ingin sekali menyelesaikan masalahnya kemarin. Tidak peduli bagaimana Roni marah padanya, yang dia pikirkan hanyalah Karina. Hanya demi Karina. Dia tahu betul, peristiwa di rumah Karina menambah pikiran cewek itu. Padahal jelas, Karina sedang down akibat tulisan yang keluar dari kotak itu. Karina butuh orang yang sangat dia sayangi saat ini dan orang itu salah satunya adalah Roni. Kini masalah yang harus dihadapi Karina bertambah.Abdul dapat melihat tatapan penuh amarah Roni ketika dia berhasil membuat langkah kaki Roni terhenti. Bahu Roni meninggi, kepalanya tegak, matanya lurus menatap Abdul. Melihat tampang Roni, membuat keinginan Abdul kembali mencuat. Keinginan untuk memukul wajah Roni, membalas yang belum terbalas.