Share

BAB 12 - Rasa Benci

Gue ini kenapa? Salah gue di mana?

Pertanyaan-pertanyaan yang berterbangan dalam benak Roni menambah rasa kecewa yang sulit dia jelaskan. Sambil mengganti seragam dengan baju seadanya yang dia ambil dari lemari, dia memandang seorang pria tua yang terbaring di sebuah ranjang dengan hati-hati.

Hampir seluruh rambut pria tersebut sudah memutih disertai kulit tubuh yang sudah dipenuhi kerutan. Pria itu tenang, menikmati tidurnya. Hanya terlihat perutnya yang buncit bergerak naik turun, mengikuti irama napas.

Roni mengikat celana training yang sedikit longgar. Merasakan perbedaan ukuran tubuhnya dengan sang ayah. Begitu juga dengan Polo t-shirt berwarna navy yang gombrang. Selesai berganti pakaian, Roni duduk di atas kursi yang terletak tepat di samping ranjang. Dia memperhatikan wajah pria di hadapannya.

Tetesan cairan infus mengalir teratur, memasuki jarum yang tertusuk di tangan pria itu. Sesaat Roni bisa merasakan amarah ketika mengingat cara pria tersebut membahagiakan keluarganya. Bagaimana ketika sebagian kebahagiaan tersebut datang dari uang yang bukan hak mereka. Namun, saat suara napas berat terdengar samar di telingannya, amarah itu berganti dengan rasa pilu.

“Ayah juga manusia biasa, Ron. Dia bisa khilaf, bisa melakukan sesuatu yang harusnya dia nggak lakukan. Ayah butuh kita. Jangan marah lagi sama Ayah.”

Seketika kata-kata yang pernah dikatakan Ibu muncul, seperti angin malam yang menusuk dadanya. Roni mengusap-ngusap wajahnya sendiri, mencoba sadar. Dia bangkit dari duduknya, membawa sejumlah uang yang dia masukan ke dalam saku. Kemudian ia pergi ke mini market yang terletak tidak jauh dari rumah sakit. Roni membeli beberapa barang yang menurutnya bisa membuatnya sedikit tenang.

Lalu dia duduk di salah satu bangku di teras mini market, menikmati satu kaleng minuman bersoda, dan menyalakan satu puntung rokok. Benda yang sudah lama dia tidak sentuh sejak satu tahun terakhir. Benda yang paling dibenci oleh Karina.

_____

Ibu melempar tas Roni kencang ke atas lantai. Wajahnya memerah, matanya terbelalak, giginya saling menggigit. Membuat kerutan di sekitar matanya terlihat lebih jelas dari biasanya. Sambil menghela napas, Ibu melipat tangannya di depan dada. Dia tidak mengganti arah pandangnya, fokus dengan wajah Roni yang menunduk.

“Siapa yang ngajarin kamu ngerokok? Ayah? Ayah nggak ngerokok, Ron!” Ibu berusaha mengecilkan volume suara sebisanya.

Sambil mengumpulkan kata-kata dan sejuta alasan di otaknya, Roni tetap menunduk, menghindari tatapan Ibu. Roni menatap garis-garis ubin yang dia injak. Hanya itu yang berani dia lihat.

“Kamu masih SMP. Siapa yang ngajarin? Jawab pertanyaan Ibu? Atau mau nanti Ibu tanya langsung ke temen-temen kamu? Udah Ibu bilang, jangan pernah ngerokok. Ayah dari dulu nggak pernah ngerokok, kan? Masa kamu tiba-tiba ngerokok? Nyontoh siapa? Jawab pertanyaan Ibu!”

Roni berusaha memberanikan diri untuk menatap wajah Ibu. “Nggak ada, Bu. Roni cuma ngikutin temen.”

Ibu kembali menghela napas panjang. “Temen yang mana? Ibu tahu, Ibu nggak bisa ngawasin kamu setiap detik, tapi kamu harusnya bisa jaga diri kamu sendiri. Kenapa kamu ngerokok? Coba-coba? Biar keren?”

“Nggak, Bu.”

“Udah, jujur aja sama Ibu. Kenapa kamu ngerokok?”

Seketika kepalanya terasa pusing dan amarah tertahan di lubuk dadanya. Roni menatap Ibu dengan tatapan yang dalam. “Karena Roni benci sama Ayah.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status