Tim Theater populer SMA Primadani memiliki media khusus untuk berkomunikasi. Namanya ‘Kotak Berbicara’. Sebenarnya kotak itu adalah kotak biasa berbahan kardus berwarna putih. Kotak itu menjadi sebuah wadah anak-anak Tim Theater mencurahkan isi hati. Setiap minggu kotak berisi kertas-kertas itu akan dibuka dan dibaca bersama. Surat cinta, kritikan untuk teman, ataupun curhatan singkat sudah biasa tertulis di sana, menjadi bahan hiburan tersendiri untuk anak-anak tim. Bahkan bisa menjadi kunci menyelesaikan beragam masalah antara anggota tim. Sampai suatu hari kotak itu terasa berbeda. Tulisan-tulisan ancaman datang. Paling parah, cerita kelam beberapa anggotanya yang tersebar begitu saja. Mili mendapat ancaman akan dibunuh. Roni ketua populer tapi ternyata anak seorang koruptor. Karina mengidap penyakit AIDS. Abdul yang diam-diam ingin menjatuhkan Roni. Keadaan tim semakin buruk ketika tulisan-tulisan itu menimbulkan masalah baru bagi mereka. Banyak kejadian tidak mengenakan terjadi dan dialami oleh empat anak populer tim teater tersebut. Rasa percaya semakin pudar di antara mereka. Hubungan pertemenan tidak lagi sama seperti dulu. Mau tak mau, mereka harus mencari siapa dalang dari masalah ini.
view moreDari balik panggung, keriuhan terlihat jelas menghampiri sebuah ruangan yang berisi penuh sesak para pemain. Udara terasa lebih hangat dan wewangian yang tidak tahu dari mana saja asalnya menyerbak. Para pemain sibuk dengan tugas dan pekerjanya masing-masing. Ada yang terus memoles wajah dengan polesan makeup, berbagai macam warna eye shadow terlukis di kelopak mata, dipaduk dengan warna lipstick nyentrik yang membuat bibir terlihat lebih tebal, sekaligus menyita perhatian. Ada juga yang terlihat sibuk membenarkan kostum, memastikan seluruh bagiannya menempel sempurna pada tubuh. Serta, ada juga yang tampak tidak berhenti membaca skrip, mengulang dialog demi dialog, menghafalnya baik-baik.
“Duh, ini lipstick-nya udah hilang lagi aja warnanya. Mau berapa kali di-touch up, coba? Jangan minum terus dong, Mili!” Cewek berseragam putih-abu dengan rambut panjang yang dibiarkan terurai itu menggerakan tangannya, mengoleskan kembali lipstick pada bibir tipis di hadapannya. Sang pemilik bibir itu terlihat pasrah, mengikuti apa yang baru saja dia dengar. Dalam waktu singkat, bibir itu kembali berwarna, warna merah cabai.
Sambil memandangi cermin, Mili menegakan tubuhnya yang sedari tadi duduk, membuat tubuhnya lebih relaks. Sesekali dia mengipaskan kipas lipat bermotif batik ke wajahnya, lalu membenarkan rambut lurus sebahunya yang berwarna hitam berkilau, dan mengelap butiran keringat yang tidak berhenti muncul dari pori-pori di keningnya.
“Gue grogi, Karina. Nggak tahu kenapa perasaan gue kok hari ini nggak enak aja gitu.”
“Ya tapi nggak usah minum lagi, deh. Entar pas di panggung malah mau ke toilet gimana? Lagian tumben banget pakai grogi segala. Biasanya paling tenang dan semangat. Ingat, kamu nggak mungkin bisa ke toilet selama di panggung.” Karina memasukan satu-persatu make up brush ke dalam pouch.
Dia meminta Mili untuk berdiri, membantu membenarkan kebaya berwarna merah khas peran Bawang Merah yang digunakan Mili. Kebaya penuh brokat yang cantik, dengan gemerlap dari mute-mute berbentuk berlian terjahit di antara brokat tersebut, membuatnya terlihat sangat pas dikenakan oleh Mili yang memiliki postur tubuh langsing. Kesan anggun terasa sekali ketika melihatnya secara keseluruhan. Tidak banyak kipas angin yang berada di balik panggung, hanya ada dua dan ditaruh di sudut-sudut ruangan. Membuat Mili tidak juga berhenti menggerakan kipas di tangannya.
“Kayaknya ada yang salah deh sama hari ini. Grogi gue kali ini beda, Kar. Mana panas banget pula. Bikin gue jadi tambah haus dan pengin minum terus. Eh ya, lima menit lagi mulai nih. Si Roni mana, sih? Kok nggak kelihatan dari tadi?” Bola mata Mili mengamati seluruh bagian ruangan.
Karina membenarkan headband merah bermotif polkadot di kepalanya sambil memandangi cermin. “Dia lagi ke kantin. Katanya sih mau beli permen karet. Dia kan gitu kalau udah nervous. Eh sini deh, Mil, aku kayaknya perlu tajemin eye liner kamu lagi. Kalau antagonis kan harus lebih tajam.”
“Cowok lo bisa nervous juga? Biasanya dia kan sok paling santai. Sok paling nggak gugup dan ngerasa semuanya bakal berjalan sempurna. Mana? Ini masih kurang tajam ya? Bawaan lahir, sorry.”
“Hahahaha ya dia manusia biasa kali, Mil. Dia itu memang selalu gitu kok, cuma nggak ketahuan aja. Sini, harus tunduk sama tukang make up!” Karina menarik wajah Mili, mengambil eye liner hitam, menajamkan sudut mata Mili. Membentuk garis lengkung yang lebih tebal dari sebelumnya.
Sementara itu, suasana aula SMA Primadani sejak tadi sudah riuh dengan teriakan murid-murid. Hari itu aula yang cukup menampung 1500 orang tersebut terasa ramai dan penuh. Aula itu memang selalu penuh ketika pagelaran seni bulanan diadakan dari tim teater. Tidak hanya murid, guru-guru pun ikut tidak sabar untuk menonton dan memberi apresiasi. Mereka selalu semangat melihat hasil kerja keras dari anak didiknya. Para orangtua pemain yang juga ikut serta diundang duduk di kursi khusus dan terdepan.
Namun, di balik kemeriahan aula dan repotnya persiapan, seseorang terlihat berdiri tegak di ujung aula. Dia berpura-pura membaca lembaran skrip dan dari balik lembaran itu, terdapat wajah yang memerah dan air mata yang mengalir, menggambarkan kemarahan. Rasa kecewa berterbangan dari kerutan keningnya. Dia berusaha menutupi wajahnya, tidak mengizinkan siapa pun untuk melihat keadaannya yang tidak baik-baik saja. Hanya dia lah yang tahu segalanya. Hanya dia yang tahu alasan mengapa amarah dan kecewa itu datang menghampiri.
Tidak lama, semua pemain bersiap menaiki panggung yang terletak tepat di tengah aula. Roni, ketua tim mengarahkan semua pemain, dari posisi hingga mengingatkan kapan para pemain tersebut harus menaiki panggung. Dia juga mulai memimpin doa singkat agar acara hari ini berjalan sesuai harapan. Setelah yakin semua siap, Roni memberi kode pada mereka yang bertugas sebagai pengelola acara. Bunyi gamelan pun mulai terdengar, disambut sorakan, dan tepuk tangan meriah. Seolah para penonton memberi isyarat ‘selamat datang’, menyambut pagelaran yang sudah lama dinanti.
Semua anggota tim semakin sibuk. Sibuk mengatur, sibuk bebenah melakukan persiapan, sibuk memerhatikan jalannya pertunjukan, dan juga sibuk melakukan tugasnya masing-masing. Mereka selalu berusaha melakukan yang terbaik demi menampilkan penampilan yang maksimal.
Kecuali dia, orang yang sejak tadi berdiri di ujung aula. Dengan seragam putih-abu SMA Primadani, berdiri kaku dengan ekspresi dingin, hidung dan pipinya memerah berusaha menghentikan tangis, berusaha memperlihatkan bahwa dia kini baik-baik saja. Tangannya terus menggenggam lembaran skrip dan diam-diam meremuknya seiring degungan gamelan mengalun tegas bebarengan dengan teriakan penonton yang tidak henti terdengar.
Lama-lama rasa muak itu kembali terasa, membuatnya melangkahkan kaki ke toilet sambil sebelumnya cepat-cepat ke belakang panggung untuk mengambil sebuah pakaian. Kemudian dia merobek-robeknya dengan gunting secara kasar, membakarnya. Dia meluapkan emosi dengan benda itu.
“KALIAN HARUS MUSNAH! PANGGUNG ITU NGGAK PANTAS BUAT KALIAN! MATI KAMU! HAHAHAHA.” Tawa penuh kemenangan keluar dari mulutnya. Tidak ada yang peduli padanya, semua terlalu sibuk dengan pagelaran seni bulan Februari.
Gue ini kenapa? Salah gue di mana?Pertanyaan-pertanyaan yang berterbangan dalam benak Roni menambah rasa kecewa yang sulit dia jelaskan. Sambil mengganti seragam dengan baju seadanya yang dia ambil dari lemari, dia memandang seorang pria tua yang terbaring di sebuah ranjang dengan hati-hati.Hampir seluruh rambut pria tersebut sudah memutih disertai kulit tubuh yang sudah dipenuhi kerutan. Pria itu tenang, menikmati tidurnya. Hanya terlihat perutnya yang buncit bergerak naik turun, mengikuti irama napas.Roni mengikat celana training yang sedikit longgar. Merasakan perbedaan ukuran tubuhnya dengan sang ayah. Begitu juga dengan Polo t-shirt berwarna navy yang gombrang. Selesai berganti pakaian, Roni duduk di atas kursi yang terletak tepat di samping ranjang. Dia memperhatikan wajah pria di hadapannya.Tetesan cairan infus mengalir teratur, memasuki jarum yang tertusuk di tangan pria itu. Sesaat Roni bisa merasakan amarah ketika
Mili menyeruput teh dingin dari dalam botol. Tangannya mengelap keringat yang keluar dari pori-pori keningnya. Dia memandang seluruh isi kantin. Dari satu sudut ke sudut lainnya. Kemudian kembali menikmati menu makan siang yang sebenarnya tidak terasa enak ketika teringat rupa dari bangkai yang dia temukan beberapa jam lalu. Perutnya terasa mual saat secara tidak sadar aroma tidak enak terasa terus menempel di rongga hidungnya.“Hai, Mili.” Suara familiar terdengar di telingnya.Mili mengehela napas malas. “Lo ngapain lagi?”“Saya? Nggak, mau datengin kamu aja. Kamu nggak apa-apa?”Melihat wajah cowok di sampingnya tersebut, semakin membuat Mili tidak nafsu menghabiskan makan siangnya. “Lo punya mata? Bisa lihat kan kalau gue nggak kenapa-kenapa?”Cowok itu membenarkan posisi kaca matanya. “Bukannya kamu tadi nemuin sesuatu ya di bawah meja kamu?”Mili membaca tulisan dalam name
Jam belajar telah dimulai. Suasana sekolah mulai tenang dan sepi. Lapangan dipenuhi murid dari sebuah kelas yang sedang mengikuti mata pelajaran olahraga.Abdul menendang gelas plastik bekas minuman yang tergeletak di pinggir lapangan. Menuangkan emosi yang masih bergemuruh di dalam dadanya. Dia tidak terima dengan apa yang baru saja ia dengar. Keputusan kepala sekolah mengenai hukuman mereka.Sementara Roni sejak tadi hanya memandang kelas Karina dari kejauhan, lalu bergantian memandang Abdul. Sesekali dia memegang hidungnya yang mulai terasa berdenyut. Pukulan Abdul lumayan juga, pikir Roni.“Roni?” Tiara memenghampiri Roni sambil membawa tumpukan kertas yang dia peluk di dada.Cukup sulit untuk mengeluarkan senyum saat kondisi wajahnya babak belur. Roni menaikan alisnya.Tiara memperhatikan luka Roni serius. Dia tahu kejadian apa yang baru saja terjadi dengan teman sekelasnya itu. “Nggak masuk kelas?”“Gue di
Semua tampak sama saja. Karina mengamati setiap sudut sekolah. Dia menghindari tatapan-tatapan aneh yang diberikan oleh siswa lain sepanjang koridor menuju kelas. Mengapa kabar bohong itu menyebar cepat? Siapa yang menaruh dendam? Karina menggelengkan kepala, tetap coba berpikir positif. Toh ada Milli yang berada di sampingnya memasang badan.“Lo akhirnya berani masuk juga?” Amanda melipat tangannya di depan dada. Ekspresinya penuh maksud, seulas senyum keluar dari bibirnya yang tebal. “Ya ampun, lo harusnya pakai apa kek, masker, atau semacamnya. Lo mau nularin satu sekolahan?”Karina dan Mili saling pandang. Mili memasukan untaian rambut ke balik telinga. “Apa? Lo ngomong apa barusan?”Amanda menyipitkan mata. “Sebentar, jangan-jangan lo udah tertular juga. Lo kan temen se
Mili mendatangi rumah Karina. Setelah menekan tombol bel, lalu dipersilakan masuk, Mili duduk di sofa ruang tamu. Tubuhnya lemas, suhu tubuhnya tidak stabil. Mili tahu sendiri bahwa kondisi kesehatannya semakin menurun. Seharusnya dia tidak keluar rumah dan beristirahat saja. Namun dia justru lebih merasa tidak sehat kalau harus sendirian di kamar. Karina terkejut melihat kehadiran Mili. “Mil, kamu nggak sekolah?” Mili mengangguk. “Gue boleh nginep di rumah lo malam ini, kan, Kar?” “Ada apa, Mil?” Karina duduk di samping Mili, memegang kening Mili yang terasa hangat. “Mil?” “Gue cuma lagi kurang fit akhir-akhir ini. Lagian, bokap nyokap gue tadi subuh berangkat ke Brunei, ada kerja
Abdul berlari mengejar Roni yang berjalan cepat menuju kelas. Dia ingin sekali menyelesaikan masalahnya kemarin. Tidak peduli bagaimana Roni marah padanya, yang dia pikirkan hanyalah Karina. Hanya demi Karina. Dia tahu betul, peristiwa di rumah Karina menambah pikiran cewek itu. Padahal jelas, Karina sedang down akibat tulisan yang keluar dari kotak itu. Karina butuh orang yang sangat dia sayangi saat ini dan orang itu salah satunya adalah Roni. Kini masalah yang harus dihadapi Karina bertambah.Abdul dapat melihat tatapan penuh amarah Roni ketika dia berhasil membuat langkah kaki Roni terhenti. Bahu Roni meninggi, kepalanya tegak, matanya lurus menatap Abdul. Melihat tampang Roni, membuat keinginan Abdul kembali mencuat. Keinginan untuk memukul wajah Roni, membalas yang belum terbalas.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments