Pada saat yang sama, Langit yang masih berada dalam lingkup array pelindung ternyata mulai tersadar dari tidurnya akibat Mantra Penidur. Anak muda buronan orang-orang misterius tak dikenal itu merasa bingung dengan keadaan sekitarnya. Pepohonan di area ini tidak terlalu lebat walau terasa asing dan terlihat lebih terang jika dibandingkan dengan tempat semula.
Gelap, sepi dan dingin, terasa begitu menakutkan bagi Langit yang selama ini selalu terlindungi di tempat yang nyaman dan aman. "Di mana aku?" Langit tidak melihat siapa pun di sekitar tempat itu. Dirinya hanya sendiri dan tubuhnya masih lemah. "Gelap sekali dan aku ... aku sendirian?' 'Mengapa aku jadi sendirian?' Langit menoleh ke arah kanan dan kiri dengan tubuh sedikit menggigil. 'Tak ada siapa pun. ' Ketakutan tiba-tiba saja langsung menghinggapi pikirannya. Langit berkeluh, seraya memangil seseorang. "Paman, tolong aku!' Meski usianya saat ini beranjak remaja, tetapi dia masih memiliki sifat manja selayaknya seorang tuan muda yang begitu dilindungi dan dimanjakan. Jangankan berpergian sendiri sampai sejauh ini, saat berada di tempatnya, bisa dipastikan akan ada orang yang selalu mengikuti dan menjaganya. "Ya, Dewa, An Zi takut!" serunya dengan suara bisikan. "Paman! Paman An Se!" Langit memanggil nama sang paman yang tentu saja tidak akan mendengar panggilannya, akan tetapi hubungan batin yang kuat telah membuat keduanya merasakan kesedihan serupa walau di tempat yang berbeda. Langit hanya bisa terus menunggu seseorang yang tak kunjung datang hingga membuat perutnya terasa lapar dan tenggorokannya haus, akan tetapi tidak ada makanan atau minuman sama sekali. "Aku lapar," bisiknya dengan perasaan tertekan. "Tapi, di dalam kegelapan seperti sekarang ini, bagaimana mungkin aku bisa mencari makanan?" Hangga Langit meraba-raba rerumputan, berharap ada buah-buahan hutan yang dijatuhkan oleh para kelelawar. Namun harapan itu sia-sia, dan ia tak menemukan benda lain selain daripada batu-batu di sekitarnya. Hangga Langit pun hanya bisa duduk memeluk lutut sambil mencoba mengingat-ingat kejadian apa saja yang telah dia alami selama seharian ini. "Semula aku sedang bermain dengan bibi pengasuh, lalu ada kelinci putih yang sangat lucu dan aku mengejarnya." An Zi masih teringat kepada kelinci yang membuatnya sangat tertarik, seperti tersihir oleh daya pesona pemikat tak tertandingi. Hewan itu memiliki tubuh gemuk, bulu tebal nab lembut seputih salju dengan sepasang telinga panjang dan dua bola mata merah cemerlang serupa batu ruby. "Kelinci yang sangat manis dan membuatku tanpa sadar keluar dari lembah dan tersesat. Lalu ... tiba-tiba saja ada banyak orang yang mengejarku." Langit merinci kejadian hari ini di dalam pikirannya. "Kemudian juga, aku ditolong oleh Kakak Jatayu ... eh di mana dia?" Langit mengedarkan pandangannya ke sekeliling hutan dan tidak ada apa pun yang ia temukan, selain hanya ada pohon, semak dan sesekali hewan-hewan malam berseliweran. Tidak ada satu orang pun manusia yang ada di hutan itu. Langit merasa kehilangan penolongnya yang hilang entah ke mana dan membuat dia kembali sendiri dalam ketakutan. "Kakak Jatayu, di mana kamu?" Langit memberanikan diri untuk memanggil, berharap orang yang dipanggilnya segera datang. "Kakak Jatayu!" "Kakak Tampan Jatayu!" Tak ada sahutan dan Langit menjadi semakin bingung. 'Aneh ... mengapa kakak itu meninggalkan aku sendirian di sini?' Langit, atau An Zi, merasakan kejanggalan dalam hati atas menghilangnya Jatayu. 'Atau mungkin ... Kakak Jatayu sedang pergi mencari sesuatu untuk dimakan?' An Zi yang masih polos ini bahkan tidak berpikir buruk tentang Jatayu yang meninggalkannya begitu saja. 'Mungkin dia memang sedang mencari sesuatu ... berburu hewan misalnya.' An Zi kembali meraba perutnya yang semenjak siang tadi tidak diisi makanan barang sesuap pun. Pemuda itu membayangkan betapa enaknya jika dalam suasana seperti ini ada seseorang datang memberinya makanan. Namun, sayangnya semua hanya angan-angan belaka. Di hutan yang baru saja terguyur hujan dan gelap di mana-mana, memangnya siapa yang akan datang menolongnya? 'Bahkan Kakak Jatayu saja pergi meninggalkan aku sendirian di sini,' keluh An Zi atau yang memiliki nama lain Hangga Langit dengan perasaan sedih. 'Untung saja saat ini sakit perutku sudah tidak terlalu sakit. Untung saja saat ini tidak ada binatang buas yang mencari mangsa.' An Zi bergidik ngeri saat membayangkan jika ada harimau atau serigala hutan yang tiba-tiba menentukan keberadaannya, dan mungkin ia akan menjadi hidangan makan malam yang lezat bagi mereka. Bulu kuduk An Zi seketika meremang, membayangkan betapa mengerikannya jika tubuhnya diterkam sekawanan binatang buas untuk dijadikan santap malam. Hal itu membuatnya kian tersiksa dalam ketakutan, dan ingin rasanya ia segera pulang kembali ke Lembah Pakisan yang merupakan tempat paling aman baginya. 'Ternyata ucapan mereka semua benar. Kehidupan di luar lembah sangat tidak menyenangkan,' bisiknya dengan penuh penyesalan. 'Ya, Dewa! An Zi takut!" Hangga Langit menjerit dengan tubuh menggigil disertia kepanikan menyerang hatinya. Bagaimana pun juga dia hanyalah seorang remaja yang terkadang sangat ingin merasakan dekapan hangat seorang ibu dan diperdengarkan dongeng indah sebelum tidur seperti anak-anak pada umumnya. Namun bagi seorang Hangga Langit, ia harus mengalami kesepian sepanjang waktu dan hanya bisa berteman dengan para pengasuhnya saja. Hangga Langit hanya merasa memiliki seorang paman yang sudah di anggap sebagai ayah sekaligus gurunya. Bahkan jika Langit menanyakan perihal siapa orang tua kandungnya pun, An Se tidak pernah mau berterus terang dan selalu menyembunyikan tentang kedua orang tuanya. 'Siapa sebenarnya kedua orang tuaku?' Hangga Langit merasa sedih. Hangga Langit teringat akan suatu hal tentang pertanyaannya yang tidak akan pernah mendapat jawaban yang dia inginkan. "Paman, siapakah dan seperti apakah kedua orang tuaku? Lalu, mereka ada di mana?" "An Zi, keponakan paman yang pintar. Saat ini belum waktunya bagi kamu untuk mengetahui tentang kedua orang tuamu. Tetapi percayalah, kalau mereka sangat menyayangi dan selalu merindukan An Zi. Mereka juga tahu, kalau putranya ini telah tumbuh menjadi seorang anak yang pintar, tampan dan sangat menggemaskan." An Se berkata sembari membelai kepala keponakannya. "Tapi, Paman, mengapa mereka berdua meninggalkan aku di tempat seperti ini dan membiarkan aku tidak mengetahui seperti apa wajah mereka? Bukankah itu sama saja dengan menelantarkan aku?" Hangga Langit selalu merasa jikalau kedua orang tuanya tidak menginginkan kehadiran dirinya di dunia ini. "Mereka bahkan tidak tahu seperti apa wajahku!" "Paman, semua kawan-kawanku yang ada di lembah ini punya orang yang mereka panggil dengan sebutan ayah dan ibu. Tetapi aku tidak ada dan hanya punya Paman saja di sampingku." An Zi kecil menjatuhkan kepalanya di pelukan sang paman. "Dan mengapa aku juga memiliki nama Hangga Langit, bukankah nama An Zi saja sudah cukup untukku? Aku sungguh tidak mengerti, Paman."Secara perlahan namun pasti, sosok bayangan jiwa transparan bercahaya pelangi membuka sepasang kelopak matanya yang teduh dan sayu, seolah menahan beban yang teramat berat. Pandangan itu memperlihatkan kelelahan, tetapi tetap memancarkan aura keagungan seorang raja naga yang pernah berkuasa di masa lalu. Ketika ia mendesah, udara di sekitarnya seakan ikut bergetar, mengirimkan fluktuasi lembut yang membuat ruang jiwa itu seakan bergejolak dengan kelembutan yang samar.Yin Long bahkan bisa merasakan getarannya yang langsung menyentuh ruang terdalam hingga kalbunya ikut tersentuh. 'Benar-benar agung rajaku ini,' bisiknya, dalam hati. "Jenderaku terkasih." Caihong Xue akhirnya membuka suara, bergema dalam namun tenang. "Baguslah. Akhirnya kamu datang."Yin Long mengangguk. "Ya. Yang Mulia memanggil hamba, tentu saja hamba dengan senang hati akan memenuhi panggilan Anda." Untuk sejenak, ia menyadari jikalau sang raja sedang gelisah. "Ada gerangan apakah yang membuat Anda terlihat tidak
Yin Long sampai mengerutkan kening karena orang yang memanggilnya tidak kunjung muncul juga. Ia mulai merasa ada yang tidak beres dengan pendengarannya. "Senior Zi," bisik Yin Long, suaranya terdengar sedikit parau, gemetar menahan kegelisahan yang merayap di dadanya. "Apakah Senior mendengar seseorang memanggilku?" Yin Long mengedarkan pandangan, bola matanya bergerak ke segenap arah, seperti tengah memindai alam sekitarnya. Ia berharap suara misterius itu datang lagi. Zi Wu menggeleng sambil menyeruput arak hangat dari cawan. "Tidak. Tidak ada suara lain selain hanya ada suara kita berdua." "Jadi, Anda benar-benar tidak mendengarnya?" Yin Long merasa heran. "Bagaimana Mungkin suara sekeras itu Senior Zi tidak mendengarnya?" "Ataukah mungkin anak itu sudah sadar dan dia memanggilmu?" tanya Zi Wu sambil melihat ke arah pintu. Yin Long mengikuti arah pandangan Zi Wu, lalu ia menggeleng. "Kurasa bukan dia. Ah Xian tidak pernah menyebutku dengan sebutan namaku. Tapi kali ini y
Kedua kekuatan itu saling berbenturan dengan dahsyat. Tornado perak beradu dengan naga-naga ungu dalam pertarungan yang membuat seluruh halaman bergetar. Tanah di bawah kaki mereka retak-retak, pohon-pohon di sekitar melengkung karena tertiup angin kencang. Untunglah tempat itu sudah dilapisi pagar pelindung gaib yang mampu meredam suara-suara dari dalam dan tak akan didengar oleh orang lain, terlebih lagi manusia biasa. Pagar pelindung itu sesekali berkilat dengan cahaya ungu dan perak yang saling bertabrakan, menyerap sebagian besar energi yang terlepas dari pertarungan mereka. "Apakah Senior di pihak mereka dan terus akan menghalangiku?" tanya Yin Long dengan nada marah sambil menyerang Zi Wu dengan jurus lain. "Jika iya, maka Anda juga adalah musuhku!" Kipas Phoenix-nya berubah menjadi pedang cahaya perak yang panjang. Pedang itu berkilat dengan intensitas yang menyilaukan, setiap ayunannya meninggalkan jejak cahaya di udara. "Jurus Pedang Phoenix, Seribu Tebasan Kilat!"
Tiba-tiba saja, sekelebat cahaya putih muncul dari sabuk ruang penyimpanan milik Yin Long dan langsung berpindah ke tangannya, dia sudah menggenggam kipas Phoenix erat-erat dengan emosi yang mengguncang dadanya.Dada pemuda itu naik turun akibat menahan kemarahan, kilat cahaya dingin ada di matanya begitu tajam siap menghancurkan siapa pun yang ingin ia hancurkan."Ah Yin, sekarang ini kita sedang menikmati Arak Kaisar Muda, tolong janganlah kamu merusak suasana malam yang indah ini hanya karena anak itu!" teriak Zi Wu, mengingatkan."Pestanya memang sudah rusak!" Saat ini, Yin Long lebih seperti sosok pembunuh berdarah dingin. Ekspresi Wajah Yin Long yang selembut puding pun telah berubah menjadi tegas dengan suara tegas menggelegar. Aura kejam seorang jenderal memancar keluar, menguasai tubuh pemuda itu hingga sosoknya saat ini terlihat begitu mengerikan."Jika benar dia adalah orang-orang dari Klan Naga Hitam, maka aku akan membunuhnya sekarang juga!" seru Yin Long dengan geram.
Yin Long menghentikan tiupan serulingnya dan berkata, "Baiklah, Senior. Meski mungkin puisiku tidak seindah seperti karya para penyair terkenal." "Tidak masalah," ucap Zi Wu, santai. Yin Long lantas berseru, "Arak mengalir seperti waktu di lembah seribu kabut. Dingin menyentuh meridian jiwa, hangat membelai takdir. Di dunia yang dimandikan cahaya lilin, setiap teguk adalah dupa yang dipersembahkan untuk bumi yang sabar!" "Bagus! Bagus!" Zi Wu bertepuk tangan dengan wajah senang. "Lanjutkan!" "Terima kasih, Senior." Yin Long tersenyum dan melanjutkan syairnya. "Terima kasih, wahai angin dari empat penjuru mata angin dan alam yang menyimpan kebijaksanaan. Kepada hujan yang membawa berkah dari istana awan yang menawarkan cinta meski iblis mengintai bulan purnama!" "Jika hidup adalah arak dalam guci seribu tahun, maka derita pun harus dituang seperti air terjun di gunung suci, agar manisnya terasa seperti madu yang pekat, seperti malam yang merangkul semua makhluk dengan damai." "D
Yin Long menjawab, "Tak masalah. Tetapi senior jangan kecewa dengan rasanya yang mungkin sedikit berbeda. Aku membuatnya hanya dari beras ketan yang ada di daerah ini. Itupun tidak banyak." Yin Long berjalan tenang ke arah pohon mangga yang ada di samping rumah, dan dengan sebilah potongan kayu ia lalu menggali tanah di bawahnya untuk mengambil dua guci arak yang baru saja dia tanam beberapa hari yang lalu. Setelah membersihkan guci tanah liat dari kotoran-kotoran yang menempel, Yin Long membuka segel penutup guna memeriksa isinya. Dengan gerakan lembut ia mendekatkan lubang guci ke dekat hidungnya, mencium aroma arak beras yang tergolong masih terlalu dini untuk dinikmati. "Cukup harum," gumamnya. "Sebenarnya ini masih tidak bisa disebut arak. Tapi demi sahabatku, maka aku merelakan beberapa guci untuk sajian malam ini," gumam Yin Long sendiri sembari menutup kembali segel guci arak yang berupa selembar kain merah. "Senior, sudah dapat!" teriak Yin Long sambil mengangkat guci dar