Elang Ragaseta berusaha bersikap sopan dan sedikit malu-malu. "Eh, anu Ki ... saya ingin menanyakan arah jalan yang menuju ke kotaraja. Barangkali Ki Sanak dapat memberikan sedikit petunjuk."
"Oh, tentu saja bisa. Kebetulan sekali saya sudah sering ke kotaraja karena anak saya juga tinggal di sana," sahut Ki Suta dengan wajah cerah. Elang Ragaseta terlihat senang. "Oh, kalau begitu ini sangat kebetulan sekali. Mohon kiranya Aki bersedia memberitahukannya kepada saya. Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Aki." "Tentu saja." Ki Suta lalu mengambil ranting yang tergeletak di tepi jalan dan mulai menggambar garis-garis dan petak-petak di atas tanah berdebu. "Anggap saja ini kotaraja dan ini adalah tempat kita berada saat ini." Dengan sabar, Ki Suta menjelaskan kepada Elang Ragaseta. "Nah, Ki Sanak hanya perlu berjalan ke arah selatan setelah melewati Desa Glundungan. Apakah Anda paham, Anak MudaElang Ragaseta berusaha bersikap sopan dan sedikit malu-malu. "Eh, anu Ki ... saya ingin menanyakan arah jalan yang menuju ke kotaraja. Barangkali Ki Sanak dapat memberikan sedikit petunjuk." "Oh, tentu saja bisa. Kebetulan sekali saya sudah sering ke kotaraja karena anak saya juga tinggal di sana," sahut Ki Suta dengan wajah cerah. Elang Ragaseta terlihat senang. "Oh, kalau begitu ini sangat kebetulan sekali. Mohon kiranya Aki bersedia memberitahukannya kepada saya. Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Aki." "Tentu saja." Ki Suta lalu mengambil ranting yang tergeletak di tepi jalan dan mulai menggambar garis-garis dan petak-petak di atas tanah berdebu. "Anggap saja ini kotaraja dan ini adalah tempat kita berada saat ini." Dengan sabar, Ki Suta menjelaskan kepada Elang Ragaseta. "Nah, Ki Sanak hanya perlu berjalan ke arah selatan setelah melewati Desa Glundungan. Apakah Anda paham, Anak Muda
Elang Ragaseta terdiam sejenak, matanya menatap ke luar kedai melalui celah jendela bambu. Di luar, jalan tanah masih dipenuhi pedagang dengan gerobak dan anak-anak yang berlarian.Elang Ragaseta berkata, "Aku belum pernah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Jadi bukankah hal yang wajar kalau aku meragukan cerita Kakak Jin? Tapi aku tetap percaya padamu tentu saja.""Hanya saja yang aku tidak habis mengerti, benarkah senjata itu benar-benar bisa mengeluarkan suara raungan?" tanya Elang Ragaseta sambil meneguk sisa kopi terakhirnya. Jin Long terdiam, merasakan ada sesuatu yang bergejolak dalam dadanya. "Suara itu ... mungkin itu karena dia sebenarnya sedang memanggilku.""Meraung, memanggil pemiliknya?" Elang Ragaseta mengernyitkan dahi. "Ternyata di dunia ini benar-benar ada senjata seperti itu?""Ya, tentu saja ada. Meskipun mungkin mereka bisa menyentuhnya, tetapi aku yakin sekali kalau tidak ada seorang pun yang bisa menggunakan senjataku itu selain diriku sendiri." Jin Long
Elang Ragaseta tersenyum kecil, menahan tawa agar tak mengundang curiga bagi orang-orang di sekitarnya. Ia menjawab dalam hati. "Kakak Jin, bukankah pakaian ini sudah cukup bagus?" "Lagipula aku tidak butuh kemewahan karena aku juga bukan dari kaum bangsawan yang senang memamerkan harta mereka," lanjut Elang Ragaseta, santai. "Dan jika penampilanku yang hanya seorang pengelana ini terlalu mencolok, bagaimana kalau di jalan aku malah disatroni begal?" Jin Long tak senang dengan ucapan Elang Ragaseta. "Elang, kamu ini sudah jauh lebih kuat dari sebelumnya, ditambah lagi dengan adanya aku di dalam tubuhmu, kamu masih takut pada para begal?" "Bukan aku takut. Aku hanya tidak terlalu suka dengan keributan," sahut Elang Ragaseta. "Lagipula ilmu olah kanuragan yang aku kuasai masih belum seberapa." "Baiklah. Meski baju dan penampilanmu ini sangat tidak sesuai dengan seleraku, tapi setidaknya kamu butuh seekor kuda." Jin Long mendengus. "Padahal tidak ada jeleknya kalau kamu memiliki sedi
Zi Wu merasakan sedih yang tak terkatakan dan ia hanya bisa membatin, 'Wu Yan, tidak tahu bagaimana nasibmu sekarang ini di Alam Naga Langit, tapi ayah masih berharap kalau kamu baik-baik saja.'Dahulu Zi Wu sudah berulang kali mencoba mencegah kepergian putri pertamanya itu agar tidak nekat menerobos alam yang sudah lama mereka tinggalkan. Namun, Zi Wu Yan tetap bersikeras untuk tetap pergi dengan alasan ingin menyelidiki kasus klan mereka. Akan tetapi, setelah sekian ratus tahun berlalu, Zi Wu Yan tidak pernah sekalipun mengirimkan kabar. Dengan begitu, Zi Wu hanya bisa pasrah dan sudah tak berharap anaknya bisa kembali ke bumi ini. Demi melihat kemurungan yang menghiasi wajah ayahnya, Zi Wu Lan tak bisa untuk tak merasa menyesal. "Ayah ... apakah marah padaku?" Zi Wu menggeleng lemah."Sudahlah," ucap Zi Wu sembari mengibaskan tangannya. "Sekarang kita kembali ke pokok pembicaraan kita." Kedua saudara kembar itu langsung menoleh ke arah ayah mereka. "Ya, Ayah!"Sebenarnya, Zi W
Di sebuah tempat yang jauh dari Lembah Pakisan, tepatnya di jantung Hutan Sawo Alas yang lebat dan beraroma tanah lembap, berdiri sebuah rumah kayu sederhana berbentuk panggung. Rumah itu tidaklah mewah, apalagi megah seperti istana. Tiang-tiang kayunya yang berwarna cokelat tua menopang lantai yang terbuat dari papan jati kasar, tampak sudah dipoles berulang kali hingga mengilap. Atapnya terbuat dari daun ijuk kering, sebagian sudah basah akibat sering terkena hujan. Dari kejauhan, rumah itu terlihat menyatu dengan alam. Jendela-jendela kayunya berbingkai ukiran sederhana bergaya arsitektur China kuno, lengkungan halus dan pahatan bunga peony yang tak begitu rapi, tanda bahwa rumah itu dibangun bukan oleh tangan seniman istana, melainkan tangan ayah yang sekadar ingin membuat tempat berteduh bagi keluarganya. Di bagian depan, ada beranda kecil dengan pagar bambu rendah yang mulai berderit jika diinjak, seakan ikut bernapas bersama hembusan angin. Di beranda rumah itulah, tiga sos
BANG! BANG! Ledakan keras disertai getaran kuat terus berlangsung hingga beberapa kali dan mengguncang lembah, menyebabkan tebing-tebing bergetar, batu-batu pun banyak yang runtuh. Bagai naga raksasa yang menggeliat dalam tidurnya, tanah di bawah Lembah Pakisan bergetar dengan kekuatan yang mengoyak jiwa. Setiap getaran mengirim gelombang teror yang merayap naik dari perut bumi, membuat seluruh lembah berguncang seperti daun di tengah badai. "Ibu! Ibu, di ada mana?" Jeritan seorang anak kecil membelah udara yang kini dipenuhi debu cokelat keabuan. Matanya yang bulat penuh air mata mencari sosok yang telah lenyap di balik reruntuhan bambu. Rumah-rumah tradisional yang dulunya berdiri kokoh kini menjadi tumpukan kayu dan genteng yang berserakan. Bunyi retakan kayu bercampur dengan desisan angin yang membawa aroma tanah basah dan ketakutan. Seorang wanita paruh baya terjatuh, tangannya gemetar mencoba menggapai suaminya yang terjepit di bawah balok besar. "Suamiku!" "Istriku ...."