Share

BAB 6: VISHAKA

Lantai yang dilapisi marmer warna - warni, tembok putih yang tertutup permadani terbaik, deretan jendela raksasa yang menghadap taman istana di satu sisi sementara pemandangan Teluk Malka disisi yang lain, aula utama yang berada di dalam istana Malingga merupakan sebuah ruangan besar yang akan membuat mata siapapun terbelalak.

Di dalam aula yang disusupi cahaya matahari sore tersebut, Dapunta Vishaka duduk di sebuah kursi jati yang dihiasi kain beludru, sebuah kursi yang telah ia duduki selama puluhan tahun menjadi Dapunta, tangan kanan kepercayaan Raja dan Ratu Kedatuan Malingga. Ia memandangi sebuah singgasana yang berjarak beberapa jengkal disebelahnya, terletak diatas lantai yang lebih tinggi sesuai dengan kedudukan orang yang bertakhta di atasnya, berhiaskan ukiran dari perak yang berkilau dan batu giok yang indah. Singgasana yang diperuntukan bagi Maharaja Malingga...atau Maharatu khusus beberapa tahun belakangan.

Dihadapanya sedang berlutut seorang pria, sosok dengan wajah kasar yang mengenakan seragam prajurit Malingga lengkap dengan pedang tersarung di pinggang, "Senapati, atas perintah dari yang mulia Maharatu Nattari Amerta, sebarkan pengumuman ini ke seluruh kota dan desa di kedatuan. Malingga membutuhkan para pria pemberani untuk bergabung sebagai prajurit kerajaan, umumkan bahwa ini adalah perekrutan resmi, semua akan dibayar dan mendapat tunjangan sesuai dengan ketentuan kerajaan," Vishaka memberi perintah dari atas kursi jatinya.

Pria berwajah keras dan berseragam prajurit itu menengadah menatapnya sembari menangkupkan kedua tanganya yang tampak kasar, "Dan berapa banyak  yang Malingga butuhkan, tuan?"

Vishaka diam sejenak, tanganya menggaruk dagu sambil berfikir. Malingga saat ini memiliki 3500 prajurit, ia butuh lebih banyak prajurit jika ingin rencana yang disusunya berhasil, dan rencana itu harus berhasil. "Kita akan membutuhkan tambahan sebanyak 2000 prajurit, Senapati, dan aku harus diberitahu setiap perkembangan yang berhasil engkau buat, aku sendiri yang akan meneruskan informasi itu kepada Maharatu. Sekarang pergilah Senapati Subala."

Senapati itu dengan sigap berdiri dan pamit mengundurkan diri keluar aula, meninggalkan Vishaka yang seketika larut dalam pikiranya.

Matanya menatap kembali kearah singgasana megah disebelahnya, ia berdiri, berjalan mendekati singgasana tersebut lalu meraba peganganya yang bersepuh perak berkilau, ia menatap singgasana itu layaknya tak ada hal lain yang lebih indah di dunia selain bangku dihadapanya. Kakinya kembali berjalan, ia menyingsingkan kain tenun di kakinya untuk memudahkan langkahnya menaiki undakan. Dengan lembut ia menyeret tanganya yang dihiasi gelang emas mulai dari pegangan menuju sandaran singgasana. Perlahan tanganya lalu mengarah pada 4 buah batu giok berwarna hijau laut yang terpasang di permukaan sandaran, disentuhnya batu mulia itu. 

Ingatan akan masa lalu membanjirinya, ingatan saat ayahnya, Maharaja Anggada Amerta membawa Malingga menuju masa keemasan mereka, lalu saat kakaknya, Balaputra menggantikan ayahnya duduk di singgasana berkilau itu, lalu insiden pertengkaran kakanya dan keponakanya Mahesa Amerta yang meninggalkan takhta dan memilih kehidupan sebagai pertapa.

Kedatuan Malingga perlahan merosot sejak saat itu, keponakan perempuanya yang sekarang menjadi Maharatu memang telah berusaha sekuat tenaga namun firasatnya mengatakan Nattari tidak cukup mumpuni, putranya, Balaputra II, yang akan menjadi penerus juga menunjukan ketidak cakapan seiring waktu berjalan, pangeran itu telah berusia 14 tahun tapi masih bermain layaknya anak kecil berusia 8 tahun.

Vishaka telah melihat segalanya dari kursi perdana menteri miliknya, baik buruk dan jatuh bangun Malingga telah ia saksikan, namun ada satu orang lagi yang selalu berada disana, seseorang yang bahkan jauh lebih dulu darinya, "Ki Hasta! wahai Dyaksha yang terhormat! Kenapa engkau mengendap disana seperti seorang pencuri?" ia memanggil setelah menyadari adanya sosok pria tua yang sedari tadi memperhatikanya.

Dari balik pilar istana yang terlilit kain berwarna jingga, seorang Dyakhsa atau penasihat kerajaan muncul berjalan dengan tongkat kayu, wajah dan sekujur tubuhnya tampak termakan usia dengan bercak  kehitaman menempel di kulit wajahnya. Penasihat itu memiliki bola mata yang berwarna seperti abu dupa, dan mengenakan jubah berwarna putih tipis khas para Dyaksha.

"Tuan Dapunta, tidak perlu menuduh hamba seperti itu, hamba hanya sedang berjalan - jalan, tuan. Jendela - jendela besar di aula ini selalu menghembuskan angin segar yang sangat dibutuhkan oleh orang tua seperti hambaz" balas sang Dyaksha datar.

Ki Hasta berjalan mendekat, senyum tersungging dari bibirnya yang tampak seperti bibir mayat. Dyaksha satu ini selalu saja tersenyum, entah dalam suka maupun duka, entah dalam situasi genting atau santai. Orang - orang awam akan menganggapnya sebagai sosok tua bijak yang ramah, namun bagi Vishaka ia hanyalah orang tua yang menyembunyikan tujuanya dibalik senyuman menipu.

Jika saja perjanjian Nalanda tidak mewajibkan setiap kerajaan untuk didampingi seorang Dyaksha, ia pasti sudah menyingkirkan Ki Hasta sejak dulu, tapi sekarang, setelah sekian lama, Maharatu malah sangat mempercayai Ki Hasta sama seperti sang ratu mempercayainya yang merupakan keluarga sendiri.

"Ah singgasana Malingga, tempat duduk paling indah di seantero negeri," ujar Ki Hasta sambil melirik kearah singgasana.

"Yang terindah, betul, tapi juga yang paling rapuh untuk saat ini," Dyaksha itu melanjutkan, namun kali ini mata abu - abunya memandang tepat kearahnya.

"Jadi menurutmu begitu? aku penasaran bagaimana bisa engkau menyimpulkan hal seburuk itu Dyaksha, aku tidak melihat adanya tanda - tanda keropos pada singgasana ini," balas Vishaka dengan suara yang sama datarnya. Jika Dyaksha itu ingin bermain teka teki, ia akan dengan senang hati meladeninya.

"Singgasana megah, tapi tetap saja berbahan dasar kayu jati, dan sudah berusia ratusan tahun pula, dari luar mungkin tidak dapat dilihat, tapi siapa tahu rayap sedang menggerogotinya dari dalam," ujar Ki Hasta dengan alis berkerut. Matanya menelisik melihat singgasana itu dari atas sampai bawah.

Dyaksha tua itu lalu berjalan mendekatinya dengan agak pincang, sesaat kemudian Vishaka mendapati dirinya sudah saling berhadapan dengan penasihat yang perlahan membungkuk sopan padanya. "Pendapatmu sungguh menarik Ki, tapi tetap saja aku tidak melihat adanya bekas serbuk dari kayu yang keropos, rayap biasanya meninggalkan serbuk kayu," Ia membalas sembari berjalan mengelilingi singgasana. Vishaka lalu berjongkok dan pura - pura meraba setiap jengkal dari singgasana tersebut. Setelah itu ia menoleh kembali kearah si penasihat dengan cepat, membuat anting besar yang melubangi daun telinganya bergoyang. "Para pengawal dan pelayan tentu tahu jika kumpulan rayap menyerang singgasana milik Ratu mereka bukan?" 

Ki Hasta dengan sangat lamban menyusulnya mendekat ke arah singgasana, suara tongkatnya menggema ke seantero aula tiap kali menyentuh lantai yang dilapisi marmer, tanganya yang kurus keriput kini ikut meraba permukaan singgasana, "Rayap yang pintar, tuan, tidak meninggalkan jejak, tidak meninggalkan bekas, seakan mereka tidak ingin diketahui, seakan mereka mengerti bahwa sedikit saja bukti akan menjadi ajal mereka."

Dyaksha itu menghentikan ucapanya sesaat dan sekali lagi menyeringai, seringai yang membuatnya tampak seperti hantu, "Saya khawatir singgasana ini akan roboh saat Ratu Sinha duduk diatasnya."

"Ohh bagaimana mungkin engkau membicarakan kemungkinan buruk seperti itu sambil tersenyum Dyaksha?" tanya Vishaka sedikit mengejek. "Aku penasaran apakah kau akan tetap tersenyum saat hal buruk itu terjadi? Katakanlah, apakah aku dan Maharatu harus berhati - hati terhadapmu?" 

Ki Hasta tak bergeming, namun Vishaka dapat melihat sorot mata Dyaksha itu berubah waspada setelah mendengar ucapanya. Sorot mata itu membuatnya puas, ia senang melihat Dyaksha itu tertegun. Vishaka memang tidak pernah menyukai Ki Hasta dan ia rasa sang  Dyaksha juga memendam kebencian yang sama pada dirinya. Ia tak pernah paham mengapa para penguasa setuju untuk memakai sekumpulan orang tua yang berlagak bijak sebagai lingkaran terdekat mereka. Tapi perjanjian Nalanda sudah terlanjur disetujui dan bagaimanapun Vishaka tetaplah seorang keturunan Amerta, ia tidak ingin dipojokan atau bahkan dikalahkan oleh seorang tua bijak dari negeri yang jauh, tidak di Malingga tempat kelahiranya dan para leluhurnya.

Untuk sesaat sang Dyaksha berdiri dalam diam, Vishaka mengira lawan bicaranya telah kehabisan kata - kata, tapi entah karena alasan apa mulut Dyaksha itu tiba - tiba terkekeh. Tawa kering menjijikan  menggema di aula, "Sepertinya hamba sudah cukup mendapat udara segar tuan, sekarang hamba akan kembali ke ruangan hamba," ujarnya masih dengan senyum seraya membungkuk hormat, bungkuknya kali ini lebih dalam dari sebelumnya.

Dapunta Vishaka tidak mempedulikan tawa aneh itu, ia hanya membalas senyuman Ki Hasta lalu mengangguk mempersilahkanya pergi, perlahan Dyaksha itu berjalan diiringi suara tongkatnya yang bergema menjauh dari aula utama. "Ki Hasta!" Vishaka menyempatkan diri untuk memanggil sebelum orang sepuh itu benar - benar menghilang dari aula. Dyaksha itu berhenti lalu menoleh, "Ya tuan?" tanyanya.

"Engkau sepertinya menaruh perhatian pada kebersihan di aula ini, katakanlah, apa engkau pernah melihat kelabang atau mungkin kumpulan kelabang disekitar sini tuan Dyaksha?" tanya Kartawirya, "Dan juga, apakah kalian para Dyaksha adalah orang yang percaya tahayul? aku penasaran apa pendapatmu tentang mimpi tuan putri kemarin, itupun kalau kau sudah mendengarnya." Mata Vishaka berkilat menatap tajam Ki Hasta.

"Kami adalah kaum terdidik tuan Dapunta yang baik. Tapi sayangnya tafsir mimpi bukanlah sesuatu yang diajarkan pada kami, para pendeta akan mebih mengerti," jawab Ki Hasta alisnya naik dan kerutan wajahnya seakan bertambah. "Lalu soal kelabang, makhluk itu berbeda dengan rayap, tuan, hewan itu cukup besar untuk dilihat para pelayan, saya yakin jikapun ada pasti akan segera tertangkap," dengan jawaban itu sang Dyaksha membalikan badan dan kembali berjalan menjauh. Hingga kembali menghilang ke balik pilar.

***

Setelah menghilangnya sang Dyaksha, Vishaka melihat kearah singgasana sekali lagi. Ia lalu memutuskan untuk berjalan keluar aula, melewati lorong menuju salah satu sayap bangunan tempat dimana kediaman pribadinya berada. Sebagai seorang Amerta, Kartawirya tinggal di dalam bangunan istana yang sama dengan keluarga Maharaja atau Maharatu. Ruangan pribadinya itu terdiri atas kamar tidur, ruang baca yang dipenuhi rak buku dan meja untuk menulis, serta sebuah ruang tamu yang tidak terlalu luas. Dinding dindingnya dihiasi lukisan bertema Malingga yang serba kerbau dan banteng sesuai lambang Kedatuan.

Vishaka masuk melalui pintu kayu yang tebal lalu berjalan mondar mandir di ruang tamunya yang disorot cahaya matahari sore, ia lalu berjalan menuju ruang baca yang merupakan tempat favoritnya, di atas meja yang dihiasi pot bunga dari keramik, sebuah gulungan kertas teronggok dalam kondisi lecek dan terbuka. Kartawirya mengambil kertas itu, sebuah pesan berisi informasi tentang diplomat Suryapura yang sedang berlayar menuju Sagara. Maharatu telah membaca pesan itu kemarin, sayangnya, Maharatu tidak menaruh sedikitpun rasa curiga pada Laskar Sagara. Sikap yang membuat Vishaka semakin khawatir pada masa depan Malingga.

Sebuah ketukan pintu menganggetkanya, dengan waswas ia berjalan kembali menuju ruang tamu dan mengintip dari celah pintu, melihat siapa sosok yang ada dibaliknya. Vishaka bernafas lega, tanganya perlahan membuka pintu dan mendapati Iswara Amerta, seorang pemuda gagah dengan rambut hitam pendek, anting - anting bulat menggantung di telinga dan wajah yang tegas sedang berdiri diluar sembari memegang sebuah wadah bambu kecil, "Sebuah pesan dari teman kita di Sagara, Ayahanda, elang jambul datang beberapa saat yang lalu," bisik putranya itu sambil melirik sekitar lalu mengangguk.

"Masuklah nak," pinta Vishaka membukakan pada anaknya yang juga merupakan salah satu kapten prajurit Malingga itu, Iswara berjalan masuk dan seketika menyipitkan matanya karena silau, disusul Vishaka yang kemudian menutup pintu dan menguncinya, "Ada yang mencurigakan?" tanyanya. 

"Tidak ada, sejauh yang aku rasakan, tidak ada kecurigaan dari para pasukan di barak, atau dari para pelayan yang berpapasan denganku," jawab Iswara sembari menyerahkan wadah bambu itu kepadanya.

"Bagus," ujar Vishaka yang lalu membuka penutup wadah bambu itu dan diputarnya hingga terbalik, dari dalam wadah itu  merosot keluar sebuah gulungan kertas yang terikat dengan pita bersimpul warna merah, dibukanya simpul pita itu, "Kau yakin surat ini baru saja datang?" tanya Vishaka menatap anaknya.

"Tentu saja! beruntung aku berada di pos jaga ketika elangnya datang, selama aku menjabat, aku tidak akan membiarkan informasi apapun bocor," jawab anaknya bersemangat.

Tapi Vishaka merasa ia harus melakukan sesuatu, "Jangan terlalu yakin pada dirimu nak, terlalu berbahaya menerima surat mendatang di lokasi yang sama, apalagi Maharatu akan meningkatkan kegiatan militer seiring keadaan di Sagara."

Iswara tampak kaget mendengar ucapan itu, lalu tertunduk, "Maaf ayahanda, aku seharusnya menyadari itu." Anaknya adalah salah satu kapten militer Malingga dan akan sering meninggalkan pos yang ia jaga. Hal yang sangat berbahaya jika surat yang akan datang diterima oleh mereka yang tidak mengerti. 

"Apa isinya?" Iswara akhirnya bertanya penasaran.

Vishaka perlahan duduk bersandar di atas kursi baca lalu melepaskan segel dari pesan tersebut, dengan perasaan campur aduk ia lalu membaca isi dari surat tersebut,

Sedikit masalah, salah satu tertangkap, si peniup seruling sudah membereskanya, siap untuk langkah berikutnya.

Vishaka tersenyum, "Sebuah kabar baik nak, kabar baik di waktu yang tak menentu ini," ia lalu berdiri dan bergegas menuju ruang baca, dengan cepat ia mengambil selembar kertas kosong dan sebuah pena bulu yang lalu ia celupkan kedalam wadah dari batok kelapa yang berisikan tinta hitam. Vishaka lalu menulis beberapa kalimat di kertas kosong tersebut dan menggulungnya. Dimasukanya pesan itu kedalam wadah bambu yang sama dan setelah selesai, diserahkanya wadah itu pada Iswara. "Kirimkan pesan ini ke tujuan yang sama seperti sebelumnya nak," ujar Vishaka, "Pesan - pesan selanjutnya bukan engkau lagi yang akan menerima."

Iswara mengangguk mengerti dan bergegas berjalan keluar ruangan meninggalkan Ayahandanya yang kini memandang jauh keluar jendela.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status