"Pak Deon, kalau kamu nggak ingin mendapatkan reputasi buruk sebagai penyiksa anak kecil, tolong kirimkan beberapa selimut serta pakaian yang lebih tebal."
Evan berteriak keras.
Dia tahu bahwa Deon adalah orang yang sangat menjaga reputasinya. Pria itu tidak akan membiarkan dirinya mendapatkan reputasi buruk ini.
Deon mendengarnya, tetapi ekspresinya makin tidak enak dipandang.
Hasan berjalan cepat mendekati Deon, lalu berkata dengan nada menyanjung, "Ayah, jangan marah. Evan hanya ingin menarik perhatianmu dengan cara seperti ini. Abaikan saja dia. Biarkan saja dia kelaparan beberapa hari. Ketika dia menyadari taktik ini nggak berhasil, dia pasti akan datang memohon maaf pada Ayah."
"Benar, kita nggak boleh membiarkannya berhasil. Dia berani mengancam Ayah, juga berani melempar kayu pada kita. Sungguh nggak tahu aturan."
Ahmad menimpali.
Deon tidak berkata apa-apa, langsung pergi ke sebuah kamar di halaman belakang.
Sebelum sempat melangkah masuk, dia sudah mendengar suara tangisan.
Hasan dengan hormat mengangkat tirai, sementara Deon melangkah masuk.
Kamar itu tampak mewah dan hangat.
Suseno berbaring di tempat tidur, dahinya dibalut kain putih dengan noda darah merah yang mengalir keluar.
Di samping tempat tidur, seorang wanita bertubuh gemuk tampak sedang menangis.
Dia adalah putri Kanselir Senior, Devon Cania. Nama wanita itu adalah Intan Cania.
Ketika Intan melihat Deon, dia menghapus air matanya, bangkit untuk memberi hormat, lalu berkata dengan suara terisak, "Kamu sudah kembali?"
Deon menjawab dengan gumaman, melihat ke arah Suseno yang terbaring di tempat tidur, lalu bertanya, "Bagaimana keadaan Suseno? Apakah kamu sudah memanggil dokter untuk memeriksanya?"
Intan terisak sembari menjawab.
"Dokter sudah datang memeriksanya. Suseno terluka parah. Katanya dia harus beristirahat di tempat tidur untuk beberapa waktu."
Deon mengerutkan kening, wajahnya tampak tidak senang.
"Anak haram ini ...." Ahmad hampir menyebutkan anak haram, tetapi dengan satu tatapan dari Intan, dia segera mengubah kata-katanya. "Kak Suseno sungguh malang. Biasanya, dia menyimpankan semua makanan dan minuman terbaik untuk Evan. Aku nggak menyangka kalau Evan nggak hanya mencuri liontin Kak Suseno, tapi juga melukainya hingga seperti ini. Keterlaluan sekali!"
Intan mengerutkan keningnya yang indah sambil menegur.
"Jangan berbicara seperti itu tentang adikmu. Bagaimanapun juga, Evan berasal dari desa kecil. Dia kurang mendapatkan pendidikan .... Ini juga kesalahanku sebagai seorang Ibu yang nggak mendidiknya dengan baik."
Hasan segera berkata, "Ibu, apa hubungannya semua ini denganmu? Jelas-jelas ini adalah kesalahan Evan, bagaimana bisa Ibu memikul tanggung jawab itu?"
Intan menghapus air mata yang sebenarnya tidak ada di sudut matanya, menghela napas, lalu berkata.
"Evan memang sedikit nakal, tapi ini bukan sepenuhnya kesalahannya. Ini karena Ibu yang nggak mendidiknya dengan baik."
"Kalian berdua adalah saudara, jangan menyalahkannya karena hal ini. Meskipun Evan bukan anak kandungku, aku selalu memperlakukannya seperti anakku sendiri."
Awalnya, Deon ingin menanyakan tentang pakaian Evan yang kurang. Namun, setelah mendengar perkataan Intan, dia makin yakin bahwa Evan sudah berbohong.
'Huh, sungguh anak yang nggak bisa diatur. Dia penuh dengan kebohongan, nggak bisa diajar,' batin Deon.
"Evan nggak menghormati yang lebih tua, perilakunya juga sangat kejam. Seseorang, kunci Halaman Barat. Tanpa perintahku, dia nggak boleh melangkah keluar sedikit pun dari Halaman Barat."
Deon berujar dengan wajah jengkel.
Intan menampakkan senyum licik di sudut bibirnya. Levelnya jauh lebih tinggi dibandingkan ketiga putranya.
…
Di Halaman Barat, Paman Dimas membantu Evan kembali ke kamarnya.
"Tuan Evan, tadi kamu benar-benar membuatku ketakutan."
"Kenapa kamu harus melakukan ini? Kalau kamu mengalah sedikit pada Tuan Deon, semuanya akan baik-baik saja .... Sekarang, aku takut Tuan Deon akan makin nggak menyukaimu!"
Evan tertawa dingin, lalu berkata, "Paman Dimas, bukankah aku sudah cukup banyak mengalah?"
"Selama bertahun-tahun ini, aku dengan hati-hati berusaha menyenangkan mereka, aku menahan diri. Bahkan ketika anjing keluarga menggigitku, aku harus minta maaf pada anjing itu .... Tapi kamu lihat sendiri, aku hampir saja bertemu dengan dewa kematian."
Paman Dimas menghela napas, wajahnya penuh dengan sakit hati.
Dia benar-benar merasa kasihan pada Evan. Sebenarnya, Evan adalah orang yang pengertian, baik hati, serta penurut, tetapi mengapa dia tidak bisa mendapatkan satu senyuman pun dari ayahnya?
Mau bagaimana lagi? Ini karena Evan tidak memiliki latar belakang yang bisa membantu karir ayahnya.
"Tuan Evan, apa gunanya melakukan semua ini? Ini hanya akan membuat situasimu menjadi makin sulit," ujar Paman Dimas.
Evan tersenyum sembari berkata, "Setidaknya, Hasan dan dua orang lainnya nggak akan berani menggangguku sembarangan lagi."
Paman Dimas merasa sangat sedih.
"Ujian kekaisaran sudah selesai. Tiga hari lagi hasilnya akan diumumkan, 'kan?" tanya Evan.
Paman Dimas mengangguk, tidak mengerti mengapa Evan menanyakan hal ini.
Sudut bibir Evan sedikit terangkat. "Menurutmu apakah nama Hasan akan ada dalam daftar kelulusan?"
"Tuan Hasan diajar langsung oleh Tuan Deon, tentu saja pengetahuannya nggak buruk .... Kalau nggak ada hal yang nggak terduga, Tuan Hasan pasti akan lulus ujian."
Paman Dimas menghela napas dalam-dalam, lalu melanjutkan, "Tuan Evan, kamu terlambat belajar membaca dan menulis. Kalau saja kamu mulai lebih awal, mungkin kamu juga bisa lulus ujian. Dengan begitu, nggak akan ada yang berani menindasmu lagi."
Keluarga Nigrat memiliki seorang guru.
Setelah Evan datang ke Keluarga Nigrat, dia juga belajar membaca dan menulis bersama anak-anak Keluarga Nigrat lainnya. Namun, karena terlalu terlambat memulai, ilmunya tentu tidak sebanding dengan ketiga orang lainnya.
"Paman Dimas, apakah kamu percaya kalau ada orang genius di dunia ini?" tanya Evan.
Paman Dimas menatap Evan dengan tatapan bingung.
Evan tersenyum sambil berkata, "Paman Dimas, sebenarnya aku adalah seorang genius .... Aku sudah mempelajari semua yang diajarkan guru. Ilmuku nggak kalah dengan Hasan dan yang lainnya."
"Dulu aku nggak ingin terlalu menonjol karena takut membuat mereka iri .... Tapi sekarang, aku nggak perlu lagi menyembunyikan diriku."
"Paman Dimas, kamu tunggu saja. Nggak lama lagi, namaku akan terkenal di dunia sastra."
Namun, Paman Dimas menatap Evan dengan wajah cemas. Mungkinkah demam telah merusak otak Evan? Mengapa dia mulai bicara omong kosong?
Evan berkata dalam hati, 'Aku akan menggunakan kekuatanku dengan baik, sementara kamu, Hasan, nggak akan pernah bisa mendapatkan kemajuan dalam hidupmu.'
Yang Mulia Kaisar saat ini menyukai puisi. Ini membuat tren sastra berkembang pesat di Dinasti Sinas selama beberapa tahun terakhir. Banyak puisi serta sajak yang bermunculan.
Rumornya, Kanselir Senior dulu naik pangkat dengan cepat berkat sebuah puisi yang membuat Kaisar Sinas terkesan.
Jadi, para sastrawan Dinasti Sinas ingin menciptakan mahakarya yang belum pernah ada sepanjang masa. Mungkin saja mereka akan mendapatkan perhatian Kaisar.
Evan memikirkan ide untuk menjual puisi.
Puisi yang bagus sungguh tidak ternilai harganya.
Evan tidak bisa menulis puisi, tetapi di dunia ini tidak ada penyair puisi hebat seperti yang ada di dunianya dulu. Jika Evan tidak bisa menjadi orang hebat, dia akan berdiri di atas pundak para orang hebat, meminjam kekuatan mereka.
Mulai sekarang, dia akan menjadi adik para penyair hebat itu!
Karena dipaksa oleh kondisi hidup, Evan percaya para leluhur tidak akan menyalahkannya.
Pertama-tama, dia harus mendapatkan uang.
Setelah memiliki uang, dia harus mencari cara untuk pindah keluar.
Namun, hal ini akan sangat sulit.
Pertama, kartu identitasnya ada di tangan Deon.
Kartu identitas sama seperti KTP. Tanpa benda itu, Evan tidak bisa membeli properti. Bahkan, dia mungkin akan ditangkap sebagai bandit.
Sementara Deon yang selalu memikirkan reputasinya, pasti tidak akan dengan mudah memberikan kartu identitas itu pada Evan. 'Nanti aku akan mencoba mencari cara untuk mencurinya,' batin Evan.
Kedua, menurut hukum Dinasti Sinas, jika keluarga hanya memiliki satu anak laki-laki, dia harus merawat kedua orang tuanya. Jika ada banyak anak laki-laki, mereka bisa memisahkan keluarga. Namun, anak laki-laki harus berusia minimal enam belas tahun untuk melakukan ini. Di dunia ini, usia kedewasaan adalah enam belas tahun.
Semua ini tertulis dalam hukum yang berlaku. Jika dilanggar, seseorang akan mendapatkan hukuman berat.
Namun, hal ini mudah untuk diatasi. Evan akan berusia enam belas tahun dalam beberapa bulan. Dia hanya perlu bersabar sedikit hingga waktunya tiba.
'Sudahlah, aku akan mencari uang dulu,' pikir Evan.
Karena dia sudah diberi kesempatan untuk hidup kembali, Evan tidak boleh menjalani kehidupan seorang pengecut.
Mungkin dia tidak akan sampai menjadi pejabat tinggi, tetapi setidaknya dia harus kaya raya.
"Paman Dimas, besok kita pergi ke Paviliun Juara!" ujar Evan.
Di ibu kota, ada sebuah tempat bernama Paviliun Juara. Ini adalah tempat berkumpulnya para cendekiawan dan sastrawan.
Pemilik Paviliun Juara sangat menyukai puisi. Siapa pun yang bisa membuat puisi yang bagus, bisa makan serta menginap secara gratis di sana.
Oleh karena itu, banyak karya luar biasa yang lahir dari Paviliun Juara.
Evan memutuskan pergi ke Paviliun Juara besok untuk menjual puisi. Dia akan menghasilkan uang terlebih dulu, baru kemudian memikirkan untuk pindah.
…
Keesokan harinya, Paman Dimas masuk membawa air panas begitu Evan terbangun.
"Paman Dimas, cepatlah berkemas. Setelah aku selesai bersiap, kita akan pergi ke Paviliun Juara," ujar Evan.
"Tuan Evan, sayangnya kita nggak bisa pergi," balas Paman Dimas.
"Hm?"
Paman Dimas menghela napas, lalu berkata, "Semalam Tuan Deon memerintahkan agar kamu dikurung, nggak boleh melangkah keluar dari Halaman Barat sedikit pun. Ada orang yang mengawasi di pintu depan."
Wajah Evan menjadi muram.
Namun, dia sudah punya rencana untuk memanjat tembok.
Di sudut halaman ada tumpukan kayu bakar, jadi Evan bisa memanjat keluar.
Evan mencuci muka dengan cepat. Dia pergi ke halaman, berniat memanjat tembok untuk keluar.
Namun, Paman Dimas tidak bisa ikut. Dia sudah tua, sementara kakinya pincang. Jadi, dia tidak mungkin bisa memanjat tembok.
"Tuan Evan, sebaiknya kamu jangan pergi. Kalau Tuan Deon sampai mengetahuinya, dia akan marah."
Evan tersenyum dingin. "Biar saja dia marah. Kalau dia memang mau marah, tunjukkan saja padaku, bakar saja aku .... Nggak ada yang bisa menghalangiku untuk mencari uang."
Evan memanjat keluar dari tembok.
Sejak datang ke kediaman Keluarga Nigrat, Evan jarang pergi keluar. Dia hanya pernah mendengar tentang Paviliun Juara, tetapi belum pernah ke sana.
Namun, Paviliun Juara sangat terkenal. Dia hanya perlu bertanya sepanjang jalan untuk bisa tiba di sana.
Paviliun Juara adalah bangunan tiga lantai berwarna merah yang dikelilingi air di tiga sisinya. Bangunan itu sangat megah, sementara lokasinya juga sangat strategis.
Saat Evan hendak melangkah masuk, tiga orang tampak keluar dari dalam.
Orang yang memimpin tampak berusia empat puluh atau lima puluh tahun. Dia berpakaian mewah, tampak memiliki aura yang luar biasa.
Di belakangnya, ada dua orang yang mengikuti. Yang satu adalah seorang pria berjenggot lebat, bertubuh kekar, serta berwajah garang.
Yang satunya lagi adalah seorang pria berwajah putih tanpa jenggot, dengan sikap yang feminin.
Pria paruh baya yang berpakaian mewah itu menggelengkan kepala sambil menghela napas. "Sia-sia saja datang ke sini. Nggak ada satu pun puisi yang bagus. Mereka hanya sekumpulan orang yang menumpang hidup."
"Tuan, jangan marah. Puisi dan sajak yang bagus memang sulit ditemukan. Kita bisa datang lagi lain kali."
Pria berwajah putih tanpa jenggot itu berkata dengan suara yang agak melengking, berusaha menenangkan.
Mata Evan berbinar. Dilihat dari cara berpakaian orang ini, dia pasti adalah orang kaya.
Ketika Evan berpapasan dengan ketiga orang itu, dia tiba-tiba memberi hormat, lalu berujar, "Permisi, Tuan."
Ketiga orang itu berhenti.
Pria berwajah garang dan pria feminin itu melangkah maju, menghalangi di depan pria paruh baya yang berpakaian mewah.
Evan buru-buru berkata, "Nggak perlu waspada begitu, aku bukan orang jahat. Aku hanya ingin bertanya, apakah kalian datang ke sini untuk membeli puisi?"
Ketiga orang itu mengamati Evan.
Evan memiliki tubuh yang kurus, tidak begitu tinggi, serta pakaiannya sudah pudar karena terlalu sering dicuci. Dia tampak seperti cendekiawan yang jatuh miskin.
Pria paruh baya berpakaian mewah itu bertanya, "Kenapa? Apa kamu punya puisi untuk dijual?"
Evan mengangguk, lalu menjawab, "Aku ahli dalam segala bentuk puisi dan sajak. Apa pun yang kamu inginkan, katakan saja .... Kalau nggak puas, nggak perlu membayar."
Pria paruh baya itu tertawa. "Usiamu masih muda, tapi keberanianmu cukup besar!"
Evan menepuk dadanya, mencoba meyakinkan, "Sudah aku katakan, kalau nggak puas, nggak perlu membayar. Kalian juga bisa mencoba satu puisi dulu. Kalau bagus, kalian baru membelinya."
"Dalam berbisnis, aku selalu bersikap adil dan jujur. Aku nggak pernah menipu siapa pun!"