Share

Bab 4

Penulis: Raka Anggara
Pria paruh baya berpakaian mewah itu diam-diam mengerutkan kening. 'Mencoba? Apakah puisi sesuatu yang bisa dicoba? Ini bukan makanan,' pikir pria itu.

Sikap pemuda ini sama sekali tidak seperti seorang cendekiawan, tetapi lebih mirip seperti seorang pedagang keliling.

"Tuan, orang ini jelas-jelas penipu. Jangan hiraukan dia, sebaiknya kita cepat pulang."

Pria feminin berwajah putih tanpa jenggot itu berkata sambil melotot ke arah Evan.

Karena Evan benar-benar terlihat seperti penipu.

Evan membelalakkan matanya, lalu membalas, "Siapa yang kamu sebut penipu? Biar aku beri tahu, nggak lama lagi namaku akan mengguncang dunia sastra. Saat itu, puisiku nggak akan ternilai harganya. Kalau nggak membelinya sekarang, kamu pasti akan sangat menyesal!"

Pria feminin itu berkata dengan nada meremehkan, "Dengan kemampuanmu, kamu berharap menjadi orang terkenal di dunia sastra?"

Evan menatapnya dengan penuh penghinaan, lalu berujar, "Apa kamu yang seperti wanita ini paham tentang puisi?"

"Lancang!"

Pria feminin itu menunjuk Evan, jarinya gemetaran karena amarah.

Pria berpakaian mewah itu melambaikan tangannya, menatap Evan, lalu berkata sambil tersenyum.

"Kamu membuat dirimu terdengar begitu hebat, beranikah kamu menerima ujianku?"

Evan merentangkan kedua tangannya sembari berkata, "Silakan saja. Emas sejati nggak akan takut diuji dengan api!"

Pria paruh baya itu melihat sekeliling. Akhirnya, pandangannya terjatuh pada beberapa angsa putih yang sedang bermain di danau di sebelah.

Dia tersenyum sambil berkata, "Kalau begitu, mari kita buat puisi dengan tema angsa, bagaimana?"

Evan tersenyum, lalu berkata, "Apa sulitnya? Aku bisa langsung mengucapkannya. Dengarkan baik-baik .... Angsa, angsa, angsa ...."

Kalimat Evan selanjutnya langsung terpotong oleh tawa melengking dari pria feminin.

Dia menatap Evan dengan penuh penghinaan sambil bertanya, "Ini yang kamu sebut puisi?"

Wajah Evan menjadi muram. Jika bukan karena ingin menghasilkan uang, dia sudah akan memaki orang ini. Pria feminin ini sangat menyebalkan.

"Jangan berisik, dengarkan aku selesai bicara dulu. Kamu bisa tertawa nanti kalau kamu mau."

Pria paruh baya itu juga berkata dengan tegas, "Jangan menyela, biarkan dia menyelesaikannya."

"Baik!" Pria feminin itu membungkuk sedikit, lalu melotot pada Evan. "Silakan saja, mari kita lihat seberapa hebat puisimu!"

Evan mengabaikannya. Bagaimanapun juga, dia datang untuk berbisnis. Keramahan akan membantu usahanya!

Evan berdeham, lalu berkata, "Dengarkan baik-baik .... Angsa, angsa, angsa, leher melengkung bernyanyi ke langit. Bulu putih mengambang di atas air biru, cakar merah menepis gelombang yang jernih."

Mata pria paruh baya itu sedikit berbinar.

Pria feminin langsung mengejek, "Ini yang kamu sebut puisi? Ini hanya bahasa sederhana!"

Namun, pria paruh baya itu melambaikan tangannya sembari berkata, "Puisi yang bagus! Meskipun nggak memiliki makna yang dalam ataupun filosofis, puisi ini mudah diucapkan. Ini sesuai dengan keadaannya, sangat cocok untuk pendidikan anak-anak."

"Berapa harga puisimu ini? Aku akan membelinya."

Hati Evan bergetar dengan sukacita. Ini adalah transaksi pertamanya, dia akan mendapatkan uang!

Evan berpikir sejenak, lalu mengacungkan satu jari sambil berkata, "Satu tahil perak."

Sebenarnya, Evan sama sekali tidak tahu harga puisi. Namun, satu tahil perak cukup untuk membeli satu set pakaian katun.

Cuacanya begitu dingin hingga Evan hampir membeku.

Namun, pria paruh baya itu terkejut, "Satu tahil perak?"

Evan mengira dia meminta terlalu banyak, jadi dia berkata, "Paman, satu tahil perak benar-benar nggak mahal. Kalau kamu membeli puisi dariku lagi nanti, aku bisa memberikan diskon terbanyak untukmu."

Ketika melihat pria paruh baya itu mengerutkan kening, Evan melanjutkan dengan berpura-pura menyedihkan.

"Paman, sebentar lagi cuacannya akan sangat dingin. Lihat, aku masih mengenakan pakaian tipis .... Sejujurnya, semua keluargaku sudah meninggal, hanya tersisa aku dan seorang pelayan tua yang pincang. Kami saling bergantung untuk hidup. Kami sudah beberapa hari nggak makan."

Setelah Evan selesai berbicara, perutnya juga ikut merespons tepat waktu, mengeluarkan suara keroncongan.

Pria paruh baya itu menatap Evan, lalu berkata, "Ayo pergi, kita bicara di tempat lain."

Evan tampak tertegun sejenak.

Pria paruh baya itu tersenyum sambil berkata, "Jangan khawatir, akan ada keuntungan untukmu!"

"Keuntungan apa?" tanya Evan.

Pria paruh baya itu membalas, "Nanti kamu akan tahu .... Jangan khawatir, dengan penampilanmu yang seperti ini, kamu nggak akan bernilai banyak meski dijual."

Meskipun kata-kata itu menyakitkan, ini adalah kebenarannya.

Evan mengangguk setuju.

Pria paruh baya itu membawa Evan masuk ke Paviliun Juara, ke sebuah ruangan yang elegan di lantai tiga.

"Duduklah di mana pun kamu mau, nggak perlu sungkan!" kata pria paruh baya itu. Kemudian, dia beralih kepada pria feminin sambil berujar, "Pergilah, siapkan beberapa makanan dan minuman."

Pria feminin itu pun pergi dengan enggan.

Pria paruh baya itu duduk di meja, lalu bertanya: "Aku belum tahu namamu."

"Namaku ... Bintang Buana."

Evan memberikan nama palsu. Dia mungkin tidak akan pernah bisa kembali ke Bintang Biru, jadi dia menggunakannya untuk mengenang kampung halamannya dulu.

Mata pria paruh baya itu berkilat, tampak sedang merenung. 'Apakah ada Keluarga Buana di ibu kota? Sepertinya pemuda ini nggak berkata jujur,' pikir pria itu.

"Paman, siapa namamu?"

"Aku? Namaku ... Akash."

Evan tersenyum, lalu berujar, "Nama yang bagus. Akash berarti langit, berarti alam semesta. Kamu punya itu dalam namamu."

Evan bisa melihat bahwa orang ini bukan orang biasa. Dia juga menyadari bahwa pria feminin tadi adalah seorang kasim.

Orang ini kemungkinan adalah kerabat kerajaan.

Namun, ada hal-hal yang lebih baik diketahui tanpa perlu diucapkan.

Makin banyak yang kamu ketahui, makin cepat kamu akan mati!

Evan hanya di sini untuk berbisnis, mendapatkan uang. Yang lain tidaklah penting.

"Bintang, tadi kamu bilang kalau kamu ahli dalam segala bentuk puisi. Puisi apa lagi yang sudah kamu tulis?"

"Paman, apakah kamu akan membeli puisi yang tadi? Kalau kamu membelinya, aku akan memberimu harga yang lebih murah untuk puisi berikutnya."

Akash mengangguk. "Aku akan membelinya. Tapi puisi itu nggak bernilai satu tahil perak."

"Paman, satu tahil perak sudah sangat murah. Aku bahkan nggak mengambil keuntungan ...."

Akash melambaikan tangannya sambil tersenyum, lalu berujar, "Maksudku bukan begitu, bukan nggak layak .... Untuk puisi tadi, aku bersedia membayar sepuluh tahil perak."

Evan tampak terkejut. "Sepuluh tahil perak? Paman, apa kamu serius?"

Akash tersenyum, lalu berkata, "Tentu saja!"

Wajah Evan langsung penuh kegembiraan.

"Paman, kamu benar-benar seperti orang tua keduaku .... Kamu tenang saja, untuk puisi berikutnya yang kamu beli, aku pasti akan memberimu harga yang lebih murah."

Akash tersenyum sambil bertanya, "Jadi, puisi apa lagi yang akan kamu jual?"

Evan berkata dengan melebih-lebihkan, "Ada banyak sekali .... Paman, puisi seperti apa yang kamu inginkan? Aku akan menulis apa pun yang kamu minta."

Pada saat itu, terdengar suara bising dari ruangan sebelah.

Akash mengerutkan kening, lalu berkata, "Paviliun Juara adalah tempat yang elegan, bagaimana bisa ada yang membuat keributan seperti ini?"

Kebetulan, pria feminin berwajah putih itu kembali pada saat itu!

Akash bertanya dengan santai, "Apa yang terjadi di sebelah?"

Pria feminin itu buru-buru membungkuk, lalu berujar dengan hormat, "Tuan, itu adalah Jenderal Hadi yang mabuk."

Akash menghela napas, lalu berkata, "Jenderal Hadi menghabiskan seluruh hidupnya di medan perang, bertempur untuk negara. Sekarang tubuhnya cacat, nggak bisa lagi ke medan perang. Pasti hatinya merasa sedih. Dia menggunakan arak untuk melupakan kesedihannya."

Evan tahu tentang Jenderal Hadi yang sudah mengabdikan seumur hidupnya di medan perang. Namun, sayangnya tiga tahun lalu kakinya terpotong di medan perang. Sekarang, dia sudah pensiun. Kabarnya, setiap hari dia minum-minum untuk melupakan kesedihannya.

"Bintang, tulislah puisi dengan tema kesedihan Jenderal Hadi saat ini," ujar Akash.

Evan menggaruk kepalanya. Ini agak sulit baginya.

Pria feminin menatap dengan penuh penghinaan, lalu berujar, "Tadi kamu dengan sombong mengatakan kalau kamu ahli dalam segala bentuk puisi, tapi sekarang kamu sudah kesulitan? Apa kamu nggak merasa malu?"

Evan meliriknya, lalu menoleh pada Akash. "Paman, untuk puisi aku belum memikirkannya, bagaimana kalau sajak?"

Akash tersenyum sambil berkata, "Puisi dan sajak berhubungan dengan erat. Sajak juga boleh!"

"Baiklah. Kalau begitu aku akan membuat sajak tentang kondisi Jenderal Hadi saat ini."

Evan mengangkat tehnya, menyesapnya sedikit untuk membasahi tenggorokannya, lalu mulai berbicara.

"Dalam kemabukan, mengangkat lampu melihat pedang, bermimpi kembali ke kamp perang dengan tiupan terompet."

"Empat ratus kilometer di bawah komando, lima puluh senar melintas, membuat suara di luar tembok. Para prajurit berbaris di medan perang."

"Kuda berlari dengan cepat, busur seperti petir yang menakutkan."

"Menyelesaikan urusan dunia untuk Kaisar, mendapatkan reputasi baik semasa hidup dan setelah kematian. Namun, sungguh disayangkan rambut sudah memutih!"

Setelah kata-kata Evan selesai, dia melihat wajah Akash yang penuh dengan keterkejutan.

Bahkan mata pria feminin yang selalu mengejek Evan tampak terbelalak. Matanya membesar seperti kodok.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ksatria Modern di Dinasti Lama   Bab 50

    Di ruang kerja kekaisaran di Istana.Wahyu berdiri di bawah meja dan melaporkan percakapannya dengan Evan kepada Kaisar Sinas secara detail.Setelah mendengar laporan dari Wahyu, Kaisar Sinas segera menulis di atas selembar kertas dengan kuas merahnya.Setelah selesai, dia mengangkat kertas itu dan membacanya dengan saksama."Membunuh satu orang setiap sepuluh langkah dan nggak pernah meninggalkan jejak apa pun dalam jarak seribu mil. Setelah selesai bekerja, langsung pergi dan menyembunyikan identitas.""Dari zaman dulu kala juga semua orang pasti akan mati. Yang penting tinggalkan saja hati yang bersih dalam sejarah.""Air dapat membawa perahu ke mana-mana, tapi juga bisa menenggelamkannya ...."Kaisar Sinas membacanya sekali dan menyukai puisi ini. Makin dibaca, makin dia menyukainya."Bocah itu memang sangat berbakat .... Sayangnya, dia terlalu kurang ajar dan nggak menghormati keluarga kerajaan."Kaisar Sinas melirik Wahyu, lalu bertanya, "Karena kamu sudah bicara dengannya, apa p

  • Ksatria Modern di Dinasti Lama   Bab 49

    "Iya. Menyandera dan memukuli Pangeran Kelima adalah kejahatan berat yang hukumannya berupa hukuman mati bagi seluruh keluarga.""Sebenarnya, aku melakukan itu atas perintah seseorang."Jantung Wahyu sontak berdebar kencang. Apa mungkin ada orang lain yang berkomplot?"Siapa yang menyuruhmu?""Menteri Ritual, Deon Nigrat," jawab Evan.Wajah Wahyu sontak berkedut. Karena dia akhir-akhir ini diperintahkan untuk menyelidiki soal Evan, tentu saja dia tahu bahwa Evan tidak diterima di Keluarga Nigrat.Bocah ini ingin menyeret Deon."Apa hubunganmu dengan Deon? Mengapa dia memerintahkanmu untuk menyandera dan memukuli Pangeran Kelima?"Wahyu tetap bertanya walaupun sudah tahu jawabannya.Evan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, lalu menjawab, "Kami nggak punya hubungan apa-apa. Aku ini seorang pembunuh bayaran, jadi aku melakukan banyak hal demi uang .... Deon membayarku untuk membunuh Pangeran Kelima.""Saat orang-orangmu menangkapku, mereka menemukan seratus tahil perak yang kubawa. Itu up

  • Ksatria Modern di Dinasti Lama   Bab 48

    Kaisar Sinas pun mengibaskan tangannya dan mengisyaratkan Wahyu untuk pergi.Setelah itu, Kaisar Sinas memandang sang pangeran sambil berkata, "Dalam beberapa waktu ke depan, jangan menjenguknya di penjara.""Walaupun pangeran kelima itu palsu, tetap saja dia berani menyandera dan memukulinya tanpa menyadari apa-apa. Dia tetap mengabaikan hukum dan kekuasaan kekaisaran, jadi dia tetap harus dihukum.""Sesuai perintah Yang Mulia!" jawab sang pangeran dengan segera.Jenderal Hadi yang sudah tidak dapat menahan diri lagi pun akhirnya berkata, "Yang Mulia, masih belum ada kabar tentang Bintang Biru. Tolong izinkan hamba mengutus orang untuk mencarinya."Kaisar Sinas sontak tertegun. Belum ada kabar? Jadi, tadi siapa yang habis mereka bicarakan?Namun, sesaat kemudian Kaisar Sinas menyadari bahwa Jenderal Hadi sepertinya belum mengetahui identitas asli Evan."Jenderal Hadi, Evan yang tadi kami bicarakan itu sebenarnya Evan. Bintang Biru itu Evan. Mereka adalah orang yang sama."Jenderal Had

  • Ksatria Modern di Dinasti Lama   Bab 47

    Si pemimpin pun berjalan menghampiri, lalu bertanya, "Bintang Biru, kejahatan apa yang telah kamu lakukan? Walaupun kamu nggak bermaksud, kenyataannya kamu sudah menyelamatkan rekanku. Aku mungkin bisa membantumu meredakan situasi dan mendapatkan hukuman yang lebih ringan."Mereka hanya diperintahkan untuk menangkap Bintang Biru, mereka tidak tahu kejahatan apa yang telah Evan lakukan."Bahkan anak tiga tahun di ibu kota saja tahu kalau nggak akan ada yang bisa keluar hidup-hidup begitu dibawa masuk ke Divisi Pengawasan," sahut Evan sambil tersenyum dengan acuh tak acuh."Semuanya tergantung pada usaha manusia. Mungkin kami dapat membantumu ... atau membuat hidupmu lebih nyaman sebelum ajal menjemput."Evan menggelengkan kepalanya, lalu menjawab, "Kalian nggak akan bisa menolongku …. Aku menyandera Pangeran Kelima dan memukulinya dengan kejam. Apa kalian masih bisa menolongku?"Mereka semua sontak tertegun!Menyandera Pangeran Kelima dan memukulinya adalah kejahatan berat. Hukumannya b

  • Ksatria Modern di Dinasti Lama   Bab 46

    Evan yang sudah meluncur turun dari pohon bersiap untuk kabur.Namun, begitu berbalik badan, tiba-tiba punggungnya merasakan hawa dingin.Serigala yang menggigit kaki si pria yang tadi memeriksa abu itu tiba-tiba membuka mulutnya dan menerkam ke arah Evan.Evan refleks menoleh. Ekspresinya langsung berubah dan dia berguling di atas tanah.Serigala itu gagal menerkam.Evan pun bangkit berdiri, sementara si serigala menerkamnya lagi.Dia menatap serigala yang menerjang ke arahnya itu dengan tajam, lalu menghunus belatinya dengan secepat kilat.Wooosh!Bilah belati itu berkilat dengan dingin.Evan menusukkan belatinya pada kepala si serigala dengan mantap, akurat dan kejam."Bintang Biru!"Si pemimpin berseru memanggil.Evan mencabut belatinya, lalu balas menyeringai. "Selamat bersenang-senang! Selamat tinggal!"Setelah itu, Evan berbalik badan dan berlari pergi.Akan tetapi, ternyata masih terlalu dini untuk merasa senang!Belum sempat Evan berlari jauh, seekor serigala yang jauh lebih b

  • Ksatria Modern di Dinasti Lama   Bab 45

    Evan hanya bisa tersenyum getir di dalam hati. Dia sudah terlalu lama membuang waktu di sini. Para anggota Divisi Pengawasan itu pasti bisa menemukan tempat ini karena mengikuti jejak tapal kuda."Bos, di sini ada abu."Salah seorang di antara mereka berkata sambil melompat turun dari kudanya, lalu berjalan menghampiri abu api unggun. Dia mengulurkan tangannya untuk memeriksa. "Masih terasa hangat, jadi harusnya dia belum pergi jauh."Evan berdoa dalam hati semoga mereka tidak melihat ke atas …. Karena begitu mendongak, dia pasti akan ketahuan.Jika orang ini mendongak, mau tidak mau Evan harus menyerang dan membunuhnya …. Namun, bagaimana dengan empat orang lainnya?Semua anggota Divisi Pengawasan adalah ahli yang terkemuka. Kekuatan fisik Evan memang telah meningkat pesat berkat olahraga yang dia lakukan akhir-akhir ini, tetapi tetap saja dia tidak mungkin bisa menang melawan empat orang ahli dari Divisi Pengawasan secara bersamaan.Tiba-tiba, Evan menyadari bahwa sekawanan serigala

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status