Share

Bab 4. Kedhaton Madyantara

Sesampainya di Kedhaton Madyantara, Dutasena segera menuju Pendopo Kertaraja yang berlokasi di tengah-tengah kompleks Kedhaton.

“Mohon Ampun Gusti Adipati, hamba Dutasena dari Pasukan Satyawira mohon ijin untuk menghadap.” Dutasena berjongkok menunduk tepat di depan pintu masuk pendopo kertaraja.

“Bangun dan kemarilah Dutasena, mengapa engkau yang menghadap, dimana Jatiraga?” tanya seseorang yang duduk di kursi berukir burung rajawali yang berlapiskan emas.

Suara yang penuh akan wibawa tersebut kini memandang Dutasena dengan penuh tanya. Ia adalah Argarota. Adipati yang diberikan mandat oleh Maha Patih Dalengga untuk memimpin  Kithara.

Mematuhi perintah Argarota, Dutasena segera bangkit berdiri selanjutnya berjalan perlahan memasuki Pendopo Kertaraja sambil menundukkan kepalanya. Begitu sampai ditengah-tengah pendopo, ia kembali mengambil posisi berjongkok menunduk, “Mohon ampun Gusti Adipati. Senopati Jatiraga memerintahkan hamba untuk menyampaikan pesan kepada Gusti Adipati bahwa pasukan Kerajaan Ambarata mulai bergerak menuju kota dari arah selatan,” ucap Dutasena dengan penuh nada penghormatan.

Argarota sangat terkejut mendengar kabar dari Dutasena. Namun dengan cepat ia dapat menguasai dirinya dan mulai berpikir sejenak.

Tidak mengherankan jika Argarota begitu terkejut. Karena seperti yang telah diketahui,  Kithara merupakan tapal batas Kerajaan Prabangkara. Sedangkan Anbawa yang merupakan ibu kota Kerajaan Prabangkara berada disebelah selatan.

Disamping itu, Kerajaan Prabangkara telah lama membangun tembok pertahanan yang kokoh dan membentang dari ujung pantai timur sampai ujung pantai barat dengan Kithara sebagai titik tengahnya. Tembok pertahanan tersebut juga selalu dijaga oleh pasukan yang selalu siaga setiap harinya, sehingga hampir mustahil untuk tertembus pasukan manapun.

Sehingga kabar serangan Ambarata dari arah selatan kota, apa lagi kabar tersebut berasal dari Pasukan Satyawira yang merupakan pasukan elit di Kerajaan Prabangkara, merupakan pukulan telak bagi Argarota. Karena ia merasa gagal menunaikan tugas yang telah diberikan Mahapatih Dalengga kepadanya.

“Lalu bagaimana dengan Shawna, Galungga, Dridasa dan Kartara yang berada di sebelah selatan?” Argarota bertanya dengan penuh kekhawatiran.

“Mohon ampun Adipati, hingga saat ini kami tidak mengetahui bagaimana nasib kota-kota tersebut,” jawab Dutasena masih tidak beranjak dari posisinya.

Sejenak Argarota memejamkan matanya, dengan sedikitnya informasi yang ia ketahui tentang serangan ini, serta bagaimana situasi ibu kota, jelas sangat menyulitkan bagi dirinya untuk mengambil keputusan. Sehingga dia harus sangat berhati-hati dalam mengambil langkah selanjutnya.

"Baiklah, kerahkan seluruh pasukan untuk 'menyambut' pasukan Kerajaan Ambarata di gerbang selatan. Namun perintahkan sebagian pasukan untuk menjaga gerbang utara, kita akan berperang untuk mempertahankan kota sampai titik darah penghabisan." Suara Argarota meninggi membuat Dutasena sedikit terkejut.

"Mohon ampun Gusti, hamba diperintahkan oleh Senopati Jatiraga untuk meminta Gusti Adipati tetap berada di Kedhaton Madyantara selama serangan berlangsung.  Semua demi keselamatan Gusti Adipati." Dutasena memberanikan diri memotong perkataan Argarota.

"Aku tahu Jatiraga mengkhawatirkan keselamatanku. Tetapi pantang bagiku, Argarota, Pemimpin Kota Kithara untuk berdiam diri. Sedangkan para prajurit terbaikku bertarung mempertaruhkan nyawanya di medan perang demi melindungi Kithara. Jadi aku akan turut serta dalam peperangan ini, tidak akan kubiarkan kota ini jatuh ke tangan mereka." Argarota memandang Dutasena yang kini mematung.

“Daulat Gusti Adipati,” jawab Dutasena sambil tetap tak beranjak dari posisinya.

“Kau tunggu di luar Kedhaton Madyantara, aku akan mempersiapkan diri untuk menghadapi pertempuran ini,” perintah Argarota, sebelum pergi meninggalkan Pendopo Kertaraja.

“Daulat Gusti Adipati,” jawab Dutasena, tak lama kemudian meninggalkan Pendopo Kertaraja sesaat setelah Argarota pergi.

Sementara itu, di kediaman Empu Among Jiwa yang terletak sebelah barat dari Kedhaton Madyantara, Aditara tengah mendapat perawatan dari Empu Among Jiwa.

“Bagaimana Empu, apakah kondisi Aditara baik-baik saja?” Galisaka bertanya dengan nada cemas.

“Kondisi tubuhnya sudah stabil, aliran tenaga dalamnya pun sudah kembali normal. Menurut perhitunganku ia akan pulih dalam beberapa hari,” jawab Empu Among Jiwa sambil tersenyum.

“Syukurlah, terima kasih banyak Empu,” ucap Galisaka dengan nada berterima kasih.

“Tak perlu sungkan seperti itu, lagipula sudah menjadi tugasku untuk mengobati orang sakit,” kata Empu Among Jiwa sambil tersenyum menatap Galisaka.

“Anda terlalu merendah Empu. Tetapi ada sesuatu yang ingin saya tanyakan kepada Empu. Aditara hanya menerima satu pukulan dari Degasoka, bagaimana bisa itu mengacaukan seluruh aliran tenaga dalamnya. Sedangkan organ vitalnya tidak berpengaruh sama sekali?” tanya Galisaka penasaran.

“Hmm... dilihat dari kondisi tubuhnya dan berdasarkan ceritamu tadi, bisa dipastikan Aditara terkena Jurus Tapak Nirdaya,” jawab Empu Among Jiwa dengan menunjukkan ekspresi ketakutan diwajahnya.

“Jurus Tapak Nirdaya, saya tidak pernah mendengar jurus itu Empu, bisakah Empu memberikan penjelasan?” Galisaka meminta dengan sopan kepada Empu Among Jiwa.

Galisaka menyadari perubahan raut wajah Empu Among Jiwa dan itu mengisyaratkan bahwa Jurus Tapak Nirdaya bukanlah jurus sembarangan, ia berpikir akan lebih menguntungkan bagi dirinya untuk mengetahui perihal jurus tersebut.

“Jurus Tapak Nirdaya adalah salah satu jurus mematikan dalam dunia persilatan, dampak yang disebabkan dari jurus itu amatlah menakutkan. Karena begitu seseorang terkena jurus itu, seluruh aliran tenaga dalamnya akan kacau, sehingga akan menimbulkan kerusakan yang parah pada energi kehidupannya. Namun jurus ini tidak akan berdampak pada organ vital korbannya, sehingga akan menyulitkan bagi tabib biasa untuk menyembuhkannya,” jelas Empu Among Jiwa.

“Dalam kasus Aditara, keputusanmu untuk menutup sementara aliran tenaga dalamnya sudah sangat tepat, karena mengurangi kerusakan yang lebih parah pada energi kehidupannya,” lanjut Empu Among Jiwa sambil menatap Aditara.

“Jadi seperti itu, mohon ampun Empu, bila dilihat dari dampak yang ditimbulkan oleh jurus itu, bukankah jauh lebih mematikan formasi Kunjara Api dan Pusaka Besta Panca Jiwa. Namun mengapa ekspresi Empu sangatlah berbeda?” Galisaka memberanikan diri untuk menanyakan hal itu kepada Empu Among Jiwa.

Mendengar pertanyaan dari Galisaka, Empu Among Jiwa hanya tersenyum kecil, “Kau sungguh pandai Galisaka, tak mengherankan Jatiraga mengangkatmu sebagai salah satu wakil senopati di Pasukan Satyawira,” jawab Empu Among Jiwa sambil tersenyum tipis seraya menatap Galisaka.

“Saya sangat menyesal Empu, mohon maaf jika perkataan saya tadi telah menyinggung Empu,” ucap Galisaka dengan penuh penyesalan sambil perlahan mulai membungkuk.

Namun, sebelum Galisaka benar-benar membungkuk, ia dihentikan oleh Empu Among Jiwa.

“Tak perlu meminta maaf Galisaka, lagipula apa yang kau katakan memang benar. Tetapi yang menjadi ketakutanku bukanlah akibat dari jurus itu, melainkan asal jurus itu,” jawab Empu Among Jiwa.

Jawaban dari Empu Among Jiwa jelas membuat rasa keingintahuan Galisaka akan Jurus Tapak Nirdaya semakin meningkat, karena sebagai anggota Pasukan Satyawira, sudahlah sangat lazim bagi dirinya untuk mengetahui berbagai jurus didunia persilatan. Namun baru kali ini ia mendengar jurus itu.

“Dapatkah Empu menjelaskan kepada saya, tentang asal muasal Jurus Tapak Nirdaya ini,” pinta Galisaka dengan nada yang penuh penghormatan.

“Baiklah akan aku jelaskan, mungkin ini akan berguna untukmu kelak,” jawab Empu Among Jiwa sambil mempersilahkan Galisaka untuk duduk di dipan yang berada di sudut ruangan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status