Share

Bab 3. Garhupiksa

Pasukan Satyawira akhirnya tiba di Kithara melalui gerbang utara. Kithara merupakan kota penting bagi Kerajaan Prabangkara, karena menjadi garis depan pertahanan kerajaan. Oleh karena itu, Maha Patih Dalengga sengaja menempatkan Pasukan Satyawira di kota tersebut guna menghalau serangan dari Kerajaan Ambarata serta menjaga keamanan Kithara.

Kembali ke Pasukan Satyawira yang baru saja memasuki Kithara. Tanpa mengulur waktu, Jatiraga langsung memerintahkan membawa Degasoka ke Garhupiksa yang merupakan tempat interogasi dan pemeriksaan tahanan.

"Galisaka segera temui Empu Among Jiwa untuk memeriksa keadaan Aditara," perintah Jatiraga kepada Galisaka.

"Daulat Senopati." Galisaka langsung menuju tempat Empu Among Jiwa yang berada di sebelah barat kota.

Sedangkan Jatiraga tetap berkuda menuju Garhupiksa.

"Ekawira, bawa Degasoka ke dalam ruang pemeriksaan, akan aku buat ia menyesal telah berani menyusup ke kota ini," ucap Jatiraga dengan penuh kekesalan begitu tiba di Garhupiksa, setelah sebelumnya turun dari kudanya.

"Baik Senopati," jawab Ekawira sebelum memerintahkan beberapa prajurit yang ada di Garhupiksa untuk membawa Degasoka menuju ruang pemeriksaan.

"Dutasena pimpin sebagian anggota Pasukan Satyawira untuk melakukan pengawasan di luar tembok kota dan perintahkan pasukan penjaga gerbang untuk memperketat pengamanan pada setiap gerbang masuk kota," perintah Jatiraga kepada Dutasena.

"Daulat Senopati," jawab Dutasena dengan penuh penghormatan, setelah itu memimpin sejumlah pasukan satyawira melakukan pengawasan diluar tembok kota.

Usai memberikan perintah, Jatiraga segera menuju ruang pemeriksaan, tak lama setelah Dutasena pergi meninggalkan Garhupiksa.

Ruang pemeriksaan berada dua tingkat di bawah tanah. Hal tersebut dimaksudkan, agar teriakan kesakitan dari para tahanan yang sedang diinterogasi tidak terdengar sampai keluar Garhupiksa.

Begitu masuk ke dalam ruang pemeriksaan, hawa lembab amat terasa, bercak-bercak darah terpampang nyata ditembok.

"krekk." Pintu terbuka perlahan, tak lama pria gagah dengan badan tegap memasuki ruangan itu. Pria itu tak lain adalah Jatiraga.

"Aku harap kau menikmati istirahatmu Degasoka," ucap Jatiraga sambil berjalan perlahan mendekati Degasoka.

"Ya, sungguh menyenangkan. Tetapi amat disayangkan dayangmu ini tidak terlalu baik melayaniku." Degasoka tersenyum sinis sambil menatap Ekawira.

"Bajingan kau Degasoka." Ekawira yang merasa tersinggung dengan perkataan Degasoka langsung mendaratkan tinjunya kepada Degasoka.

Tak anyal Degasoka langsung terjatuh ke tanah begitu menerima tinju keras dari Ekawira, darah segar keluar dari mulutnya. Meskipun begitu, tubuh Degasoka yang telah terlatih, masih mampu menahan pukulan Ekawira sehingga tidak sampai terluka parah.

“Hahaha… kau sebut itu tadi pukulan, itu tak lebih seperti tepukan lembut bagiku.” Degasoka tertawa sambil berusaha bangun.

“Akan aku tutup mulut besarmu sekarang juga!” gertak Ekawira dengan penuh kekesalan sembari mengepalkan tangannya.

"Cukup, kendalikan dirimu Ekawira!" ucap Jatiraga dengan tegas.

“Maafkan hamba, Senopati.” Ekawira menundukkan kepalanya begitu mendengar perkataan dari Jatiraga.

“Kau lihat itu Degasoka, kelihatannya anak buahku sangat membenci dirimu. Apa aku biarkan saja ia menghajarmu sampai mati disini?” Jatiraga berkata sambil mendekat wajahnya ke arah Degasoka.

Degasoka hanya tersenyum terkekeh, sambil membersihkan sisa darah yang berada di sudut mulutnya.

“Lakukan apa yang kau inginkan Jatiraga. Tapi perlu kau tahu, aku akan membunuhmu dengan tanganku.” Degasoka menatap Jatiraga sambil terseyum lebar, menampakkan giginya yang berselimut dengan darah.

“Hahahaha… membunuhku, kau katakan kau akan membunuhku, kau memang sangat lucu Degasoka.” Jatiraga tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan dari Degasoka.

Setelah berhenti tertawa, Jatiraga langsung menendang tubuh Degasoka dengan sekuat tenaga hingga membuatnya terpental sampai membentur dinding. Seakan belum cukup, Jatiraga terus melayangkan pukulan ke wajah dan perut Degasoka hingga membuatnya babak belur.

Ekawira yang menyaksikan hal tersebut, tidak berani menghalangi, ia hanya diam sambil menyaksikan Degasoka yang terus menerima pukulan dari Jatiraga.

“Bukankah kau tadi sesumbar ingin membunuhku Degasoka. Tapi lihat dirimu sekarang, sangat menyedihkan,” sindir Jatiraga sambil membersihkan noda darah dari tangannya dengan sehelai kain putih.

“Aku pikir pukulanmu jauh lebih baik dari pada dayangmu tadi. Ternyata kalian sama buruknya, pergi kalian ke neraka, para pecundang Prabangkara.” Degasoka berteriak sambil menatap sinis Jatiraga.

Jatiraga naik pitam mendengar perkataan tersebut, dijambaknya rambut Degasoka, kemudian ia hempaskan sekuat tenaga hingga membuat tubuh Degasoka terpelanting dan menabrak tembok untuk kedua kalinya. Dengan penuh amarah, Jatiraga mengangkat tubuh Degasoka dengan cara mencekik lehernya.

“Dengar kau bajingan, aku tidak memiliki waktu untuk bermain-main denganmu. Katakan, mengapa kau ada di Kithara bersama dua anggotamu?” Jatiraga mengajukan pertanyaan sambil tetap mencengkram leher Degasoka.

“Hehehe… kami hanya melihat-lihat keindahan Kota Kithara yang amat termasyur, apakah itu sebuah kejahatan?” Degasoka menjawab sambil tertawa terkekeh.

“Omong kosong! baiklah jika kau tetap bersikeras, akan kuantar kau menuju kematian.” Jatiraga langsung mendaratkan pukulan keras di dada Degasoka.

Degasoka kembali tersungkur ke tanah serta memuntahkan darah setelah menerima pukulan keras Jatiraga. Kemudian bersamaan dengan tersungkurnya Degasoka, pintu ruang pemeriksaan dibuka dengan keras.

"Maafkan hamba mengganggu Senopati, ada kabar yang harus segera hamba sampaikan," ucap seorang prajurit dari bibir pintu, prajurit tersebut tak lain adalah Dutasena yang saat ini sedang dalam posisi menundukkan kepalanya.

"Ada apa Dutasena, bukankah kuperintahkan kau untuk melakukan pengawasan di luar tembok kota?” Jatiraga bertanya keheranan melihat Dutasena.

“Mohon ampun Senopati, ada keadaan mendesak yang memaksa hamba menghentikan pengawasan di luar tembok kota.” Dutasena masih belum beranjak dari posisinya.

“Keadaan mendesak apa yang kau maksud Dutasena?” tanya Jatiraga sambil berjalan mendekati Dutasena

“Mohon ampun Senopati, saat hamba sedang melakukan pengawasan di sekitar tembok luar kota, hamba menerima laporan dari pasukan penjaga gerbang selatan. Mereka mengatakan melihat iring-iringan pasukan dengan membawa panji Kerajaan Ambarata sedang menuju kota,” ucap Dutasena yang masih belum beranjak dari posisinya.

“Sebelah selatan, bukankah itu arah ibu kota, apakah kau yakin dengan yang kau katakan Dutasena?” Setiap kata Jatiraga menyiratkan kebingungan luar biasa.

“Mohon ampun Senopati, hamba sangat yakin. Hamba telah memerintahkan Pasukan Satyawira untuk memeriksa hal tersebut dan ternyata memang benar Senopati.” Dutasena menjawab sambil tetap menundukkan kepalanya. Namun tak ada satupun nada keraguan dari setiap kata-katanya.

Mendengar hal tersebut, raut gelisah terlihat jelas di wajah Jatiraga, kemudian ia berjalan menuju Degasoka yang sedang tersungkur dan kembali menjambak rambut Degasoka.

“Apa yang kau rencanakan bajingan, mengapa pasukan Kerajaan Ambarata bisa datang dari arah selatan?” Jatiraga menjambak dengan kuat rambut Degasoka.

“Hehehe… kau seharusnya memperhatikan kemana kau arahkan pedangmu Jatiraga.” Degasoka berkata sambil terkekeh.

Tidak senang dengan jawaban dari Degasoka, Jatiraga membenturkan kepala Degasoka ke lantai, hingga membuat darah segar mengalir dari kepala Degasoka. Walaupun begitu, hal tersebut tidak membuatnya puas.

Dalam benaknya, tentu Jatiraga sangat ingin mengorek informasi dari Degasoka. Namun dalam keadaan genting seperti ini, jelas melakukan hal tersebut bukanlah pilihan yang bijak.

“Perintahkan penjaga untuk memperketat penjagaan disini, jangan biarkan seorang pun masuk tanpa seizinku. Ekawira, Dutasena segera siapkan seluruh Pasukan Satyawira, kita akan lindungi kota ini apapun taruhannya,” perintah Jatiraga sebelum bergegas meninggalkan ruang pemeriksaan dan bergegas menuju aula utama Garhupiksa.

“Daulat Senopati.” Ekawira dan Dutasena segera melaksanakan perintah Jatiraga.

“Siapkan kudaku,” perintah Jatiraga kepada salah satu pasukan begitu ia memasuki Aula Garhupiksa

Tak menunggu waktu lama, seluruh Pasukan Satyawira telah berkumpul di depan Garhupiksa dengan persenjataan lengkap.

“Ekawira kau pimpin Pasukan Bindiwala di gerbang utara, perketat penjagaan disana,” perintah Jatiraga.

“Daulat Senopati.” Ekawira menjawab dengan mantap sebelum berangkat menuju gerbang utara bersama dengan Pasukan Bindiwala.

Pasukan Bindiwala adalah pasukan yang memiliki kemampuan satu tingkat dibawah Pasukan Satyawira. Walaupun begitu, kemampuan mereka tidak dapat dianggap remeh, dengan tombak sebagai senjata utamanya. Pasukan Bindiwala merupakan momok yang menakutkan bagi seluruh musuh Kerajaan Prabangkara, tidak terkecuali Ambarata.

“Dutasena segera pergi ke Kedhaton Madyantara. Sampaikan kepada Adipati Argarota bahwa kota telah diserang oleh pasukan Kerajaan Ambarata dari arah selatan. Selain itu, kau harus meminta Adipati Argarota untuk tetap berada di Kedhaton Madyantara.” Setelah memberikan perintah, Jatiraga memimpin seluruh Pasukan Satyawira menuju gerbang selatan.

“Daulat Senopati.” Dutasena menjawab dengan tegas, setelah itu ia segera pergi menuju Kedhaton Madyantara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status