Cakar Diana masih menggantung di leher Arthur.
"Kau yang menyuruh gadis tanpa aura itu memasukan surat ke dalam loker kan?" Diana mengintrogasi, ujung kuku telunjuknya menusuk pelan leher Arthur. Aroma bunga matahari menguar dari tubuhnya. "Apa gunanya surat?" Tanya Arthur menantang, matanya melirik pada kuku tajam Diana yang hampir mencabik lehernya. "Tidak usah bertele-tele, apa maksudmu?" Tagih Diana, meminta penjelasan logis. Tiba-tiba tangan Elixia terulur menyentuh Diana. "Tenanglah kakak, orang baru tidak mungkin tahu hal sensitif yang bisa mengadu domba," mohon Elixia, berusaha menenangkan. Mata Diana menyipit, jidatnya mengkerut. "Kamu... Jangan bilang jatuh cinta padanya!" Bentak Diana, menatap tajam Elixia yang kini tertunduk, menyelipkan rambut merahnya ke belakang telinga. "Tapi gadis tanpa aura itu? Dia bukan..." Debat Diana, membuat Elixia terpojok. l"Silakan cabik aku! Aku tidak bisa merasakan sakit, dan... Mengakui apa yang tidak kuperbuat," Arthur memotong ucapan Diana, suaranya terasa hampa, penuh kepasrahan. "Baiklah, itu keinginan..." "Tunggu dulu!" Suara misterius entah darimana muncul, namun tidak ada siapa-siapa, tidak ada aura lain terasa. Leona muncul di samping Elixia, menyentaknya—lagi. "Kamu lagi!" Seru Elixia, memegangi dahinya. "Ini... aku mengambil rekaman CCTV diam-diam," Leona mengeluarkan sebuah tablet seluler, mengulurkan tangan mungilnya. Diana segera menarik cengkramannya, kuku tajam yang hampir mencabik Arthur memendek, menyisakan bercak darah yang merambat turun di leher Arthur. Dia mengambil tablet dari tangan Leona, jari-jarinya menari di layar licin, sebelum akhirnya meletakannya di atas Meja. Semua orang yang ada di situ melingkari meja, mencermati layar tablet yang berisi rekaman CCTV, video kejadian pagi tadi di ruang loker. Semuanya tampak normal, siswa-siswa memasuki ruang loker tanpa memunculkan kecurigaan. "Hmmm menarik... Memasukkan surat ke loker orang lain..." ucap Livia, terjeda. Matanya masih menatap layar tablet. "Saat banyak orang, tentu akan sangat mudah ketahuan," Elixia melanjutkan ucapan Livia, suaranya lirih. "Jadi?" Diana mencentikan jari. "Ya benar, pasti dia melakukannya saat tidak ada siapa-siapa," ucap Leona menutup kesimpulan, suaranya dibuat imut. "Pelaku adalah orang terakhir yang keluar dari loker... Yeah, aku pintar!" Seru Arthur, bersemangat, seolah menemukan jurus tersembunyi. "Kita sudah tahu, bodooooooooh!" Cibir yang lainnya, bersamaan. "..." Tiba-tiba kehebohan di ruang rahasia geng Flawless terhenti, suasanya menjadi sepi, degub jantung terdengar berkejaran, aroma bunga geng Flawless makin terasa menyengat. Video di layar terus berputar, adegan hampir menuju akhir, lalu... "Kaokkk! Kaokkk! Kaokkk!" Suara video tiba-tiba mengeluarkan pekikan saat orang terakhir melangkah keluar, topeng gagak menyelubungi wajahnya dengan kengerian. Layar tablet mendadak mati, menjadi gelap, kemudian berganti dengan seni teks membentuk gambar tengkorak, warnanya hijau. "Sial!" Teriak Diana, menggebrak meja, energi kuning tak terlihat menyelimuti tubuhnya. Bulu kuduk Arthur berdiri, Elixia dan Livia hanya tertunduk. "Livia, kamu dan gadis tanpa aura ke ruang jaringan komputer!" Seru Diana. "Baik, kak," respon Livia, cepat, melonjak keluar dari ruang rahasia. Leona seolah menghilang, auranya sama sekali tidak terasa lagi. "Aku tau kau mengikuti," gumam Livia. *** Tiga puluh menit sebelumnya... Jam istirahat pagi dihebohkan dengan perkelahian dua orang siswa di lapangan Skywhip. Tiang besi tua ring basket berdiri kokoh di kedua sisi, matahari pagi mulai menyengat, dua orang bergumul di tengah lapangan. "Habisi dia, Habisi dia, Habisi dia," siswa yang menonton memenuhi tiap sisi lapangan, berteriak girang. Beberapa siswa terlihat memegang kaleng minuman soju, tertawa menikmati pertarungan. Seorang petarung terkapar menatap kematian, satu orang lainnya menghajar bertubi-tubi sambil menindih lawannya. Aura membunuh hanya bisa dirasakan mereka yang memiliki kemampuan—beberapa menganggapnya kutukan. Leona menyelinap di antara kerumunan, tubuhnya yang kecil—walapun tidak dirasakan kehadirannya—terhuyung tak menentu. Bau keringat menguar di udara, bercampur bau macam-macam parfum yang dikenakan siswa wanita. "Sudah berapa lama pertarungan ini berjalan?" Tanya Leona kepada siswa pria yang sedang menegak Soju. "Glek!" Siswa tersebut menegak minuman. "Baru lima menit, tapi ini pertarungan ke lima," jawab siswa tersebut, percikan soju yang masih tersisa di mulut, menyembur. "Kau tau alasan mereka bertarung?" Tanya Leona, menatap siswa yang seolah tidak mempedulikannya, malah menerawang ke tengah lapangan. "Surat kaleng dalam loker... Berisi tantangan dan hinaan, entahlah!" "Loker? Itu kan hanya bisa diakses lewat sidik jari siswa." Celetuk Leona, siswa di sampingnya mengabaikannya, kembali berteriak "habisi dia, habisi dia, habisi dia." Mata Leona menyipit, dahinya mengkerut, lalu bergegas meninggalkan lapangan tempat siswa bertarung. Suara langkahnya di aula sunyi, kakinya seperti melayang rendah. "Wangi mawar ini..." Leona terperanga. Fokusnya terhadap lorong yang dituju terhalang Elixia dan Arthur yang bergegas menuju lorong lain. Sebuah surat terlipat dua berkibar di tangan Elixia, rambut merahnya bergoyang pelan. "Jangan-jangan mereka..." Sebuah firasat merayap di pikirannya. Leona mengabaikannya sementara, fokus pada prioritasnya menuju ruang jaringan. Irama langkah Leona yang sunyi, seolah hilang menuju dimensi lain. Lantai marmer mengkilap berganti dengan lantai kayu jati, Leona memasuki lorong ruang jaringan. Jantungnya berdegub kencang. Pintu besi dengan tombol pemindai sidik jari berwarna merah, terbuka lebar. Seolah memasukinya berarti akan menghadapi kengerian. Ruangan jaringan hanya diterangi neon yang berkedip-kedip, mati-hidup bergantian. Detak jantungnya sedikit berkurang, namun entah kenapa butir keringat merayap lembut di pipinya. Leona menyelinap ke suatu komputer yang tidak terjaga, layar menampilkan kotak-kotak bergambar rekaman CCTV dari berbagai sudut sekolah. Di sekitarnya, para pekerja memakai baju putih duduk tegak—lebih tepatnya kaku—di hadapan beberapa komputer, tidak ada aura bergerak sama sekali. "Ceklek..." Leona memasukan USB ke portnya, mendownload data. Kepalanya bergerak beraturan, menatap layar komputer dan pintu masuk—bergantian. Leona mengabaikan semua keanehan yang dia rasakan saat itu, rasa cemas terhadap Arthur dan Elixia menang. Dia segera meninggalkan ruangan jaringan.Arthur menatap Livia yang dengan telaten menyuapinya. Di belakangnya, tampak Eleana dan Leona sedang mengobrol layaknya cucu dan nenek. Di belakangnya lagi, tampak Diana sedang memperhatikan dengan tatapan seolah tidak ingin momen tersebut hilang. Tiba-tiba Arthur menyadari sesuatu."Elixia... Dimana Elixia?" Seru Arthur, bangun dari tempat tidurnya, melepas kain putih yang menyelimutinya."Arggghhh!" Arthur mengerang kesakitan, merasa terlalu memaksakan tubuhnya."Tenang, biar aku ceritakan semua yang terjadi!" Livia bangkit dari tempat duduknya, tangannya hampir menyentuh tubuh Arthur yang sebagian dililit perban.Livia pun mulai menceritakan semua yang terjadi pada Arthur. Mulai dari penculikan dan penyelamatan Leona, serangan mendadak Elixia, perdebatan kecurangan Darksky, perginya Elixia bersama Valerina dan kondisi geng Flawless.***Arthur menghela nafas, tatapannya tajam, tangannya terkepal, auranya yang bagaikan aliran air kini berubah bagaikan panas api. Namun, tubuhnya mas
Diana terlihat mondar-mandir ketika seorang tim medis datang ke markas Flawless."Tenanglah kak, jangan panik seperti itu!" Pinta Livia, nada suaranya terasa penuh rasa khawatir."Semua yang kutakutkan terjadi... Elixia dan afiliasi, kita kehilangan mereka semua... Valerina, aku akan membunuhmu!" Keluh kesah dan amarah berkecambuk di hati Diana."Nona Diana, aku ada informasi penting!" Ucap tim medis, segera setelah bertemu Diana dan Livia di depan ruang pengobatan."Apalagi... Tidak adakah berita baik hari ini?" Geram Diana, masih terus mondar mandir."Tubuh petarung Darksky itu terus mengeluarkan kabut hitam," ucap tim medis tersebut.Livia segera beranjak menuju kamarnya, tak lama dia kembali membawa sebuah buku. Livia membuka halaman demi halaman buku tersebut, kepalanya bergerak beraturan mengikuti tiap lembar yang terbuka."Dewa cahaya terluka parah, dewi musik menghampirinya dan mengalirkan hawa murninya." Livia tampak membaca sebuah kalimat pada buku tersebut."Kau percaya pad
Diana terperangah saat melihat kabut hitam membumbung dari tubuh Brian. Kabut tersebut perlahan menghilang ditiup angin, namun terus menerus keluar dari tubuh Brian."Kalian, masuk lewat jalan belakang menuju kamar jenazah... Jaga jangan sampai ada yang tau... Kita buat kejutan sore ini!" Ucap Livia kepada beberapa siswa yang membawa tandu.Diana dan Livia segera masuk ke dalam aula, dengan pakaian berantakan dan bau-bau tak sedap menguar di udara. Tampak siswa Skywhip berjajar menyambut kedatangan mereka, sebagian menutup hidung, sebagian menatap sinis, sebagian melakukan keduanya."Reputasi Flawless telah hancur...""Mereka berlutut dipermalukan sekolah lain...""Membunuh, menuduh, tidak terbukti pula...""Dua anggota utamanya menjadi buronan...""Memalukan sekolah kita."Seluruh siswa terus mencibir Diana dan Livia. Diana dan Livia mengabaikan mereka, mengalihkan pandangan seraya berjalan memasuki lorong menuju markas Flawless."Elixia... Apakah kau akan meninggalkanku seperti Val
Di lorong ketiga kuil sembilan dewa, muncul seorang wanita dengan rambut panjang hingga menyapu lantai, memakai jubah putih dengan aksen merah, bagian pergelangan tangannya longgar. "Kau Helena... Wasit pertarungan Arthur dan Edmond yang menghadangku!" Seru Elixia seraya menunjuk ke arah wanita tersebut. Masih terbayang jelas saat Elixia berlari ke arah Arthur yang terkapar di arena, Helena menghadang Elixia karena dianggap melanggar aturan pertarungaan satu lawan satu. Kini wanita tersebut menatap Elixia dengan tatapan yang sama, sinis dan meremehkan. "Dia wasit death battle... Kau ingin menghapus sistem pertarungan, namun bekerjasama dengan wasit pertarungan?" Sarkas Elixia, matanya menyipit menatap Valerina yang berada di sisinya. "Helena!" Seru Valerina, singkat. Helena segera mengambil sesuatu dari balik jubahnya, sebuah tablet dalam genggamannya. "Sebagai wasit dia memiliki informasi jadwal pertarungan," jawab Valerina, tersenyum penuh misteri. Elixia menatap sinis Valerin
Valerina berhasil mengejar Elixia di perbatasan kota, berlari sejajar dan saling menatap."Kau ingat saat kita berlari bersama di hutan belakang sekolah? Ayo ikuti aku!" Seru Valerina, penuh rayuan. Valerina segera mendahului Elixia, berlari melewati perbatasan kota, area penginapan warga, hingga terhenti di lokasi pertarungannya dengan Elixia pada hari sebelumnya. Elixia mengikutinya dari belakang.Di siang hari daun-daun kering tampak sangat jelas, berguguran dari pohon tua di sisi tangga menuju kuil. Tidak terasa adanya kehidupan, hanya bau kematian menguar di udara."Terimakasih sudah membantu, tapi aku tidak pernah memaafkan semua kekejamanmu!" Tegas Elixia, menaiki anak tangga pelan bersama dengan Valerina."Hahahaha! Apa yang membuatmu berfikir aku kejam?" Valerina tertawa, nada kematian berpadu dengan suara renyah daun kering yang terinjak."Sudah berapa orang bersalah kau bunuh untuk meningkatkan kekuatanmu?" Tanya Elixia, sorot matanya penuh kecurigaan."Satu orang!" Jawab
"Brian sudah mati... Tuduhan Elixia tidak terbukti!" Lorens berseru, seisi arena bergemuruh, sorakan dari arah penonton memenuhi udara."Tidak mungkin," Elixia bergumam, tubuhnya berputar perlahan melihat ke sekelilingnya."Kau membunuh petarung kami di luar pertarungan resmi dan saat dia lengah!" Protes perwakilan dari Darksky, menunjuk ke arah Elixia."Hukuman mati adalah balasan setimpal..." Tambah perwakilan dari Moonhaven."Gadis ini sudah melakukan hal memalukan... Baiknya kita permalukan dulu dia!" Giliran perwakilan dari Darkmoon mencerca Elixia."Permalukan dia... Permalukan dia..." Seluruh penonton bersorak, bahkan dari kerumunan Skywhip banyak yang ikut berteriak.Livia segera melompat ke arena."Tunggu dulu... Jurus Elixia tidak akan membunuh jika kondisi Brian tidak terluka!" Livia mencoba membela Elixia, tatapannya ke arah Elixia seolah menyayangkan tindakannya."Enak saja! Jika temanmu tidak menggunakan jurusnya, Brian bisa kami obati..." Protes perwakilan Darksky. Liv